Ahli Waris atau Waarits

diakui. Adanya pengakuan akan melahirkan hubungan hukum ayah dan anak sesuai dengan Pasal 280KUHPer yaitu “Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya.” 44 Namun selain berita untuk pengakuan anak luar kawin. Perlu menjadi perhatian bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indoensia No. 46PUU-VIII2010 tidak ada disebutkan mengenai akta kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin.Menjawab rumusan masalah dalam tulisan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi berimplikasi status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin. Akta kelahiran yang memiliki dasar hukum yang kuat dalam pembuktian asal- usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tahun Perkawinan. “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.” Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi. Anak luar kawin yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayah biologisnya Pasal 280 KUHPer. 44 http:www.hukumonline.comklinikdetaillt4ff514fbcefcdapakah-anak-hasil-perkawinan- siri-berhak-mewaris? Dalam Pasal 832 KUHPer disebutkan dengan jelas kedudukan masing- masing ahli waris harus didasari hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Kedudukan anak pewaris sebagai ahli waris dikenal sebagai anak luar kawin yang diakui secara sah maupun tidak.KUHPer memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah dalam Pasal 250 KUHPer bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan danatau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Maka anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Menurut Pasal 4Kompilasi Hukum Islam “KHI”,Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “UUP” yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam. H ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 UUP yang menyatakan“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Begitu pula di dalam Pasal 5 KHI disebutkan: 1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. 2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954. Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan