Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010 tentang Hak Waris

Dalam Pasal 832 KUHPer disebutkan dengan jelas kedudukan masing- masing ahli waris harus didasari hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Kedudukan anak pewaris sebagai ahli waris dikenal sebagai anak luar kawin yang diakui secara sah maupun tidak.KUHPer memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah dalam Pasal 250 KUHPer bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan danatau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Maka anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Menurut Pasal 4Kompilasi Hukum Islam “KHI”,Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “UUP” yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam. H ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 UUP yang menyatakan“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Begitu pula di dalam Pasal 5 KHI disebutkan: 1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. 2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954. Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan siri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat 1 UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Ini juga dikuatkan dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu Pasal 186 yang berbunyi “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja. Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya Pewaris atau anak luar kawin yangdisahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh Pewaris dalam h ini ayahnya, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010 yang menguji Pasal 43 ayat 1 UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya 45 Jadi anak luar kawin tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak kandung dari pewaris. Namun demikian, jika mengacu pada Pasal 285 KUHPerdata yang menyatakan bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung pewaris. Artinya, anak luar kawin tersebut dianggap tidak ada. Oleh karena itu, pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil perkawinan siri tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari ayah kandungnya walaupun secara tekhnologi dapat dibuktikan. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia tanggal 10 Maret 2012 yang menyatakan bahwa anak siri tersebut hanya berhak atas wasiat wajibah.

B. Pengakuan Terhadap Anak

Ulama fiqh membedakan antara pengakuan terhadap anak dan pengakuan terhadap selain anak, seperti pengakuan terhadap saudara, paman atau kakek, jika seseorang lelaki mengakui bahwa seorang anak kecil adalah anaknya atau sebaliknya seorang anak kecil yang telah baligh menurut jumhur ulama atau mumayiz menurut ulama mazhab Hanafi mengakui seorang lelaki adalah ayahnya, maka pengakuan itu dapat dibenarkan dan anak itu dapat dinasabkan 45 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 46PUU-VIII2010 kepada lelaki tersebut, apabila telah memenuhi syarat-syarat yang cukup ketat. 46 Dalam menentukan keabsahan pengakuan, para ulama berbeda pendapat, apakah anak yang diakui itu disyaratkan harus masih hidup, sehingga pengakuan nasab dianggap sah, atau bagaimana jika anak yang diakui bernasab dengan dirinya itu sudah meninggal dunia. Dalam masalah ini ulama mazhab Hanafi mensyaratkan bahwa anak yang diakui sebagai anak orang yang mengakui itu harus masih hidup. Apabila anak yang diakui itu telah meninggal dunia, pengakuan itu tidak sah dan anak itu tidak bisa dinasabkan kepada orang yang memberi pengakuan. 47 Sedangkan mazhab Maliki tidak mensyaratkan bahwa anak yang diakui nasabnya itu masih hidup. Menurut mereka, sekalipun anak yang diakui itu telah meninggal dunia dan pengakuan yang diberikan itu memnuhi syarat-syarat yang ditentukan maka anak itu dapat dinasabkan kepada orang yang mengaku tersebut. Sementara ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat di atas, diperlukan syarat lain, yaitu pengakuan itu juga datang dari seluruh ahli waris orang yang mengaku tersebut. 48 46 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2015. cet. II, h. 99. 47 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2015. cet. II, h. 100. 48 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2015. cet. II, h. 100.

C. Pembuktian

Alat bukti dalam hal menentukan nasab adalah berupa kesaksian, di mana status kesaksian ini lebih kuat dari pada sekadar pengakuan, sebab kesaksian sebagai alat bukti selalu melibatkan orang lain sebagai penguat. 49 Oleh karena itu alat bukti ini merupakan kesaksian, maka para ulama fiqh tidak sepakat tentang jumlah saksi dalam perkara ini. Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan, saksi harus berjumlah empat orang terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan. 50 Menurut mazhab Maliki kesaksian dua orang laki-laki dianggap cukup, sementara menurut ulama dari kalangan mazhab Syafi’i dan Hanbali serta Abu Yusuf bahwa semua ahli waris harus mengungkapkan kesaksian. 51 Lepas dari kontradiksi yuridis dalam menentukan nasab seorang bayi, di zaman yang sudah cukup modern ini, barangkali perbedaan soal bayi siapa dan bernasab kepada siapa, sepertinya akan bisa terselesaikan dengan tes laboratorium tentang kesesuaian darah anak dengan darah ayah, sehingga bisa ditentukan secara pasti bahwa bayi itu memang benar anak si A dan sebagainya. 52 Dengan demikian tes darah dan tes DNA bisa dianggap sebagai alat bukti penentuan nasab seseorang, khususnya dalam kasus penyangkalan seorang ayah terhadap anak 49 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2015. cet. II, h. 101. 50 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2015. cet. II, h. 101. 51 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2015. cet. II, h. 101. 52 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2015. cet. II, h. 100. kandung sendiri secara sah, walaupun tes darah dan tes DNA telah dilakukan dan ternyata ada kesesuaian antara darah anak dan darah ayah, tetapi proses pembuahannya bukan atas dasar perkawinan secara sah maka nasab anak tersebut tidak bisa di tetapkan dan tidak bisa dianggap sah. 53 53 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2015. cet. II, h. 100.