Hakikat Karya Sastra NOVEL DAN PENDEKATAN PRAGMATIK
                                                                                secara  serius.  Dalam  novel  serius,  pengalaman  dan  permasalahan kehidupan  yang  ditampilkan  dalam  novel  jenis  ini  disoroti  dan
diungkapkan  sampai  ke  inti  kehidupan  yang  bersifat  universal. Contohnya:  Harimau-Harimau  Muchtar  Lubis,  Pada  Sebuah  Kapal
Nh. Dini, Telegram dan Stasiun Putu Wijaya. c
Novel  picisan¸  isinya  cenderung  mengeksploitasi  selera  dengan suguhan  cerita  yang  mengisahkan  cinta  asmara  yang  menjurus  ke
pornografi.  Novel  ini  mempunyai  ciri  bertemakan  cinta  asmara  yang berselera  rendah  ceritanya  cenderung  cabul,  alurnya  datar,  jalan
ceritanya  ringan,  dan  mudah  diikuti  pembaca,  menggunakan  bahasa yang  aktual,  bertujuan  komersil.  Contohnya:  novel  karya  Motinggo
Busye. d
Novel  absurd,  sejenis  fiksi  yang  ceritanya  menyimpang  dari  logika biasa.  Irasional,  realitas,  bercampur  angan-angan  dan  mimpi.  Tokoh-
tokoh  ceritanya  “antitokoh”  seperti  orang  mati  bisa  hidup  kembali, mayat  dapat  berbicara  dan  lain-lain.  Contohnya:  novel  Ziarah  Iwan
Simatupang  yang  mengisahkan  seorang  dokter  di  daerah  pedalaman Papua  yang  menurut  warga  sekitar  bahwa  dokter  itu  bisa
menyembuhkan  dan  menghidupkan  orang  yang  sudah  mati.  Sobar Putu Wijaya.
e Novel  horor,  cerita  yang  melukiskan  kejadian-kejadian  yang  bersifat
horor, seperti drakula penghisap darah, hantu-hantu yang gentayangan dan  berbagai  keajaiban  supranatural  yang  berbaur  dengan  kekerasan,
kekejaman, kekacauan, dan kematian.
3 Unsur Pembangun Novel
Unsur Intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri.  Unsur  intrinsik  sebuah  novel  adalah  unsur-unsur  yang  secara langsung  turut  serta  membangun  cerita.  Kepaduan  antar  berbagai  unsur
intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud,
13
menjadi kesatuan yang  bulat  dan  berjudul.  Selain  itu,  ada  tokoh-tokoh,  ada  tempat  tertentu
yang menjadi area bergeraknya tokoh-tokoh dan ada pula juru cerita yang mengisahkan  kisahnya  tersebut.
14
Dapat  dikatakan  bahwa  unsur  intrinsik ialah  unsur  yang  terdapat  di  dalam  sebuah  karya  sastra  itu  sendiri,  yang
berasal dari dalam karya tersebut. Unsur intrinsik terdiri atas:
1.
Tema sering disebut sebagai ide atau gagasan yang menduduki tempat
utama  dalam  pemikiran  pengarang  dan  sekaligus  menduduki  tempat utama dalam cerita.
15
Menurut Stanton dan Kenny adalah makna yang dikandung  oleh  sebuah  cerita.  Menurut  Hartono dan  Rahmanto,  tema
merupakan  gagasan  dasar  yang  menopang  sebuah  karya  sastra.
16
Menurut  Brooks  dan  Warren  tema  adalah  dasar  atau  makna  suatu cerita  atau  novel,
17
suatu  yang  menjadi  pokok  persoalan  atau  suatu yang  menjadi  pemikiran.  Tema  disampaikan  melalui  jalinan  cerita.
18
sebuah  persoalan  tertentu.  Tema  merupakan  persoalan  tertentu  yang hendak  dikemukakan  atau  diutarakan  pengarang  kepada  pembaca.
Adanya  inti  persoalan  dalam  cerita  nanti  akan  dijabarkan  melalui unsur-unsur intrinsik dalam novel.
19
Tema  menjadi  dasar  pengembangan  seluruh  cerita,  maka  tema bersifat  menjiwai  seluruh  bagian  cerita  itu.  Untuk  menemukan  tema
sebuah karya fiksi, haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya  berdasarkan  bagian-bagian  tertentu  cerita.  Tema  dapat
dipandang  sebagai  dasar  cerita,  gagasan  dasar  dalam  sebuah  karya. Untuk  menemukan  sebuah  tema  dalam  cerita,  maka  harus  dibaca
13
Burhan  Nurgiyantoro,Teori  Pengkajian  Fiksi,  Yogyakarta:  Gajah  Mada  University Press, Maret,  2005, h. 23.
14
Widjojoko  dan  Endang  Hidayat,Teori  dan  Sejarah  Sastra  Indonesia,  Bandung:  UPI Perss, 2006, h. 46.
15
Ibid.
16
Burhan  Nurgiyantoro,  Teori  Pengkajian  Fiksi,  Yogyakarta:  Gajah  Mada  University Press, Maret, 2005, h. 67.
17
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1986, h. 125.
18
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1989, h. 88.
19
Pamusuk Enste, Novel dan Film, Yogyakarta: Nusa Indah, 1991, h. 56.
secara  menyeluruh  cerita  tersebut,  setelah  itu  barulah  ditafsirkan  ide ceritanya.
2.
PlotAlur  ialah  jalan  cerita  yang  berupa  peristiwa-peristiwa  yang
disusun satu persatu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat dari  awal  sampai  akhir  cerita.
20
Struktur  rangkaian  kejadian  dalam cerita disusun secara logis. Plot dibangun oleh beberapa peristiwa yang
disebut  alur.
21
A  plot  is  in  ordered,  organized  sequence  of  events  and actions. Plots in this sence are found in novels rather than in ordinary
life;  life  has  stories,  but  novels  have  plot  and  stories.
22
Sebuah  plot merupakan  kesatuan  antara  kejadian  dan  tindakan.  Plot  dalam  hal  ini
merupakan  kehidupan  baru;  kehidupan  memiliki  cerita,  tetapi  novel mempunyai plot dan cerita.
Rangkaian  peristiwa  direka  dan  dijalin  dengan  seksama membentuk alur yang menggerakan jalannya cerita melalui rumitan ke
arah  klimaks  dan  selesaian.
23
Menurut  Abrams  plot  ialah  struktur peristiwa-peristiwa  yang  terlihat  dalam  pengurutan  dan  penyajian
berbagai  peristiwa  tersebut  untuk  mencapai  efek  emosional  dan  efek artistik  tertentu.  Menurut  Stanton  plot  merupakan  urutan  kejadian,
namun  tiap  kejadian  itu  hanya  dihubungkan  secara  sebab  akibat, peristiwa  yang  satu  disebabkan  atau  menyebabkan  peristiwa  yang
lain.
24
Pada prinsipnya menurut Brooks alur ialah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama.
25
Jadi, plot atau alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan sebab dan akibat.
Peristiwa-peristiwa  tersebut  tidaklah  berdiri  sendiri.  Peristiwa  yang
20
Suroto, op. cit., h. 89.
21
Widjojoko  dan  Endang  Hidayat,  Teori  dan  Sejarah  Sastra  Indonesia,  Bandung:  UPI Perss, 2006, h. 46.
22
Jeremy Hawthorn, Studying the novel: an introduction, USA, Routledge, 1985, hlm 53.
23
Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi, Magelang: IndonesiaTera, 2003, h. 86.
24
Burhan  Nurgiyantoro,  Teori  Pengkajian  Fiksi,  Yogyakarta:  Gajah  Mada  University Press, Maret, 2005, h. 113.
25
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1986, h. 126.
satu  akan  mengakibatkan  timbulnya  peristiwa  yang  lain,  peristiwa yang  lain  itu  akan  menjadi  sebab  timbulnya  peristiwa  berikutnya  dan
seterusnya  sampai  akhir  cerita.  Terdapat  beberapa  tahapan  plot menurut Aristoteles, yaitu: awal beginning, tengah midle dan akhir
end.
26
a Tahap Awal dalam sebuah cerita dapat pula disebut sebagai tahap
perkenalan.  Tahap  perkenalan  pada  umumnya  berisi  sejumlah informasi  penting  yang  berkaitan  dengan  berbagai  hal  yang  akan
dikisahkan  pada  tahap-tahap  berikutnya.  Misalnya  berupa penunjukan  dan  pengenalan  latar,  seperti  nama-nama  tempat,
suasana  alam,  waktu  kejadian,  pengenalan  tokoh  cerita  dan lainnya.
27
Menurut  Brooks  dan  Warren,  permulaan  atau  eksposisi merupakan  proses  penggarapan  serta  memperkenalkan  informasi
penting kepada para pembaca.
28
b Tahap  Tengah  dalam  sebuah  cerita  dapat  pula  disebut  sebagai
tahap  pertikaian  atau  konflik.  Pada  tahap  ini  ditampilkan  adanya pertikaian  atau  konflik  yang  lebih  meningkat  dari  sebelumnya
sehingga  membuat  semakin  menegangkan.  Konflik  yang dikisahkan  dapat  berupa  konflik  internal,  konflik  yang  terjadi
dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal atau konflik yan terjadi antar  tokoh.  Dari  konflik  tersebut  nantinya  akan  muncul  klimaks
yaitu  ketika  konflik  utama  telah  mencapai  titik  intensitas tertinggi.
29
Menurut  Brooks  dan  Warren,  pertengahan  atau komplikasi
merupakan kejadian
yang membangun
atau menumbuhkan  suatu  ketegangan  serta  mengembangkan  suatu
masalah yang muncul dari sesuatu yang disajikan dalam cerita.
30
26
Nurgiyantoro. op. cit., h. 142.
27
Ibid.
28
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1986, h. 127.
29
Burhan  Nurgiyantoro,  Teori  Pengkajian  Fiksi,  Yogyakarta:  Gajah  Mada  University Press, Maret, 2005, h. 145
30
Tarigan., loc. cit.
c Tahap Akhir dalam sebuah cerita dapat juga disebut sebagai tahap
peleraian.  Tahap  peleraian  merupakan  sebuah  tahap  yang menimbulkan reaksi dari klimaks. Jadi bagian ini berisi misalnya
bagaimana kesudahan
cerita, atau
menyaran pada
hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. Dalam teori klasik yang berasal
dari  Aristoteles,  penyelesaian  cerita  dibedakan  ke  dalam  dua macam kemungkinan: kebahagiaan happy end dan kesedihan sad
end.
31
Brooks dan Warren mengemukakan bahwa tahap akhir atau resolusi ialah sesuatu yang memberi pemecahan terhadap alur.
32
3.
Tokoh  dan  Penokohan  istilah  “tokoh”    menunjuk  pada  orangnya,
pelaku  cerita.  Penokohan  atau  karakterisasi  menunjuk  pada  sikap  dan sifat  para  tokoh  yang  ditafsirkan  oleh  pembaca.  Penokohan  adalah
pelukisan  gambaran  yang  jelas  tentang  seseorang  yang  ditampilkan
dalam sebuah cerita.
Penokohan juga
berkaitan dengan
bagaimana pengarag
menampilkan  tokoh-tokoh  dalam  ceritanya  dan  bagaimana  tokoh- tokoh  tersebut.
33
Tokoh  cerita  character  menurut  Abrams  adalah orang -orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama
yang  oleh  pembaca  ditafsirkan  memiliki  kualitas  moral  dan kecenderungan  tertentu  seperti  yang  diekspresikan  dalam  ucapan  dan
apa  yang  dilakukan  dalam  tindakan.
34
Menurut  Sudjiman,  tokoh merupakan  individu  rekaan  yang  mengalami  peristiwa  atau  berlakuan
dalam berbagai peristiwa dalam cerita.
35
Penokohan  bertugas  menyiapkan  atau  menyediakan  alasan  bagi tindakan-tindakan tertentu.
36
Penokohan adalah  cara pengarang dalam
31
Nurgiyantoro, op. cit., h. 145-146.
32
Tarigan, loc. cit.
33
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1989, h. 92
34
Burhan  Nurgiyantoro,  Teori  Pengkajian  Fiksi,  Yogyakarta:  Gajah  Mada  University Press, Maret, 2005, h. 165.
35
Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi,  Magelang: IndonesiaTera, 2003, h. 86.
36
Widjojoko  dan  Endang  Hidayat,  Teori  dan  Sejarah  Sastra  Indonesia,  Bandung:  UPI Perss, 2006, h. 47.
menggambarkan  dan  mengembangkan  karakter  tokoh-tokoh  dalam cerita.
37
Terdapat  beberapa  cara  memperlihatkan  penokohan:  a  cara analitik  adalah  cara  pengarang  menjelaskan  atau  mengisahkan
tokohnya  secara  langsung.  b  cara  dramatik  adalah  cara  pengarang yang  tidak  mengisahkan  apa  dan  siapa  tokohnya  secara  langsung,
tetapi  dengan  menggunakan  hal-hal  lain,  yaitu:  1.  Gambaran  tentang tempat  atau  lingkungan  sang  tokoh,  2.  Percakapan  tokoh  itu  dengan
tokoh  lain,  3.  Pikiran  sang  tokoh  atau  pendapat  tokoh  lain  tentang dirinya.
38
Tokoh-tokoh  cerita  dalam  fiksi  dapat  dibedakan  dalam beberapa  jenis  penamaan  berdasarkan  dari  sudut  mana  penamaan  itu
dilakukan. Di antaranya adalah:
39
a
Tokoh dilihat dari  segi  peranan atau tingkat pentingnya  tokoh
dalam  sebuah  cerita,  yaitu:  tokoh  utama  dan  tokoh  tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam
novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan  baik  sebagai  pelaku  kejadian  maupun  yang  dikenai
kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan  dengan  tokoh-tokoh  lain,  ia  sangat  menentukan
perkembangan  plot  secara  keseluruhan.  Sedangkan  Tokoh tambahan  adalah  tokoh  yang  sedikit  hadir  dalam  cerita,  tidak
dipentingkan dan kehadirannya  hanya  jika ada keterkaitan dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung.
40
b
Tokoh dilihat dari  fungsi  penampilan tokoh  dapat dibedakan ke
dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Menurut Altenbernd Lewis tokoh protagonis adalah tokoh yang memberikan simpati
dan  empati  bagi  pembaca,  tokoh  yang  dikagumi  yang  salah  satu jenisnya  secara popular disebut sebagai  hero-tokoh  yang  memiliki
37
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Nobel Edumedia, 2008, h. 61.
38
Widjojoko, loc cit.
39
Burhan  Nurgiyantoro,  Teori  Pengkajian  Fiksi,  Yogyakarta:  Gajah  Mada  University Press, Maret,  2005, h. 176.
40
Ibid., h. 177 .
nilai  dan  norma  yang  ideal  bagi  pembaca.  Sedangkan  tokoh antagonis  da
pat disebut juga sebagai tokoh „lawan‟ dengan tokoh protagonist,  secara  langsung  ataupun  tidak  langsung.  Tokoh
antagonis  menimbulkan  ketegangan  dan  konflik  dalam  cerita khususnya  ketegangan  dan  konflik  yang  dialami  oleh  tokoh
protagonis.
41
c
Tokoh  berdasarkan  perwatakannya  dapat  dibedakan  atas  tokoh
sederhana  simple  and  flat  character  dan  tokoh  bulat  complex and  round  character.  Tokoh  sederhana  adalah  tokoh  yang  hanya
memiliki  satu sifat-watak tertentu saja,  ia tidak  memiliki sifat dan tingkah  laku  yang  dapat  memberikan  efek  kejutan  bagi  pembaca.
Sifat  dan  tingkah  laku  seorang  tokoh  sederhana  bersifat  datar, monoton,  hanya  mencerminkan  satu  watak  tertentu.  Sedangkan
tokoh bulat adalah tokoh yang diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya,  sisi  kepribadian  dan  jati  dirinya.  Ia  dapat  saja
memiliki watak tertentu yang diformulasikan, namun ia dapat pula memampilkan  watak  dan  tingkah  laku  bermacam-macam,  bahkan
mungkin  seperti  bertentangan  dan  sulit  diduga.  Tingkah  lakunya sering tak terduga dan memberikan efek kejutan bagi pembaca.
42
4.
Latar  atau  setting  adalah  lingkungan  tempat,  waktu  dan  suasana
peristiwa  terjadi.
43
Segala  keterangan  mengenai  waktu,  ruang  dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.
44
Latar berfungsi sebagai pendukung  alur  dan  perwatakan.  Gambaran  situasi  yang  tepat  akan
membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan.
45
Menurut  Abrams  disebut  juga  sebagai  pengertian  tempat, hubungan  waktu  dan  lingkungan  sosial  tempat  terjadinya  peristiwa-
41
Ibid., h. 178.
42
Ibid., h.  181.
43
Widjojoko  dan  Endang  Hidayat,  Teori  dan  Sejarah  Sastra  Indonesia,  Bandung:  UPI Perss, 2006, h. 48.
44
Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi, Magelang: IndonesiaTera, 2003, h. 20.
45
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1989, h. 94.
peristiwa  yang  diceritakan.
46
Latar  memberikan  pijakan  cerita  secara kongkret  dan  jelas,  hal  ini  penting  untuk  memberikan  kesan  realistis
kepada  pembaca  dan  menciptakan  suasana  tertentu  yang  seolah-olah sungguh-sungguh  ada  dan  terjadi.
47
Tempat  dan  waktu  yang  dirujuk dalam  cerita  bisa  merupakan  sesuatu  yang  faktual  atau  imajiner.
48
Macam-macam latar:
a Latar  tempat  menyaran  pada  lokasi  terjadinya  peristiwa  yang
diceritakan  dalam  karya  fiksi.  Unsur  tempat  yang  digunakan mungkin  berupa  tempat-tempat  dengan  nama  tertentu,  inisial
tertentu, mungkin lokasi tertentu tenpa nama jelas.
49
b Latar  waktu  berhubungan  dengan  masalah  „kapan‟  terjadinya
peristiwa-peristiwa  yang  diceritakan  dalam  sebuah  karya  fiksi. Masalah  „kapan‟  tersebut  biasanya  dihubungkan  dengan  waktu
faktual, waktu yang ada kaitannya atau waktu berlatar sejarah.
50
c Latar  sosial  menyaran  pada  hal-hal  yang  berhubungan  dengan
perilaku  kehidupan  sosial  masyarakat  di  suatu  tempat  yang diceritakan dalam karya  fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan
hidup,  adat  istiadat,  tradisi,  keyakinan,  pandangan  hidup,  cara berpikir dan bersikap serta spiritual.
51
5.
Sudut Pandang  pengisahan  yang  menerangkan  siapa  yang  bercerita.
Pusat  pengisahan  ini  penting  untuk  memperoleh  gambaran  tentang kesatuan  cerita.
52
Sudut  pandang  merupakan  kedudukan  atau  posisi pengarang  dalam  cerita  tersebut  atau  posisi  pengarang  menempatkan
46
Burhan  Nurgiyantoro,  Teori  Pengkajian  Fiksi,  Yogyakarta:  Gajah  Mada  University Press, Maret, 2005, h.  217.
47
Ibid., h. 216.
48
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia,  Jakarta: Nobel Edumedia, 2008, h. 60.
49
Nurgiyantoro, op. cit., h. 227.
50
Ibid.,h. 230.
51
Ibid.,h. 233.
52
Widjojoko  dan  Endang  Hidayat,  Teori  dan  Sejarah  Sastra  Indonesia,  Bandung:  UPI Perss, 2006, h. 47.
dirinya dalam cerita tersebut. Apakah ia terlibat langsung dalam cerita atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
53
Menurut  Abrams  ialah  cara  atau  pandangan  yang  dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan
berbagai  peristiwa  yang  membentuk  cerita  dalam  sebuah  karya  fiksi kepada  pembaca.  Sudut  pandang  pada  hakikatnya  merupakan  sebuah
strategi,  teknik  dan  siasat  yang  dipilih  oleh  pengarang  utuk mengemukakan  gagasan  dan  ceritanya.
54
Jadi,  dapat  dikatakan  bahwa sudut  pandang  merupakan  cara  pengarang  dalam  bercerita,  apakah  ia
terlibat  langsung  dalam  cerita  atau  tidak.  Terdapat  beberapa  sudut pandang dalam penggambaran cerita, yaitu:
55
a Sudut  Pandang  Orang  Ketiga:  “dia”.  Pengisahan  cerita  yang
menggunakan sudut pandang „diaan‟ terletak pada seorang narator yang  berada  di  luar  cerita  yang  menampilkan  tokoh-tokoh  cerita
dengan  menyebut  nama,  atau  kata  ganti  orang.  Dalam  sudut pandang orang ketiga “dia” dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu  “dia”  mahatahu  narator  mengetahui  segalanya  dan  serba tahu  dan  “dia”  terbatas  atau  hanya  sebagai  pengamat  narator
mengetahui  segalanya,  namun  terbatas  hanya  pada  seorang tokoh.
56
b Sudut  Pandang  Orang  Pertama:  “aku”.  Pengisahan  cerita  yang
menggunakan sudut pandang „akuan‟ terletak pada seorang narator yang  ikut  terlibat  dalam  cerita.  Dalam  sudut  pandang  orang
pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan.
57
c Sudut  Pandang  Campuran.  Penggunaan  sudut  pandang  ini  lebih
dari  satu  teknik.  Pengarang  dapat  berganti-ganti  dari  teknik  yang
53
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1989, h. 96.
54
Burhan  Nurgiyantoro,  Teori  Pengkajian  Fiksi,  Yogyakarta:  Gajah  Mada  University Press, Maret, 2005, h. 248.
55
Ibid., h. 256-266.
56
Ibid.,h.  256.
57
Ibid.,h.  262.
satu  ke  teknik  yang  lain.  Semua  itu  tergantung  pada  kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya.
58
6.
Gaya  Bahasa  adalah  sebuah  cara  mengungkapkan  pikiran  melalui
bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis pemakai bahasa.
59
Menurut  Aminuddin  gaya  ialah  cara  seorang  pengarang menyampaikan  gagasannya  menggunakan  media  bahasa  yang  indah
dan  harmonis  serta  mampu  menuansakan  makna  yang  dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
60
Dalam  cerita,  penggunaan  bahasa  berfungsi  untuk  mencipta  nada atau  suasana  persuasif  dan  merumuskan  dialog  yang  mampu
memperlihatkan hubungan dan interaksi antar tokoh.
61
Gaya bahasa dalam karya sastra memilki fungsi utama yaitu fungsi komunikatif.  Sastra  khususnya  fiksi  dapat  dikatakan  sebagai  dunia
dalam  kata.  Apapun  yang  dikatakan  pengarang  atau  sebaliknya ditafsirkan oleh pembaca mau tidak mau harus bersangkut paut dengan
bahasa.  Bahasa  dapat  menimbulkan  suasana  yang  tepat  guna  bagi adegan  yang  seram,  adegan  cinta,  ataupun  peperangan,  keputusan,
maupun harapan. Jadi, dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa gaya bahasa merupakan cara pengarang dalam menggunakan atau memakai
bahasa ketika bercerita. 7.
Amanat  merupakan  pemecahan  atau  jalan  keluar  dalam  menghadapi
persoalan. Pemecahan persoalan biasanya berisi pandangan pengarang tentang  bagaimana  sikap  kita  kalau  menghadapi  persoalan  tersebut.
62
Sesuatu  yang  menjadi  pendirian,  sikap,  atau  pendapat  pengarang mengenai inti persoalan yang digarapnya, dengan kata lain merupakan
pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan.
63
58
Ibid.,h. 266.
59
Gorys Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, Jakatra: PT SUN, 2004, h. 112.
60
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT Grasino, 2008, h. 138.
61
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia,  Jakarta: Nobel Edumedia, 2008, h. 64.
62
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1989, h. 89.
63
Pamusuk Enste, Novel dan Film, Yogyakarta: Nusa Indah, 1991, h. 57
Amanat  dapat  dikatakan  ajaran  moral  atau  pesan  yang  hendak disampaikan  oleh  pengarang  kepada  pembaca  melalui  karyanya.
Amanat  akan  disimpan  rapi  dan  disembunyikan  pengarangnya  dalam keseluruhan isi cerita.
64
Jadi, amanat merupakan pesan  yang  ingin disampaikan pengarang terkait dengan masalah yang ada di dalam cerita. Amanat dalam cerita
bisa  secara  tersirat  dan  juga  tersurat.  Biasanya  pesan  tersebut didapatkan  setelah  pembaca  memaknai  keseluruhan  cerita.  Setiap
pembaca  memiliki  amanat  yang  berbeda ketika  membaca satu  bacaan yang  sama,  hal  tersebut  dikarenakan  sifat  karya  sastra  ialah  berbeda-
beda makna.
                