Hakikat Karya Sastra NOVEL DAN PENDEKATAN PRAGMATIK

secara serius. Dalam novel serius, pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti kehidupan yang bersifat universal. Contohnya: Harimau-Harimau Muchtar Lubis, Pada Sebuah Kapal Nh. Dini, Telegram dan Stasiun Putu Wijaya. c Novel picisan¸ isinya cenderung mengeksploitasi selera dengan suguhan cerita yang mengisahkan cinta asmara yang menjurus ke pornografi. Novel ini mempunyai ciri bertemakan cinta asmara yang berselera rendah ceritanya cenderung cabul, alurnya datar, jalan ceritanya ringan, dan mudah diikuti pembaca, menggunakan bahasa yang aktual, bertujuan komersil. Contohnya: novel karya Motinggo Busye. d Novel absurd, sejenis fiksi yang ceritanya menyimpang dari logika biasa. Irasional, realitas, bercampur angan-angan dan mimpi. Tokoh- tokoh ceritanya “antitokoh” seperti orang mati bisa hidup kembali, mayat dapat berbicara dan lain-lain. Contohnya: novel Ziarah Iwan Simatupang yang mengisahkan seorang dokter di daerah pedalaman Papua yang menurut warga sekitar bahwa dokter itu bisa menyembuhkan dan menghidupkan orang yang sudah mati. Sobar Putu Wijaya. e Novel horor, cerita yang melukiskan kejadian-kejadian yang bersifat horor, seperti drakula penghisap darah, hantu-hantu yang gentayangan dan berbagai keajaiban supranatural yang berbaur dengan kekerasan, kekejaman, kekacauan, dan kematian. 3 Unsur Pembangun Novel Unsur Intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud, 13 menjadi kesatuan yang bulat dan berjudul. Selain itu, ada tokoh-tokoh, ada tempat tertentu yang menjadi area bergeraknya tokoh-tokoh dan ada pula juru cerita yang mengisahkan kisahnya tersebut. 14 Dapat dikatakan bahwa unsur intrinsik ialah unsur yang terdapat di dalam sebuah karya sastra itu sendiri, yang berasal dari dalam karya tersebut. Unsur intrinsik terdiri atas: 1. Tema sering disebut sebagai ide atau gagasan yang menduduki tempat utama dalam pemikiran pengarang dan sekaligus menduduki tempat utama dalam cerita. 15 Menurut Stanton dan Kenny adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Menurut Hartono dan Rahmanto, tema merupakan gagasan dasar yang menopang sebuah karya sastra. 16 Menurut Brooks dan Warren tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel, 17 suatu yang menjadi pokok persoalan atau suatu yang menjadi pemikiran. Tema disampaikan melalui jalinan cerita. 18 sebuah persoalan tertentu. Tema merupakan persoalan tertentu yang hendak dikemukakan atau diutarakan pengarang kepada pembaca. Adanya inti persoalan dalam cerita nanti akan dijabarkan melalui unsur-unsur intrinsik dalam novel. 19 Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar dalam sebuah karya. Untuk menemukan sebuah tema dalam cerita, maka harus dibaca 13 Burhan Nurgiyantoro,Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005, h. 23. 14 Widjojoko dan Endang Hidayat,Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, Bandung: UPI Perss, 2006, h. 46. 15 Ibid. 16 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005, h. 67. 17 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1986, h. 125. 18 Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1989, h. 88. 19 Pamusuk Enste, Novel dan Film, Yogyakarta: Nusa Indah, 1991, h. 56. secara menyeluruh cerita tersebut, setelah itu barulah ditafsirkan ide ceritanya. 2. PlotAlur ialah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. 20 Struktur rangkaian kejadian dalam cerita disusun secara logis. Plot dibangun oleh beberapa peristiwa yang disebut alur. 21 A plot is in ordered, organized sequence of events and actions. Plots in this sence are found in novels rather than in ordinary life; life has stories, but novels have plot and stories. 22 Sebuah plot merupakan kesatuan antara kejadian dan tindakan. Plot dalam hal ini merupakan kehidupan baru; kehidupan memiliki cerita, tetapi novel mempunyai plot dan cerita. Rangkaian peristiwa direka dan dijalin dengan seksama membentuk alur yang menggerakan jalannya cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian. 23 Menurut Abrams plot ialah struktur peristiwa-peristiwa yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Menurut Stanton plot merupakan urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. 24 Pada prinsipnya menurut Brooks alur ialah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama. 25 Jadi, plot atau alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan sebab dan akibat. Peristiwa-peristiwa tersebut tidaklah berdiri sendiri. Peristiwa yang 20 Suroto, op. cit., h. 89. 21 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, Bandung: UPI Perss, 2006, h. 46. 22 Jeremy Hawthorn, Studying the novel: an introduction, USA, Routledge, 1985, hlm 53. 23 Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi, Magelang: IndonesiaTera, 2003, h. 86. 24 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005, h. 113. 25 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1986, h. 126. satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa yang lain, peristiwa yang lain itu akan menjadi sebab timbulnya peristiwa berikutnya dan seterusnya sampai akhir cerita. Terdapat beberapa tahapan plot menurut Aristoteles, yaitu: awal beginning, tengah midle dan akhir end. 26 a Tahap Awal dalam sebuah cerita dapat pula disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian, pengenalan tokoh cerita dan lainnya. 27 Menurut Brooks dan Warren, permulaan atau eksposisi merupakan proses penggarapan serta memperkenalkan informasi penting kepada para pembaca. 28 b Tahap Tengah dalam sebuah cerita dapat pula disebut sebagai tahap pertikaian atau konflik. Pada tahap ini ditampilkan adanya pertikaian atau konflik yang lebih meningkat dari sebelumnya sehingga membuat semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal atau konflik yan terjadi antar tokoh. Dari konflik tersebut nantinya akan muncul klimaks yaitu ketika konflik utama telah mencapai titik intensitas tertinggi. 29 Menurut Brooks dan Warren, pertengahan atau komplikasi merupakan kejadian yang membangun atau menumbuhkan suatu ketegangan serta mengembangkan suatu masalah yang muncul dari sesuatu yang disajikan dalam cerita. 30 26 Nurgiyantoro. op. cit., h. 142. 27 Ibid. 28 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1986, h. 127. 29 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005, h. 145 30 Tarigan., loc. cit. c Tahap Akhir dalam sebuah cerita dapat juga disebut sebagai tahap peleraian. Tahap peleraian merupakan sebuah tahap yang menimbulkan reaksi dari klimaks. Jadi bagian ini berisi misalnya bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. Dalam teori klasik yang berasal dari Aristoteles, penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan: kebahagiaan happy end dan kesedihan sad end. 31 Brooks dan Warren mengemukakan bahwa tahap akhir atau resolusi ialah sesuatu yang memberi pemecahan terhadap alur. 32 3. Tokoh dan Penokohan istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Penokohan atau karakterisasi menunjuk pada sikap dan sifat para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan juga berkaitan dengan bagaimana pengarag menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh- tokoh tersebut. 33 Tokoh cerita character menurut Abrams adalah orang -orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. 34 Menurut Sudjiman, tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. 35 Penokohan bertugas menyiapkan atau menyediakan alasan bagi tindakan-tindakan tertentu. 36 Penokohan adalah cara pengarang dalam 31 Nurgiyantoro, op. cit., h. 145-146. 32 Tarigan, loc. cit. 33 Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1989, h. 92 34 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005, h. 165. 35 Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi, Magelang: IndonesiaTera, 2003, h. 86. 36 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, Bandung: UPI Perss, 2006, h. 47. menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. 37 Terdapat beberapa cara memperlihatkan penokohan: a cara analitik adalah cara pengarang menjelaskan atau mengisahkan tokohnya secara langsung. b cara dramatik adalah cara pengarang yang tidak mengisahkan apa dan siapa tokohnya secara langsung, tetapi dengan menggunakan hal-hal lain, yaitu: 1. Gambaran tentang tempat atau lingkungan sang tokoh, 2. Percakapan tokoh itu dengan tokoh lain, 3. Pikiran sang tokoh atau pendapat tokoh lain tentang dirinya. 38 Tokoh-tokoh cerita dalam fiksi dapat dibedakan dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Di antaranya adalah: 39 a Tokoh dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, yaitu: tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Sedangkan Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit hadir dalam cerita, tidak dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung. 40 b Tokoh dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Menurut Altenbernd Lewis tokoh protagonis adalah tokoh yang memberikan simpati dan empati bagi pembaca, tokoh yang dikagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut sebagai hero-tokoh yang memiliki 37 E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Nobel Edumedia, 2008, h. 61. 38 Widjojoko, loc cit. 39 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005, h. 176. 40 Ibid., h. 177 . nilai dan norma yang ideal bagi pembaca. Sedangkan tokoh antagonis da pat disebut juga sebagai tokoh „lawan‟ dengan tokoh protagonist, secara langsung ataupun tidak langsung. Tokoh antagonis menimbulkan ketegangan dan konflik dalam cerita khususnya ketegangan dan konflik yang dialami oleh tokoh protagonis. 41 c Tokoh berdasarkan perwatakannya dapat dibedakan atas tokoh sederhana simple and flat character dan tokoh bulat complex and round character. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu sifat-watak tertentu saja, ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang diformulasikan, namun ia dapat pula memampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Tingkah lakunya sering tak terduga dan memberikan efek kejutan bagi pembaca. 42 4. Latar atau setting adalah lingkungan tempat, waktu dan suasana peristiwa terjadi. 43 Segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. 44 Latar berfungsi sebagai pendukung alur dan perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan. 45 Menurut Abrams disebut juga sebagai pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa- 41 Ibid., h. 178. 42 Ibid., h. 181. 43 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, Bandung: UPI Perss, 2006, h. 48. 44 Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi, Magelang: IndonesiaTera, 2003, h. 20. 45 Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1989, h. 94. peristiwa yang diceritakan. 46 Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dan menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. 47 Tempat dan waktu yang dirujuk dalam cerita bisa merupakan sesuatu yang faktual atau imajiner. 48 Macam-macam latar: a Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tenpa nama jelas. 49 b Latar waktu berhubungan dengan masalah „kapan‟ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah „kapan‟ tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau waktu berlatar sejarah. 50 c Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap serta spiritual. 51 5. Sudut Pandang pengisahan yang menerangkan siapa yang bercerita. Pusat pengisahan ini penting untuk memperoleh gambaran tentang kesatuan cerita. 52 Sudut pandang merupakan kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita tersebut atau posisi pengarang menempatkan 46 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005, h. 217. 47 Ibid., h. 216. 48 E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Nobel Edumedia, 2008, h. 60. 49 Nurgiyantoro, op. cit., h. 227. 50 Ibid.,h. 230. 51 Ibid.,h. 233. 52 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, Bandung: UPI Perss, 2006, h. 47. dirinya dalam cerita tersebut. Apakah ia terlibat langsung dalam cerita atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita. 53 Menurut Abrams ialah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan sebuah strategi, teknik dan siasat yang dipilih oleh pengarang utuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. 54 Jadi, dapat dikatakan bahwa sudut pandang merupakan cara pengarang dalam bercerita, apakah ia terlibat langsung dalam cerita atau tidak. Terdapat beberapa sudut pandang dalam penggambaran cerita, yaitu: 55 a Sudut Pandang Orang Ketiga: “dia”. Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang „diaan‟ terletak pada seorang narator yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti orang. Dalam sudut pandang orang ketiga “dia” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “dia” mahatahu narator mengetahui segalanya dan serba tahu dan “dia” terbatas atau hanya sebagai pengamat narator mengetahui segalanya, namun terbatas hanya pada seorang tokoh. 56 b Sudut Pandang Orang Pertama: “aku”. Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang „akuan‟ terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang orang pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan. 57 c Sudut Pandang Campuran. Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang 53 Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1989, h. 96. 54 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005, h. 248. 55 Ibid., h. 256-266. 56 Ibid.,h. 256. 57 Ibid.,h. 262. satu ke teknik yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya. 58 6. Gaya Bahasa adalah sebuah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis pemakai bahasa. 59 Menurut Aminuddin gaya ialah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. 60 Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk mencipta nada atau suasana persuasif dan merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antar tokoh. 61 Gaya bahasa dalam karya sastra memilki fungsi utama yaitu fungsi komunikatif. Sastra khususnya fiksi dapat dikatakan sebagai dunia dalam kata. Apapun yang dikatakan pengarang atau sebaliknya ditafsirkan oleh pembaca mau tidak mau harus bersangkut paut dengan bahasa. Bahasa dapat menimbulkan suasana yang tepat guna bagi adegan yang seram, adegan cinta, ataupun peperangan, keputusan, maupun harapan. Jadi, dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa gaya bahasa merupakan cara pengarang dalam menggunakan atau memakai bahasa ketika bercerita. 7. Amanat merupakan pemecahan atau jalan keluar dalam menghadapi persoalan. Pemecahan persoalan biasanya berisi pandangan pengarang tentang bagaimana sikap kita kalau menghadapi persoalan tersebut. 62 Sesuatu yang menjadi pendirian, sikap, atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan yang digarapnya, dengan kata lain merupakan pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan. 63 58 Ibid.,h. 266. 59 Gorys Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, Jakatra: PT SUN, 2004, h. 112. 60 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT Grasino, 2008, h. 138. 61 E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Nobel Edumedia, 2008, h. 64. 62 Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1989, h. 89. 63 Pamusuk Enste, Novel dan Film, Yogyakarta: Nusa Indah, 1991, h. 57 Amanat dapat dikatakan ajaran moral atau pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Amanat akan disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan isi cerita. 64 Jadi, amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang terkait dengan masalah yang ada di dalam cerita. Amanat dalam cerita bisa secara tersirat dan juga tersurat. Biasanya pesan tersebut didapatkan setelah pembaca memaknai keseluruhan cerita. Setiap pembaca memiliki amanat yang berbeda ketika membaca satu bacaan yang sama, hal tersebut dikarenakan sifat karya sastra ialah berbeda- beda makna.

B. Pendekatan Pragmatik

Pengarang sebagai pencipta sebuah karya sastra pasti mempunyai ide- ide sebelum menciptakan suaru karya. Dalam penyampaian idenya tersebut sastrawan tidak bisa dipisahkan dari latar belakang dan lingkungannya. Abrams mengemukakan dalam komunikasi antara sastrawan dan pembaca tidak akan terlepas dari empat situasi sastra, yaitu: karya satra, sastrawan, semesta, dan pembaca. Untuk itu terdapat empat pendekatan dalam kajian karya sastra, yaitu : 65 1. Pendekatan objektif ialah kajian sastra yang menitik beratkan pada karya sastra. Memandang pada karya sastra dapat dilpeaskan dari siapa pengarang dan lingkungan serta zamannya. Sehingga karya sastra dapat dianalisa berdasarkan strukturnya sendiri. 2. Pendekatan ekspresif ialah kajian sastra yang menitik beratkan pada penulis. Memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang bersangkutan. 3. Pendekatan mimetik ialah kajian sastra yang menitik beratkan terhadap imitasi atau tiruan pembayangan dunia kehidupan nyata. 64 E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Nobel Edumedia, 2008, h. 64. 65 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984, h. 50. 4. Pendekatan pragmatik ialah suatu pendekatan yang memandang makna karya sastra ditentukan oleh publik pembaca sekalu penyambut karya sastra. Karya sastra dipandang sebagai karya seni yang berhasil apabila bermanfaat bagi publiknya, seperti: menyenangkan, memberi kenikmatan atau mendidik. 66 Istilah pragmatik merujuk pada efek komunikasi yang sering sekali dirumuskan dalam istilah Horatius: seniman bertugas untuk docere dan delectare, memberi ajaran dan kenikmatan, sering kali ditambah lagi movere, menggerakan pembaca ke kegiatan yang bertanggung jawab. Seni harus menggabungkan sifat dulce et utile, bermanfaat dan manis. Pembaca kena, dipengaruhi, digerakan untuk bertindak oleh karya seni yang baik. 67 Kecenderungan pragmatik yang diungkapkan oleh Sydney ialah Like Sidney’s, is ordered toward the audience, a ‘pragmatic theory’, since it looks at the work of art chiefly as a means to an end, an instrument for getting something done, and tends to judge its value according to its success in achieving that aim. 68 Menurut Sidney kecenderungan utama dari pragmatik adalah untuk memahami karya sastra sebagai sesuatu yang dibuat dengan tujuan menghasilkan tanggapan yang diperlukan bagi pembacanya dan untuk memperoleh aturan-aturan dan penilaian dari kebutuhan dan permintaan yang masuk akal dari pembaca di mana karya sastra itu ditujukan. Tujuan yang dibuat dalam membaca sastra haruslah bermanfaat dan memiliki nilai positif bagi pembacanya. Hal itu dikarenakan karya sastra harus mengandung dua unsur yaitu bermanfaat dan menarik. Manfaat tersebut didapatkan pembaca bergantung pada penilaian dan kebutuhannya terhadap suatu karya. Pendekatan pragmatik merupakan sebuah pendekatan untuk mengapresiasi sastra yang berlandaskan pada pendapat pembaca. Menurut Sahnon Ahmad pembaca menggunakan imajinasinya dan memahami sebuah 66 Yudiono KS, Telaah Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, 1986, h. 31. 67 Teeuw, op. cit., h. 51. 68 M.H. Abrams, The Mirror and The Lamps, United States of America: Oxford University Press, 1980, h. 15. karya sastra. Proses pemahaman tersebut bukan sekadar rentetan peristiwa yang disambung-sambungkan, tetapi peristiwa yang dirasai dan dihayati oleh tokoh yang berada dalam peristiwa. Makna dari pengalaman bergantung pula pada emosi, wawasan dan nilai yang dibawa oleh individu. Pengalaman membekalkan kekuatan dan kesatuan kepada peristiwa yang dihidangkan dan menyiratkan sesuatu tentang kehidupan secara umum. 69 Jausz dan Iser mengatakan adanya perkembangan mengenai penelitian sebuah karya. Keterangan tentang arti suatu karya “ditanyakan” kepada penulisnya. Dan bila ini tidak dapat dilakukan lagi, ia dapat dicari pada riwayat hidup penulisnya. Kemudian dikembangkan penelitian lain yang melihat karya sebagai suatu yang berdiri sendiri, yang mempunyai maknanya sendiri, dan ini dapat ditemui melalui analisis karya itu sendiri. Dari sini berkembang mengenai adanya pemberian suatu karya untuk dapat memahaminya. Tetapi untuk menemuinya, pembaca musti menggunakan imajinasinya sendiri, sehingga ia bertindak sebagai pemberi arti. Arti yang ditemui dalam teks itu bukanlah arti teks itu semata-mata, tetapi arti yang dikongkretkan oleh pembaca. Arti suatu teks ada dalam interaksi antara teks dan pembaca. 70 Pandangan terhadap sastra dari sisi konsumennya, dalam masyarakat Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Hal ini dapat dibaca pada sejumlah data teksual yang antara lain terbaca pada ekspresi tekstual yang memperlihatkan fungsi-fungsi sastra di dalam masyarakat. Di antaranya ialah sebagai sarana menyampaikan ajaran moral atau agama, untuk kepentingan politik pemerintah dan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan yang lain. 71 Untuk itulah, masing-masing pembaca biasanya mendapatkan dan menyimpulkan makna yang berbeda meskipun bacaannya sama. Hal tersebut berkaitan pula dengan emosi dan latar belakang pembaca. 69 Shahnon Ahmad, Sastera Pengalaman, Ilmu, Imaginasi dan Kitarannya, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1994, h. 72. 70 Umar Junus, Resepsi Sastra Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Gramedia, 1985, h. 143- 144. 71 Siti Chamamah Soeratno, dkk.,Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya, Maret, 2002, h. 136. Pembaca menjadi salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah karya sastra. Suatu karya sastra memiliki nilai, untuk itulah pembaca pasti mengapresiasi sebuah karya sastra. Apresiasi sastra merupakan pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu. Grove mengungkapkan bahwa apresiasi mengandung makna pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan pemahaman atau pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Squire dan Taba mengungkapkan bahwa sebagai suatu proses apresiasi sastra melibatkan tiga unsur, yakni: a aspek kognitif, berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. b aspek emotif, berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga berperan dalam memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. c aspek evaluatif, berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah tidak indah sesuai-tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya. 72 Sejalan dengan hal tersebut, ketika pembaca mengapresiasi sebuah karya sastra maka hal yang ia lakukan ialah memberikan penilaian terhadap karya tersebut. Dalam memberikan penilaian itu pembaca melibatkan pengetahuan yang ia miliki dan emosi yang ia bawa secara subjektif. Emosi itu dapat berkaitan dengan keindahan penyajian bentuk maupun emosi yang berubungan dengan isi atau gagasan yang menarik dan lucu. Penilaian dalam hal ini berkaitan dengan penemuan makna oleh pembaca yang memberikan kejelasan makna atau manfaat terhadap suatu karya sastra. Tujuan penulisan karya sastra yang diungkapkan oleh Horace dan Sydney ialah advised that ‘the poet’s’ aim is either to profit to please, or to blend in one the delightful and the useful’. The context shows that Horace held 72 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Bandung: CV Sinar Baru, 1987, h. 34- 35.