Hubungan Antara Stres Dengan Psychological Well-Being Pada Isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
DIAN MARDIAH
051301110
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GENAP, 2008/2009
(2)
Hubungan Antara Stres dan Psychological Well-Being pada Isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit
Dian Mardiah dan Hasnida
ABSTRAK
Isteri karyawan yang membantu suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan yang sangat berat dan kondisi kerja yang tidak nyaman. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan memicu timbulnya stres yang dapat mengakibatkan dampak stres terhadap kesehatan fisik maupun psikologis.
Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB).
Ryff (dalam Keyes, 1995) menyebutkan bahwa psychological well-being dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989) menyebutkan kebahagian merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stresdengan psychological well-being.
Penelitian ini mengambil sampel isteri karyawan perkebunan kelapa sawit sejumlah 90 orang yang yang membantu suaminya bekerja di lapangan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala stres dan skala psychological well-being yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek stres yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) dan dimensi-dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (dalam Keyes, 1995). Skala stres memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.864 dan nilai reliabilitas skala
psychological well-being (rxx)=0.920.
Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)= -0.845 dengan p<0.05 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan stres dan psychological well-being.
Kata kunci : stres, psychological well-being, isteri karyawan perkebunan kelapa sawit
(3)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Stres dengan Psychological Well-Being pada Isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit”. Shalawat dan salam juga penulis sampaikan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW serta orang-orang yang istiqomah di jalan-Nya.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis curahkan kepada ibunda tercinta (Syarifah Hanum Pasaribu, S.Pd) dan ayahanda tersayang (Hendra Siswanto) atas segala do’a dan dukungannya baik ruhiyah maupun material yang selalu menyertai langkah penulis. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat. Kepada adik-adikku tersayang Denisa Fathanah, Dita Mardatillah dan Dani Ramadhani, penulis ucapkan terima kasih banyak atas segala perhatian dan dukungannya yang tak pernah berhenti mengalir. Semoga kehadiran kita menjadi penyejuk hati kedua orangtua dan memberikan yang terbaik di setiap waktu.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A.(K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Hasnida, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih banyak atas segala do’a, dukungan dan bantuan yang telah ibu berikan demi
(4)
suksesnya penelitian ini. Penulis minta maaf sekiranya selama dalam proses penelitian ini pernah membuat ibu kesal. Semoga Allah selalu membalas setiap kebaikan ibu dengan pahala yang melimpah. Amin.
3. Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M.Si, Psikolog selaku pembimbing akademik. Terima kasih atas bimbingan yang ibu berikan selama penulis kuliah di Fakultas Psikologi USU.
4. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi USU atas segala ilmu dan bantuannya selama perkuliahan dan seluruh staf pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah membantu penulis baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi.
5. Saudara-saudara seperjuangan. Ukhti fillah: Rena Kinnara, Faqih Zadeh, Zulvia Aztradiana, Retno Keumalasari, dan Juwita Afni, kalian adalah teman terbaik yang pernah kumiliki. Kakak-kakak tercinta Eka Dyah, Debi Fadilah, Ikhwanisifa, Sukmadiarti, Reni Tania, Hanifa Laura, Sukmaya, Citra Suastika, dan Kerry Desiana. Ikhwan fillah: Sahrun Joni, Nur Hadi, Yefri Yudianto, Paidi, Aslam, Ikhsan dan Hans, Jazakumullah khairan katsir atas segala pengertian, dukungan dan bantuannya. Semoga kita tetap istiqamah di jalanNya.
6. Adik-adik seperjuangan: Putri, Fitri, Yanda, Irma, Naya, Moyang, Henny, Nanda, Artika Yana, Novami, Mastari, Nana. Terima kasih atas supportnya. Tetaplah bersemangat mencari ilmu-Nya lalu aplikasikanlah dimana saja dan kapan saja walaupun kita sudah tidak bersama.Fastabiqul Khairat…
(5)
7. Para pembimbing ruhiyah sekaligus menjadi sahabat dan orangtua. Juga saudara-saudara dalam ikatan mahabbatullah. Semoga kita tetap istiqomah dan bisa berkumpul bersama Rasulullah di Jannah-Nya yang suci.
8. Seluruh pengurus FORMASI Al-Qalb USU yang telah bersama-sama menuai kebaikan di jalan Allah swt demi umat Islam di Psikologi yang kita cintai. 9. Seluruh teman-teman angkatan 2005. Khususnya yang ambil klinis, Edra,
Tika, Yustian, Pristi, Ayu, juga buat Halimatus Sakdiyah (Emma) atas bantuan pengolahan datanya. Terima kasih atas segala perhatian dan semangatnya. 10. Akhi Diki Altrika, SH. Jazakallah khairan katsir atas bantuan kiriman DVD
SPSS nya. Sungguh, setiap hamba memiliki ketetapanNya masing-masing. 11. Seluruh pihak yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karenanya penulis mengharapkan adanya masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini agar menjadi lebih baik lagi. Akhirnya kepada Allah jua penulis berserah diri. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Aamiin.
Medan, Juni 2009
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK………i
KATA PENGANTAR……….ii
DAFTAR ISI……….. v
DAFTAR GAMBAR………..ix
DAFTAR TABEL……… iix
BAB I PENDAHULUAN ………1
A. Latar Belakang Masalah ………...1
B. Rumusan Masalah………....11
C. Tujuan Penelitian ………11
D. Manfaat Penelitian ………..11
E. Sistematika Penulisan ……….12
BAB II LANDASAN TEORI ……….14
A. Stres……….14
1. Definisi Stres ………..14
2. Penggolongan Stres ………16
3. Sumber-sumber Stres ………. 17
2. Respon Terhadap Stres ……….. 18
a. Aspek Biologis Terhadap Stres ……….. 18
b. Aspek Psikologis Terhadap Stres ………20
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres ……….. 22
a. Faktor Lingkungan ………. 22
b. Faktor-Faktor Psikologis ………..23
c. Faktor-Faktor Kepribadian ………24
d. Faktor-Faktor Kognitif ………. 25
e. Faktor Usia ………... 26
4. Dampak Stres pada Individu ……….. 26
a. Dampak pada Fisik ………...27
b. Dampak Emosional ……….. 27
c. Dampak pada Perilaku ………..27
B. Psychological Well-Being ...28
1. Definisi Psychological Well-Being ………28
2. Dimensi Psychological Well-Being………. 29
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being ……… 33
C. Isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit ………. 34
D. Hubungan antara Stres dan Psychological well-Being pada isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit ………...37
(7)
BAB III METODE PENELITIAN ……….41
A. Identifikasi Vaiabel Penelitian ………..41
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ………..41
1. Stres ……….41
2. Psychological Well-being ………....43
C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ………..46
1. Populasi dan Sampel ……….46
2. Teknik Pengambilan Sampel ………47
3. Jumlah Sampel Penelitian ...47
D. Metode Pengumpulan Data ...48
1. Skala Stres ………48
2. Skala Psychological Well-being ……….. 49
E. Uji Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur ………... 51
1. Uji Validitas ……….51
2. Uji Daya Beda Item ……….52
3. Uji Reliabilitas Alat Ukur ………52
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ………...53
1. Hasil Uji Coba Skala Stres ………..53
2. Hasil Uji Coba Skala Psychological Well-being ……… 54
G. Prosedur Penelitian ………... 55
1. Persiapan Penelitian ……….... 55
2. Pelaksanaan Penelitian ……….... 56
3. Tahap Pengolahan Data ……….. 57
H. Metode Analisa Data ……….57
1. Uji Normalitas ……… 57
2. Uji Linieritas ……….. 58
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ...59
A. Gambaran Subjek Penelitian ...59
1. Usia Subjek Penelitian ...59
2. Latar Belakang Pendidikan Subjek Penelitian ...60
3. Lama Kerja Subjek Penelitian ……… 60
B. Hasil Penelitian...61
1. Hasil Uji Asumsi ...61
2. Hasil Utama Penelitian...63
3. Hasil Tambahan Penelitian ...68
C. Pembahasan ...71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...78
A. Kesimpulan ...78
B. Saran ...80
1. Saran Metodologis ...80
2. Saran Praktis ...81
DAFTAR PUSTAKA ………..83
(8)
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
(9)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Bobot nilai pernyataan skala stres ………48
Tabel 2 Blue Print skala stres sebelum uji coba ………49
Tabel 3 Bobot nilai pernyataan skala PWB ………..50
Tabel 4 Blue Print skala PWB sebelum uji coba ………..50
Tabel 5 Distribusi aitem skala stres setelah uji coba ………53
Tabel 6 Distribusi aitem skala stres untuk penelitian ………...53
Tabel 7 Distribusi aitem skala PWB setelah uji coba ………...54
Tabel 8 Distribusi aitem skala PWB untuk penelitian ………..55
Tabel 9 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ………59
Tabel 10 Gambaran subjek penelitian berdasarkan latar belakang Pendidikan ………. 60
Tabel 11 Gambaran subjek penelitian berdasarkan lama kerja ………. 60
Tabel 12 Uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov ………. 61
Tabel 13 Uji linearitas dengan ANOVA ………62
Tabel 14 Korelasi antara stres dengan PWB………...63
Tabel 15 Hasil perhitungan analisa regresi ……….64
Tabel 16 Deskripsi variabel stres dan PWB ………...65
Tabel 17 Kriteria jenjang kategorisasi variabel stres dan PWB ……….66
Tabel 18 Matriks kategorisasi variabel stres dan PWB ………..67
Tabel 19 Hasil analisa regresi ketiga aspek variabel stres dengan variabel PWB ………..68
Tabel 20 Hubungan antara stres dengan PWB berdasarkan usia Latar belakang pendidikan dan lama kerja ……….69
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Gambaran Subjek PenelitianLampiran 2 Reliabilitas
Lampiran 3 Skala Penelitian
Lampiran 4 Data Hasil Penelitian
(11)
Hubungan Antara Stres dan Psychological Well-Being pada Isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit
Dian Mardiah dan Hasnida
ABSTRAK
Isteri karyawan yang membantu suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan yang sangat berat dan kondisi kerja yang tidak nyaman. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan memicu timbulnya stres yang dapat mengakibatkan dampak stres terhadap kesehatan fisik maupun psikologis.
Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB).
Ryff (dalam Keyes, 1995) menyebutkan bahwa psychological well-being dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989) menyebutkan kebahagian merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stresdengan psychological well-being.
Penelitian ini mengambil sampel isteri karyawan perkebunan kelapa sawit sejumlah 90 orang yang yang membantu suaminya bekerja di lapangan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala stres dan skala psychological well-being yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek stres yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) dan dimensi-dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (dalam Keyes, 1995). Skala stres memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.864 dan nilai reliabilitas skala
psychological well-being (rxx)=0.920.
Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)= -0.845 dengan p<0.05 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan stres dan psychological well-being.
Kata kunci : stres, psychological well-being, isteri karyawan perkebunan kelapa sawit
(12)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hampir separuh dari seluruh kehidupan seseorang dilalui dengan bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan berbagai perasaan dan sikap. Anoraga (2001), mengatakan ada individu yang mencintai pekerjaannya, melakukannya setiap hari dan terdorong untuk melakukan lebih banyak lagi pekerjaan. Individu merasa tertantang untuk melakukan hal-hal yang sulit dalam hidupnya, sehinga ia dapat dikatakan hidup untuk bekerja. Selain itu ada pula individu yang sekedar menerima pekerjaan sebagai tuntutan hidup dan merasakannya sebagai sesuatu yang berat, membosankan dan tidak memuaskan. Individu seperti ini bekerja dengan enggan, melakukan tugas-tugas yang tidak menarik atau kondisi kerja yang tidak manusiawi seperti beban kerja yang terlalu berat.
Saat ini di masyarakat sudah banyak ditemui bentuk keluarga baik suami maupun isteri, keduanya bekerja di luar rumah. Wanita yang bekerja di luar rumah dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu wanita pekerja dan wanita karir. Wanita pekerja adalah wanita pekerja dengan jenis pekerjaan yang tidak memiliki jenjang kenaikan pangkat, sedangkan wanita karir adalah wanita bekerja yang pekerjaannya memiliki jenjang kenaikan dan memiliki tuntutan-tuntutan tertentu (Strong & De Vault, 1989).
(13)
Motivasi kerja kebanyakan tenaga kerja wanita adalah membantu menghidupi keluarga, akan tetapi mereka juga mempunyai makna khusus karena memungkinkannya memiliki otonomi keuangan, agar tidak selalu tergantung pada pendapatan suami. Hasil kajian Papanek (dalam Sihite Romany, 1995) menyatakan bahwa peran isteri sebagai tenaga kerja di sektor pertanian dalam arti luas memberikan kontribusi yang cukup signifikan.
Disisi lain, keterlibatan wanita dalam bidang pekerjaan tidak diperhitungkan. Besarnya upah yang diterima wanita lebih rendah dari pada laki-laki. Dengan tingkat pendidikan yang sama, pekerja wanita hanya menerima sekitar 50% sampai 80% upah yang diterima laki-laki. Selain itu banyak wanita yang bekerja pada pekerjaan-pekerjaan marginal sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan (Hastuti, 2005).
Di perkebunan kelapa sawit di Indonesia, kaum wanita sering dipaksa bekerja tanpa dibayar untuk membantu suami mereka memenuhi kuota produksi. Padahal mereka juga masih harus mengurusi anak, memasak, mengumpulkan kayu bakar, dan mengambil air, yang karena luasnya wilayah perkebunan, mereka terpaksa harus berjalan kaki lebih jauh untuk melakukan tugas-tugas mereka tersebut (Sinungan, 2000).
Berikut petikan wawancara personal dengan seorang isteri karyawan perkebunan kelapa sawit bernama Supiah (bukan nama sebenarnya) yang berusia 48 tahun:
“Wawak ya gini kerjanya tiap hari dilapangan...., ngangkat buah sawit ini pake gancu trus digulingkan ke angkong, kalo diangkat
(14)
pake tangan yaa.. mana tahan toh, ini beratnya bisa sampe 30 kilo ato lebih. Ngutipin brondolan trus dimasukin dalam goni. Yang gak tahan lagi bawa angkongnya ke pinggir jalan. Wong mandor kebunnya bilang isteri harus bantu suaminya. Kalo gak, ya.. gak dapat borong, orang wawak gak dapat gaji.. ya itulah preminya bapak. Yaa.. cemanalah.. kasian bapak kalo gak dibantu.” (Komunikasi Personal, Aek-Nabara, 4 Februari 2009)
Fenomena di lapangan menggambarkan para isteri karyawan yang membantu suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan yang sangat berat. Setiap hari mereka harus membantu suaminya mengangkat Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang beratnya bisa mencapai 30Kg bahkan lebih. Satu pohon kelapa sawit bisa menghasilkan 3 sampai dengan 4 buah sawit yang berhasil di panen dan kemudian harus di pindahkan ke pinggir jalan dengan menggunakan alat pendorong yang beratnya mencapai 120Kg atau lebih. Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab munculnya stres (stressor). Kondisi dilapangan yang kurang mendukung keselamatan kerja seperti tidak menggunakan sarung tangan pada saat bekerja atau bahkan tidak menggunakan sepatu kerja yang layak, jika para pekerja tidak hati-hati maka hal ini dapat mencelakakan dirinya di lingkungan kerja. Belum lagi tuntutan dari perusahaan yang menekan pekerja agar mampu memenuhi target harian panen kelapa sawit. Tentu saja hal ini dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga stres secara emosional, kognitif dan perilaku.
Keluarga dengan suami dan isteri yang keduanya bekerja di luar rumah, dipandang sebagai bentuk hubungan yang penuh dengan stres alasannya adalah karena kebenaran nilai keluarga tradisional kembali dipertanyakan sehubungan
(15)
dengan peran majemuk yang disandang oleh isteri yang bekerja yaitu sebagai isteri, pekerja, dan ibu (Kessler & Harris dalam Strong & DeVault, 1989).
Isteri yang bekerja diluar rumah tentu saja berpengaruh terhadap pembagian kerja rumah tangga. Isteri yang bekerja menghadapi tanggung jawab pengasuhan anak dan urusan rumah tangga yang sama besarnya dengan isteri yang tidak bekerja diluar rumah. Kondisi ini menimbulkan beban yang berlebih pada kelompok isteri yang bekerja, yang kemudian akan berpengaruh negatif terhadap penyesuaian emosional dan Well-being (Pleck dalam Strong & DeVault, 1989). Disisi lain, wanita bekerja yang menjadi isteri hidup dalam pertentangan yang tajam antara perannya di dalam dan di luar rumah. Seperti yang dituturkan oleh Supiah (bukan nama sebenarnya):
“ Wuih..., capek kali kerja terus.. gak pernah berhenti gitu lho, dari pagi jam 6 harus brangkat sampe siang jam 2, masih capek nanti harus ngurusin rumah lagi. Brangkat kerja ya.. jalan kaki, lumayan jauh dari rumah kelapangan. ”
(Komunikasi Personal, Aek-Nabara, 4 Februari 2009)
Banyak wanita yang bekerja melaporkan bahwa mereka merasa bersalah karena sepanjang hari meninggalkan rumah. Setibanya dirumah meraka merasa tertekan karena tuntutan anak-anak dan suami yang dapat menjadi pemicu stress
pada wanita (Selye, 1982).
Peran ganda yang dijalankan wanita, baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai perempuan yang bekerja dapat menimbulkan konflik, baik konflik intrapersonal seperti kebutuhan isteri untuk dibantu oleh suami dalam melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa diminta maupun konflik interpersonal yaitu komunikasi antara suami dan isteri dalam rumah tangga. Konflik yang
(16)
berkepanjangan dapat menyebabkan timbulnya respon fisiologis, psikologis dan tingkah laku sebagai bentuk adaptasi dan penyesuaian diri terhadap kondisi yang mengancam yang disebut dengan stres (Witkil & Lanoil, 1986).
Witkil & Lanoil (1986), juga mengatakan para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita yang bekerja sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stres. Selanjutnya Anoraga (2001), mengatakan wanita yang bekerja hanya sekedar untuk mencari nafkah maka hal sekecil apapun dapat menjadi timbulnya pemicu konflik dan ketegangan yang berakibat munculnya stres.
Stres pada dasarnya dapat dialami oleh siapa saja. Stres dalam istilah fisiologis adalah merupakan respon tubuh secara umum, artinya stres merupakan
physiological state yang dihasilkan dalam tubuh seseorang karena pengaruh suatu stimulus dan stres dapat menimbulkan penyakit (Berry, 1998). Sarafino (2006), mengatakan bahwa stres adalah perasaan tidak mampu untuk memenuhi tuntutan dari lingkungan, merasakan adanya ketegangan dan rasa tidak nyaman yang berpengaruh pada kognisi, emosi dan perilaku sosial seseorang. Selanjutnya Cornelli (dalam Brecht, 1999), juga menyatakan bahwa stres dapat didefniisikan sebagai gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan
(17)
tuntutan kehidupan. Stres dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut
Sebagian besar individu merasakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang negatif, yang mengarah ke timbulnya penyakit fisik ataupun mental ataupun perilaku yang tidak wajar. Adapun penyebab terjadinya stres di dalam diri seseorang disebabkan karena adanya stimulus yang membawa dan membangkitkannya yang disebut sebagai stressor. Bentuk dari stressor tersebut berupa situasi, kejadian atau objek yang dapat membawa pengaruh pada tubuh dan menyebabkan reaksi bagi diri seseorang (Selye, 1982).
Akibat –akibat stres dapat berupa psikologik dan somatik. Stres yang akut dapat menimbulkan penyakit depresi dan kecemasan. Sedangkan stres yang kronik dapat menimbulkan gangguan jiwa yang berat (Schizofrenia ). Pendidikan dan status sosial ekonomi yang rendah akan lebih banyak mengalami stres. Jika dibandingkan dengan pria, wanita lebih emosional Karenanya, lebih rentan terkena stres (Sarafino, 2006).
Sebagaimana petikan wawancara dengan salah seorang isteri karyawan perkebunan kelapa sawit Supiah (bukan nama sebanarnya) yang berusia 48 tahun:
“ Wuih..., capek kali kerja terus.. gak pernah berhenti gitu lho, dari pagi jam 6 harus brangkat sampe siang jam 2, masih capek nanti harus ngurusin rumah lagi. Brangkat kerja ya.. jalan kaki, lumayan jauh dari rumah kelapangan. Ya.. cemanalah...badannya sakit-sakit semua. Orang kerja berat kayak gini badannya entah kayak apa. Capeklah.., jantungnya gak tahan, deg.. degan gitu. Pinggang ini rasanya udah kayak mau copot, ngangkat berat terus-terusan ya mana tahan. Apalagi pundak ma lutut udah entah kayak mana rasanya. Tapi... ya mau gimana lagi, memang harus dibantu, kalo gak ya.. gak dapat borong. ”
(18)
Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stres secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan mengakibatkan dampak stres terhadap fisik dan kesehatan. Sistem kekebalan tergangggu sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Akibat lain adalah meningkatnya ketegangan otot, kelelahan dan sakit kepala. Dapat terjadi penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler), asma dan bronkhitis (radang saluran napas). Stres juga berperan dalam menghambat pertumbuhan jaringan dan tulang yang akan menyebabkan dekalsifikasi (berkurangnya kalsium) dan osteoporosis (tulang keropos). Kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada dampak stresterhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai isteri maupun ibu rumah tangga.
Stres mempengaruhi kesehatan dalam dua cara. Cara pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres secara langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Cara kedua, secara tidak langsung stres
(19)
mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Baum dalam Safarino, 2006).
Selanjutnya Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Warr, dikutip oleh Ryff, 1995).
Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB). Ryff (dikutip oleh Wang, 2002) mendefinisikan Psychological Well-Being (yang selanjutnya disebut dengan PWB) sebagai fungsi positif dari individu. Fungsi positif dari individu merupakan arah atau tujuan yang diusahakan untuk dicapai oleh individu yang sehat (Schultz, 2002). Fungsi positif dari individu didasarkan pada pandangan humanistik mengenai self actualization, maturity, fully functioning dan individuasi (Ryff & singer, 1996).
Selanjutnya Ryff (dalam Keyes, 1995) sebagai penggagas teori Psychological Well-Being menyebutkan bahwa PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989) menyebutkan kebahagian (hapiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Menurut Diener, Wolsic, dan Fujita (dalam Tenggara, 2008) PWB merupakan konsep yang berbicara tentang kenyamanan individu. Berdasarkan hal ini PWB
(20)
dapat diartikan sebagai reaksi evaluatif seseorang mengenai kenyamanan hidupnya. Evaluasi ini menyangkut kenyamanan hidup ataupun reaksi emosional yang terus menerus. Keyes et al. (2000) menyatakan bahwa PWB mengacu pada persepsi dan evaluasi individual mengenai kualitas hidupnya.
Wanita dalam pandangan Ryff (dalam Keyes, 1995), tidak mencari penderitaan dan selanjutnya pasif menikmati penderitaan itu. Dengan konsepnya mengenai reinterpretasi, Ryff justru melihat wanita sebagai pribadi sejahtera yang mampu mengendalikan lingkungannya. Wanita seperti ini mampu melakukan sesuatu yang bermakna dalam tekanan sekalipun.
Sebagaimana petikan wawancara dengan salah seorang isteri karyawan perkebunan kelapa sawit Darni (bukan nama sebenarnya) yang berusia 50 tahun:
“Yaa... kemana ya, wong suami sendiri yah.. senenglah bantu suami. Walaupun kerjanya berat kayak gini, namanya juga laki sendiri yah.. mo gimana lagi senenglah. Kalo gak dibantu, yah kasian toh, dia sendiri nanti yang capek. Biar dapat borong juga dari premi. Wawak juga ada melihara kambing jadi bisa untuk nambah-nambah penghasilan. Kalo ngarapin dari gaji pokok aja ya gak cukup toh.”
(Komunikasi Personal, Aek Nabara, 5 Februari 2009)
Seorang isteri merasa senang ketika dapat bekerja membantu meringankan pekerjaan suaminya, apalagi bekerja di perkebunan kelapa sawit bisa menambah penghasilan dari sekedar gaji pokok dibandingkan dengan bekerja sendiri atau membayar orang lain untuk membantu kerja. Isteri yang rela membantu suaminya berarti ia bisa menerima dirinya dan kondisi pekerjaan suaminya dari sekedar perasaan terpaksa ataupun tertekan dengan beban pekerjaan yang berat. Tidak hanya itu, jika isteri mampu menguasai lingkungan mereka mampu melihat
(21)
peluang yang dapat dijadikan sebagai tambahan penghasilan seperti memelihara ternak ayam, kambing atau sapi dan mereka bisa lebih sejahtera secara ekonomi maupun psikologis.
Menurut Ryff (1989) secara psikologis, manusia memiliki sikap positif terhadap diri dan orang lain. Mereka mampu membuat keputusan sendiri, dan mengatur tingkah laku mereka, serta mereka mampu memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Setiap orang memiliki tujuan yang berarti dalam hidupnya, dan mereka berusaha untuk menggali dan mengembangkan diri mereka semaksimal mungkin.
Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu kepemilikan akan rasa penghargaan terhadap diri sendiri, kemandirian, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, pengguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995).
Yoon & Han (2004), yang meneliti tentang hubungan antara aktivitas yang produktif dengan PWB menemukan bahwa isteri yang bekerja dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga secara signifikan memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan berpengaruh pada PWB.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chiara Ruini,et al (2003), menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara PWB terhadap distress
(stres yang memberi dampak buruk). Jadi semakin tinggi PWB maka semakin rendah distress orang tersebut. Sebaliknya semakin rendah PWB maka semakin tinggi distress orang tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik
(22)
untuk melihat sejauh mana hubungan stresdengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada hubungan negatif antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit?”.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan negatif antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi dan perluasan teori dibidang psikologi klinis, yaitu mengenai hubungan stres dengan PWB pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan di bidang psikologi klinis sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.
(23)
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada wanita pekerja khususnya isteri karyawan perkebunan kelapa sawit yang membantu suaminya bekerja agar mengetahui pentingnya PWB untuk mengurangi faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan stres, dampak stresbaik fisik, emosional maupun perilaku sehingga mereka dapat lebih sejahtera secara psikologis.
Membuka wawasan masyarakat umum, tentang manfaat mengetahui pentingnya PWB untuk mencapai kesejahteraan psikologis sehingga dapat mengurangi tingkat stres.
Sebagai referensi bagi Praktisi Psikologi khususnya bidang Psikologi Klinis yang ingin meneliti lebih jauh tentang stres dan PWB.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi atas lima bab, dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Sistematika penulisan penelitian ini adalah :
BAB I: Pendahuluan
Berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Landasan Teori
Berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori-teori tentang stres dan PWB.
(24)
BAB III: Metodelogi Penelitian
Berisi uraian yang menjelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data untuk melakukan pengujian hipotesis yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian.
BAB IV: Analisa dan Interpretasi Data
Berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan deskripsi data penelitian.
BAB V: Kesimpulan dan Diskusi
Berisi hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.
(25)
BAB II
LANDASAN TEORI A. STRES
1. Definisi Stres
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan dll) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping.
Menurut Selye (dalam Santrock, 2003), stres adalah respons umum terhadap adanya tuntutan pada tubuh. Tuntutan tersebut adalah keharusan untuk menyesuaikan diri, dan karenanya keseimbangan tubuh terganggu. Stres diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis, seperti meningkatnya denyut jantung yang kemudian diikuti dengan reaksi penolakan terhadap stressor dan akan mencapai tahap kehabisan tenaga (exhaution) jika individu tidak mampu untuk terus bertahan.
Setiap individu dalam hidupnya senantiasa menghadapi berbagai masalah yang tidak menyenangkan seperti yang dikatakan oleh Davis & Newstrom (1989), stres merupakan kondisi ketegangan yang terjadi pada emosi, fisik dan psikologis seseorang. Sesungguhnya stres merupakan reaksi individu dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Adanya stres dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam meghadapi lingkungan. Atkinson (2000),
(26)
menyebutkan stres muncul disebabkan adanya permintaan yang berlebihan yang tidak dapat dipenuhi sehingga dapat mengancam kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang.
Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Morgan & King, dalam Rice, 1992). Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, dalam Santrock 2003).
Menurut Hager (dalam Santrock 2003), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Lazarus, 1984). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa. Sarafino (2006), menyebutkan stres muncul akibat terjadinya kesenjangan antara tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber daya biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut yang akan mempengaruhi kognisi, emosi dan perilaku sosialnya.
(27)
Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye dalam Santrock, 2003).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi internal yang dapat merusak dan membahayakan fisik maupun psikologis individu akibat adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan kemampuan individu dalam meresponnya.
2. Penggolongan Stres
Selye (dalam Rice, 1992) menggolongkan stres menjadi dua golongan. Penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stres yang dialaminya yaitu:
a. Distress (stres negatif)
Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat yang tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya. Pada tingkat stres yang berat, orang bisa menjadi depresi, kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya, ia lebih banyak menarik diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan, jarang
(28)
berkumpul dengan sesamanya, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah marah, mudah emosi. Tidak heran kalau akibat dari sikapnya ini mereka dijauhkan oleh rekan-rekannya. Respon negatif dari lingkungan ini malah semakin menambah stres yang diderita karena persepsi yang selama ini ia bayangkan ternyata benar, yaitu bahwa ia kurang berharga di mata orang lain, kurang berguna, kurang disukai, kurang beruntung, dan kurang-kurang yang lainnya. b. Eustress (stres positif)
Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Hanson (dalam Rice, 1992) mengemukakan frase joy of stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustress dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi dan performansi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya menciptakan karya seni.
3. Sumber-sumber Stres
Sarafino (1994) membagi 3 jenis sumber-sumber stres (stressors) yang dapat terjadi dalam kehidupan individu, antara lain sebagai berikut:
1. Sumber-sumber yang berasal dari individu
Ada dua stres yang berasal dari individu. Pertama adalah melalui adanya penyakitAda dua stres yang berasal dari individu. Pertama adalah melalui adanya penyakit. Penyakit yang dideritaindividu menyebabkan tekanan biologis dan psikososial sehingga dapat menimbulkan stres. Sejauh mana tingkat stres yaang dialami individu terhadap penyakitnya dipengaruhi oleh faaktor usia dan keparahan penyakit yang dialaminya. Cara yang kedua adalah melalui terjadinya
(29)
konflik. Konflik merupaka sumber stres yang paling utama. Di dalam konflik individu memiliki dua kecenderungan yang berlawanan yaitu menjauh dan mendekat.
2. Sumber-sumber berasal dari keluarga
Stres dalam keluarga dihasilkan melalui adanya perilaku, kebutuhan-kebutuhan dan kepribadian dari masing-masing anggota keluarga yang berdampak pada anggota keluarga lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari adanya masalah finansial, perilaku yang tidak sesuai, melalui adanya tujuan yang berbeda antar anggota keluarga, bertambahnya anggota keluarga, penyakit yang dialaminya anggota keluarga dan kematian anggota keluarga (Sarafino, 1994). 3. Sumber yang berasal dari komunitas dan masyarakat
Adanya hubungan manusia dengan lingkungan luar menyebabkan banyak kemungkinan munculnya sumber-sumber stres. Stres yang dialami orang dewasa banyak diperoleh melalui pekerjaannya dan berbagai situasi lingkungan. Stres yang diperoleh melalui pekerjaan contohnya dikarenakan: lingkungan fisik kerja, kontrol yang rendah terhadap pekrjaan yang diemban, kurangnya hubungan interpesonal dengan sesama rekan kerja, promosi jabatan, kehilangan pekerjaan, pensiaun dan lainnya (Sarafino, 1994).
4. Respon Terhadap Stres a. Aspek Biologis terhadap Stres
Selye (dalam Sarafino, 2006) menyebutkan konsep yang menggambarkan efek umum pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan pada tubuh tersebut.
(30)
Respon Tubuh terhadap stres (General Adaption Syndrome /GAS) yang terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Peningkatan alarm (alarm reaction), individu memasuki kondisi shock yang bersifat sementara, suatu masa dimana pertahanan terhadap stresada di bawah normal. Individu mengenali keberadaan stres dan mencoba menghilangkannya. Otot menjadi lemah, suhu tubuh menurun, dan tekanan darah juga turun. Kemudian terjadi yang disebut dengan
countershock, dimana pertahanan terhadap stres mulai muncul ; korteks adrenal mulai membesar, dan pengeluaran hormon meningkat. Tahap alarm berlangsung singkat.
2. Perlawanan (resistance), dimana pertahanan terhadap stres menjadi semakin intensif, dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada tahap pertahanan, tubuh individu dipenuhi oleh hormon stress, tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernafasan semua meningkat. Bila semua upaya yang dilakukan untuk melawan stres ternyata gagal dan stres tetap ada, maka akan masuk ke tahap selanjutnya.
3. Kelelahan (exhausted), dimana kerusakan pada tubuh semakin meningkat, orang yang bersangkutan mungkin akan jatuh pingsan di tahap kelelahan ini, dan kerentanan terhadap penyakitpun meningkat.
Menurut Selye tidak semua stres itu buruk, yang kemudian dia sebut dengan
Eustress yaitu konsep Selye yang menggambarkan sisi positif dari stres. Berkompetisi di suatu kejuaraan, menulis karangan, atau mengejar seseorang yang menarik membuat tubuh menghabiskan energi.
(31)
Salah satu kritik utama terhadap pandangan Selye adalah manusia tidak selalu bereaksi terhadap stres dengan cara yang sama seperti yang ia kemukakan. Masih banyak lagi yang harus dipahami mengenai stres pada manusia daripada sekedar mengetahui reaksi fisik manusia terhadap stres. Perlu juga mengetahui kepribadian mereka, susunan fisik, persepsi, dan konteks dimana stresor atau penyebab stres muncul (Hobfoll dalam Santrock, 2003).
b. Aspek Psikologis Terhadap Stres
Sarafino (2006), menyebutkan 3 aspek psikologis terhadap stres yaitu: 1. Kognisi
Stresdapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif (Cohen dkk dalam Sarafino, 2006). Stressor berupa kebisingan dapat menyebabkan deficit kognitif. Baum (dalam Sarafino, 2006) mengatakan bahwa individu yang terus menerus memiliki stressor dapat menimbulkan stres yang lebih parah terhadap stressor.
2. Emosi
Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian kognitif dapat memengaruhi stres dan pengalaman emosional (Maslach, Schachter & Singer, Scherer dalam Sarafino, 2006) reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih, dan rasa marah (Sarafino, 2006).
(32)
3. Perilaku Sosial
Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain (Sarafino, 2006). Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana alam dapat membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi lain, individu dapat mengembangkan sikap bermusuhan (Sherif & Sherif dalam Sarafino, 2006). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Donnerstein & Wilson dalam Sarafino, 1994). Stres juga dapat mempengaruhi perilaku membantu pada individu (Cohen & Spacapan dalam Sarafino,2006).
Sedangkan Taylor (1991) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:
1. Aspek fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
2. Aspek kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.
3. Aspek emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya. 4. Aspek tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi
(33)
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres a. Faktor Lingkungan
Menurut Lazarus & Folkman (1984) kondisi fisik lingkungan dan sosial yang merupakan pennyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor. Istilah stressor
diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Rice, 1992). Situasi, kejadian atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab reaksi psikologis ini disebut stressor (Beryy, 1998) stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik, seperti polusi udara dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial, seperti interaksi sosial. Pikiran ataupun perasaan inddividu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor.
Lazarus & Cohen (dalam Berry, 1998) mengklasifikasikan stressor kedalam tiga kategori, yaitu:
1. Cataclysmic events
Fenomena besar atau tiba-tiba terjadi, kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi banyak orang seperti bencana alam.
2. Personal stressors
Kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi sedikit orang atau sejumlah orang tertentu, seperti krisi keluarga.
3. Background stressors
Pertikaian atau permasalahn yang biasa terjadi setiap hari, seperti masalah dalam pekerjaan dan rutinitas pekerjaan.
(34)
b. Faktor-Faktor Psikologis
Ada beberapa jenis-jenis stressor psikologis (dirangkum dari Folkman, 1984; Coleman, dkk, 1984 serta Rice, 1992) yaitu:
1. Tekanan (pressure)
Tekanan terjadi karena adanya suatu tuntutan untuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu maupun tuntutan tingkah laku tertentu. Secara umum tekanan mendorong individu untuk meningkatkan performa, mengintensifkan usaha ataumengubah sasarn tingkah laku. Tekana sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki bentuk yang berbeda-beda pada setiap imdividu. Tekanan pada beberapa kasusu tertentu dapat menghabiskan sumber-sumber daya yang dimiliki dalam proses pencapaian sasarannya, bahkan bila berlebihan dapat mengarah pada perilaku maladaptive.
2. Frustasi
Frustasi dapat terjadi apabila usaha individu untuk mencapai sasaran tertentu mendapat hambatan atau hilangnya kesempatan dalam mendapatkan hasil yang didinginkan. Frustasi juga dapat diartikan sebagai efek psikologis terhadap situasi yang mengancam, seperti misalnya timbul reaksi marah, penolakan maupun depresi.
3. Konflik
Konflik terjadi ketika seseorang harus mengambil keputusan dari dua atau lebih stimulus yang tidak cocok. Tiga tipe konflik utama adalah :
1. Mendekat-mendekat (approach-approach conflict), terjadi bila individu harus memilih antara dua stimulus atau keadaan yang sama menarik.
(35)
Konflik mendekat/mendekat adalah konflik yang tingkat stresnya paling rendah dibandingkan dua tipe konflik lainnya karena dua pilihannya memberikan hasil yang positif.
2. Menghindar-menghindar (avoidance-avoidance conflict), terjadi ketika individu harus memilih antara dua stimulus yang sama-sama tidak menarik, yang sebenarnya ingin dihindari keduanya, namun mereka harus memilih salah satunya. Pada banyak kasus, individu memilih untuk menunda mengambil keputusan dalam konflik menghindar/menghindar samap saat-saat terakhir.
3. Mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict), terjadi bila hanya ada satu stimulus atau keadaan namun memiliki karakteristik yang positif dan juga negatif. Bila dihadapkan dalam konflik seperti ini (timbul dilema), biasanya individu merasa bimbang sebelum mengambil keputusan. Ketika waktunya untuk mengambil keputusan semakin dekat, kecenderungan untuk menghindar biasanya semakin mendominasi (Miller dalam Santrock, 2003). Frustasi adalah situasi apapun dimana individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kegagalan dan kehilangan adalah dua hal yang terutama membuat frustasi.
c. Faktor-Faktor Kepribadian
Pola Tingkah Laku Tipe A (type A Behavior Pattern) adalah sekelompok karakteristik yang menimbulkan rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah , dan sikap bermusuhan yang dianggap berhubungan dengan masalah jantung. Penelitian mengenai pola tingkah laku tipe A pada
(36)
anak-anak dan remaja menemukan bahwa anak-anak-anak-anak dan remaja dengan pola tingkah laku tipe A cenderung menderita lebih banyak penyakit, gejala gangguan jantung, ketegangan otot, dan gangguan tidur, dan bahwa anak-anak dan remaj dengan tipe A biasanya memiliki orang tua yang juga memiliki pola tingkah laku A (Santrock, 2003).
d. Faktor-Faktor Kognitif
Lazarus (1993), mengatakan sesuatu yang menimbulkan stres tergantung pada bagaimana individu menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif.
Penilaian kognitif (cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif. Menurut pandangan Lazarus (dalam Santrock, 2003), berbagai kejadian dinilai dua langkah :
a. Penilaian primer (primary appraisal), mengartikan apakah suatu kejadian mengandung bahaya atau menyebabkan kehilangan, menimbulkan suatu ancaman akan bahaya di masa yang akan datang atau tantangan yang harus dihadapi.
b. Penilaian sekunder (secondary appraisal), mengevaluasi potensi atau kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian.
(37)
e. Faktor Usia
Hurlock (1995) menyatakan bahwa individu yang semakin tua akan memiliki emosi yang cenderung akan semakin stabil dan kestabilan emosi ini berpengaruh terhadap daya tahan terhadap stres. Usia yang semakin bertambah mengakibatkan seseorang akan semakin mudah mengalami stres. Hal ini berkaiatan dengan factor fisiologis yang mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar (Kumolohadi, 2001).
5. Dampak Stres pada Individu a. Dampak pada fisik
Dapat terjadi penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) akibat meningkatnya tekanan darah yang merusakkan jantung dan pembuluh darah (arteri) serta meningkatnya kadar gula darah. Di paru dapat terjadi asma dan bronkhitis (radang saluran napas). Jika terjadi hambatan fungsi pencernaan, dapat timbul penyakit seperti tukak/ulkus, kolitis (radang usus besar) dan diare kronik (menahun). Stres juga berperan dalam menghambat pertumbuhan jaringan dan tulang yang akan menyebabkan dekalsifikasi (berkurangnya kalsium) dan osteoporosis (tulang keropos). Sistem kekebalan tergangggu melalui berkurangnya kerja sel darah putih, sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Akibat lain adalah meningkatnya ketegangan otot, kelelahan dan sakit kepala.
(38)
b. Dampak Emosional
Karena pelepasan dan kekurangan norepinefrin (noradrenalin) yang kronis dapat terjadi depresi. Yang juga berperan adalah pikiran bahwa hidup ini buruk dan tidak akan menjadi lebih baik. Akibatnya timbul perasaan tak berdaya dan ketakmampuan, merasa gagal dan kepercayaan diri jatuh. Orang yang terkena depresi cenderung menarik diri dari pergaulan dan menyendiri yang pada gilirnnya malah menambah depresinya. Juga kecemasan yang berlebihan dan ketakutan sangat sering terjadi jika seseorang terus-menerus mempersepsikan adanya ancaman. Orang yang stres berkepanjangan akan menunjukkan sisnisme, kekakuan pendirian, sarkasme, dan iritabilitas (mudah tersinggung).
c. Dampak pada Perilaku
Sering terjadi perubahan perilaku akibat dorongan untuk mencari pelepasan; bertempur atau lari. Masalahnya, perilaku yang dipilih sering merugikan, misalnya "perilaku adiktif" (kecanduan) akibat usaha untuk meredakan atau melarikan diri dari stres yang menyakitkan. Alkohol, obat-obatan, merokok, dan makan berlebihan sering dijadikan alat untuk membantu menghadapi stres. Padahal efeknya hanya berlangsung sementara dan akibat penggunaan jangka panjang akan merusak badan dan pikiran atau jiwa. Sayangnya, pikiran dapat menolak/menyangkal akibat jangka panjang itu untuk sekadar memenuhi kepuasan sesaat. Perilaku lainnya yang terlihat adalah menunda-nunda, perencanaan yang buruk, tidur berlebihan dan menghindari tanggung jawab. Taktik ini malah merugikan karena menimbulkan masalah baru bagi individu tersebut.
(39)
B. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being
Carol D Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori
Psychological Well-Being yang selanjutnya disingkat dengan PWB menjelaskan istilah PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja. Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically-well). Ia menambahkan bahwa PWB merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya.
Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. PWB dapat ditandai
(40)
dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagian
(hapiness) merupakan hasil dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.
Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, pengguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995). Selain itu, setiap dimensi dari PWB menjelaskan tantangan yang berbeda yang harus dihadapi individu untuk berusaha berfungsi positif (Ryff & Keyes, 1995). Dapat dismipulkan bahwa psychological well-being (kesejahteraan psikologis) adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan otonomi.
2. Dimensi Psychological Well-Being
Menurut Ryff (dalam Keyes, 1995), pondasi untuk diperolehnya kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psycholigical functioning) . Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu:
(41)
Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut menurut Ryff (1989) menandakan PWB yang tinggi. Individu yang mimiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep PWB. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Ia juga mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk
(42)
bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa ia kurang baik dalam dimensi ini.
c. Otonomi (autonomy)
Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Seseorang yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis.
d. Tujuan hidup (purpose in life)
Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup, mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup, dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka ia dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita
(43)
tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seorang individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefenisikan kesehatan mental. e. Perkembangan pribadi (personal growth)
Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Seseorang yang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang stagnan, dan tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalani.
f. Pengusaan terhadap lingkungan (environmental mastery)
Individu dengan PWB yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai denga kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik
(44)
maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-being
Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap PWB seseorang, sehingga tidak semua orang memiliki tingkat PWB yang sama. Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan PWB seseorang. a. Dukungan sosial
Merupakan gambaran berbagai ungkapan perilaku suportif (mendukung) kepada seorang individu yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari orang-orang yang cukup bermakna dalam hidupnya. Robinson (1991) juga mengatakan bahwa dukungan sosial dari orang-orang yang bermakna dalam kehidupan seseorang dapat memberikan peramalan akan well-being seseorang. Dukungan sosial yang diberikan adalah untuk mendukung penerima dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup.
b. Ideologi Peran Jenis Kelamin
Sejumlah penelitian menyatakan adanya kaitan yang erat antara peran yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari dan PWB seseorang. Ditemukan bahwa wanita (isteri) yang melaksanakan perannya secara tradisional mengalami beban peran yang berlebih dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang lebih modern dan wanita dengan peran tradisional ini mengalami gejala-gejala distress dan menunjukkan ketidakpuasan hidup (Sollie & Leslie, Spence dkk, dalam Strong & Devault, 1989).
(45)
c. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang. Seperti besarnya income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat. (Pinquart & Sorenson, 2000). d. Jaringan sosial
Berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000).
e. Religiusitas
Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000).
f. Kepribadian
Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stres (Santrock, 1999; Ryff, 1995).
C. ISTERI KARYAWAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Peran isteri sebagai tenaga kerja di sektor pertanian dalam arti luas memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Menurut Sayogyo (dalam Sudarta,
(46)
2001), peran wanita di bidang pertanian dimulai semenjak orang mengenal alam dan bercocok tanam. Semenjak itu pula mulai berkembang pembagian kerja yang nyata antara laki-laki dan wanita pada beragam pekerjaan baik di dalam rumah tangga maupun di dalam masyarakat luas (Wahyuni, 2005).
Dijelaskan juga oleh Hastuti (2005) bahwa banyak wanita yang bekerja pada pekerjaan-pekerjaan marginal sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan. Hal ini karena pengakuan kontribusi kerja konkret mereka tidak pernah ada, kerja mereka dipandang sekedar sampingan atau merupakan bagian dari tenaga kerja keluarga yang tidak pernah diupah, alias buruh tanpa upah. Pada umumnya misi/harapan yang ingin dicapai oleh rata-rata tenaga kerja perempuan di pedesaan adalah alasan ekonomi yaitu menambah pendapatan keluarga. Sedangkan Novari, dkk (1991) menyebutkan bahwa isteri yang bekerja tentu bukan semata-mata karena alasan faktor ekonomi keluarga yang sedemikian sulit, tetapi juga beberapa motivasi lain, seperti suami tidak bekerja atau pendapatan kurang, ingin mencari uang sendiri, mengisi waktu luang, mencari pengalaman, ingin berperan serta dalam ekonomi keluarga, dan adanya keinginan mengaktualisasikan diri.
Fenomena di lapangan menggambarkan para isteri karyawan yang membantu suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan yang sangat berat. Setiap hari mereka harus membantu suaminya mengangkat Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang beratnya bisa mencapai 30Kg bahkan lebih. Satu pohon kelapa sawit bisa menghasilkan 3 sampai dengan 4 buah
(47)
sawit yang berhasil di panen dan kemudian harus di pindahkan ke pinggir jalan dengan menggunakan alat pendorong yang beratnya mencapai 120Kg atau lebih. Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab munculnya stres (stressor). Kondisi dilapangan yang kurang mendukung keselamatan kerja seperti tidak menggunakan saraung tangan pada saat bekerja atau bahkan tidak menggunakan sepatu kerja yang layak, jika para pekerja tidak hati-hati maka hal ini dapat mencelakakan dirinya di lingkungan kerja. Belum lagi tuntutan dari perusahaan yang menekan pekerja agar mampu memenuhi target harian panen kelapa sawit. Hal ini dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga stressecara emosional, kognitif dan perilaku.
Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stres secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan mengakibatkan dampak stres terhadap fisik dan kesehatan. Sistem kekebalan tergangggu sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Akibat lain adalah meningkatnya ketegangan otot, kelelahan dan sakit kepala. Dapat terjadi penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler), asma dan bronkhitis (radang saluran napas). Stres juga berperan dalam menghambat pertumbuhan jaringan dan tulang yang akan menyebabkan dekalsifikasi (berkurangnya kalsium) dan osteoporosis (tulang keropos). Kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga
(48)
dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada dampak stresterhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai isteri maupun ibu rumah tangga.
Jadi dapat disimpulkan bahwa isteri karyawan perkebunan kelapa sawit adalah isteri yang suaminya bekerja sebagai karyawan di perkebunan kelapa sawit yang membantu suaminya bekerja di lapangan dengan tidak menerima upah.
E. HUBUNGAN ANTARA STRES DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ISTERI KARYAWAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Isteri yang bekerja memegang banyak peran dan berbagai tuntutan yang memungkinkan terjadinya tekanan dan ketegangan. Terkadang, tekanan yang dihadapi dapat menambah kegembiraan dan minat pada kehidupan, tetapi sering juga merupakan masalah. isteri selain bekerja juga memiliki peran sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus suami dan anak-anaknya. Stres yang dialami oleh wanita yang bekerja lebih besar dari pada yang dialami wanita yang tidak bekerja, sebab wanita yang bekerja memiliki stress yang khas seperti hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan, pekerjaan, isolasi sosial, diskriminasi serta adanya konflik peran ganda (Wolfman, 1989).
Fenomena di lapangan menggambarkan para isteri karyawan yang membantu suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan
(49)
yang sangat berat. Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab munculnya stres(stressor).
Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stress
secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan mengakibatkan dampak stres terhadap fisik dan kesehatan. Sistem kekebalan tergangggu sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada dampak stresterhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai isteri maupun ibu rumah tangga.
Witkil & Lanoil (1986), menyatakan bahwa wanita pekerja menderita stres yang lebih besar dibanding dengan pria pekerja atau pria dan wanita yang tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena kondisi fisiologis wanita itu sendiri serta adanya konflik peran, yakni sebagai wanita yang bekerja, sebagai isteri, sebagai ibu dan sebagai anggota suatu perkumpulan tertentu. Wanita pekerja mengalami stres yang lebih besar karena harus menjalankan tugas ditempat kerja dan dirumah. Akibatnya, wanita tersebut menderita gejala-gejala pusing, sakit punggung, radang usus besar dan ketegangan pada masa pra menstruasi.
(50)
Selanjutnya Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Warr, dikutip oleh Ryff, 1995).
Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB). Selanjutnya Ryff (dalam Keyes, 1995) sebagai penggagas teori Psychological Well-Being menyebutkan bahwa PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989) menyebutkan kebahagian (hapiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.
Isteri yang rela membantu suaminya berarti ia bisa menerima dirinya dan kondisi pekerjaan suaminya dari sekedar perasaan terpaksa ataupun tertekan dengan beban pekerjaan yang berat. Tidak hanya itu, jika isteri mampu menguasai lingkungan mereka mampu melihat peluang yang dapat dijadikan sebagai tambahan penghasilan seperti memelihara ternak ayam, kambing atau sapi dan mereka bisa lebih sejahtera secara ekonomi maupun psikologis.
Townsend et al (2000), menyatakan bahwa banyaknya peran yang dimiliki seorang wanita dihubungkan dengan semakin baiknya PWB wanita tersebut, namun disisi lain peran yang besar dapat menimbulkan efek-efek negatif yang
(51)
akan memicu stress seperti berkurangnya kepuasan hidup, stress di lingkungan kerja bahkan munculnya symptom-simptom depresif.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, terlihat adanya suatu benang merah antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.
F. HIPOTESIS PENELITIAN
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.
(52)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif korelasional. Tujuan metode penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauhmana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2002). Peneliti ingin mengetahui hubungan stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.
.
A. IDENTIFIKASI VERIABEL PENELITIAN
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel I : Stres
2. Variabel II : Psychological Well-Being
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL 1. Stres
Stres adalah keadaan yang disebabkan oleh adanya tuntutan internal maupun eksternal (stimulus) sehingga individu akan bereaksi baik secara fisiologis maupun secara psikologis (respon) dan melakukan usaha-usaha penyesuaian diri terhadap situasi tersebut yang diungkap dengan menggunakan skala stres yang disusun oleh peneliti berdasakan aspek-aspek psikologis dari
(53)
Stres yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) yaitu kognisi, emosi dan perilaku sosial.
1. Kognisi
Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif. Baum (dalam Sarafino, 2006) mengatakan bahwa individu yang terus menerus memiliki stressor dapat menimbulkan stres yang lebih parah terhadap stressor
seperti pemikiran irasional, lambat dalam mengambil keputusan, sulit berkonsentrasi, berpikir negatif dan menyalahkan diri sendiri.
2. Emosi
Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian kognitif dapat memengaruhi stres dan pengalaman emosional. Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih, dan rasa marah (Sarafino,2006).
3. Perilaku Sosial
Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain (Sarafino,2006). Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Donnerstein & Wilson dalam Sarafino,2006). Stres juga dapat mempengaruhi perilaku membantu pada individu (Cohen & Spacapan dalam Sarafino,2006).
Semakin tinggi total skor yang diperoleh subjek dalam skala stres maka akan semakin tinggi tingkat stressubjek dan sebaliknya semakin rendah total skor yang
(54)
diperoleh subjek dalam skala stres maka akan semakin rendah tingkat stres subjek.
2. Psychological Well-Being
Psychological Well-Being adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Psychological Well-Being ini diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan teori Psychological Well-Being oleh Carol D Ryff (dalam Keyes, 1995) yang akan mengukur dimensi- dimensi PWB yang terdiri dari dimensi penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), Otonomi (autonomy), Tujuan hidup (purpose in life), Perkembangan pribadi (personal growth), Pengusaan terhadap lingkungan (environmental mastery).
a. Penerimaan diri (self-acceptance)
Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya.
Nilai tinggi: memiliki sikap yang positif pada diri sendiri, menerima diri baik aspek yang positif maupun negatif, memandang positif masa lalu. Nilai rendah:
(55)
merasa tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa dengan masa lalu, ingin menjadi orang yang bebeda dari dirinya saat ini.
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep PWB. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain.
Nilai tinggi: hangat, merasa puas, percaya berhubungan dengan orang lain; memikirkan kesejahteraan orang lain; memiliki empati, affection dan intimacy; dalam suatu hubungan dapat saling mengerti, memberi, dan menerima. Nilai rendah: tidak nyaman dekat dengan orang lain, merasa terisolasi dan frustasi jika berhubungan dengan orang lain, tidak bisa terikat dengan orang lain.
c. Otonomi (autonomy)
Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku.
Nilai tinggi: mandiri, mampu mempertahankan diri dari pengaruh luar (tidak konformitas), mampu mengatur diri, mampu mengevaluasi diri. Nilai rendah: terlalu memperhatikan harapan dan evaluasi dari luar, tidak membuat keputusan sendiri (minta bantuan dari orang lain untuk mengambil keputusan penting), konformitas.
d. Tujuan hidup (purpose in life)
Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidup.
(56)
Nilai tinggi: memiliki tujuan hidup, merasakan masa kini dan masa lalu adalah berarti, memiliki keyakinan hidup. Nilai rendah: kurang memiliki keberartian hidup, sedikit memiliki tujuan hidup, tidak menganggap tujuan hidupnya di masa lalu, tidak memiliki keyakinan dalam hidup.
e. Perkembangan pribadi (personal growth)
Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia.
Nilai tinggi: selalu punya keinginan mengembangkan diri, terbuka dengan pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki, selalu memperbaiki diri dan tingkah laku. Nilai rendah: personal stagnation, tidak dapat meningkatkan dan mengembangkan diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru.
f. Penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery)
Individu dengan PWB yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya.
Nilai tinggi: mampu mengatur lingkungan, mampu mengatur aktivitas luar, mampu memnfaatkan kesempatan yang datang secara efektif, mampu memilih dan menciptakan konteks yang cocok dengan kebutuhan dan nilai personal. Nilai rendah: sulit mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau memperbaiki lingkungan, mengabaikan kesempatan yang hadir, tidak dapat mengontrol pengaruh dari luar.
(1)
Model B Std. Error Beta t Sig. (Constant
) 150.968 3.441 43.877 .000
aspek1 -.275 .271 -.125 -1.012 .316
aspek2 -1.068 .369 -.307 -2.893 .005
1
aspek3 -1.323 .368 -.493 -3.593 .001
(Constant
) 149.464 3.104 48.156 .000
aspek2 -1.128 .364 -.324 -3.098 .003
2
aspek3 -1.564 .281 -.583 -5.575 .000
a Dependent Variable: PWB
ANALISA REGRESI HUBUNGAN STRES DAN PWB BERDASARKAN
USIA, LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DAN LAMA KERJA
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 23.125 1 23.125 1.881 .264a
Residual 36.875 3 12.292
1
Total 60.000 4
a. Predictors: (Constant), Stresusia1 b. Dependent Variable: PWBusia1
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) 96.750 18.475 5.237 .014
1
Stresusia1 .625 .456 .621 1.372 .264
a. Dependent Variable: PWBusia1
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 499.879 1 499.879 4.532 .050a
Residual 1654.356 15 110.290
1
(2)
a. Predictors: (Constant), Stresusia2 b. Dependent Variable: PWBusia2
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) 136.153 11.870 11.470 .000
1
Stresusia2 -.512 .240 -.482 -2.129 .050
a. Dependent Variable: PWBusia2
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 2024.343 1 2024.343 75.983 .000a
Residual 772.625 29 26.642
1
Total 2796.968 30
a. Predictors: (Constant), Stresusia3 b. Dependent Variable: PWBusia3
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) 149.058 4.355 34.228 .000
1
Stresusia3 -.761 .087 -.851 -8.717 .000
a. Dependent Variable: PWBusia3
(3)
Regression 2024.343 1 2024.343 75.983 .000a
Residual 772.625 29 26.642
1
Total 2796.968 30
a. Predictors: (Constant), Stresusia3
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 147.211 1 147.211 12.643 .016a
Residual 58.217 5 11.643
1
Total 205.429 6
a. Predictors: (Constant), Stresusia4 b. Dependent Variable: PWBusia4
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) 165.832 14.154 11.716 .000
1
Stresusia4 -1.100 .309 -.847 -3.556 .016
a. Dependent Variable: PWBusia4
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 3478.315 1 3478.315 118.517 .000a
Residual 1261.996 43 29.349
1
Total 4740.311 44
a. Predictors: (Constant), StresSD b. Dependent Variable: PWBSD
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(4)
StresSD -.875 .080 -.857 -10.887 .000 a. Dependent Variable: PWBSD
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 342.078 1 342.078 22.234 .001a
Residual 138.468 9 15.385
1
Total 480.545 10
a. Predictors: (Constant), StresSMP b. Dependent Variable: PWBSMP
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) 142.939 5.495 26.013 .000
1
StresSMP -.567 .120 -.844 -4.715 .001
a. Dependent Variable: PWBSMP
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 121.500 1 121.500 2.008 .391a
Residual 60.500 1 60.500
1
Total 182.000 2
a. Predictors: (Constant), StresSMA b. Dependent Variable: PWBSMA
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients
Standardized
(5)
Regression 2024.343 1 2024.343 75.983 .000a
Residual 772.625 29 26.642
1
Total 2796.968 30
a. Predictors: (Constant), Stresusia3
B Std. Error Beta
(Constant) 148.618 24.144 6.156 .103
1
StresSMA -.794 .560 -.817 -1.417 .391
a. Dependent Variable: PWBSMA
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 1894.229 1 1894.229 48.950 .000a
Residual 812.640 21 38.697
1
Total 2706.870 22
a. Predictors: (Constant), Streslaker1 b. Dependent Variable: PWBlaker1
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) 157.138 6.538 24.035 .000
1
Streslaker1 -.909 .130 -.837 -6.996 .000
a. Dependent Variable: PWBlaker1
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 1914.182 1 1914.182 69.911 .000a
Residual 739.266 27 27.380
1
Total 2653.448 28
a. Predictors: (Constant), Streslaker2 b. Dependent Variable: PWBlaker2
(6)
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) 149.750 4.517 33.149 .000
1
Streslaker2 -.785 .094 -.849 -8.361 .000
a. Dependent Variable: PWBlaker2
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 248.176 1 248.176 36.033 .001a
Residual 41.324 6 6.887
1
Total 289.500 7
a. Predictors: (Constant), Sttreslaker3 b. Dependent Variable: PWBlaker3
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) 148.914 5.520 26.977 .000
1
Sttreslaker3 -.740 .123 -.926 -6.003 .001