1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Glibenklamid merupakan sulfonilurea generasi kedua yang digunakan untuk pengobatan diabetes tipe II. Glibenklamid termasuk golongan BCS kelas II,
yang memiliki permeabilitas tinggi dan kelarutan rendah. Sifat kelarutan glibenklamid yang rendah menyebabkan rendahnya absorbsi dan bioavailibilitas
glibenklamid Nawale dan Mehta, 2013. Kelarutan glibenklamid yang rendah juga dapat mengakibatkan variasi bioavailibilitas dan menyebabkan timbulnya efek
samping seperti variasi hasil pengobatan hipoglikemi atau hiperglikemi Guan et al., 2013. Glibenklamid praktis tidak larut dalam air sehingga bioavailibilitas
oralnya rendah 45 dan kecepatan disolusi menjadi faktor pembatas dalam absorbsinya dalam tubuh. Oleh karena itu peningkatan kelarutan dan kecepatan
disolusi glibenklamid dapat menigkatkan bioavailibilitasnya Guan et al., 2013. Banyak percobaan telah dilakukan untuk meningkatkan kelarutan
glibenklamid seperti menggunakan teknik kompleksasi dengan β-siklodekstrin, dispersi padat, miselisasi surfaktan, mikronisasi, dan teknik lainnya Maiti,
Mukherjee dan Datta, 2014. Teknik likuisolid merupakan salah satu teknik yang dikembangkan untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi obat. Teknik ini
meningkatkan pelepasan obat dengan meningkatkan luas permukaan obat, meningkatkan kelarutan obat dan atau meningkatkan kemampuan keterbasahan
partikel obat Vranikova dan Gajdziok, 2013. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Teknik likuisolid memiliki beberapa keuntungan diantaranya, dapat diterapkan pada banyak obat BCS kelas II, dapat meningkatkan bioavailibilitas
secara oral dari obat yang susah larut air, meningkatkan kemampuan terbasahi dari obat, biaya produksi lebih murah dari bentuk sediaan kapsul lunak, meningkatkan
luas permukaan, dapat digunakan untuk mempercepat pelepasan obat ataupun memberikan efek sustained release Burra, Yamsani dan Vobalaboina, 2011.
Teknik likuisolid dilakukan dengan melarutkan zat aktif ke dalam pelarut non-volatil dan kemudian ditransformasikan menjadi serbuk yang free flow dan siap
dikempa. Dalam teknik likuisolid tidak terdapat patokan pelarut yang digunakan untuk suatu obat tertentu. Dalam penelitian ini digunakan pelarut propilen glikol.
Propilen glikol bersifat biodegradable dan memiliki toksisitas yang rendah. Propilen glikol biasa digunakan sebagai pelarut baik untuk sediaan oral, injeksi
maupun topikal. Propilen glikol telah berhasil diaplikasikan sebagai pelarut dalam teknik likuisolid seperti pada bromheksin hidroklorida, famotidin, prednisolon
Baby, Saroj, Sabitha, 2012. Diketahui glyburide yang diformulasikan dengan teknik likuisolid menggunakan pelarut propilen glikol memiliki disolusi yang lebih
baik dibandingkan dengan tablet konvensional Mohiuddin, Puligilla, Chukka, Davadasu dan Penta, 2014.
Setiap carrier material memiliki sifat yang unik tetapi diketahui luas permukaan spesifik atau SSA Specific Surface Area carrier merupakan faktor
penting dalam formulasi sediaan likuisolid. Dalam penelitian ini digunakan Amprotab
®
sebagai carrier material. Amprotab
®
merupakan salah satu produk amilum manihot atau pati singkong. Amilum memiliki SSA sebesar 0,6 m
2
g PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Vranikova et al., 2013. Amilum diketahui telah berhasil digunakan untuk formulasi likuisolid dan memperbaiki profil disolusi pada beberapa obat seperti
irbesartan Saraswathi dan Rajendar, 2014, glyburide Mohiuddin et al., 2014, carbamazepine Vranikova et al., 2013.
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna mengenai sediaan tablet glibenklamid yang diformulasikan dengan metode
likuisolid.
B. Rumusan Masalah