Distribusi dan Frekuensi Balita Gizi Kurang a

20 jika di telusuri adalah akibat langsung maupun tidak langsung dari kekurangan asupan gizi Supariasa, 2002.

2.8. Epidemiologi Gizi Kurang

Epidemiologi gizi merupakan penerapan teknik epidemiologi dalam upaya memahami penyebab kausa dalam populasi yang terpajan dengan satu atau lebih faktor gizi yang diyakini sangat penting, dan juga untuk dapat menggambarkan distribusi serta frekuensi dari permasalahan gizi.

2.8.1. Distribusi dan Frekuensi Balita Gizi Kurang a

Orang Bagi bayi non BBLR, pada umunya mereka mempunyai status gizi saat lahir yang kurang lebih sama dengan status gizi bayi yang lahir di Amerika. Akan tetapi seiring bertambnahnya umur, disertai dengan adanya asupan zat gizi yang lebihrendah dibandingkan kebutuhan serta tingginya beban penyakit infeksi pada awal-awal kehidupan maka sebagian besar bayi Indonesia terus mengalami penurunan statu gizi, puncaknya pada umur kurang lebih 18-24 bulan. Pada kelompok ini balita kurus wasting dan balita pendek stunting mencapai tertinggi. Melewati umur 24 bulan, status gizi balita umumnya mengalami perbaikan meskipun tidak sempurna Hadi, 2005. Di Indonesia ditribusi balita gizi kurang menurut jenis kelamin, prevalensi gizi kurang pada balita laki-laki lebih tinggi dibangingkan balita perempuan yaitu secara berturut-turut 13,9 dan 12,1. Sedangkan menurut kelompok umur 24-35 bulan yakni sebesar 15,4 Riskesdas, 2010. Universitas Sumatera Utara 21 b Tempat dan Waktu Pada periode tahun 1996-2005 Indonesia menduduki posisi ke-4 tertinggi angka kekurangan gizi pada balita yaitu sebesar 28 setelah Timor Leste 46, Kamboja 45, dan Myanmar 32. Dibandingkan dengan negara yang rendah persentasinya yaitu Malaysia 11 dan Thailand 18, Indonesia masih jauh tinggi. Pada tahun 2007 prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang dan pendek masing-masing 18,4 dan 36,8 sehingga Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90 kontribusi masalah gizi dunia. Pada tahun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek secara nasional menurun menjadi masing-masing 17,9 dan 35,6, tetapi masih terjadi disparitas antar provinsi yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan Direk Gizi RI, 2004. provinsi yang masing berada diatas prevalensi nasional adalah 1. Nusa Tenggara Barat 30,5, 2. Nusa Tenggara Timur 29,4, 3. Kalimantan Barat 29,2, 4. Kalimantan Tengah 27,6, 5. Sulawesi Tengah 26,5, 6. Papua Barat 26,5, 7. Gorontalo 26,5, 8. Maluku 26,2, 9. Sulawesi Tengah 25, 10. Aceh 23, 11. Maluku Utara 23,6, 12. Kalimantan Selatan 22,8, 13. Sulawesi Tenggara 22,8, 14. Sumatera Utara 21,3, 15. Sulawesi Barat 20,5, 16. Sumatera Selatan 19,9, 17. Jambi 19,7 dan 18. Banten 18,5. Riskesdas, 2010.

2.8.2. Faktor Determinan Balita Gizi Kurang