Gerakan Bawah Tanah Al-Ikhwan Al-Muslimun

Ikhwan Al-Muslimun sebagai faktor ancaman yang berpeluang menjadi oposisi politik. Pada titik inilah hubungan Ikhwan dengan militer akhirnya memburuk. Apa yang terjadi selanjutnya adalah tekanan dari pihak militer kepada organisasi Ikhwan dan berujung kepada pemberangusan gerakan Ikhwan oleh rezim militer. Dewan Revolusi yang saat itu dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser menghancurkan Al-Ikhwanul Al-Muslimun sampai tingkat yang tidak terbayangkan. Gamal Abdul Nasser memenjarakan Mursyid ‘Am Ikhwan, Ustadz Hasan Al Hudhaibi, memerintahkan pengrusakan dan pembakaran kantor pusat Al-Ikhwan Al- Muslimun, menangkapi dan menyiksa para aktivis Ikhwan, menyatakan Al-Ikhwan Al-Muslimun sebagi organisasi terlarang, menyita aset-aset strategis organisasi, menghukum mati tokoh-tokoh Ikhwan diantaranya adalah Syaikh Sayyid Quthb, dan menjadikan Al-Ikhwan Al-Muslimun sebagai gerakan kontra revolusioner yang menjadi lawan politik yang harus dimusnahkan dalam pemerintahan baru.

5.2. Gerakan Bawah Tanah Al-Ikhwan Al-Muslimun

Kondisi pasca pelarangan organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun pada tahun 1954 memberikan tekanan yang besar pada seluruh anggota Al-Ikhwan Al-Muslimun. Mereka yang dapat melarikan diri, hidup dalam tekanan akan risiko penangkapan atau dimatai-matai. Hasan Al-Ashmawi, salah seorang anggota Majelis Syura Ikhwan, adalah salah seorang anggota Ikhwan yang dapat melarikan diri dan beraktivitas secara bawah tanah. Ashmawi menggambarkan bagaimana dia selalu diikuti oleh dinas rahasia Mesir dan bagaimana para anggota Ikhwan lainnya ditangkap satu demi satu. Zaynab Al-Ghazali juga menggambarkan bagaimana anggota Ikhwan di luar penjara melakukan kontak dengan sangat terbatas sekali.Dengan tertutupnya kemungkinan untuk bertemu dalam ruang-ruang publik, hubungan personal menjadi satu-satunya ikatan yang tersisa.Selain itu ibadah shalat Jum’at juga digunakan sebagai kesempatan untuk bertukar informasi diantara anggota Universitas Sumatera Utara Ikhwan.Dengan menggunakan beberapa masjid para anggota Ikhwan mencoba kembali untuk membangun jejaring komunikasi. 58 Penangkapan dan intimidasi terhadap Ikhwan berlangsung hingga tahun 1957.Tidak terdapatnya tanda-tanda dari keberadaan organisasi ataupun aktivitas sekecil apapun. Kondisi saat itu dipenuhi dengan kekhawatiran akan ketidakadilan rezim Nasser terhadap Ikhwan dan kekerasan dari penangkapan paksa dan penyiksaaan terhadap Ikhwan. Pola komunikasi antara anggota Ikhwan di seluruh Mesir terputus akibatnya hilangnya sentral kepemimpinan organisasi. Hal ini diperburuk dengan adanya penyiksaan dan pembunuhan terhadap sejumlah anggota Ikhwan, mengingat sejumlah 29 orang anggota Ikhwan dibunuh dalam rentang Oktober 1954 sampai dengan April 1955. Reaksi perlawanan mulai bangkit di antara anggota Ikhwan pada tahun 1957 tetapi mencapai momentumnya pada tahun 1958. Ahmad Abdul Majid, salah seorang pimpinan kelompok ini yang kemudian menamakan jejaringnya sebagai ‘Organisasi 1965 memberikan penggambaran yang lebih detail. Majid menceritakan sekitar tahun 1957-58, dua unit kelompok Ikhwan bergabung yang satu dipimpin oleh Abdul Fattah Ismail dan satunya lagi oleh Ali Ashmawi dan Ahmad Abdul Majid.Para pimpinan unit ini bertemu dan memutuskan untuk melakukan reorganisasi gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun.Kemudian mereka mengadakan kontak dengan Mursyid ‘Am Ikhwan, Hasan Al-Hudhaibi. 59 Menurut Zaynab Ghazali, Abdul Fattah mengadakan kontak dengan Hasan Hudhaibi untuk meminta izinnya untuk melakukan reorganisasi terhadap pecahan- pecahan kelompok Ikhwan di luar penjara. Ghazali menilai bahwa Hudhaibi tidak memberikan tanggapan apapun terhadap rencana itu.Abdul Majid berpendapat 58 Barbara He Zollner, The Muslim Brotherhood : Hasan Al Hudaybi And Ideology, Routledge Studies In Political Islam, London, 2009, Hal 38 59 Ibid, hal. 38 Universitas Sumatera Utara menjawab pernyataan Ghazali, menyatakan bahwa Hudhaibi memberikan perhatian penuh terhadap rencana itu. Pendapat lain diberikan Raif yang mengatakan Abdul Fattah membutuhkan dukungan dari Mursyid Am untuk melancarkan rencana reorganisasinya. Ditambah lagi kita harus melihat posisi Hudhaibi yang berada dalam pengawasan ketat aparat rezim militer sehingga dia tidak bisa memberikan dukungannya secara terbuka. Menurut Abdul Majid, sebuah komite yang terdiri dari empat orang kemudian dibentuk untuk melaksanakan rencana tersebut. Anggota dari komite tersebut adalah : 1. Abdul Fattah Ismail, 2. Syaikh Muhammad Fathi Rifai, 3. Ali Ashmawi, dan 4. Ahmad Abdul Majid. Kemudian Abdul Majid memberikan penjelasan lebih rinci mengenai pembagian kerja diantara keempat orang tersebut : 1. Abdul Fattah Ismail Pedagang : bertanggung-jawab terhadap wilayah Damietta, Kufr Al-Shaykh dan wilayah Delta Timur. Melakukan kontak dengan Hasan Al-Hudhaibi, Sayyid Qutb, Staikh Muhammad Fathi Rifai, berkomunikasi dengan anggota Ikhwan di Alexandria dan Bahriyya kemudian juga melakukan tugas pencarian dana. 2. Syaikh Muhammad Fathi Rifai Dosen Universitas Al-Azhar : bertanggung-jawab terhadap wilayah Delta Tengah termasuk Al-Daqhaliyya, Al-Gharbiyya, Al-Manufiyya, kemudian menyusun program pendidikan untuk anggota Ikhwan. 3. Ahmad Abdul Majid Pegawai Dinas Rahasia Militer : bertanggung-jawab terhadap wilayah Mesir Atas As Said, bertanggung jawab juga dalam propaganda. Universitas Sumatera Utara 4. Ali Ashmawi Manajer Perusahaan Konstruksi Sambulkis : bertanggung- jawab untuk wilayah Kairo dan Giza, kemudian juga bertanggung-jawab dalam pendidikan olahraga dan jasmani bagi anggota Ikhwan. 60 Daftar nama ini menarik untuk diperhatikan, daftar ini menjelaskan bahwa jejaring organisasi telah mapan dibangun untuk kepemimpinan Ikhwan di bawah Mursyid Am, Hasan Al-Hudhaibi dan Sayyid Qutb. Di tengah aktivitas bawah tanahnya mereka juga membangun komunikasi dengan anggota Ikhwan di pengasingan. Para aktivis Ikhwan di luar negeri, terutama mereka yang berada di Saudi Arabia, menjadi penggalan dana bagi aktivitas bawah tanah Ikhwan di Mesir. Daftar ini juga menjelaskan bahwa kebangkitan organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun tidak hanya melibatkan kelompok-kelompk kecil di wilayah Kairo dan Alexandria, tetapi jejaringnya juga tersebar di seluruh Mesir dan kemudian bersatu di bawah jejaring Organisasi 1965. Komunikasi diantara anggota Ikhwan yang berada di dalam dan luar penjara menjadi sangat penting untuk rencana ini. Sejumlah sumber menyatakan bagaimana proses pertukaran informasi itu terjadi. Beberapa sumber diantaranya didapat dari Zaynab Al-Ghazali, Abdul Majid dan Raif, dan Fu’ad Alam.Seluruh sumber itu bersepakat bahwa para istri dan saudari dari para anggota Ikhwan memainkan peranan penting dalam menjaga jalur komunikasi.Mereka adalah tulang punggung bagi dari jejaring komunikasi yang dibangun melalui hubungan personal. Banyak dari para wanita ini saling mengenal satu dengan lainnya dimana mereka menjadi anggota dari Al-Akhwat Al-Muslimat, sayap kewanitaan dari organisasi Al-Ikhwan Al- Muslimun yang dipimpin oleh Zaynab Al-Ghazali. 60 Ibid, hal. 41 Universitas Sumatera Utara Struktur organisasi dari Al-Akhwat Al-Muslimat telah dipertahankan setelah peristiwa Oktober 1954.Al-Akhwat Al-Muslimat tidak dilihat sebagai ancaman berarti terhadap sistem politik sehingga memungkinkan mereka untuk dapat melanjutkan aktivitasnya. Zaynab Al-Ghazali kemudian melakukan kontak dengan saudari-saudari Sayyid Qutb, Amina dan Hamida Qutb, dengan istri dan puteri Al- Hudhaibi, Khalidah dan Aliyyah dan Tahiyyah Sulayman, kemudian istri dari Munir Al-Dilla yaitu Amal Ashmawi. Para akhwat ini dapat disebut sebagai unit pendukung bagi para anggota Ikhwan yang ditawan. Para akhwat ini tidak hanya memainkan peran pasif sebagai mediator antara para tahanan dengan anggota Ikhwan yang di luar penjara, melampaui itu mereka juga terlibat aktif dalam pencarian dana dan pendistribusian dana bagi keluarga dan saudara anggota Ikhwan yang dipenjara. Dengan jejaring komunikasi yang telah terbangun, akhirnya komite Organisasi 1965 dapat melakukan kontak dengan Sayyid Qutb dan menanyakan padanya untuk melakukan reformasi pada gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun dengan menyusun sebuah program pendidikan untuk anggota Ikhwan. Pengalaman Qutb selama dipenjara dan semakin menguatnya radikalisasi dalam ide-idenya menjadikan gagasan yang dilontarkannya menjadi latar belakang ideologi yang menggerakkan Organisasi 1965.Melihat hal ini bisa jadi karya besar yang ditulis oleh Sayyid Qutb yaitu Ma’alim Fi Thariq ditulis dalam rangka memenuhi bimbingan ideologis dan spiritual bagi anggota dari Organisasi 1965. 61 Rancangan naskah dari Ma’alim Fi Thariq diselundupkan keluar melalui rumah sakit penjara berkat peran dari Amina dan Hamida Qutb. Menurut Al-Ghazali dan Abdul Majid, Hasan Al-Hudhaibi telah akrab dengan ide dan gagasan yang ditulis oleh Sayyid Qutb, kemudian diapun sepakat dengan garis besar pemikiran Qutb walaupun ada beberapa aspek yang tidak disepakatinya. Kemudian Sayyid Qutb 61 Ibid, 43 Universitas Sumatera Utara menjadi pemimpin spiritual bagi Organisasi 1965, walaupun Qutb hanya bersedia mengambil peran itu ketika dia telah dilepaskan dari penjara pada tahun 1964.Qutb juga bersedia mengambil peran itu apabila Hasan Al-Hudhaibi telah dimintakan pendapatnya mengenai rencana tersebut, Hudhaibi pun memberikan persetujuannya atas rencana tersebut. Pertemuan-pertemuan Organisasi 1965 tidak hanya ditujukan sebagai kelompok diskusi saja. Khususnya kondisi dari organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun menjadi subjek kajian penting dari pertemuan tersebut. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, pertanyaan tentang bagaimana membawa Al-Ikhwan Al-Muslimun kembali kepada kejayaannya menjadi titik utama dari pembicaraan. Tidak ada keraguan di sana ketika melihat Gamal Abdul Nasser sebagai penyebab utama dari kehancuran organisasi Ikhwan. Insiden yang ada seperti pembunuhan terhadap dua puluh dua orang anggota Ikhwan pada Juni 1957, meninggalkan kesan yang mendalam, baik bagi Sayyid Qutb dan anggota Ikhwan lainnya bahwa Gamal Abdul Nasser adalah seorang penguasa tiran dan anti-Islam. Ra’if menyatakan bahwa rencana untuk melakukan pembunuhan Presiden Nasser telah dibicarakan, tetapi dia menyatakan bahwa rencana ini bersifat spekulatif.Anggota dari Organisasi 1965 tidak cukup terlatih ataupun memiliki kekuatan persenjataan yang cukup untuk merencanakan realisasi rencana tersebut. Ramadhan berpendapat bahwa Abdul Majid dan Sayyid Qutb telah merencanakan ini secara serius yang akan dijalankan oleh pengikut lingkar dalam mereka yang berjumlah sekitar tujuh puluh orang. Kemudian Sayyid Qutb dilepaskan dari penjara pada tahun 1964, fenomena akan kekecewaan dan kesedihan mengenai kondisi organisasi kemudian digantikan oleh semangat baru aktivisme Al-Ikhwan Al-Muslimun. Faksi baru yang berkembang di dalam Ikhwan mengarahkan perlawanan yang lebih massif kepada Gamal Abdul Nasser, dimana perlawanan ini diperkuat dengan intrepretasi radikal yang dikembangkan oleh Sayyid Qutb mengenai tatanan Islam. Kebangkitan dari Universitas Sumatera Utara organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun kemudian tidak dapat dihentikan dengan adanya gelombang penangkapan oleh rezim Nasser yang tidak hanya menimpa Organisasi 1965 tetapi juga lingkar yang lebih luas dari organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun.

5.3. Ideologisasi Masjid sebagai Sarana Rekrutmen Masyarakat Umum