Pekerja Seks Perempuan KAJIAN PUSTAKA

20 Cara penularan lewat jarum suntik juga menurun secara global. Proporsi kasus infeksi HIV pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 di China mengalami penurunan cara penularan lewat jarum suntik pemakai narkoba dari 44,3 menjadi 29,4 sedangkan penularan melalui jalur seksual meningkat dari 10,7 menjadi 37,9. Kenaikan infeksi HIV terjadi secara bermakna, khususnya pada pekerja seks dan pelanggannya Xia dkk., 2010. Di Indonesia penularan infeksi HIV juga mengalami perubahan yang sama. Kasus infeksi HIV yang dilaporkan oleh Ditjen PP PL Kemenkes RI 2013, menunjukkan bahwa penularan seksual 60 lebih tinggi dibanding penularan lewat penasun 18. Data yang ditunjukkan oleh Provinsi Bali perbedaan kedua cara penularan tersebut lebih besar lagi yaitu penasun dan transmisi seksual dengan perbandingan 10,34:77,37 Dinkes Prov. Bali, 2013. Bahkan cara penularan melalui hubungan seksual ditemukan juga pada para remaja Bali seperti dilaporkan bahwa sebagian besar dari 95 orang remaja di Bali yang terinfeksi HIV terjadi akibat hubungan seks KPAD Prov. Bali, 2011.

2.3 Pekerja Seks Perempuan

Pelacuran atau prostitusi adalah suatu bentuk perilaku hubungan kelamin di luar pernikahan dalam mencari kepuasan dengan memakai bayaran. Disini terdapat dua pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual jasa yang menerima pembayaran untuk memberikan kepuasan dalam bentuk jasa seks dan pembeli seks yang menikmati kepuasannya Eka, 2010; Wedderburn dkk., 2011; Sihombing dan Hutagalung, 2013 . Penjual jasa seks ini dikenal sebagai pekerja seks PS. 21 Tidak semua transaksi seks oleh pekerja seks dilakukan secara legal, seperti di Jamaika, keberadaan pekerja seks belum atau tidak diakui dan mengalami stigma dari masyarakat. Oleh karena itu maka pekerja seks melakukan transaksi secara terselubung sebagai penari eksotik, karyawati panti pijat, mejeng atau menawarkan jasanya di jalanan dan tempat-tempat lainnya Wedderburn dkk., 2011. Sesuai dengan definisi bekerja menurut Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka yang dimaksud sebagai p ekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain Adiputra, 2010. Definisi pekerja menurut undang-undang ini membuat kerancuan, karena s ampai saat ini pelacuran di Indonesia juga tidak diakui keberadaannya, dihujat oleh masyarakat karena mengganggu ketertiban umum sehinggan transaksi seks dilakukan secara ilegal dan dilakukan secara sembunyi- sembunyi Bawole, 2013; Christie dan Poerwandari, 2013; Sihombing dan Hutagalung, 2013 . Namun di lain pihak, banyak juga yang memerlukannya sebagai pemenuhan kebutuhan pemuasan para pelanggan Eka, 2010. Banyak faktor yang mempengaruhi masyarakat terjerumus menjadi pekerja seks, seperti faktor ekonomi, sosial, budaya dan p endidikan. P ara wanita menjadi pekerja seks karena faktor kemiskinan dan diceraikan oleh suaminya tetapi mereka mesti menanggung biaya hidup dan sekolah anak-anaknya Setiawan, 2007; Eka, 2010; Asutrisna, 2011; Wedderburn dkk., 2011; Bawole, 2013; Christie dan Poerwandari, 2013. Faktor kemiskinan akibat ekonomi yang tidak memadai serta tidak adanya keterampilan khusus menyebabkan perempuan memilih jalan pintas guna memperoleh materi dengan cepat dan mudah melalui penjualan jasa seks. 22 Faktor sosial, seperti keretakan dalam rumah tangga yang dapat menimbulkan kekurangan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya dan didukung oleh lingkungan masyarakat menyebabkan seorang anak gadis akan terjerumus ke dalam pergaulan bebas dengan kehidupan yang penuh kemewahan. Pemenuhan kebutuhan kehidupan ini akhirnya menjerumuskannya ke dalam kehidupan sebagai pekerja seks. Faktor pendidikan yang rendah baik secara formal maupun informal menyebabkan lemahnya kemampuan nalar dalam etika dan moral sehingga dengan mudah memilih pekerjaan sebagai pekerja seks perempuan Setiawan, 2007; Eka, 2010; Asutrisna, 2011; Bawole, 2013; Christie dan Poerwandari, 2013. Berdasarkan cara menawarkan jasa maka pekerja seks dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pekerja seks secara langsung dan tidak langsung. Pekerja seks yang bekerja langsung adalah mereka yang melakukan bentuk-bentuk kegiatan seks secara terbuka, berada di rumah bordil dan di jalanan yang langsung menawarkan dan menjual jasa seks kepada pelanggan. Sedangkan pekerja seks tidak langsung mempunyai pekerjaan utama, seperti karyawati panti pijat, karaoke dan cafe, namun karena kebutuhan ekonomi mereka juga menyediakan jasa seks . Penelitian di Vancouver tahun 2010-2011 melaporkan bahwa sebagian besar 71 pekerja seks menjajakan diri di jalan, disusul dengan media iklan online atau media sosial 54 dan dalam gedung tertutup 26, seperti kompleks atau panti pijat Carter, 2013. 23 Pekerja seks perempuan di India yang mempergunakan telepon seluler sebagai media dalam melakukan transaksi jasa seks, dilaporkan hanya seperempat yang memakai kondom secara tidak konsisten, lebih susah melakukan negosiasi pemakaian kondom, minum alkohol dan lebih banyak mengalami infeksi menular seksual Mahapatra dkk., 2012. Pekerja seks mempunyai berbagai macam pelanggan akan terpapar dengan risiko sebagai akibat perilaku pelanggannya. Risiko pekerja seks perempuan mulai dari tidak memperoleh bayaran atau ditipu, kekerasan, kehamilan yang tidak dikehendaki serta tertular IMS dan HIV. Risiko tertular ini sebagai akibat ketidakmampuan pekerja seks menawarkan kondom Setiawan, 2007; Eka, 2010. Selain pekerja seks tertular penyakit maka sebaliknya pelanggan juga akan tertular penyakit tersebut. Studi di India menunjukkan secara bermakna bahwa pekerja seks perempuan merupakan sumber penularan IMS dan HIV Shaw dkk., 2011. Konsumsi alkohol, pemakaian obat-obatan terlarang dan kekerasan yang mungkin dialami oleh para pekerja seks perempuan akan menjadi faktor risiko penting dan mempunyai dampak buruk terhadap perilaku seks yang aman. Demikian pula ketidakseimbangan kultur dan gender disertai mobilitas pekerja seks perempuan menyebabkan keterbatasan untuk melakukan negosiasi seks yang aman atau melindungi diri dari kekerasan Wedderburn dkk., 2011. Walaupun pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak mengakui pekerja seks perempuan, namun secara faktual pelayanan jasa seks ditemukan di semua wilayah Indonesia, termasuk Kota Denpasar Ministry of Health Indonesia, 2013. 24 Berdasarkan estimasi oleh Kementerian Kesehatan tahun 2009, jumlah pekerja seks perempuan di Indonesia ada sebanyak 214.054 orang, terdiri dari pekerja seks perempuan langsung 106.011 orang dan tidak langsung 108.043 orang. Sedangkan di Provinsi Bali estimasi pekerja seks perempuan langsung berjumlah 3.945 orang dan pekerja seks perempuan tidak langsung 6.738 orang Tabel 2.1 KemenKes RI, 2009. Pekerja seks perempuan di Indonesia rata-rata berusia 27,9 tahun dengan rata-rata lama bekerja sebagai pekerja seks selama 1,7 tahun median 12 bulan, dan kurang dari separuhnya 44 bekerja dalam kurun waktu di bawah setahun. Kebanyakan pekerja seks perempuan telah menikah tetapi hanya 8 yang masih berstatus menikah. Rata-rata pelanggan dalam seminggu terakhir sebanyak 8,1 orang, tingkat pemakaian kondom yang konsisten dalam seminggu terakhir dengan pelanggannya sebesar 30. Empat puluh enam persen pekerja seks perempuan pernah mengalami gejala infeksi menular seksual dan melakukan pengobatan profesional pada tenaga medis. Dibandingkan dengan pekerja seks perempuan tidak langsung, maka kebanyakan pekerja seks perempuan langsung berusia lebih muda, lebih banyak melayani pelanggan dalam seminggu terakhir rata-rata 4,3:10,9, dan lebih cenderung tertular infeksi menular seksual. Pekerja seks perempuan tidak langsung melaporkan pemakaian kondomnya dengan pelanggan seminggu terakhir lebih konsisten dibandingkan pekerja seks perempuan langsung p0.001. Secara keseluruhan prevalensi dan insiden HIV+ pada pekerja seks perempuan langsung lebih tinggi dibanding pekerja seks tidak langsung. Prevalensi HIV+ sebesar 8,2, pada pekerja seks perempuan langsung dua kali lebih tinggi dari pada pekerja seks perempuan tidak langsung Morineau, dkk., 2011. 25 Tabel 2.1: Perkiraan Jumlah Pekerja Seks Perempuan dan Pelanggannya di Bali tahun 2009