Determinan Perilaku Seks Pasangan Konkuren dari Pelanggan Pekerja Seks Perempuan, Denpasar, Bali, 2014.

(1)

DISERTASI

DETERMINAN

PERILAKU SEKS PASANGAN KONKUREN DARI

PELANGGAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN,

DENPASAR, BALI, 2014

PARTHA MULIAWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

UNTUK UJIAN TERTUTUP


(2)

i

DISERTASI

DETERMINAN

PERILAKU SEKS PASANGAN KONKUREN DARI

PELANGGAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN,

DENPASAR, BALI, 2014

PARTHA MULIAWAN NIM: 1090271028

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

DIAJUKAN UNTUK UJIAN


(3)

ii

PERILAKU SEKS PASANGAN KONKUREN DARI

PELANGGAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN,

DENPASAR, BALI, 2014

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Kedokteran,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

PARTHA MULIAWAN NIM: 1090271028

PROGRAM DOKTOR (S3)

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iii

Lembar Pengesahan

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL: DESEMBER 2015

Promotor

Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D. NIP. 194302151969021001

Kopromotor I, Kopromotor II,

Prof. dr. D. N. Wirawan, MPH. Prof.Dr.dr.K.T. Parwati Merati, Sp.PD-KPTI NIP. 194810101977021001 NIP. 194812281979032001

Mengetahui

Ketua Program Doktor Direktur Program Studi Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universtas Udayana,

Dr.dr.Bagus Komang Satriyasa,M.Repro. Prof.Dr.dr.AA.Raka Sudewi,Sp.S(K) NIP. 196404171996011001 NIP. 195902151985102001


(5)

iv

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena telah memberi rahmat berupa kesehatan dan semangat untuk penulisan hasil penelitian dalam rangka pembuatan disertasi penddikan S3 pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Penelitian ini berlatar belakang bahwa kejadian HIV/AIDS telah mendunia serta menunjukkan perubahan cara penularan dari jalur pemakai narkoba suntik ke jalur seksual. Selain itu arah epidemi telah menuju kepada generalized HIV epidemic, dengan prevalensi pada beberapa hasil survei di masyarakat umum mendekati angka 1% disertai dengan adanya perilaku seks pasangan konkuren. Di Bali prevalensi HIV pada pekerja seks perempuan di atas 20%, ibu hamil 1%, sehingga timbul pertanyaan: apakah ada perilaku seks pasangan konkuren pada masyarakat di Bali yang akan mendukung terjadinya generalized HIV epidemic? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian berjudul: Determinan Perilaku seks pasangan konkuren dari Pelanggan Pekerja Seks Perempuan, Denpasar, Bali, 2014.

Dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi ini penulis banyak memperoleh dukungan dari berbagai pihak sejak dari penyusunan proposal. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian proposal ini, yaitu:

 Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD. yang telah memberikan ijin, memberikan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Juga telah memberikan masukan penyempurnaan proposal dalam ujian proposal.

 Direktur Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K), yang telah memberikan ijin dan dorongan dalam melakukan penelitian guna mendukung penyelesaian pendidikan.


(6)

v

 Ketua Program Doktor (S3) PS Kedokteran, Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro. yang telah memberikan motivasi dan semangat untuk melaksanakan penelitian ini. Juga kepada ketua sebelumnya Dr. dr. I W. P. Sutirtayasa, M.Si. yang telah memberi semangat selama mengikuti pendidikan dan juga memberi masukan terhadap proposal yang dikembangkan.

 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, SpBOrtho(K), M.Kes. yang telah memberi kesempatan melanjutkan dan sekaligus memberikan dorongan dalam studi yang telah ditempuh.

 Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, dr. I Made Ady Wirawan, MPH., PhD. yang telah memberikan dukungan dalam pendidikan serta membantu dalam editing abstrak disertasi

 Promotor Prof. dr. N. T. Suryadhi, MPH., PhD. yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan selama pendidikan berupa persiapan proposal, sampai penyusunan dan ujian disertasi.

 Ko-promotor I, Prof. dr. D. N. Wirawan, MPH. sekaligus menjadi pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan masukan mulai dari ide, proses pengumpulan data hingga penelitian ini dapat diselesaikan sampai tuntas. Juga telah mengijinkan pemanfaatan lapangan Yayasan Kerti Praja sebagai tempat pengumpulan data.

 Ko-promotor II, Prof. Dr. dr. K. Tuti Parwati Merati, Sp.PD., KPTI. yang telah memberikan suport penulis dalam pendidikan S3 serta membantu dalam penyelesaian penelitian sehingga disertasi ini tersusun.

 Tim penguji proposal lainnya yaitu Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And., Prof . Dr. dr. N. Mangku Karmaya, M.Repro., Prof. Dr. Ir. I. B. Putra Manuaba, M.Phill., Ir. I Nengah Sujaya, M.Agr.Sc., Ph.D. dan Prof. Dr. dr. Budi Utomo, MPH., yang telah memberikan masukan dalam penyempurnaan proposal sehingga dapat dilanjutkan untuk penelitian disertasi.


(7)

vi

penelitian dan analisis data selama menyusun disertasi ini. Juga buat dr. P.A.S. Astuti, MPH., M.A. Hita Pertiwi, S.Si., MSc dan Ni M. Dian Kurniasari, S.KM., MPH. yang telah membantu dalam proses penterjemahan.

 Petugas lapangan Yayasan Kerti Praja Denpasar yang membantu sebagai petugas listing dan pewawancara terhadap pelanggan pekerja seks perempuan siang dan malam tanpa putus asa sampai pengumpulan informasi dapat diselesaikan dengan tuntas.

 Istri, anak dan cucu-cucu tercinta, yang telah setia mendampingi dan memberi semangat dalam menyelesaikan pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporannya.

 Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu-persatu namun telah memberikan dukungan moral dan bantuan fisik dalam penyelesaian penelitian sehingga disertasi ini dapat terselesaikan.

Akhirnya penulis memohon kepada sidang pembaca, khususnya dewan penguji disertasi, dapat mencermati dan memberikan masukan sehingga disertasi ini dapat lebih disempurnakan. Semoga hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam pengembangan program untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

Denpasar, Desember 2015 Penulis


(8)

vii

ABSTRAK

DETERMINAN

PERILAKU SEKS PASANGAN KONKUREN DARI

PELANGGAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN,

DENPASAR, BALI, 2014

Kejadian infeksi HIV di Bali telah mengarah kepada tipe generalized HIV epidemic dengan ditemukannya prevalensi mendekati 1% pada penduduk umum di Bali, seperti ibu hamil (2,5%) dan donor darah (1%). Selain indikator biologis tersebut, maka penentuan tipe epidemi ditunjang oleh faktor perilaku, yaitu adanya perilaku seks pasangan konkuren di masyarakat. Cara penularan HIV telah mengalami perubahan, sebelumnya lewat pemakaian jarum suntik, khususnya pada kelompok pemakai narkoba suntik, menjadi penularan lewat hubungan seks yang tidak aman. Berdasarkan kenyataan tersebut maka perlu diketahui perilaku seks dan potensi menularkan HIV di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan perilaku seks pasangan konkuren yang berpotensi menularkan HIV dari pelanggan pekerja seks perempuan (PSP).

Penelitian ini merupakan penelitian sampel survei dengan rancangan cross-sectional. Pelaksanaan penelitian di Kota Denpasar pada bulan September-Desember 2014. Populasi target adalah pelanggan PSP dengan jumlah sampel 200 orang. Karena tidak ada daftar pelanggan maka penetapan sampel melalui PSP yang bekerja secara langsung di Kota Denpasar dengan jumlah 932 orang. Pemilihan sampel dilakukan dua tahap. Tahap pertama memilih PSP secara sistematik random sampling. Tahap kedua memilih pelanggan PSP secara consecutive, yaitu tamu pertama yang ditemukan keluar dari kamar setelah melakukan transaksi seks. Informasi dikumpulkan memakai kuesioner yang dikembangkan oleh UNAIDS (1998). Data yang diperoleh dikelola memakai program Stata 12. Perhitungan potensi menularkan HIV mempergunakan metoda confirmatory factor analysis

(CFA). Analisis selanjutnya dilakukan dengan analisis univariat untuk menilai frekuensi distribusi variabel yang diteliti, analisis bivariat dan multivariat untuk menilai perbedaan variabel penelitian dan menguji faktor determinan yang berkaitan dengan CSP dan potensi menularkan HIV. Tingkat perbedaannya diuji


(9)

viii

yang bermakna adalah usia ≥31 tahun, tinggal di pedesaan, mempunyai dua orang anak atau lebih, memiliki dua orang atau lebih pasangan seks non-komersial lain dan pernah menderita gejala infeksi menular seksual (IMS). Sedangkan potensi menularkan HIV dipengaruhi oleh usia ≥31 tahun, tinggal di perkotaan, status menikah, mempunyai penghasilan ≥Rp. 2.000.000,-. Dengan temuan tersebut maka disarankan untuk intervensi penanggulangan HIV/AIDS masih terfokus pada populasi kunci disertai pelayanan kesehatan paripurna dan dilakukan sero survei pada penduduk dewasa untuk mengetahui kejadian HIV di masyatakat.

Kata kunci: HIV/AIDS, seks pasangan konkuren, pelanggan pekerja seks perempuan, Denpasar.


(10)

ix

ABSTRACT

DETERMINANTS OF

CONCURRENT SEXUAL PARTNERSHIP BEHAVIOR

AMONG FEMALE SEX WORKERS CLIENTS’,

DENPASAR, BALI, 2014

Bali is experiencing a generalized HIV epidemic with a prevalence of greater than 1% in the general population, such as pregnant women (2.5%) and those infected through blood donation (1%). In addition to those biological indicators, the epidemic type is determined by the presence of behavioral factors such as practices of concurrent sexual partnerships. The mode of HIV transmission has also changed from injecting drug users to heterosexual transmissions. Therefore, sexual behaviors in the community need to be examined. Sexual behavior is a private matter and cannot be expressed openly by all people. Hence to obtain the pattern, information is gathered from clients of female sex workers (FSWs) in their respective workplaces. This research was aimed at assessing the concurrent sexual partnership behavior and the potential of transmittig HIV among clients of FSWs.

A cross-sectional study was performed in Denpasar from September to December 2014. The study population is client of FSWs with a sample size of 200. Due to unavailability of client lists, a census among FSWs was carried out and identified 932 direct FSWs. Samples were selected in two stages. Firstly, FSWs were chosen by systematic random sampling. The second stage was consecutive selection of clients of selected female sex workers. The clients is the first clients to be found exiting a room after sexual transaction.

Data were collected using a questionnaire developed by UNAIDS (1998), and analyzed using statistical package STATA 12. The calculation of the potential for transmitting HIV to use the method of confirmatory factor analysis (CFA).

Univariate analysis was performed to assess the frequency distribution of variables being examined; bivariate and multivariate analyses were conducted to assess risk factors associated with concurrent sexual partnerships, and the statistical significance was assessed using chi-squared test.


(11)

x

that have a prevalence ratio with significant p values included age ≥31 years, living in the countryside, have two or more children, have two or more non-commercial sex partners and previously suffered symptoms of an STI. While the potential of transmitting HIV was influenced by age ≥31 years, living in urban, marriage status,

income ≥Rp. 2.000.000,-. With these findings it is suggested that interventions to combat HIV/AIDS focuss on key populations more comprehensively accompanied by health care with a friendly approach to the targeted population and the conduct of sero survey to the adult population to determine the prevalence of HIV in the community.

Keywords: HIV / AIDS, concurrent sexual partnerships, clients of female sex workers, Denpasar.


(12)

xi

RINGKASAN

DETERMINAN

PERILAKU SEKS PASANGAN KONKUREN DARI

PELANGGAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN,

DENPASAR, BALI, 2014

Pendahuluan

Kejadian HIV/AIDS di Indonesia dan khususnya di Bali telah mengarah kepada tipe generalized HIV epidemic dengan ditemukannya prevalensi mendekati 1% pada penduduk umum baik di Indonesia maupun di Bali. Prevalensi infeksi HIV di Bali telah ditemukan sebesar 2,5% pada ibu hamil dan 1% pada darah donor. Sesuai dengan kriteria WHO, maka selain indikator biologis tersebut, generalized HIV epidemic harus ditunjang oleh indikator perilaku. Indikator perilaku yang dimaksud adalah perilaku seks pasangan konkuren di masyarakat. Perilaku seks pasangan konkuren adalah terjadinya hubungan seks dengan lebih dari satu orang dalam periode waktu yang sama. Pelanggan pekerja seks perempuan dan perilaku seks pasangan konkuren mempunyai potensi menularkan HIV dari populasi berisiko tinggi kepada penduduk berperilaku risiko rendah.

Cara penularan HIV telah mengalami perubahan, yaitu sebelumnya lewat pemakaian jarum suntik, khususnya pada kelompok pemakai narkoba suntik, menjadi penularan lewat hubungan seks yang tidak aman. Berdasarkan kedua indikator tersebut maka untuk menunjang jenis epidemi HIV, maka dipertanyakan bagaimana perilaku seks masyarakat di Dempasar Bali dan bagaimana potensi pelanggan pekerja seks perempuan menularkan HIV? Perilaku seks merupakan masalah yang sangat pribadi dan tidak semua masyarakat terbuka untuk mengemukakannya. Sehingga kecil kemungkinan untuk memperoleh gambaran perilaku seks pada masyarakat umum, maka untuk menggali perilaku seks tersebut dicari pada kelompok masyarakat yang sudah pasti diketahui mempunyai perilaku berisiko tinggi, seperti lelaki yang suka berhubungan seks dengan lelaki (LSL), pekerja seks dengan pelanggannya dan masyarakat yang terdampak oleh perilakunya, seperti penderita penyakit kelamin. Dalam penelitian ini dipilih subyek pelanggan pekerja seks perempuan sebagai sumber informasi.


(13)

xii Metode

Metode penelitian mempergunakan sampel survei dengan rancangan cross-sectional. Penelitian dilaksanakan di Kota Denpasar yang mempunyai lokasi pekerja seks perempuan lebih stabil di wilayah Provinsi Bali. Lokasi pekerja seks perempuan ini menjadi wilayah binaan Yayasan Kerti Praja (YKP) Denpasar dalam program penanggulangan IMS dan HIV/AIDS. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2014. Populasi penelitian adalah pelanggan pekerja seks perempuan. Pelanggan pekerja seks perempuan dicari di tempat kerja pekerja seks perempuan. Tidak ada registrasi pelanggan pekerja seks, sehingga untuk menetapkan populasinya dilakukan pendekatan dan pencatatan pekerja seks perempuan yang bekerja secara langsung di Kota Denpasar. Jumlah pekerja seks di Kota Denpasar berjumlah 932 orang berdasar hasil sensus. Besar sampel ditetapkan sebanyak 200 orang dan pemilihan sampel dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pemilihan 200 orang pekerja seks perempuan secara sistematik random sampling. Tahap kedua pemilihan pelanggan pekerja seks perempuan dipilih secara consecutive, yaitu pelanggan pertama yang ditemukan keluar dari kamar pekerja seks perempuan setelah melakukan transaksi seks untuk diminta kesediaannya menjadi ressponden.

Informasi dikumpulkan dengan wawancara memakai kuesioner yang telah dikembangkan oleh UNAIDS (1998). Kuesioner telah diujicobakan bersamaan dengan pelatihan pewawancara. Pewawancara berjumlah enam orang yang telah terbiasa datang ke lokasi sebagai petugas lapangan Yayasan Kerti Praja. Data yang diperoleh dikelola memakai program Stata 12. Perhitungan potensi menularkan HIV dari pelanggan pekerja seks perempuan mempergunakan metoda confirmatory factor analysis (CFA) dengan membuat komposit dari empat sub-variabel yaitu jumlah pekerja seks perempuan yang dikunjungi, jumlah pasangan seks non-komersial lain yang dimiliki, pemakaian kondom dan pengalaman menderita infeksi menular seksual. Analisis yang dilakukan berupa analisis univariat, analisis bivariat dan analisis multivariat. Analisis univariat untuk memperoleh distribusi frekuensi variabel yang diteliti. Analisis bivariat dibuat guna menilai perbedaan proporsi faktor determinan terhadap perilaku seks pasangan konkuren dan potensi menularkan HIV. Analisis multivariat memakai metode Poisson dengan teknik

backword LR untuk menguji faktor determinan berkaitan dengan potensi menularkan HIV. Tingkat perbedaan dalam analisis diuji mempergunakan tes χ2.


(14)

xiii Hasil

Perilaku seks pasangan konkuren dilaporkan oleh 23 orang (11,5%) responden yang mempunyai dua sampai tiga orang pasangan seks non-komersial tetap dalam kurun waktu setahun. Angka ini sangat rendah dibandingkan daerah atau negara lain yang telah masuk kategori generalized HIV epidemic disertai dengan proporsi HIV pada ibu hamil dan darah donor di bawah 1%, maka menunjukkan masih berada pada tipe concentraed HIV epidemic.

Proporsi perilaku seks pasangan konkuren secara bermakna lebih tinggi pada kelompok berumur di atas 30 tahun, status menikah dengan mempunyai dua orang istri dan dua orang anak atau lebih, mempunyai penghasilan di atas rata-rata, mempunyai dua orang pasangan seks non-komersial lain atau lebih dan frekuensi hubungan seks dengan pasangan seks non-komersial lain sebanyak 3-6 kali, mengunjungi dua orang pekerja seks perempuan atau lebih dalam setahun memakai kondom saat berhubungan seks terakhir dengan pekerja seks perempuan, namun jarang yang konsisten dan pernah mengalamai gejala infeksi menular seksual. Faktor determinan perilaku seks pasangan konkuren adalah kelompok usia ≥31 tahun, tinggal di pedesaan, mempunyai >2 orang anak, mempunyai ≥2 pasangan seks non-komersial lain dalam seminggu dan pernah menderita gejala infeksi menular.

Potensi menularkan HIV dari responden bervariasi antara 1,22-4,49 dengan

mean 1,73 dan median 1,77. Berdasarkan nilai mean maka potensi tinggi menularkan HIV mempunyai proporsi lebih besar. Potensi tinggi menularkan HIV secara bermakna lebih besar pada kelompok responden yang berumur 31 tahun ke atas, bertempat tinggal di daerah perkotaan dan mempunyai pekerjaan di lapangan. Tiga variabel yang mempunyai prevalens ratio lebih tinggi dan bermakna, yaitu umur di atas 31 tahun ke atas, tinggal di daerah perkotaan dan mempunyai penghasilan Rp. 2.000.000,- atau lebih.

Kesimpulan

Lebih dari sepersepuluh responden mempunyai perilaku seks pasangan konkuren, dan masih aktif melakukan hubungan seks dalam setahun terakhir dengan pemakaian kondom yang tidak konsisten. Perilaku seks pasangan konkuren tidak mendukung terjadinya generalized HIV epidemic.

Faktor determinan yang mempunyai prevalensi ratio lebih tinggi secara bermakna mempengaruhi perilaku seks pasangan konkuren adalah berusia di atas 30 tahun, tinggal di daerah pedesaan, mempunyai dua orang anak atau lebih, mempunyai dua orang atau lebih pasangan seks non-komersial lain dan pernah mengalami gejala infeksi menular seksual.


(15)

xiv Saran

Berdasarkan pada hasil temuan maka disarankan agar intervensi program penanggulangan HIV/AIDS masih difokuskan pada populasi kunci dengan teknik yang lebih kreatif disertai pemberian pelayanan kesehatan yang paripurna dan ramah. Selain itu dibutuhkan sero survei pada populasi dewasa untuk mengetahui prevalensi HIV pada masyarakat umum.


(16)

xv

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM i

PRASYARAT GELAR ii

LEMBAR PENGESAHAN iii

UCAPAN TERIMAKASIH iv

ABSTRAK vii

ABSTRACT ix

RINGKASAN xi

DAFTAR ISI xv

DAFTAR TABEL xviii

DAFTAR GAMBAR xix

DAFTAR SINGKATAN xx

DAFTAR LAMPIRAN xxi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 6

1.3 Tujuan Penelitian 6


(17)

xvi

2.2 Epidemi HIV/AIDS 14

2.3 Pekerja Seks Perempuan 20 2.4 Pelanggan Pekerja Seks Perempuan 25 2.5 Alat Ukur Perilaku Seks dan Pemakaian Kondom 30 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

34

3.1 Kerangka Berpikir 34

3.2 Konsep Penelitian 38

3.3 Hipotesis 39

BAB IV METODE PENELITIAN 40

4.1 Rancangan Penelitian 40 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 41 4.3 Ruang Lingkup Penelitian 41 4.4 Penentuan Sumber Data 41 4.5 Variabel Penelitian 43 4.6 Definisi Operasional Variabel 43 4.7 Instrumen Penelitian 47 4.8 Prosedur Penelitian 47

4.9 Analisis Data 49


(18)

xvii

BAB V HASIL 51

5.1 Karakteristik Responden 53 5.2 Perilaku Seks Pasangan Konkuren 56 5.3 Faktor Determinan Perilaku Seks Pasangan Konkuren 62 5.4 Potensi Menularkan HIV 66

BAB VI PEMBAHASAN 70

6.1 Perilaku Seks Pasangan Konkuren 71 6.2 Karakteristik dan Perilaku Pelanggan Pekerja Seks

Perempuan

74 6.3 Faktor Determinan Perilaku Seks Pasangan Konkuren 80 6.4 Potensi Menularkan HIV 85 6.5 Temuan Baru (Novelty) 87 6.6 Keterbatasan Penelitian 87 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 89

7.1 Simpulan 89

6.2 Saran 90

DAFTAR PUSTAKA 91


(19)

xviii

Tabel 2.1 Perkiraan Jumlah Pekerja Seks Perempuan dan Pelanggannya di Bali Tahun 2009

25 Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel 44 Tabel 5.1 Karakteristik Pelanggan Pekerja Seks Perempuan 55 Tabel 5.2 Distribusi Responden menurut Pasangan Seks 56 Tabel 5.3 Perilaku Responden 59 Tabel 5.4 Faktor Determinan Perilaku Seks Pasangan Konkuren 63 Tabel 5.5 Faktor Determinan yang Paling Berpengaruh terhadap

Perilaku Seks Pasangan Konkuren

65

Tabel 5.6 Distribusi Responden Menurut Karakter dan Potensi Menularkan HIV

68

Tabel 5.7 Faktor Determinan yang Mempengaruhi Potensi Menularkan HIV

69

Tabel 6.1 Temuan Perilau Seks Pasangan Konkuren di Berbagai Negara


(20)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks Pasangan Konkuren Pelanggan Pekerja Seks Perempuan dan Potensi Menularkan HIV

38

Gambar 4.1 Skema Rancangan Cross-sectional 40 Gambar 5.1 Besaran Populasi dan Sampel yang mempunyai Perilaku

Seks Pasangan Konkuren


(21)

xx

CDC : Centers of Disease Control and Prevention

CSP : Concurrent Sexual Partnership

HIV : Human Imunodeficiency Virus

IMS : Infeksi menular seksual IO : Infeksi oportunistik IRT : Ibu rumah tangga LBT : Lelaki berisiko tinggi

LSM : Lembaga swadaya masyarakat LSL : Lelaki suka seks dengan lelaki MDGs : Mileneum Development Goals

Penasun : Pemakai narkoba suntik

PITC : Provider introduced testing and councelling

PMTCT Preventiom Mother to Child Transmission PS : Pekerja seks

PSP : Pekerja seks perempuan

STHP : Survei terpadu HIV dan perilaku TB : Tuberkulosis

UNAIDS : United Nation Programme on HIV/AIDS

VCT : Voluntary councelling and testing

WHO : World Health Organisation


(22)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jadwal Kegiatan 108

Lampiran 2 Inform Consent 109

Lampiran 3 Kuesioner 113

Lampiran 4 Etical Clearance 124 Lampiran 5 Tabel Hasil Analisis Data 125


(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acquired Immuno Deficiency Syndromes (AIDS) telah melanda seluruh negara di dunia dan telah menimbulkan pandemi. Cara penularannya telah diketahui dengan pasti, yaitu melalui pertukaran cairan tubuh yang terkontaminasi oleh

Human Immunodeficiency Virus (HIV). Cairan tubuh manusia yang dominan menjadi habitat hidup virus HIV adalah darah, cairan kelamin (cairan sperma dan cairan vagina) serta air susu ibu (ASI). Sehingga cara-cara penularan HIV yang utama adalah: a) jalur darah melalui transfusi darah beserta produknya dan pemakaian jarum suntik, khususnya pemakai narkotika suntik (penasun), b) transmisi seksual, baik hubungan heteroseks maupun homoseks, dan c) penularan dari ibu yang telah terinfeksi HIV kepada bayi yang dilahirkannya. Penularan dari ibu kepada bayinya dapat terjadi saat dalam kandungan, pada proses persalinan dan saat menyusui (Pinsky dan Douglas, 2009; Catie, 2010).

Kasus-kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan secara deret ukur. Pada tahun 2009 diperkirakan terdapat 2,6 juta penduduk di dunia yang terjangkit infeksi HIV baru dan 1,8 juta jiwa mengalami kematian (UNAIDS, 2010a). Sedangkan perkiraan jumlah total kasus HIV/AIDS ada sebanyak 33,3 juta di seluruh dunia dan sepertiganya membutuhkan pengobatan seumur hidup (UNAIDS, 2010b).


(24)

2

Jumlah kasus HIV/AIDS yang ditunjukkan tersebut merupakan kenaikan kasus sebesar 27% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Lima juta di antara kasus HIV/AIDS tersebut berada di wilayah negara-negara Asia. Belum ada negara-negara di Asia yang termasuk dalam kategori generalized HIV epidemic. Hanya Thailand, negara yang mempunyai prevalensi infeksi HIV mendekati 1% pada populasi umum dan ditemukan sebanyak 60.000 penderita infeksi HIV baru setiap tahunnya. Secara keseluruhan di Asia ditemukan 360.000 kasus baru infeksi HIV selama tahun 2009. Epidemi HIV/AIDS sangat bervariasi di antara negara-negara Asia, maupun bervariasi di dalam negara tersebut (UNAIDS, 2010b). Termasuk Indonesia, kejadiannya bervariasi antar provinsi dimana yang mempunyai prevalensi AIDS tertinggi berada di Provinsi Papua (275,11/100.000 penduduk) 15 kali lebih besar dari pada angka nasional (18,05/100.000 penduduk) dan Provinsi Bali menduduki peringkat kedua dengan prevalensi 85,95/100.000 penduduk (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013).

Indonesia merupakan negara yang mempunyai perkembangan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia (KPAN, 2010). Semua provinsi di Indonesia telah melaporkan adanya kasus HIV/AIDS di daerahnya masing-masing. Sampai dengan Bulan Maret 2013 telah dilaporkan sebanyak 147.106 kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jumlah kasus tertinggi sebanyak 30.091 orang dilaporkan di Provinsi DKI Jakarta, dan jumlah 10.163 orang di Provinsi Bali dengan menempati posisi kelima setelah Provinsi Jawa Timur (20.499), Provinsi Papua (18.676) dan Provinsi Jawa Barat (11.752) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013).


(25)

Prevalensi HIV di Indonesia pada penduduk usia 15-49 tahun masih tergolong rendah, yaitu sebesar 0,16% (UNAIDS, 2010b) dan di Bali sebesar 0,22% pada akhir tahun 2006 ((Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, 2008)). Namun Indonesia telah masuk tipe concentrated HIV epidemic, karena prevalensi pada kelompok-kelompok yang mempunyai perilaku risiko tinggi ditemukan di atas 5%, seperti pemakai narkoba suntik di Depok (70,8%), pekerja seks perempuan di Papua Barat (22,8%) (WHO Searo, 2007; Depkes RI, 2010). Sedangkan prevalensi pada kelompok penduduk berisiko rendah, seperti dilaporkan dalam survei ibu hamil 2,5% pada tahun 2011 dan 2,9% tahun 2012 (Mboi, 2012). Hal ini memberikan gambaran bahwa Indonesia menuju ke arah generalized HIV epidemic.

Prevalensi HIV di Provinsi Bali juga telah melebihi 5% pada kelompok berisiko tinggi, yaitu pekerja seks perempuan 25% (Widrianto, 2013), waria 38%, gay 19% dan kelompok lelaki suka seks sesama lelaki (LSL) lainnya 13% dan pelanggan pekerja seks perempuan 2,4% (KPAP Bali, 2012). Data ini menunjukkan tingkat concentrated HIV epidemic. Hasil survei tahun 2009 pada ibu hamil sebagai kelompok penduduk dengan risiko rendah dilaporkan 0,5-1,2% HIV+ dan pemeriksaan darah donor tahun 2010 ditemukan 0,6% HIV+ (Wirawan, 2012), juga memberikan petunjuk ke arah tipe generalized HIV epidemic. Sesuai dengan kriteria dari UNAIDS dan WHO (2007), maka selain indikator biologis maka perlu ada penunjang indikator perilaku untuk menetapkan tingkat generalized HIV epidemic, yaitu masyarakat mempunyai banyak pasangan seks baik lelaki maupun perempuan atau perilaku seks pasangan konkuren.


(26)

4

Cara penularan infeksi HIV telah mengalami perubahan, sekitar tahun 2000 kasus HIV kebanyakan ditularkan lewat jarum suntik, khususnya pemakai narkoba suntik, kini beralih dan didominasi oleh penularan lewat hubungan seks, khususnya hubungan heteroseks (Xia dkk., 2010; Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013). Penularan secara heteroseks bersumber dari hubungan seks antara pekerja seks (PS) dengan pelanggan dan pelanggan akan menularkan kepada istri sehingga akhirnya menularkan kepada bayi yang dilahirkan. Karena itu pelanggan pekerja seks perempuan mempunyai potensi menjadi jembatan penularan dari populasi berisiko tinggi (pekerja seks perempuan) kepada istri dan atau pacar sebagai populasi yang mempunyai perilaku risiko rendah (Pebody, 2009; Shaw dkk., 2011).

Studi jaringan seks di Afrika pada awalnya difokuskan pada pekerja seks sebagai populasi kunci dan pelanggannya sebagai populasi jembatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lelaki mempunyai pasangan seks lebih banyak daripada perempuan (2,6:2,2) serta 11,6% lelaki dan 6,7% perempuan mempunyai lima orang pasangan atau lebih (Helleringer dan Kohler, 2007). Perilaku banyak pasangan seks dalam periode waktu yang sama merupakan perilaku seks pasangan konkuren (USAIDS & AIDSTAR One, 2009; Pebody, 2009), akan meningkatkan proses penularan HIV (USAIDS & AIDSTAR One, 2009; Mishra dan Van Assche, 2009; Pebody, 2009; Steffenson dkk., 2011; Bellan dkk., 2013).


(27)

Perilaku seks merupakan aktivitas pribadi dan dipengaruhi oleh tingkat sosial, budaya, kepercayaan, moral dan norma (Fenton dkk., 2001). Selain faktor tersebut maka perilaku seks pasangan konkuren juga dipengaruhi oleh karakter dan perilaku pelanggan pekerja seks. Karakter pendidikan dan penghasilan cenderung membuat lelaki akan mempunyai banyak pasangan seks (Helleringer dan Kohler, 2007), sedangkan melakukan hubungan seks pada usia dini, suka bepergian dan pemakaian kondom yang rendah akan menjadi perilaku yang berisiko untuk tertular HIV dengan melakukan perilaku seks pasangan konkuren (Xu dkk., 2010).

Karena perilaku seks masih dianggap tabu oleh masyarakat dan masyarakat belum mau terbuka mengemukakan perilaku seksnya tersebut, maka beberapa penelitian memilih responden pada kelompok-kelompok yang mempunyai risiko tinggi dengan mempunyai banyak pasangan seks atau dampak yang ditimbulkannya sebagai akibat perilaku tersebut. Kelompok tersebut antara lain: penderita yang datang ke Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) dengan kasus sífilis di St. Louis, Missouri (Stoner, 2002) dan pasien gonore di Alberto, Canada (De dkk., 2004), pekerja tambang minyak di Nigeria (Faleyimu dkk., 1998) dan polisi di Nigeria (Akinnawo, 1995). Survei Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) pada populasi umum di Tanah Papua memperoleh angka 16,4% masyarakat melakukan hubungan seks dengan pasangan tidak tetap, dimana penduduk lelaki (25,2%) lebih besar proporsinya dibanding perempuan (7,1%) (Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan, 2007).


(28)

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan telah terjadi perubahan cara penularan HIV dengan didominasi oleh hubungan seks dan pelanggan pekerja seks perempuan mempunyai peran sebagai jembatan transmisi virus dari penduduk berisiko tinggi (pekerja seks perempuan) kepada istri, pacar dan pasangan seks lainnya yang mempunyai perilaku risiko rendah. Pelanggan pekerja seks perempuan ditenggarai mempunyai perilaku seks pasangan konkuren yang mempunyai potensi untuk menularkan HIV kepada pasangan-pasangan non-komersial pelanggan pekerja seks perempuan.

Berdasarkan permasalahan ini maka muncul pertanyaan penelitian berupa: 1) Apa faktor determinan perilaku concurrent sexal partnership pelanggan pekerja seks perempuan yang berpotensi menularkan HIV? 2) Bagaimana potensi pelanggan pekerja seks perempuan menularkan HIV? 3) Apakah di Bali telah terjadi generalized HIV epidemic berdasar perilaku concurrent sexal partnership?.

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui jenis epidemi HIV di Bali berdasarkan perilaku concurrent sexal partnership.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Proporsi pelanggan pekerja seks perempuan yang mempunyai perilaku seks pasangan konkuren.


(29)

3. Faktor determinan perilaku seks pasangan konkuren pelanggan pekerja seks perempuan di Denpasar.

4. Potensi menularkan HIV dari pelanggan pekerja seks perempuan di Kota Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dibedakan menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

Manfaat teoritis, diharapkan hasil penelitian ini akan dapat:

a. Menambah dan memperkaya kajian jaringan atau perilaku seks pasangan konkuren yang mempunyai potensi menularkan HIV ke masyarakat umum.

b. Menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan tipe epidemi HIV yang terjadi, khususnya di Kota Denpasar.

Manfaat praktis, hasil penelitian yang diperoleh akan dapat dipergunakan untuk: a. Menjadi bahan masukan dalam penyusunan dan pengembangan program

penanggulangan HIV/AIDS.

b. Menjadi bahan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS.


(30)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Seks Pasangan Konkuren

Penularan HIV/AIDS telah mengalami pergeseran, sebelumnya penyebaran didominsi oleh transmisi jarum suntik bagi pemakai narkoba suntik namun saat ini telah mengalami perubahan cara penularan yaitu melalui hubungan seks. Transmisi seks ini dapat terjadi secara heteroseks maupun homoseks. Perilaku seks semakin meningkatkan penularan HIV apabila dilakukan dengan mempunyai banyak pasangan seks. Melakukan hubungan seks yang berganti-ganti dapat dilakukan dengan istri, pasangan seks di luar pernikahan dan pekerja seks komersial. Hubungan seks dengan banyak pasangan ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku seks pasangan konkuren dan serial monogamy. Perilaku seks pasangan konkuren merupakan perilaku seseorang yang mempunyai pasangan seks lebih dari seorang secara paralel dalam kurun waktu yang sama (Kelley dkk., 2003; Pebody, 2009; USAIDS & AIDSTAR-One, 2009; Steffenson dkk., 2011). Berbeda dengan

serial monogamy, dimana hubungan yang dilakukan dengan lebih dari seorang pasangan namun dalam kurun waktu yang berbeda (Pebody, 2009; Kelley dkk., 2003), pasangan seks yang seorang berhenti lalu digantikan dengan pasangan seks lainnya, demikian seterusnya.


(31)

Penelitian di Amerika pada tahun 2002, mempergunakan data sejak tahun 1991, secara umum ditemukan bahwa 12% penduduk dewasa mempunyai perilaku seks pasangan konkuren (Manhart dkk., 2002). Penelitian lain melaporkan bahwa 30% remaja dalam usia seksual aktif mempunyai lebih dari satu pasangan seks dalam 18 bulan dan 40% di antara pasangan tersebut berlangsung secara overlaping

atau concurrent dalam waktu bersamaan. Secara keseluruhan 3,8% dari responden adolesen melaporkan pernah terjangkit infeksi menular seksual dalam kurun waktu 12 bulan terakhir (Kelley dkk., 2003). Sedangkan tahun 2008 National Knowledge, Attitude, Behaviour and Practices (KABP) Survey memperoleh bahwa lebih dari sepertiga responden berusia 15-49 tahun mempunyai lebih dari seorang pasangan seks non-komersial lain dalam kurun waktu setahun terakhir, lelaki rata-rata mempunyai lima pasangan (Wedderburn dkk., 2011).

Perilaku seks pasangan konkuren dipengaruhi oleh umur melakukan hubungan seks pertama kali (Xu dkk., 2010; Maher dkk., 2011) dan kebiasaan minum alkohol, dimana keduanya mempunyai kecenderungan melakukan hubungan seks yang konkuren (Maher dkk., 2011). Penduduk melakukan hubungan seks pertama kali di Jamaika pada umur 15,7 tahun (Wedderburn dkk., 2011), di Kenya rata-rata pada usia 16,1 tahun (8,4-23,2 tahun) dengan rata-rata pasangan seksnya berjumlah 3,6 (0-32) (Xu dkk., 2010). Perilaku Seks pasangan konkuren lebih banyak pada kelompok populasi tidak menikah, berpenghasilan rendah, berusia muda (Manhart dkk., 2002; Maher dkk., 2011) dan penduduk yang berhubungan seks pertama kali di usia 12-13 tahun (Manhart dkk., 2002).


(32)

10

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penduduk lelaki lebih banyak proporsinya mempunyai perilaku seks pasangan konkuren dibandingkan dengan perempuan (Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan, 2007; Helleringer dan Kohler, 2007; Mishra dan Van Assche, 2009; Paik, 2010; Bellan dkk., 2013), dan secara spesifik Steffenson, dkk (2011) di Afrika Selatan dan Manhart, dkk. (2002) di daerah perkotaan menemukan proporsi lelaki yang mempunyai perilaku seks pasangan konkuren 24,7% berbanding wanita 4,7%. Lama hubungan yang

overlaping terjadi selama 4 bulan untuk wanita dan hanya 3 bulan pada lelaki. Hasil di atas berbeda dengan Maher dkk,. (2011) yang melaporkan bahwa perilaku seks pasangan konkuren di Afrika dalam setahun oleh lelaki (11%) lebih rendah daripada perempuan (25%).

Sebanyak 31,5% lelaki di Afrika Selatan mempunyai perilaku seks pasangan konkuren, namun pada daerah-daerah yang telah mempunyai angka kejadian HIV tinggi tidak dapat dibuktikan bahwa perilaku seks pasangan konkuren akan meningkatkan prevalensi HIV (Tanser dkk., 2011). Tujuh belas persen responden daerah perkotaan di Kenya mempunyai hubungan perilaku seks pasangan konkuren, tertinggi pada episode pertama lalu menurun pada episode berikutnya. Jumlah pasangan seks konkuren terbanyak adalah dua (84,69%) dan tiga (15,31%). Sedangkan durasi maksimal (49,98%) perilaku seks pasangan konkuren sebulan, makin lama durasi hubungannya maka proporsinya semakin rendah. Jenis pasangannya terdiri dari istri (20,41%), pasangan serius (55,1%), pasangan kencan (50%), pasangan kasual (55,1%) dan tipe lain, termasuk pekerja seks, kontak semalam (23,47%) (Xu dkk., 2010).


(33)

Mobilitas masyarakat dan pekerja migran mempunyai kontribusi positif dalam hubungan ekstramarital dan perilaku seks pasangan konkuren. Bepergian atau berada jauh dari rumah, maka hubungan transaksional antara wanita dengan pria untuk keuntungan ekonomi menjadi umum dan berkontribusi untuk mempraktekkan konkurensi (USAIDS & AIDSSTAR-One, 2009). Mempunyai banyak pasangan seks yang bersifat konkuren di luar tempat tinggalnya menunjukkan bahwa mobilitas dan migrasi berhubungan dengan adanya perilaku seks pasangan konkuren (Xu dkk., 2010).

Perilaku berganti-ganti pasangan seks, khususnya perilaku seks pasangan konkuren merupakan faktor yang penting dalam penularan infeksi menular seksual termasuk HIV (Kelley dkk., 2003; Mishra dan Van Assche, 2009; Pebody, 2009;

USAIDS & AIDSTAR-One, 2009; Maher dkk., 2011; Bellan dkk., 2013). Bahkan Steffenson dkk. (2011) secara spesifik menyatakan bahwa perilaku seks pasangan konkuren mempunyai asosiasi dengan kejadian infeksi HIV (OR 3,4; 95% CI 1,8-6,5), dan penularan HIV akan dapat masuk ke dalam lingkungan rumah tangga yang mempunyai risiko rendah (Pebody, 2009). Ditenggarai bahwa penularan infeksi menular seksual pada masyarakat yang mempunyai perilaku seks pasangan konkuren terjadi lebih cepat apabila dibandingkan dengan masyarakat yang melakukan hubungan serial monogamy. Hal ini dibuktikan juga dengan kejadian infeksi menular seksual pada kelompok remaja tanpa pasangan (2,6%) lebih rendah dibanding dengan remaja yang mempunyai pasangan seorang (5,2%) dan pasangan


(34)

12

Estimasi transmisi HIV lewat pasangan di luar pernikahan didapatkan lebih besar pada lelaki (27-61%) dari pada perempuan (21-51%) dan bervariasi antar negara di dunia. Sehingga perkiraan kejadian infeksi HIV baru melalui penularan di luar pernikahan tahun 2011, lelaki (32-65%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (10-47%) (Bellan, dkk., 2013). Pemahaman yang lebih baik tentang perilaku seks pasangan konkuren, karakteristik dan perilaku individu di antara mereka dapat berkontribusi dalam pencegahan HIV seperti mereduksi infeksi menular seksual lainnya. Sebagai contoh pemakaian kondom yang rendah (56%) akan memudahkan penularan HIV (Xu dkk., 2010).

Pemakaian kondom merupakan metode pencegahan IMS dan HIV. Insiden HIV pada pekerja seks perempuan yang memakai kondom saat melayani pelanggan 15 kali lebih rendah daripada pekerja seks perempuan yang tidak memakai kondom (Borquez, dkk., 2011). Saat transaksi seksual maka keputusan pemakaian kondom didominasi oleh lelaki. Perempuan tetap mempunyai tanggung jawab pemakaian kondom, hanya status ekonomi rendah, tempat tinggal belum menetap dan kekerasan yang dihadapinya menyebabkan perempuan sulit bernegosiasi untuk memakai kondom (Pan American Health Organization, 1999). Bahkan di Vancouver, 75% pelanggan menawarkan uang lebih banyak agar tidak memakai kondom dan 19% dari pekerja seks menerima tawaran tersebut (Carter, 2013). Demikian pula di Haiti, pelanggan menilai pekerja seks perempuan yang tampil menawan tidak mau memakai kondom untuk menambah kenikmatan.


(35)

Di Yunnan, 33,7% pelanggan pekerja seks melaporkan selalu pakai kondom dan 63,5% memakai kondom saat hubungan seks terakhir dengan pekerja seks perempuan. Alasan tidak mau memakai kondom adalah pekerja seks tidak mengidap infeksi menular seksual. Hal ini diyakini karena lebih dari separuh (52,7%) pelanggan memeriksa pekerja seks perempuan sebelum melakukan hubungan seks dari penampilannya untuk meyakinkan bahwa tidak ada atau tidak mempunyai gejala-gejala infeksi menular seksual. Salah satu kemungkinan yang dapat menjelaskan mengapa pelanggan tanpa pasangan reguler mempunyai risiko tinggi infeksi HIV karena pelanggan mengunjungi pekerja seks perempuan lebih sering atau frekuensi berganti-ganti pasangan yang tinggi (Xia dkk., 2010).

Para remaja yang melaporkan pemakaian kondomnya rendah dan sering melakukan hubungan seks setelah minum alkohol. Selain itu remaja dengan perilaku seks pasangan konkuren juga dilaporkan mempunyai self-efficacy yang lebih rendah untuk memakai kondom saat melakukan hubungan seks. Hubungan

concurrent pada remaja yang melaporkan pakai kondom (47.3%) lebih rendah dibandingkan remaja dengan hubungan sequential (55.2%) dan single (58.1%). Demikian pula pengaruh konsumsi alkohol sangat bermakna terhadap pemakaian kondom, yaitu pada remaja sequential (26.6%) dan perilaku seks konkuren (30.5%) dibanding single (13.7%, p<0.001) (Kelley dkk., 2003).


(36)

14

Risiko pelanggan pekerja seks tertular HIV akan mengalami peningkatan sesuai dengan durasi, tempat membeli seks, jumlah pekerja seks perempuan yang dikunjungi dan kunjungan berulang-ulang pada pekerja seks perempuan yang sama. Semakin lama periode waktu pelanggan mengunjungi pekerja seks perempuan (AOR: 1,1; 95% CI: 1,0-1,1; p<0,001) dan lokasi dengan asuhan mucikari (AOR: 2,4; 95% CI: 1,2-4,7; p=0,001) maka potensinya meningkat (Shaw dkk., 2011).

Sirkumsisi merupakan salah satu cara biologis untuk mengurangi penularan infeksi menular seksual dan HIV. Pada kelompok masyarakat dalam lingkungan sirkumsisi rendah, perilaku banyak pasangan seks yang concurrent dan pemakaian kondom yang juga rendah dikategorikan sebagai daerah yang berisiko sangat tinggi dalam penularan HIV. Daerah-daerah seperti ini banyak ditemukan di wilayah Afrika Selatan dan Timur (USAIDS & AIDSTAR-One, 2009).

2.2 Epidemi HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab berjangkitnya kasus-kasus Aquired Immuno Deficeincy Syndromes (AIDS) yang telah menyebar secara global. Habitat hidup HIV pada cairan tubuh manusia, terutama pada cairan darah dan cairan kelamin, sehingga telah diketahui cara penularannya. Pertukaran cairan kelamin terjadi saat melakukan hubungan seks baik heteroseks maupun homoseks. Penularan lewat darah atau produk lainnya yang telah terkontaminasi oleh HIV, khususnya pada pemakai narkotika suntik secara bersama-sama.


(37)

Penularan dari ibu hamil yang mengidap HIV+ kepada janin terjadi saat hamil, persalinan dan masa menyusui (Pinsky dan Douglas, 2009; Catie, 2010).

Penularan infeksi HIV sangat cepat mengikuti pertambahan deret ukur, pada awalnya hanya terjadi pada kelompok-kelompok dengan perilaku risiko tinggi tetapi saat ini telah ditemukan kasus-kasusnya di lingkungan rumah tangga. Penderita HIV pertama kali ditemukan di Amerika tahun 1981 pada kelompok lelaki homoseks atau lelaki yang suka berhubungan seks dengan lelaki (LSL). Saat itu ditemukan penderita dengan gejala-gejala infeksi oportunistik (IO) berupa pneumosistis pneumonia dan sarkoma Kaposi. Kejadian infeksi oportunistik ini berhubungan dengan penurunan kekebalan tubuh penderitanya. Selanjutnya dua tahun kemudian penemuan kasus-kasus infeksi HIV ini sangat berhubungan dengan gaya hidup, khususnya pada pemakai narkoba suntik. Jumlah kasus-kasus HIV yang ditemukan melalui transmisi lelaki suka seks dengan lelaki berimbang dengan kasus-kasus akibat penularan lewat darah dan produk darah (Pappas dkk., 2011; Bennett, 2011). Sedangkan penyebaran infeksi HIV di Afrika terbawa oleh sopir truk pada pertengahan abad ke-20 sampai akhirnya mengglobal (Bennett, 2011).

Wilayah yang terkena dampak terburuk akibat wabah HIV adalah negara di sub-Sahara Afrika, dengan ditemukannya lebih dari 20% orang dewasa terinfeksi HIV. Epidemi menyebar paling cepat di negara-negara Eropa Timur dan Asia Tengah, dimana jumlah orang yang hidup dengan HIV (Odha) meningkat sebesar 54,2% antara tahun 2001 dan tahun 2009 (UNAIDS, 2010b). Sampai dengan akhir tahun 2009 di dunia dilaporkan telah ditemukan sebanyak 33,3 juta kasus HIV/AIDS dengan penambahan kasus baru sebanyak lebih kurang 2,6 juta orang.


(38)

16

Kasus-kasus HIV baru bermunculan dan menambah kebutuhan akan pengobatan, dimana sebanyak lebih kurang lima juta orang dengan Odha telah memperoleh pengobatan anti retro virus (ARV) jangka panjang (UNAIDS, 2010a). Lima juta di antara kasus-kasus HIV/AIDS berada di negara-negara Asia. Namun belum ada negara di Asia yang telah masuk dalam kategori generalized HIV epidemic. Hanya Thailand yang diketahui mempunyai prevalensi HIV/AIDS mendekati 1% pada populasi umum dan jumlah penemuan kasus HIV baru sebanyak 60.000 orang setiap tahunnya. Berdasarkan pada indikator biologis maka UNAIDS membedakan epidemi HIV menjadi concentrated HIV epidemic dan generalized HIV epidemic.

Disebut concentrated HIV epidemicapabila ditemukan angka prevalensi HIV pada masyarakat umum kurang dari 1%, tetapi lebih tinggi dari 5% pada kelompok populasi yang mempunyai risiko tinggi seperti lelaki suka seks dengan lelaki (LSL), pemakaia narkoba suntik (penasun), pekerja seks komersial dan pelanggan pekerja seks. Sedangkan tipe generalized HIV epidemic apabila angka prevalensi HIV pada masyarakat umum ditemukan melebihi angka 1%. Selain indikator biologis tersebut, maka dalam tipe generalized HIV epidemic ditambahkan dengan indikator perilaku berupa adanya perilaku seks banyak pasangan secara berganti-ganti.

Secara keseluruhan di wilayah Asia ditemukan 360.000 kasus baru HIV selama periode tahun 2009. Epidemi HIV sangat bervariasi di antara negara-negara Asia, juga terjadi variasi di dalam negara tersebut (UNAIDS, 2010b). Termasuk wilayah Indonesia, kejadian HIV/AIDS bervariasi, dimana prevalensi tertinggi berada di wilayah Provinsi Papua (275,11/100.000 penduduk) merupakan 15 kali lebih besar daripada angka nasional sebesar 18,05/100.000 penduduk.


(39)

Sepuluh provinsi yang berada di atas prevalensi nasional setelah Papua adalah Provinsi Bali (85,95), disusul oleh DKI Jakarta (65,56), Kalimantan Barat (38,65), Sulawesi Utara (28,71), Papua Barat (23,41), DI Yogyakarta (22,62), Kepulauan Riau (22,23), Maluku (20,35) dan Bangka Belitung (19,95) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013).

Indonesia merupakan salah satu negara yang pertumbuhan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia (KPAN, 2010). Perkiraan jumlah kasus tahun 2011 ada 413.000 orang (Depkes RI, 2008). Semua provinsi telah melaporkan mempunyai kasus HIV/AIDS di daerahnya masing-masing (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013). Prevalensi HIV pada penduduk Indonesia usia 15-49 tahun masih tergolong rendah (0,16%) (UNAIDS, 2010b) dan di Bali sebesar 0,22% pada akhir tahun 2006 (KPAP Bali, 2008). Namun Indonesia telah masuk dalam kategori concentrated HIV epidemic, karena ditemukan prevalensi HIV di atas 5% pada kelompok yang mempunyai perilaku risiko tinggi, seperti pemakai narkoba suntik di Depok, Jawa Barat (70,8%), pekerja seks perempuan di Papua Barat (22,8%) (WHO Searo, 2007; Depkes RI, 2010). Sedangkan prevalensi HIV pada kelompok yang mempunyai perilaku rendah juga menunjukkan kenaikan, yaitu survei pada ibu hamil ditemukan 2,5% tahun 2011 menjadi 2,9% tahun 2012 (Mboi, 2012). Penemuan angka >1% pada kelompok ibu hamil memberikan gambaran menuju ke arah generalized HIV epidemic.


(40)

18

Kejadian kasus infeksi HIV baru di dunia mengalami penurunan setiap tahun sejak tahun 1990. Demikian pula halnya dengan anak atau bayi yang tertular HIV dari ibu pengidap HIV dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan sebesar 24% menjadi 370.000 anak pada tahun 2009. Penurunan kasus ini terjadi karena keberhasilan pengobatan anti retroviral treatment (ART) (UNAIDS, 2010a). Untuk meningkatkan pemberian ART kepada orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha), maka diperlukan upaya-upaya untuk menemukan kasus-kasus baru HIV sebanyak mungkin dalam waktu yang cepat. Sampai saat ini penemuan kasus infeksi HIV dilakukan melalui klinik-klinik voluntary councelling and testing

(VCT). Rendahnya penemuan kasus infeksi HIV akan menimbulkan rendahnya Odha mengakses klinik-klinik penanggulangan HIV/AIDS yang telah terrsedia. Akses ke klinik penanggulangan HIV/AIDS adalah dalam upaya pengobatan virusnya, pemberian obat propilaksis untuk menanggulangi kejadian infeksi oportunistiknya, dan pemberian dukungan atau support dalam menjalani kehidupan agar proses penularan virusnya dapat dikendalikan dan tidak berlangsung dari individu kepada individu lainnya. Penemuan penderita infeksi HIV/AIDS yang terlambat juga menyebabkan pasien ditemukan sudah dalam keadaan parah, seperti yang dilaporkan di Klinik IMS Canberra, bahwa 50% pasien HIV+ terlambat memperoleh pengobatan ARV (WHO Searo, 2007). Hasil tes HIV di beberapa klinik VCT rumah sakit di Bali, menunjukkan bahwa 21-32% Odha yang datang dalam keadaan parah dan akhirnya meninggal dunia (KPAP Bali, 2008).


(41)

Sehingga guna meningkatkan temuan kasus-kasus infeksi HIV, maka Centre of Disease Control and Prevention (CDC) (2013) memberi rekomendasi agar pencarian kasus baru dilakukan secara lebih aktif dengan memberikan penawaran oleh provider kesehatan untuk layanan tes HIV secara rutin kepada pengunjung klinik. Klinik yang dianjurkan adalah klinik emergensi, infeksi menular seksual (IMS), tuberkulosis (TB), penyalahgunaan obat narkoba dan klinik kesehatan lainnya (WHO Searo, 2007; Abramowski, 2010; Lowes, 2010). Layanan provider introduced testing and councelling (PITC) berhasil menemukan kasus infeksi HIV melalui rumah sakit di Afrika dan Amerika (Ivers dkk,. 2007) dan klinik TB di India (Thomas dkk., 2008; Swaminathan dkk., 2009; Vijay dkk., 2009).

Sampai dengan bulan Mei 2013, dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Bali ada sebanyak 7.856 orang penderita HIV/AIDS di Bali. Tiga persen termasuk dalam kelompok usia di bawah lima tahun (Dinkes Prov. Bali, 2013). Penelitian serosurvei HIV pada penderita TB di Bali tahun 2008 menemukan sebanyak 2,7% ibu rumah tangga (IRT) penderita TB juga terinfeksi HIV. Kasus-kasus infeksi HIV pada penderita TB di Provinsi Bali ditemukan pada unit pelayanan kesehatan (UPK) puskesmas dan rumah sakit, bahkan ada temuan di UPK puskesmas proporsinya lebih tinggi dibandingkan dengan temuan di UPK rumah sakit. (Muliawan dkk., 2008).


(42)

20

Cara penularan lewat jarum suntik juga menurun secara global. Proporsi kasus infeksi HIV pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 di China mengalami penurunan cara penularan lewat jarum suntik pemakai narkoba dari 44,3% menjadi 29,4% sedangkan penularan melalui jalur seksual meningkat dari 10,7% menjadi 37,9%. Kenaikan infeksi HIV terjadi secara bermakna, khususnya pada pekerja seks dan pelanggannya (Xia dkk., 2010). Di Indonesia penularan infeksi HIV juga mengalami perubahan yang sama. Kasus infeksi HIV yang dilaporkan oleh Ditjen PP & PL Kemenkes RI 2013, menunjukkan bahwa penularan seksual (60%) lebih tinggi dibanding penularan lewat penasun (18%). Data yang ditunjukkan oleh Provinsi Bali perbedaan kedua cara penularan tersebut lebih besar lagi yaitu penasun dan transmisi seksual dengan perbandingan 10,34%:77,37% (Dinkes Prov. Bali, 2013). Bahkan cara penularan melalui hubungan seksual ditemukan juga pada para remaja Bali seperti dilaporkan bahwa sebagian besar dari 95 orang remaja di Bali yang terinfeksi HIV terjadi akibat hubungan seks (KPAD Prov. Bali, 2011).

2.3 Pekerja Seks Perempuan

Pelacuran atau prostitusi adalah suatu bentuk perilaku hubungan kelamin di luar pernikahan dalam mencari kepuasan dengan memakai bayaran. Disini terdapat dua pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual jasa yang menerima pembayaran untuk memberikan kepuasan dalam bentuk jasa seks dan pembeli seks yang menikmati kepuasannya (Eka, 2010; Wedderburn dkk., 2011; Sihombing dan Hutagalung, 2013). Penjual jasa seks ini dikenal sebagai pekerja seks (PS).


(43)

Tidak semua transaksi seks oleh pekerja seks dilakukan secara legal, seperti di Jamaika, keberadaan pekerja seks belum atau tidak diakui dan mengalami stigma dari masyarakat. Oleh karena itu maka pekerja seks melakukan transaksi secara terselubung sebagai penari eksotik, karyawati panti pijat, mejeng atau menawarkan jasanya di jalanan dan tempat-tempat lainnya (Wedderburn dkk., 2011).

Sesuai dengan definisi bekerja menurut Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka yang dimaksud sebagai pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Adiputra, 2010). Definisi pekerja menurut undang-undang ini membuat kerancuan, karena sampai saat ini pelacuran di Indonesia juga tidak diakui keberadaannya, dihujat oleh masyarakat karena mengganggu ketertiban umum sehinggan transaksi seks dilakukan secara ilegal dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi (Bawole, 2013; Christie dan Poerwandari, 2013; Sihombing dan Hutagalung, 2013). Namun di lain pihak, banyak juga yang memerlukannya sebagai pemenuhan kebutuhan pemuasan para pelanggan (Eka, 2010).

Banyak faktor yang mempengaruhi masyarakat terjerumus menjadi pekerja seks, seperti faktor ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Para wanita menjadi pekerja seks karena faktor kemiskinan dan diceraikan oleh suaminya tetapi mereka mesti menanggung biaya hidup dan sekolah anak-anaknya (Setiawan, 2007; Eka, 2010; Asutrisna, 2011; Wedderburn dkk., 2011; Bawole, 2013; Christie dan Poerwandari, 2013). Faktor kemiskinan akibat ekonomi yang tidak memadai serta tidak adanya keterampilan khusus menyebabkan perempuan memilih jalan pintas guna memperoleh materi dengan cepat dan mudah melalui penjualan jasa seks.


(44)

22

Faktor sosial, seperti keretakan dalam rumah tangga yang dapat menimbulkan kekurangan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya dan didukung oleh lingkungan masyarakat menyebabkan seorang anak gadis akan terjerumus ke dalam pergaulan bebas dengan kehidupan yang penuh kemewahan. Pemenuhan kebutuhan kehidupan ini akhirnya menjerumuskannya ke dalam kehidupan sebagai pekerja seks. Faktor pendidikan yang rendah baik secara formal maupun informal menyebabkan lemahnya kemampuan nalar dalam etika dan moral sehingga dengan mudah memilih pekerjaan sebagai pekerja seks perempuan (Setiawan, 2007; Eka, 2010; Asutrisna, 2011; Bawole, 2013; Christie dan Poerwandari, 2013).

Berdasarkan cara menawarkan jasa maka pekerja seks dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pekerja seks secara langsung dan tidak langsung. Pekerja seks yang bekerja langsung adalah mereka yang melakukan bentuk-bentuk kegiatan seks secara terbuka, berada di rumah bordil dan di jalanan yang langsung menawarkan dan menjual jasa seks kepada pelanggan. Sedangkan pekerja seks tidak langsung mempunyai pekerjaan utama, seperti karyawati panti pijat, karaoke dan cafe, namun karena kebutuhan ekonomi mereka juga menyediakan jasa seks. Penelitian di

Vancouver tahun 2010-2011 melaporkan bahwa sebagian besar (71%) pekerja seks menjajakan diri di jalan, disusul dengan media iklan online atau media sosial (54%) dan dalam gedung tertutup (26%), seperti kompleks atau panti pijat (Carter, 2013).


(45)

Pekerja seks perempuan di India yang mempergunakan telepon seluler sebagai media dalam melakukan transaksi jasa seks, dilaporkan hanya seperempat yang memakai kondom secara tidak konsisten, lebih susah melakukan negosiasi pemakaian kondom, minum alkohol dan lebih banyak mengalami infeksi menular seksual (Mahapatra dkk., 2012).

Pekerja seks mempunyai berbagai macam pelanggan akan terpapar dengan risiko sebagai akibat perilaku pelanggannya. Risiko pekerja seks perempuan mulai dari tidak memperoleh bayaran atau ditipu, kekerasan, kehamilan yang tidak dikehendaki serta tertular IMS dan HIV. Risiko tertular ini sebagai akibat ketidakmampuan pekerja seks menawarkan kondom (Setiawan, 2007; Eka, 2010). Selain pekerja seks tertular penyakit maka sebaliknya pelanggan juga akan tertular penyakit tersebut. Studi di India menunjukkan secara bermakna bahwa pekerja seks perempuan merupakan sumber penularan IMS dan HIV (Shaw dkk., 2011).

Konsumsi alkohol, pemakaian obat-obatan terlarang dan kekerasan yang mungkin dialami oleh para pekerja seks perempuan akan menjadi faktor risiko penting dan mempunyai dampak buruk terhadap perilaku seks yang aman. Demikian pula ketidakseimbangan kultur dan gender disertai mobilitas pekerja seks perempuan menyebabkan keterbatasan untuk melakukan negosiasi seks yang aman atau melindungi diri dari kekerasan (Wedderburn dkk., 2011).

Walaupun pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak mengakui pekerja seks perempuan, namun secara faktual pelayanan jasa seks ditemukan di semua wilayah Indonesia, termasuk Kota Denpasar (Ministry of Health Indonesia, 2013).


(46)

24

Berdasarkan estimasi oleh Kementerian Kesehatan tahun 2009, jumlah pekerja seks perempuan di Indonesia ada sebanyak 214.054 orang, terdiri dari pekerja seks perempuan langsung 106.011 orang dan tidak langsung 108.043 orang. Sedangkan di Provinsi Bali estimasi pekerja seks perempuan langsung berjumlah 3.945 orang dan pekerja seks perempuan tidak langsung 6.738 orang (Tabel 2.1) (KemenKes RI, 2009). Pekerja seks perempuan di Indonesia rata-rata berusia 27,9 tahun dengan rata-rata lama bekerja sebagai pekerja seks selama 1,7 tahun (median 12 bulan), dan kurang dari separuhnya (44%) bekerja dalam kurun waktu di bawah setahun. Kebanyakan pekerja seks perempuan telah menikah tetapi hanya 8% yang masih berstatus menikah. Rata-rata pelanggan dalam seminggu terakhir sebanyak 8,1 orang, tingkat pemakaian kondom yang konsisten dalam seminggu terakhir dengan pelanggannya sebesar 30%. Empat puluh enam persen pekerja seks perempuan pernah mengalami gejala infeksi menular seksual dan melakukan pengobatan profesional pada tenaga medis. Dibandingkan dengan pekerja seks perempuan tidak langsung, maka kebanyakan pekerja seks perempuan langsung berusia lebih muda, lebih banyak melayani pelanggan dalam seminggu terakhir (rata-rata 4,3:10,9), dan lebih cenderung tertular infeksi menular seksual. Pekerja seks perempuan tidak langsung melaporkan pemakaian kondomnya dengan pelanggan seminggu terakhir lebih konsisten dibandingkan pekerja seks perempuan langsung (p<0.001). Secara keseluruhan prevalensi dan insiden HIV+ pada pekerja seks perempuan langsung lebih tinggi dibanding pekerja seks tidak langsung. Prevalensi HIV+ sebesar 8,2%, pada pekerja seks perempuan langsung dua kali lebih tinggi dari pada pekerja seks perempuan tidak langsung (Morineau, dkk., 2011).


(47)

Tabel 2.1: Perkiraan Jumlah Pekerja Seks Perempuan dan Pelanggannya di Bali tahun 2009*)

Kabupaten/ Kota

Jumlah Pekerja Seks Perempuan Jumlah Pelanggan

PSP

Langsung Tidak Langsung Total

Jembrana 440 504 944 13.268

Tabanan 280 493 773 9.905

Badung 500 1.750 2.250 25.029

Gianyar 175 577 752 8.457

Klungkung 50 465 515 4.961

Bangli 25 408 433 3.967

Karangasem 125 471 596 6.548

Buleleng 150 632 782 8.448

Denpasar 2.200 1.433 3.633 57.155

Bali (Total) 3.945 6.738 10.683 137.738

*) Sumber: Kemenkes RI, 2009

2.4 Pelanggan Pekerja Seks Perempuan

Pelanggan pekerja seks perempuan adalah lelaki yang mengeluarkan biaya untuk membayar atau membeli jasa pada pekerja seks perempuan demi kepuasan seks. Pada tahun 1966 Demographic Health Surveys (DHS) di Zambia memasukkan semua jenis pengeluaran untuk layanan seks, seperti uang, hadiah atau barang lainnya, maka diperoleh prevalensi sebesar 24%. Sedangkan survei yang sama pada tahun 2001 hanya memakai uang sebagai alat transaksi, maka ditemukan prevalensi lebih rendah, yaitu hanya sebesar 10% (Leclerc dan Garenne, 2001).


(48)

26

Pelanggan pekerja seks perempuan termasuk kelompok lelaki yang mempunyai perilaku risiko tinggi (LBT) tertular IMS dan HIV. Lebih dari separuh pelanggan PSP di Kauyuan, China mempunyai pasangan seks yang reguler, dimana 60,5% tidak pernah memakai kondom. (Xia dkk., 2010). Hasil survei di Zambia (2001), memperoleh gambaran bahwa 26,8% lelaki usia seksual aktif pernah membeli seks dan 13,2% memanfaatkan pelayanan pekerja seks dalam 12 bulan terakhir (Leclerc dan Garenne, 2001). Mayoritas pelanggan pekerja seks perempuan yang menjadi responden di Karnataka, India (66%) (Shaw dkk., 2011) dan di Yunan, China (59,7%) (Xia dkk., 2010) melaporkan mempunyai pasangan reguler termasuk istri dan atau pacar. Sedangkan di Zambia pelanggan pekerja seks perempuan secara bermakna (p<0,001) didominasi oleh lelaki yang tidak menikah (29,3%) dibandingkan dengan lelaki menikah (6,7%). Usia pelanggan di Zambia mempengaruhi lelaki beristri mengunjungi pekerja seks perempuan, yaitu kunjungan ke pekerja seks perempuan semakin menurun secara bermakna dengan bertambahnya umur pelanggan (Leclerc dan Garenne, 2001).

Umur pelanggan pekerja seks perempuan membeli jasa seks pertama kali bervariasi di berbagai negara, yaitu rata-rata usia 22 tahun di Karantaka, India (Shaw dkk., 2011), 22-26 tahun di Yunnan, China (Xia dkk., 2010), dan lebih muda lagi (15-16 tahun) di Zambia (Leclerc dan Ganrenne, 2001). Umur pelanggan waktu pertama kali melakukan hubungan seks dengan pekerja seks perempuan mempunyai efek yang sama pada kelompok lelaki menikah maupun tidak menikah, semakin muda umurnya maka makin cenderung akan menjadi pelanggan pekerja seks perempuan (Leclerc dan Ganrenne, 2001).


(49)

Rata-rata seorang pelanggan mengunjungi pekerja seks perempuan adalah 4,3 orang yang berbeda dalam kurun waktu 6 bulan di India (Shaw dkk., 2011), 3,8 kali per tahun di Zambia (Leclerc dan Ganrenne, 2001), sedangkan di China dilaporkan lebih dari sekali dalam sebulan (Xia dkk, 2010). Sebagian besar (85%) pelanggan melakukan kontak dengan pekerja seks perempuan lebih dari sekali, dan kurang dari separuhnya mengadakan kontak dengan pekerja seks perempuan yang reguler, yaitu 42% di India (Shaw dkk., 2011) dan 26% di China (Xia dkk., 2010). Banyak variabel yang mempengaruhi pelanggan pekerja seks perempuan untuk membeli seks antara lain adalah: tempat tinggal, pendidikan, keadaan sosial-ekonomi, pemakaian alat kontrasepsi dan suka bepergian ke luar daerah. Variabel tempat tinggal di daerah pedesaan mempunyai kontribusi yang positif bagi pelanggan untuk mencari dan membeli jasa seks, khususnya pada lelaki yang telah menikah (Leclerc dan Ganrenne, 2001).

Status sosial ekonomi meliputi pendidikan dan penghasilan yang rendah juga mempunyai kecenderungan bagi lelaki untuk mencari pekerja seks perempuan. Pendidikan pelanggan menengah ke atas mempunyai pengaruh terhadap status lelaki lajang sedangkan tingkat penghasilannya berpengaruh pada lelaki yang menikah (Leclerc dan Ganrenne, 2001).

Pemakaian alat kontrasepsi atau kondom berpengaruh pada lelaki pelanggan yang telah menikah tetapi tidak pada lelaki lajang. Lelaki yang sering melakukan perjalanan tanpa disertai keluarga mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan risiko mencari jasa seks (Leclerc dan Ganrenne, 2001).


(50)

28

Status perkawinan dan jumlah anak tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kegiatan pelanggan mencari pekerja seks perempuan. Sedangkan durasi perkawinan mempunyai efek, yaitu perkawinan yang berlangsung lebih lama akan menurunkan risiko pelanggan mengunjungi pekerja seks perempuan, tetapi tidak ada pengaruh pada duda dan lelaki yang telah bercerai. Pada kelompok lelaki yang tidak menikah terjadi peningkatan kunjungan ke pekerja seks perempuan dalam setahun apabila mempunyai jumlah pasangan seks dua orang atau lebih (Leclerc dan Ganrenne, 2001).

Konsumsi alkohol (Psi Haiti, 2009; Leclerc dan Garenne, 2001) dan kebiasaan merokok (Leclerc dan Garenne, 2001) mempunyai efek yang meningkatkan risiko pelanggan dalam mengunjungi pekerja seks perempuan. Lebih dari separuh pelanggan pekerja seks perempuan melaporkan bahwa mereka mengkonsumsi alkohol sebelum berkunjung ke lokasi pelacuran di negara China (Xia dkk., 2010), Thailand, Australia, Belanda dan Zimbabwe (Li dkk., 2010). Selain pelanggan maka pekerja seks perempuan juga melaporkan mempunyai kebiasaan minum-minum alkohol bersama-sama dengan para pelanggan sebelum melakukan hubungan seks. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memfasilitasi dalam melakukan transaksi.

Indonesia juga tidak luput dari keberadaan populasi pelanggan pekerja seks perempuan. Hasil perhitungan estimasi yang telah dilakukan oleh Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2009, diperkirakan di daerah Indonesia di luar Tanah Papua terdapat 6,3 juta orang populasi paling berisiko untuk tertular HIV.


(51)

Lebih dari 80% orang yang berisiko tersebut adalah pelanggan pekerja seks dan pasangan tetapnya, istri dan atau pacarnya. Jumlah pelanggan pekerja seks perempuan sendiri diperkirakan sebanyak 3.241.244 orang, terdiri dari 2.585.996 orang pelanggan pelanggan pekerja seks perempuan langsung dan 883.932 orang pelanggan pekerja seks perempuan tidak langsung. Jumlah pelanggan pekerja seks perempuan yang berada di Provinsi Bali diperkirakan sebanyak 137.738 orang dengan jumlah terbanyak berada di Kota Denpasar (Tabel 2.1) (Kemenkes RI, 2009). Perkiraan jumlah pelanggan pekerja seks perempuan di Bali ini merupakan 10% dari penduduk lelaki di Bali usia 15-69 tahun sebanyak 1.370.945 (BPS Prov. Bali, 2013). Walaupun proporsi ini belum pasti kebenarannya, karena pelanggan pekerja seks tersebut tidak hanya penduduk Provinsi Bali tetapi juga ada penduduk pendatang yang belum menetap di wilayah Bali.

Hampir lima juta pelanggan pekerja seks perempuan di Indonesia berstatus menikah dan mempunyai istri dengan risiko rendah tertular HIV tetapi dapat terinfeksi IMS dan HIV dari suaminya yang menjadi pelanggan pekerja seks perempuan tersebut (Anonim, 2013). Sehingga pelanggan pekerja seks perempuan ini menjadi jembatan penularan HIV dari pekerja seks perempuan yang mempunyai perilaku risiko tinggi kepada istri, pacar dan atau pasangan tetap lainnya dari pelanggan pekerja seks perempuan yang mempunyai perilaku risiko rendah (Pebody, 2009; Shaw dkk., 2011).


(52)

30

2.5 Alat Ukur Perilaku Seks dan Pemakaian Kondom

Survei untuk menggambarkan hubungan antara perilaku seks dengan kejadian infeksi HIV mempunyai keterbatasan. Hal ini disebabkan cara pengukuran yang berbeda. Perilaku seks pasangan konkuren diukur saat dilakukan survei sedangkan infeksi HIV merupakan kejadian akumulasi beberapa tahun sebelumnya. Selain menggali perilaku seks pasangan konkuren, maka dibutuhkan pula pemahaman tentang alasan-alasan melakukan perilaku seks pasangan konkuren dan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku seks, seperti persepsi rendah tentang risiko, denial (penolakan), konsumsi alkohol, dan lain sebagainya (USAIDS & AIDSTAR-One, 2009).

Penelitian tentang perilaku seks yang konkurensebaiknya dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang konkurensi dengan akurat atas prevalensi, jumlah dan lama episode konkurensi yang telah berlangsung. Informasi riwayat seksual secara individual tentang karakteristik konkurensi untuk mengetahui kerentanan terhadap penularan HIV dan IMS. Pengambilan sampel sebaiknya mempertimbangkan kedekatan gambaran populasi secara keseluruhan, seperti durasi episode concurrent, jumlah pasangan seks dan pemakaian kondom (Xu dkk., 2010).

Ukuran mendasar untuk concurrent adalah point prevalence of concurrency, cumulative prevalence of concurrency dan intensity of overlap. Point prevalence of concurrency merupakan besar kejadian konkurensi dalam titik waktu tertentu.


(53)

Data ini dikumpulkan pada saat wawancara sehingga merupakan informasi paling akurat, cumulative prevalence of concurrency adalah banyaknya pasangan konkuren dalam periode waktu tertentu, dan intensity of overlap durasi terjadinya overlaping dan frekuensi seks selama overlap tersebut (USAIDS & AIDSTAR-One, 2009).

Sebagaimana diketahui perilaku seksual merupakan aktivitas pribadi bersifat

privacy dan dipengaruhi oleh tingkat sosial, budaya, kepercayaan, moral dan norma-norma yang berlaku (Fenton dkk., 2001) sehingga sering responden menutupi perilakunya. Untuk mengurangi bias recall akibat ketidakjujuran dalam mengungkap jaringan seksnya, maka dalam penelitian dipilih responden pada kelompok yang mempunyai risiko terhadap perilaku dengan banyak pasangan seks atau dampak yang ditimbulkannya. Kelompok tersebut antara lain adalah penderita yang datang ke Klinik Infeksi Menular Seksual dengan kasus sífilis di St. Louis, Missouri (Stoner, 2002) dan pasien gonore di Alberto, Canada (De dkk., 2004), pekerja tambang minyak di Nigeria (Faleyimu dkk., 1998) dan polisi di Nigeria (Akinnawo, 1995).

Hubungan antara pemakaian kondom dengan kejadian infeksi HIV masih kontroversial. Tidak ditemukan adanya hubungan pemakaian kondom dengan status HIV di Kaiyuan, karena besarnya bias yang terjadi sebagai akibat pengumpulan data pemakaian kondom maka dipergunakan angket metode self reported (Xia dkk., 2010). Selain itu bias juga disebabkan oleh jumlah sampel yang tidak representatif menggambarkan populasi dan cara merekrut responden.


(54)

32

Pelanggan pekerja seks perempuan kelas rendah relatif lebih mudah diakses karena aktifitas pekerja seksnya sudah jelas dan spesifik, sedangkan pelanggan pekerja seks perempuan kelas menengah ke atas lebih sulit diidentifikasi karena transaksi seks dilakukam secara lebih tertutup dalam perumahan yang lebih bersifat pribadi. Cara penetapan sampel secara self-selection tanpa mempertimbangkan informasi tentang perbedaan antara sampel dengan populasi pelanggan, maka hasilnya tidak dapat digeneralisir ke populasi pelanggan (Xia, dkk., 2010).

Untuk mengidentifikasi kelompok yang berperilaku risiko tinggi, baik pada pekerja seks perempuan maupun pelanggannya, maka dianjurkan melakukan survei di lokasi pelacuran. Mengidentifikasi pekerja seks di Afrika sebagai kelompok berisiko tinggi sebagai akibat mempunyai banyak pasangan seks dan hubungan seks yang tidak aman sehingga rentan terinfeksi. Kelompok lainnya adalah pelanggan pekerja seks perempuan sendiri yang dapat menyebarkan HIV kepada pasangannya yang mempunyai risiko rendah. Karakteristik pelanggan pekerja seks perempuan tidak banyak dan susah dikenali. Banyak studi telah melaporkan bahwa angka infeksi HIV dan perilaku berisiko lelaki yang sering membeli seks memakai sampel

non-probability di klinik, sehingga hasil yang didapat tidak dapat digeneralisir. Dengan mengetahui karakteristik dan perilaku pelanggan pekerja seks perempuan yang lebih akurat maka intervensi lebih terfokus dan sesuai dengan faktanya. Hasil studi di Kaiyunan, China diperoleh bahwa pekerja seks perempuan yang sangat mobil sedangkan pelanggannya lebih banyak merupakan penduduk lokal (Xia dkk., 2010), sehingga akan mempengaruhi cara-cara atau metode melakukan intervensi penanggulangan HIV/AIDS.


(55)

Penemuan pelanggan pekerja seks perempuan diidentifikasi oleh pekerja seks dan mucikari, atau jelas ditemui mencari jasa seks dengan pekerja seks perempuan. Dengan cara tersebut akan mengurangi rasa malu sehingga kesediaan pelanggan pekerja seks perempuan di India menjadi responden cukup tinggi (82%). Setelah menyatakan kesediaannya maka responden diwawancarai secara individual memakai kuesioner terstruktur oleh pewawancara yang telah terlatih mempergunakan bahasa lokal (Shaw dkk., 2011).


(1)

. tab gae pm2, chi row | pm2

gae | 0 1 | Total ---+---+--- kantoran | 57 56 | 113 | 50.44 49.56 | 100.00 ---+---+--- lapangan | 26 52 | 78 | 33.33 66.67 | 100.00 ---+---+--- Total | 83 108 | 191 | 43.46 56.54 | 100.00 Pearson chi2(1) = 5.4974 Pr = 0.019 . tab penghasilan pm2, chi row

penghasila | pm2

n | 0 1 | Total ---+---+--- 0 | 18 32 | 50 ≤1900000 | 36.00 64.00 | 100.00 ---+---+--- 1 | 64 76 | 140 ≥2000000 | 45.71 54.29 | 100.00 ---+---+--- Total | 82 108 | 190 | 43.16 56.84 | 100.00 Pearson chi2(1) = 1.4172 Pr = 0.234 . tab usiasexpertama pm2, chi row

usiasexper | pm2

tama | 0 1 | Total ---+---+--- >=17 th | 73 92 | 165 | 44.24 55.76 | 100.00 ---+---+--- <=16 th | 10 16 | 26 | 38.46 61.54 | 100.00 ---+---+--- Total | 83 108 | 191 | 43.46 56.54 | 100.00 Pearson chi2(1) = 0.3055 Pr = 0.580 . tab f1 pm2, chi row

| pm2

disunat | 0 1 | Total ---+---+--- tidak, | 30 37 | 67 | 44.78 55.22 | 100.00 ---+---+--- sunat | 53 71 | 124 | 42.74 57.26 | 100.00 ---+---+--- Total | 83 108 | 191 | 43.46 56.54 | 100.00 Pearson chi2(1) = 0.0733 Pr = 0.787


(2)

. tab pergi pm2, chi row | pm2

pergi | 0 1 | Total ---+---+--- 0 | 22 25 | 47 tidak | 46.81 53.19 | 100.00 ---+---+--- 1 | 61 83 | 144 pergi | 42.36 57.64 | 100.00 ---+---+--- Total | 83 108 | 191 | 43.46 56.54 | 100.00 Pearson chi2(1) = 0.2852 Pr = 0.593 . tab f3 pm2, chi row

minum | pm2

alkohol | 0 1 | Total ---+---+--- tidak, | 33 40 | 73 | 45.21 54.79 | 100.00 ---+---+--- ya | 50 68 | 118 | 42.37 57.63 | 100.00 ---+---+--- Total | 83 108 | 191 | 43.46 56.54 | 100.00 Pearson chi2(1) = 0.1473 Pr = 0.701


(3)

C.

Analisis Multivariat

. poisson csp umurx pendidikan c2 asal istri anak gae penghasilan usiasexpertama f1 cewekminggu cewekxminggu cewekbulan wilxbula pspsebulan0 pspsetahun

xpspsetahun1 bepergian g11a kondom kondombulanps f3 pergi ht, irr robust

Iteration 0: log pseudolikelihood = -40.398877 Iteration 1: log pseudolikelihood = -39.942968 Iteration 2: log pseudolikelihood = -39.940971 Iteration 3: log pseudolikelihood = -39.940971

Poisson regression Number of obs = 109 Wald chi2(23) = 145.83 Prob > chi2 = 0.0000 Log pseudolikelihood = -39.940971 Pseudo R2 = 0.3206

--- csp | IRR Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---+--- umurx | .2529651 .1323921 -2.63 0.009 .0906932 .7055803 pendidikan | 1.567544 .6516474 1.08 0.280 .6940084 3.540582 c2 | .2101621 .0915924 -3.58 0.000 .0894511 .4937683 asal | 4.576349 3.711227 1.88 0.061 .9337498 22.42889 istri | 1.28533 .7173201 0.45 0.653 .430501 3.837561 anak | 2.866253 2.062745 1.46 0.143 .6994132 11.74614 gae | 1.304934 .5869086 0.59 0.554 .5404447 3.150837 penghasilan | 1.156392 .582733 0.29 0.773 .4306902 3.104885 usiasexpertama | 2.690729 1.565413 1.70 0.089 .860315 8.415547 f1 | 1.231074 .9238877 0.28 0.782 .2828008 5.359051 cewekminggu | 6.933286 9.306199 1.44 0.149 .4993608 96.26399 cewekxminggu | 2.118279 1.776359 0.90 0.371 .4094278 10.95945 cewekbulan | .2243183 .2996294 -1.12 0.263 .0163639 3.074983 wilxbula | 1.054665 1.390172 0.04 0.968 .07964 13.96684 pspsebulan0 | 1.287281 .7260455 0.45 0.654 .4261705 3.888334 pspsetahun | .7251705 .5575336 -0.42 0.676 .1606978 3.272429 xpspsetahun1 | .4411725 .2607451 -1.38 0.166 .1385239 1.405051 bepergian | .9812435 .5404601 -0.03 0.973 .3333824 2.888092 g11a | 3.639935 1.96534 2.39 0.017 1.263273 10.48793 kondom | .6869449 .5877255 -0.44 0.661 .1284294 3.674342 kondombulanps | .9900063 .8851314 -0.01 0.991 .1716355 5.710428 f3 | .7391508 .4659654 -0.48 0.632 .2148474 2.542939 ht | 6.20655 3.573482 3.17 0.002 2.007995 19.18394 _cons | .0570781 .0769938 -2.12 0.034 .0040576 .8029209 ---


(4)

. poisson csp umurx pendidikan c2 asal anak gae usiasexpertama cewekminggu cewekxminggu cewekbulan xpspsetahun1 g11a kondom f3 ht, irr robust

Iteration 0: log pseudolikelihood = -40.63738 Iteration 1: log pseudolikelihood = -40.416958 Iteration 2: log pseudolikelihood = -40.416792 Iteration 3: log pseudolikelihood = -40.416792

Poisson regression Number of obs = 110 Wald chi2(15) = 99.19 Prob > chi2 = 0.0000 Log pseudolikelihood = -40.416792 Pseudo R2 = 0.3149

--- csp | IRR Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---+--- umurx | .2356227 .140977 -2.42 0.016 .0729338 .7612112 pendidikan | 1.558825 .5724718 1.21 0.227 .7589224 3.201824 c2 | .2222092 .1068542 -3.13 0.002 .086585 .5702708 asal | 3.679168 1.57289 3.05 0.002 1.59166 8.504503 anak | 3.666988 2.191366 2.17 0.030 1.136678 11.82991 gae | 1.402687 .4685286 1.01 0.311 .7288541 2.699486 usiasexpertama | 2.645006 1.400309 1.84 0.066 .9371015 7.465633 cewekminggu | 7.542716 7.63551 2.00 0.046 1.037181 54.8531 cewekxminggu | 2.011345 1.344722 1.05 0.296 .5424999 7.457158 cewekbulan | .2425815 .2768971 -1.24 0.215 .0258968 2.272323 xpspsetahun1 | .6154232 .2506925 -1.19 0.233 .2769728 1.367447 g11a | 3.067708 1.347541 2.55 0.011 1.29691 7.25635 kondom | .6656299 .3776749 -0.72 0.473 .21891 2.023951 f3 | .8152543 .5325909 -0.31 0.755 .2265784 2.933376 ht | 6.919187 4.137848 3.23 0.001 2.142965 22.34061 _cons | .0423507 .036523 -3.67 0.000 .0078125 .2295791

. poisson csp umurx pendidikan c2 asal anak gae usiasexpertama cewekminggu cewekxminggu cewekbulan xpspsetahun1 g11a kondom ht, irr robust

Iteration 0: log pseudolikelihood = -40.675767 Iteration 1: log pseudolikelihood = -40.459296 Iteration 2: log pseudolikelihood = -40.459143 Iteration 3: log pseudolikelihood = -40.459143

Poisson regression Number of obs = 110 Wald chi2(14) = 97.71 Prob > chi2 = 0.0000 Log pseudolikelihood = -40.459143 Pseudo R2 = 0.3142

--- | Robust

csp | IRR Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---+--- umurx | .2372443 .1419589 -2.40 0.016 .0734286 .7665243 pendidikan | 1.49117 .4914459 1.21 0.225 .781621 2.844842 c2 | .2174136 .0999579 -3.32 0.001 .0882956 .5353458 asal | 3.532956 1.463517 3.05 0.002 1.568665 7.956939 anak | 3.65293 2.14141 2.21 0.027 1.15785 11.52472 gae | 1.370841 .4661439 0.93 0.354 .7039516 2.669511 usiasexpertama | 2.598549 1.360858 1.82 0.068 .9310166 7.252779 cewekminggu | 6.603658 6.940167 1.80 0.072 .8417971 51.8038 cewekxminggu | 1.900303 1.129865 1.08 0.280 .5925472 6.094282 cewekbulan | .2815856 .3380977 -1.06 0.291 .0267657 2.962387 xpspsetahun1 | .6192284 .2548462 -1.16 0.244 .2763981 1.387288 g11a | 3.273539 1.085 3.58 0.000 1.709584 6.268225 kondom | .620656 .2778766 -1.07 0.287 .2580809 1.492609 ht | 6.531209 4.266855 2.87 0.004 1.815104 23.50096 _cons | .0423741 .0354818 -3.78 0.000 .0082101 .2187016 ---


(5)

. poisson csp umurx pendidikan c2 asal anak usiasexpertama cewekminggu xpspsetahun1 g11a kondom ht, irr robust

Iteration 0: log pseudolikelihood = -41.692482 Iteration 1: log pseudolikelihood = -41.491268 Iteration 2: log pseudolikelihood = -41.491085 Iteration 3: log pseudolikelihood = -41.491085

Poisson regression Number of obs = 110 Wald chi2(11) = 93.19 Prob > chi2 = 0.0000 Log pseudolikelihood = -41.491085 Pseudo R2 = 0.2967

--- | Robust

csp | IRR Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---+--- umurx | .2309168 .1352522 -2.50 0.012 .073264 .7278134 pendidikan | 1.251667 .4164327 0.67 0.500 .6520662 2.402623 c2 | .2472719 .0973775 -3.55 0.000 .1142787 .5350375 asal | 2.98658 1.090693 3.00 0.003 1.459879 6.109861 anak | 4.31883 2.448881 2.58 0.010 1.421393 13.12254 usiasexpertama | 2.638414 1.342871 1.91 0.057 .972988 7.154484 cewekminggu | 4.874719 2.633068 2.93 0.003 1.691123 14.05154 xpspsetahun1 | .7208117 .3101656 -0.76 0.447 .310134 1.675306 g11a | 3.376794 1.148183 3.58 0.000 1.734114 6.575543 kondom | .598561 .2631974 -1.17 0.243 .2528253 1.417086 ht | 5.128692 2.597138 3.23 0.001 1.900918 13.83725 _cons | .0358879 .0262279 -4.55 0.000 .0085677 .1503246 ---

. poisson csp umurx c2 asal anak usiasexpertama cewekminggu xpspsetahun1 g11a kondom ht, irr robust

Iteration 0: log pseudolikelihood = -41.751158 Iteration 1: log pseudolikelihood = -41.598499 Iteration 2: log pseudolikelihood = -41.598283 Iteration 3: log pseudolikelihood = -41.598283

Poisson regression Number of obs = 110 Wald chi2(10) = 89.67 Prob > chi2 = 0.0000 Log pseudolikelihood = -41.598283 Pseudo R2 = 0.2949

--- | Robust

csp | IRR Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---+--- umurx | 4.485762 2.547199 2.64 0.008 1.473972 13.65159 c2 | 3.922259 1.523971 3.52 0.000 1.8315 8.399737 asal | 3.216527 1.135237 3.31 0.001 1.610516 6.424056 anak | 4.173002 2.352163 2.53 0.011 1.382479 12.59617 usiasexpertama | 2.599974 1.340232 1.85 0.064 .9466564 7.140777 cewekminggu | 4.656959 2.51222 2.85 0.004 1.617772 13.40564 xpspsetahun1 | .7156442 .3053098 -0.78 0.433 .3101384 1.651349 g11a | 3.460484 1.140539 3.77 0.000 1.813802 6.602126 kondom | 1.801455 .7218857 1.47 0.142 .8213472 3.951119 ht | 5.142905 2.573195 3.27 0.001 1.928943 13.7119 _cons | .0013829 .0013123 -6.94 0.000 .0002153 .0088831 ---


(6)

. . poisson pm2 umurx c2 st gae penghasilan, irr robust

Iteration 0: log pseudolikelihood = -159.07877 Iteration 1: log pseudolikelihood = -159.07875 Iteration 2: log pseudolikelihood = -159.07875

Poisson regression Number of obs = 190 Wald chi2(5) = 41.43 Prob > chi2 = 0.0000 Log pseudolikelihood = -159.07875 Pseudo R2 = 0.0588

--- | Robust

pm2 | IRR Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---+--- umurx | 1.439443 .2283716 2.30 0.022 1.054749 1.964445 c2 | 1.744951 .4305771 2.26 0.024 1.075832 2.830234 st | 1.73436 .2794283 3.42 0.001 1.264735 2.378368 gae | 1.018654 .1128025 0.17 0.867 .8199123 1.26557 penghasilan | .7462407 .0856906 -2.55 0.011 .5958483 .9345922 _cons | .2513961 .0695437 -4.99 0.000 .1461809 .4323409 ---