Metode Apresiatif Penggunaan Metafora Dalam Karya Arsitektur

sebuah idealisme kreatif dengan opini individu bahkan masyarakat selaku apresiator, terlebih jika bahasa yang digunakan tidak bersifat literal. Penggunaan bahasa me taforik yang ”bersayap” dan kaya akan interpretasi makna, memerlukan penghayatan dan penelusuran dalam mengapresiasinya. Seperti pisau yang bermata dua, di satu sisi metaphor dapat digunakan sebagai alat untuk mengakselerasi imaji kreatif dalam proses desain, sedang di sisi lain dapat digunakan untuk mengupas dan mengkritik desain itu sendiri. Jika mengikuti kategori metaphor menurut Antoniades dan Broadbent, maka kualitas penggunaan metaphor dapat dinilai berdasarkan aspek yang dijadikan acuan referens dan penampakannya dalam suatu hasil desain. Aspek yang lebih bersifat substansial dianggap lebih baik daripada yang hanya bersifat visual literal dan keberadaan metaphor yang memerlukan identifikasi mendalam dianggap lebih baik daripada penampakan metaphor secara langsung.

3.1.3 Metode Apresiatif Penggunaan Metafora Dalam Karya Arsitektur

Pada tataran teknis pembahasan tentang metaphor karya arsitektur dapat dilakukan secara Deskriptif-Kualitatif. Karena produk arsitektur bersifat fisik yang melibatkan unsur bentuk, warna, dan komposisi, maka bahasa grafis menjadi penting, sehingga analisa terhadap muatan metaphor dari aspek arsitektur sebagai proses maupun produk lebih menekankan analisa grafis, untuk kemudian dideskripsikan interpretasi kualitas penggunaan metaphornya. Sebagai suatu strategi dalam memicu imaji kreatif sang arsitek, metaphor pada dasarnya sangat tergantung pada background knowledge sang arsitek sebagai individu. Kekuatan metaphornya kemudian ditentukan dari interpretasi orang lain sebagai apresiator. Pada bagian ini, kesetaraan inteletual antara sang arsitek dengan apresiator menjadi penentu kesamaan bahasa dalam memaknai metaphor dari karya yang sedang diapresiasi. Untuk meminimalisir kesenjangan bahasa dalam analisa, maka apresiator perlu melihat latar belakang dan pandangan-pandangan arsitek, disamping konsep dan karya fisiknya. Pada bagian karya Arsitek, analisa penggunaan metaphor dilakukan dalam tiga aspek yaitu aspek idekonsep, aspek strategi transformasi, dan aspek fisik produk desainnya. Pada aspek idekonsep perlu ditelusuri pemikiran-pemikiran dan gagasan- gagasan awal yang menjadi latarbelakang disain, yang sangat memungkinkan berasal dari idealisme, pandangan hidup maupun keyakinan sang arsitek. Pada aspek transformasi perlu di klarifikasi konsep-konsep dengan rancangan desian baik yang berupa gambar, sketsa maupun tulisan naratifnya. Pada aspek fisik produk perlu di cermati dan dihayati baik secara visual maupun spasial rasa ruang, dari susunan elemen-elemen pembentuk bangunan untuk kemudian diapresiasi berdasar konsepnya. Penggunaan metaphor dalam aspek yang bersifat substansialabstrak lebih memerlukan intensitas penelusuran yang bersifat kontemplatif. Pada bagian referens nilai kualitas metaphor dinilai lebih tinggi apabila pengalihan konsep dilakukan pada aspek yang lebih bersifat substansial intangible daripada aspek yang hanya bersifat citra visualliteral. Penilaian kualitas makna metaphor semakin tinggi dari urutan obyek sebagai icon, index, dan simbol. Pada bagian keterdeteksian, identifikasi penggunaan metaphor akan bernilai lebih tinggi jika petunjuk tentang adanya metaphor dapat dideteksi oleh apresiator. Dalam hal ini, kualitas metaphor tergantung pada kualitas paparan dan sikap sang arsitek dalam memilih untuk menjelaskan ide,strategi dan transformasi desainnya daripada lebih memilih untuk merahasiakannya. Pada akhirnya, secara akumulatif dapat dibuat rambu-rambu penilaian keotentikan dan kualitas penggunaan metaphor secara keseluruhan. Adapun tema metafora yang akan dipilih dalam merancang bangunan ini adalah metafora tangible, yaitu metafora yang dapat diraba atau dapat dirasakan dari suatu karakter visual atau material.

3.2 Interpretasi Tema