Homoseksualitas & Homo Erotik di Papua

Homoseksualitas & Homo Erotik di Papua

Sejumlah studi antropologi telah mengidentifi kasi bahwa praktik-praktik homoseksualitas dan homo erotik telah lama dikenal dalam konteks budaya tradisional Papua, yakni sebagai bagian dari budaya Melanesia. Diketahui bahwa sampai dengan tahun 1980-an, praktek homoseksualitas dikenal dalam ritual atau upacara-upacara adat inisiasi pada beberapa suku. 2 Pada suku-suku tertentu seperti masyarakat suku Dani di daerah pegunungan, juga ada kebiasaan untuk menyatukan laki-laki yang telah beranjak dewasa tinggal pada satu rumah Honai yang ditempati oleh remaja-remaja laki lainnya. Beberapa responden mengakui bahwa praktek seksualitas pertama dengan laki-laki lain bisa terjadi saat tinggal di Honai ini.

Konsumsi miras juga telah menjadi kebiasaan pada masyarakat lokal sebelum dan selama melakukan hubungan seks. Dari beberapa cerita yang dikumpulkan, diketahui bahwa laki-laki lokal atau pendatang yang menikah dan menyukai laki-laki lain, akan merasa aman bila mereka melakukan seks minum alkohol secara bersama-

individu berpikir mengenai dirinya dalam konteks ketertarikan seksual npada subyek yang sama atau bagian dari kelompok itu, berdasarkan pengalaman sendiri, pandangan maupun reaksinya. Southeast Asian Consortium on Gender, Sexuality and Health: 2004.

2 Lihat Herdt (1984). Untuk contoh kasus-kasus beberapa suku, lihat misalnya, Dumatubun (2003); Morin (2001).

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 101

Iskandar P. Nugraha dan Maimunah Munir sama terlebih dahulu. Namun demikian, dalam masyarakat Papua

modern, homoseksualitas, seperti halnya di tempat-tempat lainnya di Indonesia, telah dilihat sebagai sesuatu yang abnormal, tabu, dan melawan kesusilaan. Oleh sebab itu, keberadaan mereka tertutup dan sulit dilacak dalam seting perkotaan.

Terkecuali studi khusus mengenai laki-laki, waria dan pasan- gannya, sangat sedikit bahan yang telah dihasilkan mengenai di- namika seksualitas di kalangan LSL di perkotaan Papua, terutama yang secara spesifi k mengangkat kota Jayapura. 3 Literatur akade- mik dan riset mengenai kelompok LSL, khususnya di Papua perko- taan masih belum banyak dilakukan sehingga menimbulkan kesul- itan untuk mengetahui, misalnya, siapa sebenarnya mereka, berapa jumlah mereka sesungguhnya, bagaimana jaringan sosial dan sek- sual mereka, dan bagaimana mereka membangun jaringannya. Lebih jauh lagi, bagaimana mereka merespon situasi epidemi HIV dan berapa tingkat prevalensi HIV di kalangan ini; apakah mer- eka dapat disebut sebagai satu penyumbang prevalensi di kalangan masyarakat umum? Semua aspek ini belum banyak diketahui dan menginsa fk an kita bahwa area LSL masih terbuka untuk penelitian lanjutan yang mendalam.

Sebuah studi pendahuluan mengenai kelompok LSL di Jay- apura memperlihatkan sekilas mengenai dinamika kehidupan seksual kelompok ini. Walaupun mereka masih amat tertutup, diketahui jaringan seksual LSL yang cukup dinamis. Meskipun de- mikian, jaringan itu masih tumpang-tindih dengan jaringan seksual kelompok lain (laki-laki, perempuan, dan waria), karena diketahui mereka juga banyak yang berhubungan dengan perempuan atau waria. Keberadaan mereka sulit diketahui karena kebanyakan juga tidak mengidentifi kasi diri sebagai gay atau homoseksual. Seperti tampak dari beberapa pengakuan responden, mereka melakukan hubungan seks dengan perempuan, memiliki pacar perempuan, menikah atau berencana menikah, dan pada saat yang sama, mem- bina hubungan atau melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain. Seks anal dikenal dan dilakukan baik dengan perempuan atau laki-laki dengan sebutan seks “panta lubang”.

Pengkonsumsian alkohol juga menjadi satu aspek untuk me- dium jaringan seksual. Mengkonsumsi alkohol diyakini mening-

3 Penelitian yang cukup luas untuk waria , lihat misalnya Bu tt dan Morin (2007); Djoht (2003).

102 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Dinamika Kehidupan Seksual Kelompok LSL di Jayapura Papua katkan keberanian/rasa percaya diri sebelum melakukan hubungan

seks. Adalah umum ditemui pendapat bahwa seks anal tanpa pro- teksi tidak memiliki risiko dibandingkan dengan seks vaginal dan dilakukan dengan perempuan. Semua ini adalah temuan menarik yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko yang tidak sedikit pengaruhnya dalam menyumbangkan laju transmisi yang “lintas gender” di Papua. Diketahuinya bahwa ada inkonsistensi dalam penggunaan kondom telah menyebabkan pemahaman atas kondom dan persepsi mereka begitu penting. 4