GN: Jurnal Gandrung Vol. 2 No. 1, Juni 2011

Daftar Isi

Editorial

Dédé Oetomo

Artikel

Ari Setyorini Performativitas Identitas Gender dan 7 Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia

Ben Murtagh Coklat Stroberi: Sebuah Roman Indonesia 45 dalam Tiga Rasa

Irwan M. Hidayana Tentang Pekerja Seks Laki-Laki dan 73 Pasangan Seksualnya

Iskandar P. Nugraha Dinamika Kehidupan Seksual Kelompok 99 & Maimunah Munir LSL di Jayapura Papua

Ngerumpi

Maimunah Munir & Ahmad Zainul Hamdi 125

Resensi

Michael G. Peletz, Gender Pluralism: Southeast Asia Since Early 139 Modern Times Kathleen Azali

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 3

4 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Editorial

Dédé Oetomo

Pemimpin Redaksi

Jurnal Gandrung Vol. 2 No. 1 ini pun tampil di hadapan anda peminat dan pengaji studi gender dan seksualitas. Permintaan maaf sedalam-dalamnya saya ajukan atas kevakuman itu. Kami tim pengelola jurnal ini berusaha hal ini tidak akan terjadi lagi, sesuatu yang akan menjadi lebih mudah kalau anda menyumbangkan tulisan bijak bestari anda untuk nomor-nomor jurnal ini berikutnya.

Dalam menyiapkan volume kedua ini, pekerjaan awalnya dipimpin oleh Soe Tjen Marching, namun karena alasan pribadi maupun kelembagaan kemudian oleh Dewan Pengurus Yayasan GAYa NUSANTARA, rumah penerbitan ini, diputuskan sayalah yang meneruskan pekerjaan itu. Kepada Soe Tjen diucapkan banyak terima kasih atas rintisannya yang telah mendobrakkan jurnal pertama dalam sejarah negeri ini yang secara khusus membahas studi gender dan seksualitas dalam segenap keanekaragamannya dan dengan pendekatan yang membebaskan dan menyetarakan.

Dalam nomor ini ada dua artikel yang membahas representasi seksualitas dalam dua jenis media, yakni blog dan fi lm. Ari Setyorini membahas performativitas lesbian dalam blog, sementara Ben Murtagh membahas fi lm “Coklat Stroberi” (2007), yang menampilkan kompleksitas homoseksualitas masa kini.

Rubrik Ngerumpi menampilkan wawancara Ahmad Zainul Hamdi dengan Maimunah Munir, seorang pengaji gender dan seksualitas yang juga akrab dengan kajian fi lm queer dan belakangan

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 5

Dédé Oetomo

kian mendalam mengaji fenomena waria dan trans* lainnya. Seksualitas laki-laki dibahas dalam artikel Irwan Hidayana mengenai pekerja seks laki-laki, dan dalam artikel kolaborasi Iskandar Nugraha dan Maimunah Munir tentang laki-laki di Papua.

Yang tak kalah penting untuk disimak adalah resensi Kahtleen Azali atas buku Michael Pele tz , Gender Pluralism: Southeast Asia Since Early Modern Times, yang kiranya akan mengusik rasa ingin tahu dan kecendekiaan anda untuk menelaah bukunya yang merupakan karya mumpuni tentang kemajemukan gender di Asia Tenggara.

Demikianlah hidangan kami kali ini. Kritik dan saran tetap kami harapkan, dan terlebih lagi, tulisan cendekia anda untuk nomor- nomor berikutnya.

6 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia

Ari Setyorini

Abstrak: Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana identi- tas gender dan seksualitas ditampilkan dalam weblog lesbian Indone- sia. Melalui tampilan tersebut, penelitian ini bertujuan mengetahui makna ideologis di balik tampilan identitas gender dan seksuali- tas blogger lesbian Indonesia, serta sejauh mana praktik resistensi atas subordinasi terhadap lesbian ditampilkan dalam weblog. Kajian ini mengambil dua weblog, yakni Fried Durian dan Rahasia Bulan. Sementara, post yang dipilih sebagai teks analisa adalah post yang memuat isu mengenai gender dan seksualitas. Kajian ini merupa- kan penelitian multidisiplin-kualitatif. Teori perfomativitas dipakai mengungkap bagaimana bahasa memperformativitaskan identitas gender dan seksualitas. Hasil penelitian mengkonfi rmasi bahwa identifi kasi gender dan seksualitas lesbian cenderung merupakan kombinasi terhadap femininitas dan maskulinitas. Melalui proses criss-crossing , lesbian memperformativitaskan diri mereka dengan “aksi panggung”, menempelkan identifi kasi identitas feminin dan maskulin melalui dandanan, pakaian, gesture tubuh, dan seksuali- tas. Lesbian dalam konteks sosial masih menanggung beban tubuh sosial sebagai perempuan. Identitas perempuan sebagai ibu dan is- tri menjadikan lesbian tak juga bisa lepas dari tuntutan reproduksi dan femininitas yang diproduksi oleh kuasa dari rezim kebenaran. Senyatanya, blogger merupakan produser kreatif atas wacana lesbian di mana mereka mereproduksi wacana heteronormativitas, hingga wacana tersebut tidak menjadi satu-satunya wacana dominan.

Kata kunci: performativitas, lesbian, gender, seksualitas, weblog.

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 7

Ari Setyorini

Pendahuluan

Kemajuan teknologi informasi yang melahirkan internet ten- gah dirayakan banyak orang. Penyebabnya adalah karena media baru ini memiliki kemampuan memunculkan sebuah bentuk ko- munikasi baru, di mana seseorang tidak lagi harus berkomunikasi secara face to face pada satu tempat yang sama, namun dapat dilaku- kan dari satu tempat ke tempat lain yang letaknya sangat berjau- han. Terlebih dengan penawaran akan anonimitas, sehingga iden- titas pengguna dapat disembunyikan karena dimensi tubuh tidak lagi dibutuhkan. Sebagaimana yang diungkapan Rheingold (1994), people in virtual communities do just about everything people do in real life, but we leave our bodies behind . Dengan kata lain, komunikasi hadir melalui tulisan, gambar, suara, video dalam layar komputer, dalam dunia virtual. Identitas hanyalah berdasar pada apa yang pengguna tampilkan. Seseorang dapat menjadi siapa saja dan apa saja sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Tidak heran jika kemudian ada ungkapan yang mengatakan “on the internet, no one knows if you are

a dog.” Penawaran akan disembodied performativity ini kemudian di- manfaatkan oleh individu dan komunitas marjnal untuk menyuara- kan kepentingan mereka yang selama ini tidak mampu diekspresi- kan secara bebas di dunia nyata. Dengan tidak hadirnya tubuh, individu dapat menampilkan identitas yang berbeda dari identitas mereka di dunia nyata.

Dipahami bahwa selama ini kelompok termarjinalkan, utamanya LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/ Transeksual) belum mendapat tempat sebagaimana heteroseks. Di Indonesia sendiri, heteronormativitas menjadi ideologi dominan yang dilanggengkan oleh rezim kebenaran, misalnya oleh negara, agama, kedokteran, bahkan oleh keluarga. Media pun tak luput dari perpanjangan tangan rezim kebenaran untuk membentuk stereotip LGBT. Isu-isu LGBT dan homoseksualitas akhirnya dianggap kebanyakan orang sebagai sesuatu yang negatif dan terlarang. Alimi (2004) dalam bukunya, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bahasa hingga Wacana Agama , menyimpulkan bahwa heteronormativitas masih menjadi wacana dominan yang dikonstruksi oleh media mainstream.

Satu hal menarik yang terlihat dari kontestasi diskursus (homo)seksualitas pada media Indonesia adalah bahwa meskipun

8 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia

telah banyak media yang menggulirkan wacana tandingan atas citra negatif lesbian ini, namun senyatanya masyarakat masih memberi citra negatif bagi lesbian. Tingginya jumlah penonton fi lm dan pembaca novel bertema lesbian, ternyata belum juga memberikan pengaruh yang cukup signifi kan terhadap perubahan citra negatif mereka. Ini tampak dari MUI yang beberapa kali harus memberikan larangan terhadap beberapa fi lm bertema (homo) seksual, serta peran lembaga sensor fi lm yang berhak memotong mana yang dianggap boleh ditayangkan (bermoral) dan mana yang harus dibuang (tak bermoral).

Contoh-contoh tersebut menegaskan bahwa LGBT masih dianggap sebagai hal yang melenceng di Indonesia. Akibatnya, banyak individu LGBT yang harus menutupi identitas mereka dalam dunia nyata. Kehadiran cyberspace dengan kecairan sifatnya dianggap mampu menjadi media alternatif untuk menyuarakan ketertindasan LGBT dalam mengekspresikan identitas mereka, atau sebagai media untuk coming out of the closet. Selain itu, pergeseran posisi subyek dalam kacamata postmodernitas, di mana subyek- subyek kecil mulai memiliki suara untuk menentang struktur kuasa, memungkinkan lesbian Indonesia sebagai subyek kecil untuk dapat berbicara, mengungkap identitas gender dan seksualitas mereka.

Berangkat dari pendapat Bryson (2004) bahwa masih sedikit penelitian yang mengkaji tentang komunitas perempuan marjinal, utamanya perempuan lesbian, biseksual dan transgender/ transeksual dalam kaitannya dengan cyberspace, maka penelitian ini akan mengkaji mengenai hal tersebut. Penelitian difokuskan pada performativitas blogger lesbian Indonesia dalam mengkonstruksikan identitas gender dan seksualitas mereka melalui weblog. Weblog dipilih sebagai media obyek kajian dengan alasan bahwa sejauh penelusuran peneliti, belum ada penelitian yang membahas mengenai blogsphere di Indonesia. Alasan lain adalah karena blog memiliki kelebihan dari bentuk cyberspace lainnya, di antaranya adalah karateristiknya sebagai jurnal online pribadi yang mengutamakan personalitas dan individualitas pemiliknya. Individualitas inilah yang melahirkan ekspektasi terhadap blog sebagai media alternatif. Williams (via Mitra dan Gajjala 2008) mengatakan bahwa blog dianggap mampu menjadi ruang yang memungkinkan lahirnya resistensi- resistensi atas struktur kuasa yang ada melalui cara “speaking back” . Cara ini mungkin dilakukan ketika blogger menampilkan subyektivitas sebagai individu yang menyuarakan keterasingan

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 9

Ari Setyorini

dan ketertindasan dari tindakan opresif stuktur berkuasa. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Gauntle tt (2002) juga menjelaskan mengenai kemampuan new media (khususnya website pribadi dan weblog –pen.) menyediakan alternatif-alternatif lain bagi individu atau grup sebagai tandingan atas ide dominan tentang perempuan dan laki-laki.

Terdapat dua blog yang dikaji, yaitu Fried Durian (h tt p:// frieddurian.blogspot.com) dan Rahasia Bulan (h tt p://rahasiabulan. blogspot.com). Fried Durian (FD) adalah blog milik sepasang partner lesbian bernama Lushka dan Mithya (selanjutnya disingkat L dan M). Blog FD ini mulai dijalankan sejak Juni 2007. Rahasia Bulan (selanjutnya disingkat RB) adalah jurnal pribadi milik seorang lesbian dengan nama virtual Alex (selanjutnya disingkat A). Blog ini cukup dikenal dalam komunitas lesbian karena latar belakang pemilik blog sebagai founder sebuah majalah online lesbian, sepocikopi. com . RB mulai ada dalam blogsphere sejak tahun 2006. Kedua blog tersebut, menurut peneliti, mampu menjadi objek kajian yang representatif untuk mewakili bagaimana blogger lesbian Indonesia menampilkan identitas gender dan seksualitas mereka dalam ruang virtual. Anggapan peneliti ini didasarkan pada keragaman diskursus o ffl ine yang mengelilingi blogger di kedua blog tersebut yang memengaruhi cara bagaimana mereka menggambarkan identitas gender dan seksualitas yang tampak melalui tampilan tema, bahasa, maupun gambar pada blog tersebut.

Pembahasan

A. Weblog Fried Durian

Sebagaimana yang disinggung di atas, Fried Durian (FD) adalah weblog milik sepasang partner bernama virtual Lushka (L) dan Mithya (M). Struktur weblog ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi judul weblog, yakni Fried Durian, dan deskripsi terhadap identitas weblog. Bagian kedua merupakan struktur utama blog memuat post. Post terdiri dari waktu post, judul post, isi post, nama blogger yang melakukan posting, komentar dari pembaca weblog , dan identifi kasi topik pembicaraan. Bagian ketiga adalah bagian tambahan, berisi arsip post, comment box, web hit counter, Yahoo Messenger! , dsb.

10 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian

di Indonesia

A.1 Perbincangan Mengenai Identifi kasi Femme, Butch, Andro, dan No Label

Weblog FD ini menarik karena dari awal L-M tidak menempatkan identitas mereka ke dalam kategorisasi identitas gender dan seksualitas manapun, baik dalam kategori identitas lesbian, maupun dalam kategori identitas normatif lain. Identifi kasi identitas L-M pada FD ini pertama kali tampak pada deskripsi yang terletak di bawah judul weblog mereka, yakni “Bisexual is an overstatement. Lesbian is an understatement. We just know how to enjoy live by being in each other arms [ibid]. This is our fun queer story from Indonesia.” Melalui deskripsi ini, L-M menggambarkan queer-itas identitas mereka. Perbandingan identitas yang tampak dalam pemilihan kata overstatement (sebagai biseksual) dan understatement (sebagai lesbian) menunjukkan bahwa kategorisasi identitas tersebut tidak cukup mewakili mereka. Bagi L-M, penyebutan biseksual sebagai identitas mereka merupakan sesuatu yang berlebihan. Sementara, identifi kasi sebagai lesbian, bagi L-M, terlalu menyempitkan dan kurang cukup mewakili kompleksitas identitas mereka. Di sinilah tampak bagaimana identitas gender dan seksualitas merupakan sebuah hal yang tidak cukup hanya dibatasi melalui kategorisasi-kategorisasi tertentu, pun bukan pula sebagai sesuatu yang stabil dan koheren. Inkoherensi tampak pada identifi kasi L-M terhadap seksualitas yang bukan sebagai biseksual maupun lesbian (homoseksual), juga bukan sebagai heteroseksual. L-M bahkan dengan gamblang menyebut identitas mereka sebagai queer, di mana gender dan seksualitas bagi mereka adalah sebuah kecairan. Identitas menjadi sebuah hal yang tidak ajeg, karena L-M menempatkannya sebagai yang dapat diubah, sebuah proses criss-crossing (Sedgwick via Beasley 2005, 108).

Deskripsi tersebut diperjelas melalui beberapa post- ing L-M dalam FD. M mendeskripsikan identifi kasi dirinya (“Don’t Label Yourself,” Senin, 8 Desember 2008),

…gue nggak suka memasukkan diri gue ke kategori mana pun…dalam dunia kategori lesbian (femme, butch, andro )…. Gue lebih suka mengelaborasi atau menggam- barkan perilaku daripada menamai. Yep, saat ini gue in a

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 11

Ari Setyorini relationship dan bahkan jatuh cinta dengan Lushka. Tapi

saying myself a lesbian? Lah, I’m not that in to women juga. Masih bisa ngiler liat cowok berbadan atletis dan ber- wajah lutcu….

M tidak melakukan kategorisasi dirinya berdasar identitas gender yang telah ada. Penggunaan istilah “mengelaborasi (identitas)” mendeskripsikan tindakan untuk memperlakukan identitas sebagai sebuah hal yang dapat diubah atau diuraikan—pendeknya berada dalam sebuah proses, ketimbang sebuah hasil ajeg dalam kategorisasi. M memilih untuk tidak mengkategorisasikan dirinya menjadi femme, butch , atau andro, karena kategorisasi lesbian tersebut tidak cukup mewakili dirinya. M menampilkan diri sebagai lesbian melalui partnership yang dilakukannya dengan L. Akan tetapi, M mengakui bahwa dirinya juga memiliki ketertarikan pada laki-laki (secara boduly sex). Namun, hal tersebut tidak menjadikan M termasuk dalam kategori perempuan biseksual. M (“Film Twilight + Chauvinis Mithya,” Senin, 7 Desember 2008) mengungkapkan, “…soul gue itu sebenernya dilahirkan sebagai cowok biseksual. Jadi untuk jatuh cinta dengan cewek itu normal tapi diem-diem dan takut-takut sangat tertarik dengan cowok lain (especially gay man).”

Boduly sex M adalah sebagai seorang perempuan. Na- mun, M menilai dirinya secara gender adalah laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual pada perempuan (secara boduly sex dan gender), sekaligus kepada laki-laki (secara boduly sex) yang feminin (gay man). M menilai jika ketertarikannya dengan perempuan adalah sebuah hal yang “normal”, sebagaimana normativitas laki-laki tertarik kepada perempuan. Lebih lan- jut, ketertarikan M pada laki-laki dinilainya sebagai sebuah hal “kesalahan”, karena M menilai dirinya adalah laki-laki pula. Karenanya, M menilai, ketertarikannya dengan laki-laki dilakukan secara diam-diam dan takut-takut. Bahkan, secara spesifi k dalam kutipan sebelumnya, M menjelaskan bahwa ia tertarik dengan laki-laki yang “bertubuh atletis” dan “berwa- jah lucu”. Kombinasi tubuh atletis dan berwajah lucu men- jadi hal yang menarik, karena pada dasarnya kedua deskripsi tersebut menunjukkan hal yang saling bertentangan. Tubuh atletis kerap diidentikan dengan kejantanan atau maskulini-

12 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia

tas laki-laki. Sebaliknya, diksi “lucu” acapkali diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak maskulin (feminin). Berwajah lucu dapat diartikan sebagai berwajah polos, innocent, dan menggemaskan. Di sini ditunjukkan bagaimana identitas dan atribut diri bisa diotak-atik sedemikian rupa. Maskulin dikom- binasikan dengan feminin, homoseksual dipadu-padankan dengan heteroseksual. Hingga pada akhirnya, tidak ada yang disebut sebagai identitas utama dalam diri M. M tidak bisa dikategorikan sebagai lesbian (homoseks) seutuhnya, bukan juga sebagai heteroseks. M melakukan kombinasi-kombinasi terhadap identitas-identitas gender dan seksual.

Melalui FD, L juga menggambarkan identitas dirinya sebagai “lesbian yang bersyarat”. Maksudnya adalah part- nership yang dijalaninya dengan M merupakan partnership lesbian. Tetapi, sebagaimana M, dirinya juga memiliki ke- mungkinan untuk tertarik secara seksual terhadap laki-laki. Ditegaskan oleh L, “Gue dan Mithya –ga ngeklaim diri kita murni lesbian tapi juga ga menolak kenyataan kalau saat ini gue berdua dalam hubungan sesama jenis” (“Tobat Jadi Lesbian?,” h tt p:// www.narth,com, Selasa, 14 Juli 2009).

Lesbian juga ditampilkan melalui pilihan nama virtual mereka, Lushka dan Mithya. Nama ini diambil dari nama pasangan lesbian dari Inggris, Violet Trefusis dan Vita Sack- ville-West. Kisah cinta kedua perempuan tersebut diabadikan oleh Virginial Woolf dalam novel yang berjudul Orlando: A Biography. Kisah cinta kedua perempuan tersebut dikenal sebagai skandal percintaan Inggris. Disebut sebagai skandal karena pada masa tersebut (mereka hidup pada saat Inggris di bawah otoritas ratu Victoria), homoseksual (gay) dianggap sebagai sebuah kriminalitas. Sementara lesbian, belum men- jadi isu yang diungkap karena anggapan pada masa tersebut bahwa perempuan tidak selayaknya mengurusi seksualitas mereka. Pasangan ini saling memanggil satu dengan lain dengan nama Lushka (Violet) dan Mithya (Vita) 1 . Nama ini kemudian dipakai sebagai nama virtual mereka.

Deskripsi-deskripsi identitas tersebut menunjukkan ambiguitas L-M dalam memaknai dirinya. Namun, hal ini

1 Lebih lanjut mengenai kedua lesbian Inggris tersebut lihat h tt p:// en.wikipedia.org dan h tt p://scandalouswomen.blogspot.com.

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 13

Ari Setyorini tidak kemudian menjadi sebuah hal negatif karena ambi-

guitas tersebut menurut Butler (1993, 29) justru merupakan sebuah strategi untuk menggoyang apa yang disebut sebagai identitas center-margin. Normativitas masyarakat mengang- gap identitas yang koheren adalah identitas center, identitas yang paling benar. Artinya, seseorang akan dianggap benar jika identitas gender yang mereka tampilkan sesuai dengan boduly sex dan hasrat seksualitas mereka. Dengan kata lain, jika individu memiliki boduly sex sebagai perempuan, maka gender mereka harus menunjukkan femininitas dan tertarik secara seksual kepada laki-laki. Namun, yang dilakukan L-M ini justru mensubyekti fk an identitas tersebut dan menunjuk- kan bahwa apa yang disebut sebagai gender dan seksualitas hanyalah persoalan bagaimana hal tersebut diperformativi- taskan atau diperagakan. Hal ini akan nampak pada perilaku- perilaku dalam menampilkan identitas-identitas mereka yang dibahas dalam subjudul selanjutnya.

Pernyataan L-M untuk tidak mengkategorisasikan dirinya, senyatanya juga merupakan sebuah bentuk kategori lain, yakni no label. No Label menjadi sedikit banyak mewakili apa yang dijelaskan L-M ketika memilih untuk tidak memasukkan diri mereka ke dalam kategori lesbian sebagai femme, butch, dan andro. Sebagaimana pemikiran queer bahwa a refusal of a set identity adalah identitas itu sendiri (Ibid.). Melalui no label, L-M mensubversi identitas yang telah ajeg dengan melakukan serangkaian percampuran terhadap normativitas identitas gender dan seksualitas sebagaimana ide Butler atas gender trouble.

A. 1. 1 Performativitas Penampilan dan Fisik

Penolakan L-M untuk tidak mengategorikan di- rinya ke dalam femme-butch-andro mempengaruhi cara bagaimana mereka menampilkan identitas gender dan seksualitas melalui tampilan fi sik. Mereka cenderung mengombinasikan penanda-penanda gender yang tam- pak melalui penampilan tubuh. Misalnya ketika L men- ceritakan tentang kebiasaan-kebiasaan L-M yang ber- hubungan dengan penampilan dan atribut fi sik. “Siapa bilang kita se-tomboy or se-andro gitu. Emang penampakan gue lebih cewek dari Mithya, tapi kalo buat urusan kerapi- an Mithya ratunya” (“Mithya and Me,” Rabu, 10 Maret

14 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia

2009). Agaknya, banyak yang mengira L-M berpenampi- lan “kelaki-lakian”. Hal ini tampak dari pertanyaan re- toris L terhadap penampilannya yang cenderung dia- sumsikan banyak orang sebagai penampilan tomboy 2 . L menolak asumsi tersebut dengan menampilkan gam- baran sisi “keperempuanan” L-M yang tampak dalam kebiasaan mereka terkait penampilan atribut fi sik. M memiliki kebiasaan-kebiasaan berdandan yang “lazim- nya” dilakukan oleh perempuan. Digambarkan oleh L, bagaimana kepedulian M terhadap rambutnya,

Turun dari motor, buka helm, dia akan langsung bilang ‘rambutku berantakan ga?’ –trus gue jawab ‘engga’ –dia akan ngerapiin lagi, terus nanya ‘berantakan ga?’, gue tetep akan bilang ‘engga’ –dia megang2 rambut terus nanya ‘beneran?’ –nah, di bagian ini gue udah muter bola mata kalo engga melototin dia, ngunci motor terus ngeloyor dengan rambut gue berantakan. Fact: gimana mau berantakan, tiap mau pasang helm dia ngerapiin rambut, trus dijepit, trus dirapiin lagi helmnya. (Ibid.)

Pada post ini, L menjelaskan perbandingan pe- nampilan antara dirinya dengan partner-nya, M. Dalam konteks ini, L menilai M memiliki sisi femininitas dalam penampilan yang lebih dominan daripada L. M memili- ki kecenderungan berperilaku womanly, yang “khawat- ir” dengan penampilan rambutnya. Rambut menjadi penanda penting bagi perempuan dalam normativitas masyarakat. Bahkan ada ungkapan yang menyebutkan bahwa rambut adalah mahkota perempuan. Lebih lan- jut, L menegaskan bagaimana M memiliki kegemaran berdandan sebagaimana normativitas perempuan da- lam masyarakat. Misalnya, M memiliki “ritual” menyi- sir rambut, membersihkan wajah, memakai bedak, me- nyemprotkan minyak wangi, dan terkadang memakai

2 Tomboy/i adalah perempuan YANG memiliki sifat “kelaki-lakian” (fe- male-to-male transgenders), yang salah satunya tampak dari penampilan. Lihat penjelasan mengenai tomboy/i dalam Boellstro ff (2003) dan Blackwood (2008).

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 15

Ari Setyorini lip gloss ketika berada di toilet, setelah buang air kecil.

M juga selalu membawa peralatan kosmetik di dalam tasnya. “Isi tas: Mithya, selain ada buku, pulpen, dan kertas pasti ada perlengkapan ceweknya, tissue, kertas minyak, sisir, bedak, kaca, lip gloss, perfume, jepitan rambut.” Penyebu- tan “perlengkapan cewek” di sini menegaskan bahwa kosmetik memang melulu menjadi penanda bagi gender perempuan.

Kebiasaan-kebiasaan M membuat L tertular un- tuk ikut-ikut menunjukkan femininitas dirinya melalui tampilan tubuh dengan berdandan. Disebutkan oleh L, “ Dulu, gue boro2 di tas ada bedak, sisir aja ada udah ajaib, yang wajib ada di tas itu buku, pulpen, dan notes. Sekarang, gue jadi ketularan Mithya, kemana-mana bawa peralatan ngelenong” (Ibid.). L mengumpamakan peralatan ko- smetik sebagai peralatan ngelenong (lenong). Hal ini mengindikasikan bahwa, bagi L, berdandan yang meli- batkan peralatan kosmetik, tak ubahnya sebagai sebuah aksi pertunjukan lenong. Ketika L menampilkan dirinya yang berdandan menggunakan perlengkapan kosme- tik, tak ubahnya seperti ketika pemain-pemain lenong yang akan melakukan pertunjukan. Pada pertunjukan lenong, setiap pemain akan menunjukkan sebuah kara- kter lain yang berbeda dengan karakter mereka sebe- narnya. Pada akhirnya, berdandan bagi L adalah untuk menampilkan sebuah karakter fi ktif, karakter rekaan yang berbeda dengan dirinya “sebenarnya”.

Menyitir pendapat Butler (1990, 174) bahwa per- soalan gender hanya semata persoalan performativitas, proses imitasi dan pengulangan yang tidak pernah ber- henti. Begitu juga yang dilakukan oleh L-M. Penampi- lan fi sik yang diidentifi kasi oleh masyarakat sebagai identitas gender dijadikan sebagai sarana untuk mem- performansi gender mereka sebagaimana normativitas masyarakat. Mereka oleh masyarakat dianggap seba- gai perempuan melalui performatif ritual-ritual ber- dandan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bordo (1986) bahwa tubuh perempuan medium femininitas, di mana

16 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian

di Indonesia

diskursus budaya dan gender berlaku padanya 3 . Bordo (via Davis 1995, 155) menilai bahwa mela- lui kontrol terhadap tubuh, perempuan tidak melulu menjadi korban atas tekanan “collective cultural fantasy” namun justru dapat membebaskan perempuan untuk memperoleh male-power. Sebagaimana penilaian Bor- do, dalam konteks lesbian dengan mengikuti kontrol atas tubuh L-M justru dapat dengan bebas memakai topeng femininitas untuk menutupi identitas lesbian mereka. L-M justru memperoleh tidak hanya male-pow- er namun heteronormatif-power untuk mengelabuhi nor- matif masyarakat atas feminintas yang mereka tunjuk- kan melalui pendisiplinan tubuh.

Hal yang menarik, L-M tak hanya berhenti pada tataran berdandan sebagai penanda identitas perempuan. L-M menggambarkan pertentangan-pertentangan dalam penampilan fi sik mereka sebagai bentuk instabilitas gender. Misalnya, ketika L menjelaskan dominansi sisi femininitas dirinya yang tampak dari pilihan-pilihan pakaian, aksesoris, dan sepatu. Beda halnya ketika L yang merasa kurang menyukai berdandan, sehingga sisi maskulinitas dirinya lebih dominan dalam hal berdandan. Sebaliknya, Mithya justru sangat tidak “perempuan” ketika berurusan dengan busana, sepatu, dan aksesoris. L menjelaskan, “Rok untuk dipake harian itu adalah big no no buat Mithya. Paling kalo mau kondangan aja dia baru mau. … Mithya sekarang baru belajar pake sepatu-sepatu cewek. Untuk harian dia masih setia ama Converse-nya” (Ibid.). Pakaian berbentuk rok, bagi masyarakat, adalah pakaian bagi perempuan. Karenanya, lazim jika perempuan memakai rok sebagai penanda keperempuanan mereka. Seragam sekolah hingga baju bekerja perempuan hampir semua memiliki pakaian bawahan berbentuk rok. Rok pun kemudian identik dengan simbol femininitas. Namun, M menampilkan bentuk lain dari pilihan penggunaan rok sebagai identifi kasi gender dirinya. Bagi M, rok bukanlah pakaian sehari-hari yang merepresentasikan dirinya. Ia

3 “… the female body as a kind of text which can be “read as a cultural statement, a statement about gender .” (Lihat Bordo 1989, 16).

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 17

Ari Setyorini hanya menggunakan rok jika menghadiri acara resmi,

misalnya resepsi pernikahan. Selanjutnya, dijelaskan pula jika M lebih menyu- kai menggunakan Converse, merk sepatu jenis kasual yang biasanya dikenakan oleh laki-laki. Pada pilihan ini, M menunjukkan sisi maskulinitas dirinya. Masku- linitas M ditegaskan L dalam post-nya yang lain, “Have

I told you that Mithya is very handsome” (“Mamerin Pacar Ah…,” Sabtu, 28 November 2008). Penyebutan “hand- some” menjelaskan penampakan M yang ganteng mirip laki-laki secara fi sik. Lebih lanjut, L menjelaskan pe- nampilan M yang maskulin membuat beberapa teman L mengira M adalah pacar L, yang tentunya dalam ang- gapan mereka M adalah laki-laki.

Penggambaran-penggambaran tersebut menun- jukkan nonkonformitas M dalam menentukan pilihan- pilihan terhadap tampilan tubuh. Di satu sisi, ritual berdandan M menandakan gender femininitas dirinya, namun di sisi lain maskulinitas muncul dari pilihan M akan model pakaian dan sepatu yang cenderung manly. Nonkonformitas juga ditunjukkan M saat menjelaskan bahwa soul dirinya terlahir sebagai laki-laki, namun di sisi lain M juga melakukan ritual-ritual yang menanda- kan identitas keperempuannya.

Meski L-M menempatkan diri mereka sebagai “a refusal of a set identity” atau no label, namun dari peng- gambaran penampilan fi sik, L-M cenderung menunjuk- kan penampilan androgini dalam hubungan lesbian. Baik L maupun M melakukan pemilihan terhadap be- berapa identitas feminin yang kemudian dikombinasi- kan dengan identitas maskulin. Pada akhirnya criss- crossing identitas tersebut membentuk identitas lain yang berbeda dari identitas normatif dalam masyarakat, identitas androgini.

Melalui criss-crossing, seperti yang dilakukan oleh L-M, apa yang disebut identitas gender center yang normatif tersebut dipermain-mainkan. Bahwa individu dapat saja melakukan modifi kasi dengan menampilkan gender act secara subversif seperti yang dilakukan L-M dalam penampilannya. M yang memiliki ritual

18 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian

di Indonesia

berdandan, akan tetapi kurang menyukai penggunaan rok dan sepatu perempuan. L yang kurang suka memakai kosmetik, namun menyukai rok, sepatu dan aksesoris perempuan. Performansi gender act yang dilakukan oleh L-M memang tak selamanya mulus. Terkadang mereka harus menerima “hukuman” dari orang-orang di sekeliling mereka jika ternyata gender act yang mereka tampilkan tidak sesuai dengan “lazimnya”. Misalnya ketika M menceritakan bagaimana dirinya harus menampilkan identitas gender yang selaras dengan penampilan sebagaimana normatif masyarakat. Diceritakan M (“I Hate Wedding Reception,” Senin, 12 Oktober 2009),

… gue …ngga suka dengan acara resepsi pernikahan. Gue kayak alergi dengan baju-baju pesta perempuan. Setiap hadir di resepsi pernikahan gue bakal sesak napas dan mulai banjir keringat karena canggung. Gue pasti jadi pusat perhatian. Gimana ngga, Mithya yang tomboy dan kayak laki itu dateng dengan full make up dan dress cantik. … a lot of people said that I am beautiful kalo mau didandanin dan pakai baju feminin. But it’s just not me.

M harus menampilkan pilihan-pilihan gender yang selaras sebagaimana normativitas masyarakat jika sedang menghadiri resepsi pernikahan, meski hal tersebut membuat dirinya tidak nyaman. M mencerita- kan bahwa suatu saat dirinya mencoba berpenampilan tidak seperti normativitas gender perempuan ketika menghadiri acara resepsi. Kemudian, ternyata hal terse- but dinilai orang-orang sekitarnya sebagai sebuah hal yang tidak lazim, M “ditegur” karena penampilannya tersebut. Pada akhirnya, M harus “tunduk” terhadap normativitas masyarakat akan keselerasan penampilan tubuhnya dengan gender. “Akhirnya gue harus menerima norma masyarakat yang satu ini. … For now Mithya harus dateng … mengenakan pakaian perempuan lengkap dan dan- danan tebal, berusaha menjadi cewek-cewek kebanyakan di sekitarnya” (Ibid.).

Di balik ketundukan M terhadap keselarasan Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 19

Ari Setyorini antara penampilan dan identitas ini, sebenarnya M

telah membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai gender perempuan hanyalah bentuk-bentuk peniruan. M meniru tampilan gender perempuan dengan mengikuti normatif masyarakat akan “kepantasan”, yakni berdandan dan berpakaian perempuan (rok) untuk acara-acara formal seperti resepsi pernikahan, meskipun sebenarnya diri M merasa tidak sesuai dengan tampilan tersebut. Namun, justru aksi tiru itu, membuat M dikategorikan sebagai perempuan dan akhirnya diterima oleh masyarakat. Karenanya, tak ada yang dapat disebut sebagai identitas asli, yang ada hanya bentuk-bentuk peniruan yang diulang- ulang di bawah tekanan, melalui apa yang disebut sebagai larangan, penyebutan atas tabu (Butler 1993, 95) atau apa yang dinyatakan sebagai pantas-tidak pantas.

Pada konteks identitas lesbian sebagai Butch- femme-andro-no label , penampilan acapkali menjadi identifi kasi atas kategori tersebut. Butch biasanya ber- penampilan kelaki-lakian, femme tampak feminin se- bagaimana normativitas perempuan. Dikotomi butch- femme , yang kerap kali dikritik dalam partnership lesbian karena seolah-olah “meniru” dikotomi atas perempuan- laki-laki, tampaknya tidak berlaku bagi L-M. Selain menyebut diri mereka sebagai no label, performativitas yang mereka lakukan menunjukkan bahwa mereka bisa berpenampilan sebagaimana butch maupun femme.

A. 1. 2 Perilaku dan Peran

Identifi kasi criss-crossing gender tampak pula dari perilaku dan peran yang ditampilkan L-M. Beberapa performativitas L menunjukkan bahwa terdapat sisi femininitas dan sekaligus maskulinitas dalam dirinya. Identifi kasi femininitas muncul ketika ia menjelaskan dirinya yang gampang sekali menangis. L mendeskripsi- kan perilaku dirinya dan M sebagai berikut, “Nah, yang paling cewek banget dari kita… kita itu mewekan. Baca buku sedih, mewek. Nonton pelem, mewek. Nonton Oprah, mewek. Nonton konser, mewek…“ (“Mithya and Me,” Rabu, 10 Maret 2009). Dipahami bahwa perilaku menangis selalu diidentikkan dengan perempuan. L mengidentifi kasi

20 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian

di Indonesia

perilaku mereka yang gampang mewek (menangis) se- bagai sisi femininitas utama mereka. Beberapa perilaku yang kerap diidentikkan dengan perempuan tampak pada perilaku L yang lebih mendahulukan emosi. Sena-

da dengan L, M pun memiliki perilaku yang menampil- kan sisi femininitas. Digambarkan L, “Mithya suka ama boneka-boneka lucu, sedangkan gue tidak terlalu. Dia bisa menarik-narik gue di depan toko mainan terus dengan suara imut bilang, ‘aa, ayang lucu banget yaa…’ sambil peluk-peluk bonekanya” (Ibid.). M yang sedari awal mengidentifi kasi bahwa soul dirinya sebenarnya adalah laki-laki, namun dengan menunjukkan kegemarannya terhadap boneka –yang identik dengan mainan anak perempuan, sekali lagi menunjukkan ambiguitas identitas gender M.

Partnership yang dijalankan oleh L-M menunjuk- kan bahwa mereka bisa berperan sebagai siapa pun da- lam hubungan tersebut. Maksudnya, tidak ada aturan sebagaimana normativitas masyarakat yang mengung- gulkan peran maskulin daripada feminin. Misalnya, gender maskulin “diharuskan” mengurusi urusan pub- lik, menjadi kepala rumah tangga, sementara gender feminin memiliki peran domestik rumah tangga (Fakih 1996, 10-1). Konstruksi peran gender dalam masyarakat tersebut tidak berlaku dalam partnership L-M. Peran bagi L-M digambarkan M ketika dirinya sedang berangan- angan membayangkan bagaimana nantinya jika mereka berdua hidup serumah.

… Kalo aku udah kerja sih kayaknya aku yang baka- lan tukang pulang malem atau mepet pagi, hehehe.. It’s nice kalo di YM kita nanya, ‘Makan malem apa?’, ‘Makan di rumah ngga?’… atau kalo pu- lang kantor, aku uda siapin air anget buat kamu mandi…. (“Waiting for Your Call,” Jumat, 8 Juni 2007).

Penyebutan M akan tukang pulang malam (pagi) bagi kontruksi masyarakat biasa dilekatkan pada laki-la- ki. Bahkan jika perilaku tersebut dilakukan oleh perem- puan, maka perempuan tersebut akan dinilai sebagai

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 21

Ari Setyorini perempuan yang “tidak benar” atau nakal. Namun,

bagi M sebutan tersebut diberikan kepada dirinya send- iri untuk menunjukkan bahwa peran dirinya di ranah publik, yang memungkinkan dirinya untuk kembali ke rumah lebih larut daripada L. Akan tetapi, angan-angan M selanjutnya menggambarkan peran-peran dirinya da- lam wilayah domestik, misalnya, menyiapkan makanan bagi mereka. Bahkan, M menggambarkan dirinya dan L memiliki peran yang sama yakni di wilayah domes- tik sekaligus publik. Hal ini tampak dari bagaimana M membayangkan jika L-M sedang berkomunikasi mela- lui Yahoo Messenger! mereka akan saling menanyakan persoalan domestik, misalnya mengenai menu maka- nan, yang identik dengan peran perempuan.

Wacana-wacana tersebut secara tidak langsung menjadi counter wacana bagi konstruksi masyarakat tentang keharusan keselarasan antara boduly sex dan gender. Keharusan bahwa perempuan wajib berting- kah laku feminin dan berperan dalam ruang domestik, tampaknya telah menjadi sesuatu yang old-fashioned. Performativitas-performativitas yang ditampilkan oleh L-M mempertegas bahwa identitas adalah sesuatu yang dapat diubah, dapat di-mix-match-kan. Individu dapat menjadi sosok feminin dan maskulin sekaligus. Indi- vidu tidak dapat dibatasi hanya dengan role tertentu yang ajeg.

Butler memang mengajukan performativitas identitas untuk menunjukkan bahwa identitas dapat diubah-ubah dan dipilah-pilah, sebagaimana jika ses- eorang memilih pakaian yang hendak mereka kenakan. Namun, yang patut dicatat adalah pilihan-pilihan terse- but tidak dapat dilakukan dengan bebas, karena ter- batasnya pilihan akan identitas yang ada dalam budaya dominan. Singkat kata, performativitas adalah bebas namun terikat (Butler via Salih, 2002), gender diper- lakukan sebagai aksi performatif yang bebas namun terikat. Baik L maupun M, tak mampu lepas dari iden- titas yang terlanjur dilekatkan pada perempuan dalam budaya Indonesia.

22 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia

A. 2 Aktivitas Seksual

Post L-M dalam FD beberapa kali menggambarkan ak- tivitas seksual mereka sebagai partner lesbian. Seperti misal- nya diceritakan oleh M (“While You Sleep…,” Kamis, 7 Juni 2007),

I spread kissess along your lips, neck, then to your breast where I lingered, gently squeezing every each one of them. … my lips eagerly returned to you back, your neck, and my hand cupped each and one of your breast. … my hand be- tween your thigh, touching you. Your legs opened for me, and

I slip between them, thrusting deeply as I can into you. As I make love to you, your breathing became frantic. … suddenly you screamed out as I touched the right spot, and as I felt the trembling wrack of your body, the pleasure burst through me as well….

Gambaran M tersebut menunjukkan aktivitas seksual mereka, mulai dari foreplay hingga “aktivitas utama.” Yang menarik, M menyebut seks oral sebagai aktivitas utama seks mereka, bukan sebagai foreplay. “I slip between them, thrusting deeply as I can into you” menggambarkan aktivitas seksual oral yang M dan L lakukan. Hal ini menjadi kritik bagi konstruksi masyarakat yang menyebut aktivitas seksual di luar penetrasi adalah aktivitas seksual tambahan, aktivitas seksual pemana-

san, atau foreplay. Hal ini tampak dari pilihan kata “make love” 4 yang biasanya dikaitkan dengan aktivitas seksual penetratif, namun mereka gunakan untuk menggambarkan seks utama mereka, seks oral.

Salah satu hal terpenting dalam aktivitas seksual, yakni orgasme, dapat terjadi tanpa melibatkan perbedaan anatomi tubuh. Seperti yang dijelaskan M saat menggambarkan proses orgasme, “…you screamed out as I touched the right spot, and as I felt the trembling wrack of your body, the pleasure burst through me

4 Bandingkan pemakaian diksi ‘make love’ (have sex) dengan ‘make out’. Diksi pertama acap kali diidentikkan dengan seksual penetratif, sementara diksi selanjutnya sering terkait dengan aktivitas seksual nonpenetratif, salah satunya adalah seks oral (Lihat Encarta Dictionary 2008).

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 23

Ari Setyorini as well…” (Ibid.). “The right spot” digunakan untuk menggam-

barkan G-Spot. Persoalan seksualitas bagi L-M adalah perso- alan ketepatan menemukan spot yang benar, karenanya dapat dilakukan baik itu dengan sesama jenis maupun berbeda jenis kelamin. Di sini, karena perkara seksualitas bukan lagi perka- ra penetrasi penis, karenanya fungsi dari penis digantikan dengan anggota tubuh lainnya. Penggunaan kata “touched” (sentuh) menunjukkan aktivitas tangan, sebagaimana fungsi tangan untuk menyentuh. Selanjutnya, my hand between your thigh, touching you , semakin menegas aktivitas seksual non- penetratif. Penggunaan “between you thigh” (di antara paha- mu) menunjukkan letak pleasure perempuan, yakni klitoris yang ada di vagina. Leksikon ini menggambarkan aktivitas masturbasi mutual, di mana (M) melakukan stimulasi seksual klitoris kepada pasangannya.

Seksualitas sebagai bentuk kesenangan juga digam- barkan oleh L-M melalui post “Our Own Made Drama.” L menceritakan aktivitas seksual yang biasa mereka lakukan di toilet umum mall. Sebelum melakukan aktivitas seksual, L-M biasanya melakukan “drama” agar keduanya dapat berada di dalam toilet yang sama untuk melakukan aktivitas seksual. Diceritakan L, mula-mula salah satu dari mereka akan masuk ke dalam toilet, kemudian pura-pura sakit dan meminta part- ner yang lainnya untuk masuk ke dalam toilet juga untuk membantunya. Ketika keduanya berada di dalam toilet itu- lah, mereka melakukan aktivitas seksual. L menggunakan is- tilah plop-plop (“Our Own Made Drama,” Rabu, 13 Mei 2009) untuk menjelaskan aktivitas seksual masturbasi (handjob) yang mereka lakukan di dalam toilet. Plop-plop sendiri meru- juk pada suara yang ditimbulkan dari aktivitas seksual yang melibatkan tangan. L-M menentang apa yang dianggap tabu dalam masyarakat. Aktivitas seksual di tempat umum, seper- ti toilet mall, bagi masyarakat seringkali dianggap bukan ak- tivitas seksual yang benar. Karenanya, L-M harus melakukan “drama” terlebih dahulu untuk melakukan aktivitas seksual “tabu” tersebut.

Aktivitas seksual lain digambarkan oleh L dalam post, “...ngarep bisa megang tangan kamu, nyium kamu dikit di bibir, meluk kamu, gesekan...” (Jumat, 15 Juni 2007). Leksikon gesekan menggambarkan aktivitas seksual yang dilakukan

24 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian

di Indonesia

oleh L dan partnernya. Aktivitas ini biasa disebut dengan tribadisme, pasangan lesbian saling menggesekkan vagina mereka. Aktivitas seksual ini menggantikan fungsi penis sebagai alat penetratif karena vagina “dilawankan” dengan vagina. Variasi aktivitas seksual, seperti hand-job, seks oral, dan seks di tempat umum, dilakukan oleh L-M lebih karena hasrat seksual itu sendiri.

Apa yang dilakukan L-M dengan melakukan kombi- nasi terhadap identitas gender-seksualitas dengan tidak men- jalankan keduanya sebagaimana normativitas masyarakat, sesuai dengan apa yang disebut Butler (1990, 36-37) sebagai pastiche . L-M melakukan perpaduan terhadap identitas gen- der feminin-maskulin dan seksualitas perempuan dan laki- laki. Melalui cara ini L-M, melakukan mockering terhadap apa yang disebut oleh masyarakat sebagai normativitas gender dan seksualitas utama. Seksualitas bagi L-M bukanlah per- soalan dikotomisasi anatomi tubuh atau pula perkara halal- haram, tapi lebih pada pleasure itu sendiri.

A. 3 Pernikahan

Pernikahan bisa disebut sebagai hal termewah bagi part- ner lesbian. Beberapa post menjelaskan angan-angan L-M akan pernikahan sejenis, namun dengan segera mereka menyadari bahwa angan-angan tersebut merupakan hal yang utopis be- laka. “… tunggu kita selesai kuliah, terus … nikah deh … hehehe (gila agaknya … kekekeek)” (Lushka, Selasa, 12 Juni 2007). Ini- lah salah satu keinginan yang sebenarnya bisa dibilang kon- servatif. Mereka yang tampak no label, ternyata masih juga memerlukan suatu “status” yang lebih diamini masyarakat heteroseksual, sehingga L kerap kali membayangkan pernika- han sebagai ujung dari partnership mereka. Mungkin ini bisa dianggap sebagai pengaruh dari idealisme pernikahan dalam dunia heteroseksual.

Namun, sanggahan yang muncul segera setelah men- gangankan pernikahan, “gila agaknya”, menegaskan bahwa bagi masyarakat adalah hal yang gila jika sepasang lesbian melakukannya. Hal tersebut disadari benar oleh L-M, seperti yang tampak pada post L selanjutnya,

… what if kita nikah. Standar ngayal kita deh. Kita sih Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 25

Ari Setyorini maunya kalo nikah itu harus sah, legal dan halal. Which

mean , harus siap, ikhlas, sesuai dengan agama yang kita anut, legal di mata hukum negara dan restu orang tua. MANTAB. Masalahnyaaaaaa! … gue berdua untuk dapat nikah dengan kondisi tersebut di atas, harus memiliki syarat sebagai berikut: 1). Ikhlas/ Siap  … siap banget dah , 2). Restu orang tua  nyokap Mithya klik banget ama gue.. hihihi. Mithya kayanya juga bisa get along dengan baik ama keluarga gue, 3). Beda Kelamin… errrr, 4). Beragama sama … errrr. Itu dia masalahnya pemirsa! Gue berdua udah sama kelaminnya, eeehhh ditambah pake beda agama! (“Ayo Pilih Mana,” Rabu, 13 Mei 2009).

L menggambarkan hal-hal yang harus dipenuhi jika mereka akan melakukan pernikahan. Pertama dan mendasar adalah persyaratan akan perbedaan kelamin dalam sebuah pernikahan. Selanjutnya adalah persamaan agama atau ke- percayaan. Kedua masalah tersebut tidak dapat dipenuhi oleh L-M karena mereka sama-sama perempuan, namun berbeda agama (Lushka beragama Katholik, Mithya beragama Islam).

Bagi pasangan lesbian, hal yang kerap mereka temui adalah keterpaksaan mereka untuk menikah dengan laki-laki demi atribut sosial yang nantinya akan melekat pada mereka. L-M menceritakan bahwa banyak lajang lesbian yang dijodoh- kan oleh orang tua mereka. Sebagaimana digambarkan L,

…para lajang yang dijodohkan oleh orang tua untuk para Queer , punya masalah apa ya? Apakah homo? Psycho? Kuper? Jelek? Terlalu sibuk? Terlalu pintar? Tidak percaya dengan pernikahan? Sakit keras? Punya masa lalu yang buruk? Why?! Kenapa para ‘calon korban pengorbanan’ lesbian ini sampai perlu dijodohkan? (Lushka, Selasa, 22 Desember 2009).

Menarik untuk dicermati ketika L menyoroti permasalahan justru kepada individu yang dijodohkan kepada lesbian, bukan kepada lesbian itu sendiri. Kecurigaan L terhadap kualitas laki- laki yang dijodohkan kepada lesbian menunjukkan pesimisme dirinya. Dia menggambarkan imej-imej “negatif” seperti homo, psycho , kuper, jelek, terlalu sibuk, terlalu pintar, tidak percaya

26 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia

dengan pernikahan, sakit keras, punya masa lalu yang buruk terhadap laki-laki yang dijodohkan dengan lesbian.

L juga menilai bahwa yang bermasalah bukanlah lesbian tersebut, tapi justru laki-laki yang mau “dikorbankan” sebagai jodoh lesbian. L melakukan redefi nisi bahwa yang “bersalah” jika terjadi perjodohan antara lesbian dengan laki-laki straight adalah justru si laki-laki tersebut. Orang biasanya berpikir bahwa perjodohan antara lesbian dan laki-laki straight akan “menyembuhkan” lesbian. Pada konteks ini, laki-laki yang dijodohkan tersebut seringkali dianggap sebagai hero bagi masyarakat, namun nyatanya bagi L, laki-laki tersebut tak ubahnya sebagai “korban” yang terpaksa menuruti sistem budaya. Hingga akhirnya, mereka mau saja dijodohkan dengan lesbian karena asas heteronormativitas.

B. Weblog Rahasia Bulan (RB)

Weblog ini adalah milik seorang lesbian bernama virtual Alex (A). Blog ini cukup dikenal oleh komunitas lesbian karena A meru- pakan pengelola salah satu majalah lesbian online, sepocikopi.com. Struktur blog ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagi pertama adalah judul weblog, yakni Rahasia Bulan. Bagian selanjutnya adalah post, bagian ini merupakan inti dari weblog tersebut karena memuat tu- lisan A dan juga komentar-komentar blogger atas post yang dilaku- kan A. Bagian terakhir berisi deskripsi blog, twi tt er, tagline, arsip blog , kategori post, web hit counter, dsb.

B. 1 Perbincangan Mengenai Identifi kasi Femme, Butch, Andro, dan No Label

Berbeda dengan weblog milik L-M, yang dengan gamb- lang menjelaskan bahwa mereka adalah no label, A tidak secara gamblang menjelaskan identitas dirinya dalam kategorisasi femme-butch-andro maupun no label. Identifi kasi tampak per- tama kali melalui pemilihan nama virtual yakni “Alex”. Nama “Alex” merupakan kependekan dari Alexander atau Alexan- dria, berasal dari bahasa Yunani yang biasanya dihubungkan dengan Hera, istri Zeus. Nama ini juga kerap dihubungkan dengan Alexander the Great dan kerap dikaitkan dengan ke- beranian dan kekuatan fi sik. “Alex” merupakan nama untuk unisex yang umum dipakai baik bagi laki-laki maupun perem- puan (h tt p://www.wikipedia.org). Nama ini kemudian men-

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 27

Ari Setyorini jadi penanda akan identifi kasi Alex sebagai “in-betweeness”’.

Perempuan (yang disimbolkan melalui Hera) yang memiliki sifat maskulin sebagaimana Alexander the Great.

Pada beberapa post, dia menggambarkan isu identifi kasi lesbian ini, namun tidak mengategorikan dirinya ke dalam salah satunya. Alex menyoroti identifi kasi tersebut melalui sosok idola yang dinilainya mewakili ketertarikan dia terhadap perempuan yang maskulin. Misalnya, ketika dia menggambarkan artis-artis perempuan yang berperan sebagai jagoan, dan dinilainya sebagai sosok perempuan yang menarik. Dia menulis, “… temukan perempuan-perempuan jagoan ini, lalu nikmati pesta mata bersama mereka. Perempuan-perempuan cantik, berotak, berani, berkepribadian kuat, dan jagoan di antara jagoan.” (“10 Cewek /Jagoan dalam Film Sci-Fi/ Fantasi,” 2008).