Identitas Seksual

Identitas Seksual

Herdt (1997) mendefi nisikan identitas seksual sebagai cermi- nan konstruksi sosial dari individu-individu yang telah dipengaruhi dan dipertajam oleh faktor-faktor budaya serta dampak psikologi yang diakibatkannya. Crossley (2005) menganggap bahwa identitas seksual selalu relatif karena kecenderungan kita mendefi niskan itu terhadap orang lain. Identitas seksual dinegosiasikan secara relatif dalam konteks tertentu oleh si pelaku sosial, yakni bagaimana mer- espon keberbedaan (Morrish & Sauntson 2007). Oleh sebab itu, formasi hubungan seksuali dapat saja diekspresikan sebagai suatu orientasi seksual yang diinginan tanpa harus merekonstruksi hidup mereka di seputar identitas itu (Harrison 2000).

Lembaran demografi yang diisi responden disiapkan agar re- sponden mendeskripsikan sendiri tentang apa identitas seksualitas mereka sebelum wawancara dimulai. Ternyata, hanya terdapat 4 orang responden yang langsung mengidentifi kasi diri sebagai ho- moseksual dan semuanya berlatar belakang pendatang. Responden yang lainnya (sebanyak 11 orang) menuliskan diri mereka sebagai heteroseksual, biseksual, atau menuliskan kedua identitas itu ber-

6 Lihat Nugraha (2008).

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 105

Iskandar P. Nugraha dan Maimunah Munir

sama-sama. Pengidentifi kasian diri terhadap identitas seksualitas ini jelas menunjukkan bahwa pada umumnya mereka tidak men- genal penggunaan pelabelan diri sebagai homoseks. Ini juga bisa menunjukkan praktik seksualitas mereka yang cair dan fl eksibel sebagaimana terlihat pada deskripsi naratif mereka.

Anggapan menarik yang muncul dari sebagian besar mereka adalah bahwa laki-laki homoseks yang berpenampilan normal sep- erti mereka, tidak bisa seratus persen menjadi homoseks, kecuali kalau mereka menjadi waria. Pernyataan ini memberi gambaran bahwa identitas seksual masih terkait dengan penampakan dan peran gender sesuai fi sik. Seks yang dilakukan dengan laki-laki lain adalah bentuk kesenangan semata.

Sebagian responden mengaku hanya melakukan seks dengan laki-laki lain ketika berada di daerah lain atau ketika bepergian. Di antara mereka ada yang hanya melakukan seks tersebut den- gan orang yang sudah dikenalnya, misalnya, dalam acara minum- minum (sesudah acara-acara keluarga/adat), sementara yang lain berusaha melakukannya dengan orang yang berbeda-beda/tidak sama dan berusaha tidak melakukannya lagi dengan orang yang sama agar kerahasiaan terjaga.

Tidak melakukan hubungan seksual dengan laki di tempat asalnya merupakan temuan umum pada kelompok yang bermobili- tas tinggi, terutama karena jenis pekerjaan, kepentingan adat atau karena pendidikan. Terjadinya hubungan seksual tersebut diakui karena merekalah yang didekati oleh orang-orang yang mereka anggap sebagai orang homoseks. Di antara mereka hampir semua memiliki pacar perempuan, berencana menikah atau telah menikah dan bercita-cita memiliki anak. Pada umumnya, mereka tidak men- cari hubungan yang berlanjut dengan laki-laki lain. Mereka mela- belkan hal itu sebagai bagian dari pertemanan yang mengasyikan antara dua orang laki-laki dan tidak mempermasalahkan perihal praktik seksual sejenis.

Pada beberapa responden diakui bahwa pengalaman seksual pertama kali dengan laki-laki lain terjadi di luar Papua, ketika men- jadi mahasiswa perantauan. Sebagian mengaku bahwa hubungan seksual sejenis baru diperkenalkan oleh orang pendatang. Dari mereka, seolah tidak ada pengakuan bahwa ketertarikan itu juga datang dari diri mereka sendiri. Tema-tema “dikerjain,” “diperko- sa,” dll. muncul dalam cerita mereka, meskipun mereka juga men- gakui menikmatinya.

106 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Dinamika Kehidupan Seksual Kelompok LSL di Jayapura Papua

Responden yang mengidentifi kasi diri sebagai heteroseksual dan/atau biseksual mengatakan bahwa memiliki pasangan sek- sual dengan laki-laki tidak harus dipertentangkan dengan identi- tas heteroseksual mereka, sebab persoalan identitas bukanlah hal yang serius. Identitas mereka sebagai laki-laki (bapak bagi yang su- dah menikah) jauh lebih penting. Tapi ketika diminta menjelaskan mengenai identitas seksual sebagai homoseks, semua responden menganggap bahwa bila rahasia itu terbuka, akan langsung me- nyebabkan pengucilan mereka dari keluarga atau teman, dan da- pat berakibat fatal seperti kehilangan keluarga atau pekerjaan. Jadi, menjadi tidak jelas apakah pengakuan identitas seksualitas menjadi sesuatu yang tidak penting ataukah karena ketakutan terhadap ber- bagai konsekuensi buruk yang mungkin mereka hadapi.

Kebanyakan dari kelompok ini mengakui bahwa mereka bu- kan pihak yang memulai, tapi diperkenalkan lebih dulu. Pengala- man pertama kali dengan laki-laki kebanyakan diakui terjadi secara kebetulan, misalnya, di hotspot seks di kota (tidak khusus kelom- pok LSL, tapi juga wanita pekerja seks dan waria) atau di tempat kuliah/kerja. Sebelumnya, mereka sudah melakukan hubungan seks juga dengan perempuan. Seorang responden mengaku melakukan hubungan seksual dengan laki-laki pertama kali ketika berada di mes di hutan, karena pekerjaannya di perusahaan penggergajian kayu di pedalaman. Melakukan seks dengan laki-laki lain juga di- akui dilakukan karena perempuan tidak tersedia. Dan, hubungan seksual itu tidak membuat mereka menjadi seorang homoseks.

Mereka akan mencari kesempatan untuk melakukan hubun- gan seksual dengan laki-laki siapa saja bila ada kesempatan, di saat uang sama, mereka juga akan melakukannya dengan perempuan. Mereka tidak saja mengakui bahwa seks dengan laki-laki hanya fun, namun juga itu memiliki sensasi sendiri yang tidak ditemui bila mereka berhubungan seks dengan perempuan. Seks dengan laki-laki, lebih lanjut, dianggap suatu hal yang menantang karena dilakukan untuk melawan norma-norma dan sembunyi-sembunyi. Seks dengan laki-laki terasa agak spesial karena memberi kepuasan tersendiri dalam kehidupan seksual mereka.

Di antara mereka yang diketahui menikah, sudah melakukan hubungan seks dengan laki-laki sebelumnya. Sekalipun berhubun- gan seks dengan laki-laki lain bisa mendapatkan kepuasan tersend- iri, hal itu tidak menghentikan rencana mereka untuk menikah dengan perempuan. Mereka tidak menganggap hubungan dengan

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 107

Iskandar P. Nugraha dan Maimunah Munir

laki-laki sebagai hal penting. Ini terlihat dalam petikan jawaban salah seorang responden di bawah ini.

Pekerjaan [saya] sangat mobile, sering bepergian ke kota lain di dalam maupun luar Papua, terutama ke Sorong dan Makassar. Selain punya pacar tetap laki-laki, saya juga menjalin hubungan dengan perempuan. Pacaran dengan pasangan perempuan ini sudah berjalan 3 bulan dan ada rencana menikah dan punya anak. Kami juga sudah melakukan hubungan seks. Pacaran dengan pasangan laki-laki di kota lain [Manokwari] ini sudah berjalan 3 tahun.

Dalam hubungan seksual, mereka hanya mau mengambil peran “top”, yakni melakukan penetrasi seksual karena posisi terse- but dianggap menggambarkan perilaku laki-laki maskulin sejati, yakni peran gender sebagai laki-laki yang dikenal. Diketahui pula, mencari kenikmatan seksual dengan laki-laki, terutama dengan pasangan tetap laki-lakinya, sering dilakukan dalam konteks perte- manan antarlaki-laki, di mana seks baru terjadi sesudah keduanya mabuk. Sebagaimana lazimnya di Papua, laki-laki yang menikah biasanya mudah mendapat izin ke luar rumah untuk pergi minum- minum dan akan beralasan menginap di rumah orang lain/teman karena terlalu mabuk.

Responden-responden yang lain dapat dimasukkan pada kel- ompok yang kedua, yaitu mereka yang mengidentifi kasi sebagai re- sponden lokal yang biseksual. Mereka menceritakan pengakuannya mengenai ketertarikan secara fi sik dan emosional dengan laki-laki lain. Namun kesadaran mereka terhadap identitas homoseksual tidak ada atau mengingkarinya dan selalu berupaya untuk meng- hilangkannya. Walaupun memiliki perasaan yang kuat terhadap laki-laki, mereka juga diketahui menikah atau berencana akan me- nikah. Meskipun telah menikah, perasaan kuat terhadap laki-laki masih amat tinggi dan hal itu tidak disesalkan, seperti juga tidak menyesal melakukan perkawinan dengan perempuan untuk mer- eka yang telah menikah. Tingkat pertemuan dan jumlah kontak- kontak dengan laki-laki lain, terutama dengan pendatang, telah menumbuhkan perasaan kuat bagi kelompok ketiga untuk mem- pertanyakan pada diri sendiri akan identitas seksual mereka yang sesungguhnya. Selanjutnya, upaya itu makin lama makin disadari telah mengurangi rasa ketertarikan terhadap perempuan/istrinya,

108 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Dinamika Kehidupan Seksual Kelompok LSL di Jayapura Papua bahkan ketika melakukan hubungan seks, ada yang mencoba mem-

bayangkan istrinya sebagai laki-laki yang hidup dalam fantasi sek- sual mereka.

Kesadaran identitas seksual secara individual muncul den- gan cepat akibat kontak-kontak dengan pendatang atau karena perkenalan dengan jaringan media sosial. Pada mulanya mereka mengakui tidak selalu ada upaya untuk mengerti mengenai iden- titasnya, apalagi upaya untuk membina hubungan saling mencin- tai antara sesama laki-laki sampai hari tua. Selain dianggap tidak dikenal dalam masyarakat, faktor memiliki anak adalah penting dalam kehidupan berkeluarga, yang berfungsi sebagai penjaga ke- tika mereka berusia lanjut sehingga mereka tetap akan menikah. Namun sekali lagi, kontak dan penggunaan media teknologi komu- nikasi baru telah membawa mereka untuk mengetahui lebih jauh meskipun dilakukan secara tertutup.

Hanya pada 3 responden yang kesemuanya pendatang men- gakui telah menyadari identitas seksualnya sejak kecil dan merasa sedikit nyaman dengan identitas itu. Mereka semuanya adalah pen- datang dari Jawa, Makasar, atau Ambon, yang pergi untuk alasan pekerjaan ke Jayapura. Pengalaman seks pertama mereka kebanya- kan dimulai ketika remaja dan sejak itu langsung terlibat aktif pada jaringan homoseksual yang mereka ketahui. Secara umum, mereka mengakui tidak ada keinginan untuk menikah karena dianggap tidak sesuai dengan perasaan hatinya. Perasaan yang kuat terhadap laki-laki kadang berupa cinta, sehingga seksualitas bukan satu-sa- tunya ukuran. Cita-cita ideal mereka adalah memiliki kekasih dan pasangan hidup laki-laki yang digambarkan seperti perkawinan pada kelompok heteroseksual. Posisi dalam hubungan seksual bagi mereka tidak penting, namun mereka tetap membayangkan peran gender dalam hubungan mereka, bahwa top adalah maskulin, se- dangkan bo tt om adalah feminin. Upaya inilah yang membawa mer- eka untuk selalu mencari pasangan seksual dan pasangan hidup sekaligus untuk bisa berbagi kehidupan. Walaupun demikian, mer- eka tidak akan langsung berterus-terang tentang identitas seksual- nya atau menganggap lingkungan sekitarnya akan dapat membaca hal tersebut.