Gender dan Seksualitas di Indonesia

Gender dan Seksualitas di Indonesia

Istilah Indonesia ‘gay’ di sini digunakan untuk menunjuk pada laki-laki yang tertarik secara erotis pada gender yang sama dengan mereka, dan yang mengidentifi kasikan diri mereka sendi- ri sebagai gay. Ini cukup berbeda dengan identitas gender waria, tranvestit laki-laki ke perempuan, yang umumnya mendefi nisikan diri mereka sebagai laki-laki dengan jiwa perempuan dan berpe- nampilan sebagai perempuan, dan yang dalam ketertarikan mer- eka pada laki-laki, mengekspresikan hasrat terhadap gender lain (Boellstor ff 2007, 78–113). Jelas, bahwa istilah ‘gay’ dalam bahasa Indonesia adalah saduran dari kata Inggris, tapi sebagaimana diar- gumentasikan oleh Tom Boellstor ff , tidak benar untuk memahami dua kata tersebut sebagai dapat dipertukarkan secara langsung (Boellstor ff 2005, 8). Meskipun identitas gay Barat tidak dapat di- pandang rendah pengaruhnya dalam pembentukan identitas gay Indonesia, namun penting juga untuk menyadari pengaruh lokal dalam merekonstitusi identitas impor. Begitu pula, istilah Indo- nesia ‘normal’ yang digunakan gay Indonesia untuk merujuk pada pemahaman dominan seksualitas modern (Boellstor ff 2005, 8), se- harusnya dilihat sebagai berbeda dari istilah Inggris normal; sama pula, istilah Indonesia ‘lesbian’ harus dilihat sebagai berbeda dari istilah Inggris lesbian.

Kunci di sini adalah kelas dan, sebagaimana akan didiskusikan lebih lanjut di bawah, untuk memahami bagaimana subjektivitas gay dipengaruhi latar belakang sosio-ekonomi masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Argumen bahwa globalisasi melemahkan pertalian antarbatas kelas dalam masyarakat tertentu sebagaimana ia juga memperkuat pertalian (paling tidak di antara kaum elit) sudah banyak dibahas. Tulisan Denis Altman mengenai globalisasi dan seksualitas (Altman 1997, 417–436; Altman 2001a; Altman 2001b, 19–41), terutama dalam diskusinya mengenai kemungkinan global gay, memaparkan fakta bahwa apa yang tampaknya universal akan ‘dimediasi melalui tiap kebudayaan dan ekonomi politik dari setiap masyarakat’ (Altman 2001b, 31). Tapi kita juga harus menyadari di sini bahwa dalam masyarakat tertentu—khasusnya Indonesia— laki-laki gay dari latar belakang sosio-ekonomi yang berbeda akan

dari peserta gay telah kuliah di universitas, sementara tiga dari mereka mengiden- tifi kasi diri berasal dari latar belakang kelas menengah.

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 49

Ben Murtagh

mencari identitas gay Barat dengan cara yang berbeda. Di Indonesia, pengamatan anekdotal terhadap lekas akan menggarisbawahi fakta bahwa ada batas-batas kelas yang signifi kan dalam komunitas- komunitas gay, sebagaimana ada dalam masyarakat Indonesia yang lebih luas. Tidak semua laki-laki gay di Inonesia sama, dan faktor pembedanya terutama adalah kelas.

Mayoritas representasi fi lmis dan literer mengenai posisi subjek gay umumnya ditempatkan dalam se tt ing kelompok kelas atas, yang kemudian memperkuat sterotipe bahwa gay Indonesia berasal dari kaum elit. Namun, ‘dalam realitanya, laki-laki gay dapat berasal dari berbagai tingakatan sosioekonomi dan karena kebanyakan orang-orang Asia Tenggara tidak kaya, tidak mengherankan bahwa sangat sedikit orang gay di Asia Tenggara kaya (Boellstor ff 2007, 198). Kesenjangan yang tampak antara stereotipe media dan realitas ini penting jika kita mengingat bahwa banyak gay dan lesbian Indonesia pertama mengenal posisi subjek mereka melalui media massa. Ketika kita melihat representasi sinematik, apa yang terlihat tampaknya adalah repetisi stereotipe elit gay—yang lebih jauh lagi bahwa elit (kurang lebih) sama dengan Barat. Berguna juga bagi kita untuk mempertimbangkan bahwa banyak orang Indonesia dari kelas sosio-ekonomi atas untuk lebih familiar dengan fi lm-fi lm Barat

dan serial televisi daripada orang-orang Indonesia pada umumnya 7 . Ini meningkatkan kemungkinan bahwa untuk kebanyakan orang Indonesia normal dari kelas sosio-ekonomi yang lebih tinggi, termasuk mereka dalam industri fi lm, pemahaman mereka mengenai dunia lesbian/gay akan kerap diinformasikan oleh baik penggambaran Barat maupun lokal.

Jika subjek posisi waria memiliki sejarah panjang dari abad kesembilanbelas, subjek posisi gay tampaknya baru mulai dikenal di Indonesia di tahun 1970an hingga 1980-an (Boellstor ff 2005, 60). Reportase mengenai isu gay dan lesbian mulai muncul secara spo- radis di media cetak Indonesia semenjak tahun 1980-an (Boellstor ff 2005, 59–66). Keberadaan di media massa ini mulai meningkat se- cara signifi kan dari akhir tahun 1990-an dan memasuki milenium baru. Perkembangan ini juga terefl eksikan dalam fi lm maupun sas- tra. Meskipun apa yang mungkin dapat dimengerti sebagai identi-

7 Perlu lebih banyak penelitian mengenai ini, tapi observasi sekilas mem- perlihatkan bahwa banyak orang Indonesia kaya lebih suka menonton fi lm-fi lm Barat dibandingkan fi lm Indonesia, baik di bioskop maupun melalui di DVD.

50 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa tas gay dan lesbian modern telah disebutkan dan diselidiki dalam

sastra semenjak paling tidak tahun 1970-an (K. F. 2006, 55–61), visi- bilitas ini tampak jelas dalam penerbitan empat novel dengan tema gay dalam tahun 2004 sendiri (Murtagh 2007, 281–299). Dalam kasus representasi sinematik mengenai seksualitas non-normatif,

meskipun era Orde Baru tidak dapat diremehkan 8 , periode se- menjak 1998 menyaksikan peningkatan signifi kan atas ketertarikan terhadap seksualitas non-heternormatif dan khususnya terhadap posisi-posisi subjek gay dan lesbian. Kajian terpusat pada majalah, televisi, dan mungkin juga radio tak diragukan juga akan mengg- garisbawahi trend yang mirip.

Chris Berry mencatat dalam kasus sinema Asia Timur bahwa apa yang kita lihat dalam sinema mainstream sering kali bukan re- alita kehidupan laki-laki gay, tapi lebih mengenai bagaimana laki- laki gay dipersepsikan (Berry 1997, 14–17). Observasi ini juga dapat diaplikasikan pada sinema dan sastra Indonesia. Mengingat bahwa Boelstor ff memperlihatkan dalam referensinya di Asia Tenggara bahwa ‘tampaknya media cetak, televisi, dan fi lm mempunyai peran penting dalam pembentukan posisi-posisi subjek gay dan lesbian’ (Boellstor ff 2007, 213), maka dapat dimengerti bahwa orang-orang gay dan lesbian Indonesia sering memahami subjektifi tas mereka (paling tidak sebagian) melalui media, sebuah medium represen- tasi yang kerap tidak sesuai dengan realita sehari-hari.

Penting untuk dinyatakan bahwa Coklat Stroberi bukanlah fi lm yang secara khusus ditujukan pada penonton gay. Begitu pula

bukunya, yang mendapatkan peningkatan penjualannya dari penjualan fi lmnya. Jadi, bisa jadi alur cerita gay ini dimasukkan sebagai eksotika.

Sebagaimana diskusi di bawah ini akan menggarisbawahi, Upi, produser dan penulis skenarionya, melihat Coklat Stroberi sebagai fi lm yang melibatkan seksualitas remaja dan posisi mereka dalam masyarakat Indonesia yang lebih luas. Upi jelas bertujuan untuk memproduksi fi lm yang inklusif, meskipun dapat dibantah bahwa pendekatannya, yang untuk beberapa kritik memberi kesan pengetahuan superfi sial mengenai kehidupan gay di Indonesia, membawanya ke dalam perangkap penggambaran perspektif heteroseksual mengenai gay Indonesia. Begitu pula bukti yang tampak dari forum-forum dan situs- situs blog yang menunjukkan bahwa novelnya cukup populer di antara

8 Hal ini selain dari termasuknya karakter minor waria yang cukup umum dalam komedi.

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 51

Ben Murtagh

komunitas-komunitas gay. Jadi, meskipun tidak ada kesan bahwa novel ini ditulis untuk ataupun secara khusus ditujukan pada pembaca gay, bisa jadi pengetahuan mengenai isi fi lm tersebut membawa banyak laki-laki gay untuk membeli bukunya (meskipun jelas tidak ada cara untuk memverifi kasinya).

Salah satu tantangan utama dalam memahami penggambaran karakter-karakter gay utama dalam Coklat Stroberi adalah menya- dari bahwa subjektifi tas gay Barat dan Indonesia, meskipun memi- liki banyak kesamaan, adalah berbeda. Terutama telah dinyatakan oleh Boellstor ff bahwa sikap terhadap pernikahan heteroseksual dan ‘membuka diri (coming out)’ mempunya perbedaan yang cu- kup signifi kan. Boellstor ff mendemonstrasikan bagaimana priviles pernikahan sebagai aspek penting dalam masyarakat mendorong banyak laki-laki Indonesia yang mengidentifi kasi diri mereka seba- gai gay tetap menginginkan pernikahan heteroseksual dan mempu- nyai anak, dan banyak laki-laki yang menikah tidak melihat ini seba- gai suatu keganjilan dengan status mereka sebagai gay (Boellstor ff 2005, 109–111). Dia juga menunjukkan bahwa daripada mengguna- kan wacana pangakuan pembukaan diri sebagaimana diperjuang- kan di Barat modern, gay Indonesia cenderung melihat diri mereka sebagai terbuka di beberapa ruang—sebagai contoh, tempat ngeber dan rumah teman—dan tertutup di ruang-ruang lainnya, seperti tempat kerja dan rumah (Boellstor ff 2005, 170–175).

Poin-poin ini khususnya relevan dalam analisis kita mengenai teks yang akan kita bahas. Pertama, karena hubungan gay yang di- idealisasikan berdasarkan model heteronormatif modern ini diaspi- rasikan dan tampaknya tercapai dalam fi lmnya, dan jelas tercapai dalam novelnya. Kedua, karena dalam satu adegan kunci di baik versi fi lm maupun novel, salah satu karakternya ‘membuka diri’ ke orang tuanya (meskipun istilah ini tidak digunakan dalam fi lmnya). Jadi, ada perbedaan yang tampak dalam representasi posisi subjek gay dalam Coklat Stroberi dan penemuan Boellstor ff . Kesenjangan ini bisa jadi merupakan hasil kesalahpahaman tim produksi fi lm. Bisa jadi Coklat Stroberi mempresentasikan fantasi mengenai apa itu menjadi gay di Indonesia, kemungkinan berdasarkan pengalaman dengan representasi kebudayaan Barat mengenai hubungan gay modern, daripada refl eksi mengenai kebudayaan gay di metropolis Indonesia sendiri. Namun, sudah hampir satu dasawarsa semenjak Boellstor ff melakukan penelitian lapangannya, dan merupakan ke- salah untuk membuat asumsi bahwa subjektifi tas-subjektifi tas gay

52 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa di Indonesia statis dan tidak berubah—betapapun, 40 tahun yang

lalu subjektifi tas ini sangat sedikit ada di Indonesia. Semenjak 1998, ada semacam pergeseran dalam penggam- baran sinematik laki-laki gay di Indonesia. Selama periode Orde Baru, kita melihat Istana Kecantikan (Wahyu Sihombing, 1988) di mana seorang laki-laki gay dipaksa menikah karena tekanan kelu- arga dan keinginannya untuk memiliki anak (Murtagh 2006, 211– 230). Dalam serial Catatan si Boy (1987–92), karakter Emon yang sangat ngondhek, dan secara umum dikenal di pers saat itu sebagai banci 9 , atau bahkan gay, tampaknya disangkal seksualitas queer- nya dalam fi lm melaui ketertarikannya yang tidak meyakinkan ter- hadap perempuan, meskipun tampaknya ini juga jarang dianggap

serius oleh baik Emon sendiri maupun teman-temannya 10 . Dalam fi lm-fi lm seperti Jakarta Jakarta (sutradara Ami Prijono, 1977) dan

Terang Bulan di Tengah Hari (sutradara Chaerul Umam, 1988), kita melihat karakter-karakter—seorang germo dan seorang agen— yang jelas camp dan pasti akan dikenali penonton sebagai gay atau banci, meskipun posisi subjek tersebut tidak diutarakan dalam fi lm tersebut. Karakter-karakter ini berperan hanya untuk menambah warna dan bumbu dan, pastinya dalam fi lm Chaerul Umam, kesan kemerosotan moral. Sebaliknya, dalam fi lm-fi lm sejak 1998, ada be- berapa representasi hubungan laki-laki gay yang saling mencintai dengan potensi bertahan lama, meskipun problem pernikahan ser- ing muncul sebagai rintangan yang harus dilewati. Maka, dalam Arisan! pasangan kekasih gay Nino dan Sakti akhirnya berpacaran setelah Sakti, seorang anak tunggal, melewati kewajibannya untuk menikah. Dalam Pesan dari Surga (sutradara Ayu Asmara, 2006), sebuah fi lm mengenai lima teman dan anggota band rock, seorangg pemain band laki-lakinya, Kuta, berhubungan dengan laki-laki yang sudah menikah dan meminta kekasihnya meninggalkan istrinya agar mereka dapat hidup bersama secara permanen. Dalam Janji

9 Banci adalah istilah yang umum digunakan untuk merujuk kepada male- to-female transgender, meskipun mereka sendiri umumnya lebih menyukai istilah waria. Banci juga sering digunakan, umumnya dalam pengertian yang merendahkan, untuk merujuk pada laki-laki banci, banyak dari mereka mungkin mengidentifi kasi sebagai gay atau bahkan normal, bukan sebagai waria.

10 Serial Catatan Si Boy , disutradarai oleh Nasry Cheppy, berlangsung selama lima fi lm dalam kurun 1987 dan 1991, dan ada juga dua fi lm plesetan yang memanfaatkan popularitas Emon, Bayar tapi Nyicil (sutradara Arizal, 1988) dan Catatan si Emon (sutradara Nasry Cheppy, 1991). Lihat juga Rizal (2008).

Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 53

Ben Murtagh

Joni (sutradara Joko Anwar, 2005), dalam satu adegan di awal yang memperkenalkan tema fi lm untuk melakukan apa saja demi me- menangkan hati perempuan yang dicintainya, karakter yang diper- ankan oleh Winky Wirawan menyatakan seluruh cintanya kepada karakter Tora Sudiro, dan kita dapat mengira bahwa hubungan in dimaksudkan sebagai permanen. Kemudian, dalam fi lm thriller

semi-noir seperti Kala (sutradara Joko Anwar, 2007), 11 di mana kara- kter utama polisi Eros secara sambil lalu ditunjukkan sebagai gay dan memiliki pasangan laki-laki, sutaradara/penulis skenario¬nya dengan cerdas dan proaktif menantang asumsi heteronormatif pe- nonton yang menganggap semua karakter adalah straight kecuali secara eksplisit ditampakkan sebaliknya.

Konsep pembukaan diri mengenai homoseksualitas pribadi telah muncul pada beberapa fi lm baru selain Coklat Stroberi, pal- ing tidak membuka diri kepada teman-teman heteroseksual, dan terkadang juga membuka diri pada anggota keluarga. Menariknya, Boellstor ff menemukan bahwa, berbeda dengan Barat, konsep membuka diri pada dunia gay ‘tidak lantas berarti perlu atau tak terhindari untuk membuka diri dalam semua aspek kehidupan (seperti keluarga dan tempat kerja)’ (Boellstor ff 2007, 199). Menarik untuk dicatatat detil contoh-contoh fi lmis mengenai hal ini. Topik ini adalah kunci untuk fi lm Arisan! Di mana karakter Nino sudah membuka diri sejak awal narasi, sementara Sakti melalui proses pembukaan diri yang tidak disengaja, tapi diterima, yang diikuti dengan pernyataan mengenai seksualitasnya kepada teman-teman- nya. Dalam Pesan dari Surga, seksualitas gay Kuta diketahui dan diterima tanpa masalah oleh teman-temannya.

Sehubungan dengan hal-hal di atas, perlu direnungkan apakah ini merepresentasikan semacam pergeseran dalam masyarakat Indonesia secara umum, atau apakah representasi fi lmis mengenai pembukaan diri ini muncul karena alasan lain: familiaritas para pembuat fi lm dengan situasi di Barat adalah salah satu kemungkinan utama. Menariknya, ‘terbuka dalam komunitas’, skenario yang paling memungkinkan dalam realita, tidak pernah digambarkan dalam fi lm-fi lm ini. Karakter- karakter gay tidak ditunjukkan berinteraksi dalam komunitas gay yang

11 Sementara judul bahasa Inggris untuk fi lm ini di website resminya ada- lah Dead Time, fi lm ini juga telah diputar secara internasional dengan judul The Secret .

54 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011

Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa

lebih besar. 12 Ini menarik, karena meskipun banyak gay Indonesia terbuka dengan laki-laki gay lainnya dan mungkin kerap mengunjungi tempat-tempat gay, jumlah yang terbuka pada keluarganya tampak masih sangat terbatas. Penemuan ini cukup terbuktikan melalui fakta bahwa dalam focus group dengan laki-laki gay untuk mendiskusikan Coklat Stroberi , hanya satu dari tujuh partisipan membuka diri mengenai seksualitas mereka pada keluarganya, meskipun semuanya ‘terbuka’ dalam komunitas LGBT. Ketika didesak mengenai hal ini, mereka semua setuju keluarga akan menjadi kelompok terakhir untuk diberitahu, dan kebanyakan mereka tidak ingin atau menganggap tidak perlu keluarganya mengetaui seksualitas mereka. Secara kebetulan, satu diskusi dengan kelompok lesbian menemukan sikap yang agak berbeda; meskipun mereka beranggapan bahwa keluarga biasanya akan menjadi terakhir yang diberitahu, mayoritas kelompok lesbian telah membuka diri sedikitnya ke beberapa anggota keluarganya. Bisa jadi bahwa ada perubahan-perubahan, terutama di ibukota Indonesia, dan penting untuk mencatat bawa lokasi penelitian Boellstor ff tidak termasuk Jakarta. Saya juga melakukan focus group discussion di luar ibukota. Bagaimanapun juga, meskipun mungkin ada lebih banyak orang Indonesia yang ‘terbuka’ di Jakarta, ini tidak tercermin dalam pengalaman saya di kota ini, tidak pula dalam sejumlah kecil orang- orang Indonesia yang secara publik terbuka di media massa. Melihat tampaknya ada kesenjangan antara representasi fi lmis mengenai pembukaan diri, penemuan Boellstorf dari akhir 1990-an dan diskusi saya sendiri mengenai laki-laki gay di thaun 2008, artikel ini akan secara khusus memperhatikan penggambaran proses pembukaan diri baik dalam fi lm dan novelnya.