C. Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Islam
1. Kebijakan Pendapatan Negara
Diantara beberapa variable instrument penerimaan, ada penerimaan Negara yang bersifat regulasi atau ketentuan yang mengikat warga Negara
dengan tujuan tertentu saja berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, serta ada yang bersifat sukarela. Pada masa Rasulullah, penerimaan Negara banyak
mengandalkan dari penerimaan yang bersifat sukarela dan digunakan untuk program pembangunan ekonomi, sosial atau bahkan pertahanan Negara.
Penerimaan yang bersifat sukarela itu seperti infaq, shadaqah, dan wakaf. Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan pemerintah melalui
zakat, ghanimah, fay, jizyah, kharaj, shadaqah dan beberapa penerimaan lain. Jika di klasifikasikan maka pendapatan tersebut ada yang bersifat rutin seperti
zakat, jizyah, kharaj, ushr, infak dan shadaqah serta pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer seperti ghanimah, fay’ dan harta yang tidak ada
perwarisnya.
31
Klasifikasi seperti ini menurut Abu Yusuf dalam kitabnya Al-Kharaj, adalah mengikuti sifat keagamaan dari sumber-sumber pendapatan negara
tersebut. Melakukan klasifikasi seperti ini sangat penting, karena pendapatan dari setiap kategori harus dipelihara secara terpisah dan tidak boleh dicampur.
Secara umum, ada kaidah-kaidah syar’iyah yang membatasi kebijakan pendapatan tersebut. Khaf 1999 berpendapat sedikitnya ada 3 prosedur yang
31
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, h. 221
harus dilakukan pemerintah dalam kebijakan pendapatannya fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat dengan adanya kebijakan pungutan
pajak terlepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak.
32
1. Kaidah syar’iyah yang berkaitan dengan kebijakan pungutan zakat. Ajaran Islam dengan rinci telah menentukan syarat, kategori harta
yang harus dikeluarkan zakatnya, lengkap dengan basaran tarifnya. Maka dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk
mengubah tarif yang telah ditentukan. Akan tetapi pemerintah dapat mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan
berpegang pada nash-nash umum yang ada dan pemahaman terhadap relita modern. Adapun mengenai kebijakan pemungutannya Nabi dan para sahabat
telah member contoh mengenai fleksibilitas, Nabi pernah menangguhkan zakat pamannya Abbas karena krisis yang dihadapinya, sementara sayyidina
Umar menengguhkan zakat Mesir karena paceklik yang melanda Mesir pada tahun tersebut. selain fleksibilatas diatas kaidah lainnya fleksibilitas dalam
bentuk pembayaran zakat yaitu dapat berupa benda atau nilai. 2. Kaidah syari’iyah yang berkaitan dengan hasil pendapatan yang berasal
dari aset pemerintah. Menurut kaidah syar’iyah pendapatan dari aset pemerintah dapat
dibagi dalam dua kategori: a pendapatan dari aset pemerintah yang umum,
32
Ibid.
yaitu berupa investasi aset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri atau masyarakat. Ketika aset tersebut dilkelola individu masyarakat
maka pemerintah berhak menentukan berapa bagian pemerintah dari hasil yang dihasilkan oleh aset tersebut dengan berpedoman kepada kaidah umum
yaitu maslahah dan keadilan; b berdasarkan kaidah syar’iyah yang menyatakan bahwa manusia berserikat dalam memiliki api, air, garam dan
semisalnya. Kaidah ini dalam konteks pemerintah kodern adalah sarana- sarana umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
3. Kaidah syar’iyah yang berkaitan dengan kebijakan pajak. Prinsip ajaran islam tidak memberikan arahan dibolehkannya
pemerintah mengambil sebagian harta milik orang kaya secara paksa undang- undang dalam konteks ekonomi modern. Sesulit apapun kehidupan
Rasulullah saw. Di madinah beliau tak pernah menentukan kebijakan pungutan pajak. Dalam konteks ekonomi modern pajak merupakan satu-
satunya sektor pendapatan terpenting dan terbesar dengan alasan bahwa pendapatan tersebut dialokasikan pada publiks goods dan mempunyai tujuan
sebagai alat redistribusi, penstabilan dan pendorong pertumbuhan ekonomi. Seandainya pungutan pajak itu diperbolehkan dalam islam maka kaidahnya
harus berdasarkan pada kaidah a’dalah dan kaidah dharurah yaitu pungutan tersebut hanya bagi orang-orang yang mampu dan untuk pembiayaan yang
sangat diperlukan dan pemerintah tidak memiliki sektor pemasukan lainnya.
2. Kebijakan Pengeluaran dan Belanja Negara