75 Untuk masalah kesehatan para penenun ulos masih tergolong normal, tidak
ada keluarga penenun yang menderita gizi buruk ataupun tidak bisa berobat saat dalam kondisi sakit. Penenun ulos yang sakit biasanya akan berobat ke Puskesdes,
karena Puskesdes memang sudah tersedia di setiap desa yang ada di Siatas Barita, dan untuk cakupan lebih luas terdapat Puskesmas kecamatan Siatas Barita yang
berada di samping kantor camat yang letaknya tidak jauh dari desa ini. Dari segi tempat tinggal, beliau menuturkan pada umumnya para penenun
ulos di desa Lumban Siagian Jae sudah memiliki tempat tinggal yang layak dengan bahan semi permanen.
“pendidikan rata-rata kalo lumban siagian jae tamatan SMA, kalo kesehatan sih normal-normal aja, kalo berobat bisanya ke puskesmas, gizi
buruk pun tidak ada nya, kalau tempat tinggal itu umumnya sudah layak berupa semi permanen”
5.1.6 Informan Tambahan II
Nama : Toni Horas Panggabean
TempatTanggal Lahir : Tarutung, 1 Mei 1974
Alamat : Jln. Marhusa Panggabean, Lumban
Siagian Jae. Pendidikan
: STM Status
: Suami dari Informan II
76 Informan tambahan kedua dari penelitian ini adalah suami dari informan
utama yang kedua, yaitu bapak T. Panggabean. Beliau lahir dan dibesarkan di desa ini. Beliau dianggap telah sangat paham dengan kondisi di desa Lumban
Siagian Jae, terlebih lagi istri beliau adalah seorang penenun ulos. Peneliti datang ke rumah beliau pada sore hari sekitar pukul 05.30 WIB,
tampak beliau baru saja pulang dari kebun cabe bersama dengan anaknya yang paling besar. Sementara istri beliau sedang bertenun di ruang belakang. Keluarga
beliau memberikan sambutan hangat dan mempersilahkan peneliti untuk melakukan wawancara.
Profesi penenun ulos menurut beliau memang sangat membantu bagi perekonomian keluarga di desa ini. Di desa ini umumnya memang mata
pencaharian warganya adalah sebagai petani dan sebagai tukang bangunan, hanya sebagian kecil yang bekerja sebagai pegawai pemerintah dan berdagang.
Umumnya penghasilan dari hasil pertanian dan perkebunan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa panen. Hal ini tentu menjadi masalah terlebih lagi untuk
keluarga yang memiliki banyak tanggungan. “tonun on memang membatu hian do di hami parlumban siagian on, ai
martani do poang anggo dison do, paling saotik do na pegawai manang martiga-tiga”
Beliau mengatakan alasan istrinya menjadi seorang penenun adalah karena faktor ekonomi. Pekerjaan beliau adalah seorang petani cabe, itu pun hanya panen
satu kali dalam setahun, yaitu pada bulan November hingga Desember.
77 Penghasilan beliau bila dirata-ratakan perbulannya hanya sekitar 400.000 rupiah.
Tentunya dengan adanya tenun penghasilan keluarga mereka jadi bertambah. “martonun ba asa adong do tamba ni pancarian, molo sian cabe i do ba
hurang do i. ai cabe sahali sataon do menghasilkan bulan dua bolas do. molo penghasilan paling opat ratus per bulan”.
Bapak T. Panggabean mengaku bahwa penghasilannya tersebut tergolong pas-pasan untuk untuk membiayai kebutuhan keluarga mereka sehari-hari. Untuk
kebutuhan pangan dan sandang tentunya telah dapat dicukupi meski dalam porsiyang kecil. Beliau juga menuturkan bahwa beliau akan meluangkan
waktunya untuk bersosialisasi dengan tetangga, baik di rumah maupun di kebun. “ai anggo hami pas-pasan do, alai molo taringot tu mangan do dohot baju
ba lancar dope da nata pe dang aha hian”.
5.1.7 Informan Tambahan III