2
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesantren adalah suatu bentuk lingk ungan “masyarakat” yang unik dan
memiliki tata nilai kehidupan yang positif.
1
Pada umumnya, Pesantren terpisah dari kehidupan sekitarnya. Komplek pesantren minimal terdiri atas rumah
kediaman pengasuh Kiayi, masjid atau mushola, dan asrama santri. Tidak ada model atau patokan tertentu dalam pembangunan fisik Pesantren. Sehingga,
penambahan bangunan demi bangunan dalam lingkungan Pesantren hanya mengambil bentuk improvisasi sekenanya belaka.
Pondok Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pendidikan ini pada awalnya merupakan pendidikan agama Islam yang
dimulai sejak munculnya masyarakat Islam pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian, muncul tempat pengajian yang merupakan tempat warga atau
masyarakat yang ingin mengkaji agama Islam. Kemudian, dengan disediakannya tempat menginap bagi masyarakat yang ingin mengkaji agama Islam, maka,
tempat pengajian tersebut disebut sebagai Pesantren.
1
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Jakarta : Gema Insani Press, 1997 h.65
2
Meskipun pada waktu itu pesantren masih dalam bentuk sederhana, tetapi pesantren merupakan lembaga pendidikan yang begengsi karena pesantren satu-
satunya lembaga pendidikan yang terstruktur. Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari funduq Arab yang
berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya.
Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran
–an yang berarti menunjukan tempat, maka arti nya adalah „tempat para santri‟.
2
Pesantren merupakan Pendidikan Keagamaan dan merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional yang tertulis dalam pasal 30 ayat 4: “ Pendidikan
keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pahbaja samanera
, dan bentuk lain yang sejenis”.
3
Pesantren adalah model lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan sistem pendidikan nasional. Secara historis, pesantren
tidak saja mengandung makna keislman, tetapi juga keaslian Indonesia. Seperti dikatakan A. Malik Fadjar 1998:21, pesantren merupkan lembaga pendidikan
Islam yang memiliki watak indigenous pribumi yang ada sejak kekuasaan Hindu-Budha dan menemukan formulasinya yang jelas ketika Islam berusaha
mengadaptasikan mengislamkan-nya.
4
Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi
pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad mengikuti sunnah Nabi, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian,
menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah
2
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Jakarta : Gema Insani Press, 1997 h.70
3
Anggota IKAPI, Undang-Undang SISDIKNAS Fokus Media, 2009 h. 16
4
Tolkhah, Imam. Dan Barizi, Ahmad. Membuka Jendela Pendidikan Jakarta: Raja Grafindo, 2004 h.49
3
masyarakat „Izz al- Islam wa al-Muslimin dan mencintai ilmu dalam rangka
mengembangkan kepribadian manusia.
5
Bentuk pesantren yang tersebar luas di Indonesia dewasa ini mengandung unsur-unsur berikut sebagai cirinya: Kiyai sebagai pendiri, pelaksana dan guru,
pelajar santri yang secara pribadi langsung diajar berdasarkan naskah-naskah Arab klasik tentang pengajaran, faham dan akidah ke Islaman. Di sini Kiyai dan
santri tinggal bersama-sama untuk masa yang lama, membentuk suatu komunitas pengajar dan belajar, yaitu pesantren bersifat asrama tempat pendidikan dengan
pemondokan dan makan.
6
Meskipun setiap pesantren mempunyai ciri-ciri dan penamaan tersendiri, hal itu tidaklah berarti bahwa lembaga-lembaga pesantren tersebut benar-benar
berbeda satu sama lain, sebab antara yang satu dengan yang lain masih saling kait- mengait. Sistem yang digunakan pada suatu pesantren juga diterapkan di
pesantren lain, dan sebaliknya. Karena itu, sebenarnya sangat amat sulit untuk menentukan dan
menggolongkan lembaga-lembaga pesantren ke dalam tipologi tertentu, misalnya : pesantren salaf dan khalaf atau pesantren tradisional dan modern. Menurut
Zamakhsyari Dhofier dalam buku perguruan tinggi pesantren, pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab islam
klasik salaf sebagai inti pendidikan.
7
Sedangkan pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum
madrasah yang di kembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMU, dan bahkan perguruan tinggi dalam
lingkungannya.
8
Memasuki era modern ini, pondok pesantren diharapkan menjadi agen perubahan dan pembangunan masyarakat dengan tidak hanya memainkan fungsi-
5
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Industri Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007 h. 4
6
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat P3M, 1986; reprint, Frankfurt, Jerman Barat: Disertasi Doktors de
Philosophie pada Johan Wolfgang Goethe Universitat, 1983 h. 100-101
7
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Jakarta : Gema Insani Press, 1997 h.83
8
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Jakarta : Gema Insani Press, 1997 h.87
4
fungsi tradisionalnya yakni: pertama, transmissi dan transfer ilmu-ilmu Islam; kedua, pemeliharaan tradisi Islam; dan ketiga, reproduksi ulama. Menurut Prof.
Dr. Azyumardi Azra, selain memainkan ketiga fungsi tradisional tadi, pesantren juga dijadikan sebagai pusat penyuluhan kesehatan; pusat pengembangan
teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan; pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup; dan lebih penting lagi menjadi pusat
pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya. Dalam penyelenggaraan Pondok Pesantren, ada beberapa faktor yang
berperan dalam sistem penyelenggaraan Pondok Pesantren yaitu, manajemen sebagai faktor upaya, organisasi sebagai faktor Sarana, dan administrasi sebagai
faktor karsa. Ketiga faktor ini memberi arah dan perpaduan dalam merumuskan, mengendalikan penyelenggaraan, mengawasi serta menilai pelaksanaan
kebijakan-kebijakan dalam usaha menyelenggarakan kegiatan pendidikan yang sesuai dengan tujuan Pondok Pesantren masing-masing.
Menerapkan sistem manajemen di Pesantren bukanlah hal yang mudah. Walaupun sebagian besar orang memandang bahwa Pesantren adalah sebuah
lembaga yang kuno, namun ketika coba dikelola menjadi sebuah lembaga yang profesional, ada tantangan tersendiri untuk mewujudkan pesantren yang
profesional. Selama ini, banyak pihak yang menengarai bahwa salah satu kelemahan lembaga pendidikan Islam, termasuk pesantren adalah bidang
manajemen. Manajemen pesantren pada umumnya bersifat tertutup, terpusat dan kekeluargaan. Lebih-lebih jika menyangkut persoalan keuangan, hanya kiyai dan
keluarganyalah yang boleh mengetahuinya. Hal ini mengesankan bahwa pesantren laksana tembok berlin yang sulit ditembus oleh siapapun.
Salah satu bagian terpenting dalam manajemen pesantren adalah pengelolaan keuangan. Dalam suatu lembaga, termasuk pesantren, pengelolaan
keuangan sering menimbulkan permasalahan yang serius bila pengelolaannya kurang baik. Di pesantren, pengelolaan keuangan sebenarnya tidak begitu rumit,
sebab pesantren merupakan lembaga swadana yang tidak memerlukan pertanggungjawaban keuangan yang terlalu pelik kepada penyandang dananya.
Namun demikian, karena banyak juga dana yang bersumber dari masyarakat
5
untuk mendanai pesantren, walaupun jumlahnya relatif kecil hal itu perlu ada laporan atau penjelasan sederhana sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan
keuangan publik kepada masyarakat agar kredibilitas pesantren dimata masyarakat cukup tinggi, disinilah perlunya pengelolaan keuangan dengan baik
dan transparan dibudayakan di lingkungan pesantren. Pengelolaan keuangan pesantren yang baik ini sebenarnya juga merupakan
bagian dari upaya melindungi personil pengelola pesantren kiai, ustadzustadzah, atau pengelola lainnya terhadap pandangan yang kurang baik dari luar pesantren.
Selama ini banyak pesantren yang tidak memisahkan antara harta kekayaan pesantren dengan individu, walaupun disadari bahwa pembiayaan pesantren justru
lebih banyak bersumber dari kekayaan individu sebab sumber-sumber lain penopang pesantren kurang memadai.
9
Namun, dalam rangka pengelolaan manajemen yang baik seharusnya ada pemilihan antara harta kekayaan pesantren
dengan individu, agar dapat diketahui secara transparan oleh pihak-pihak lain, termasuk orang tua sendiri.
Kita menyadari bahwa banyak di Pesantren masalah keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas Pesantren, baik yang berkaitan
dengan angaran, akutansi, penataan administrasi, alokasi serta kebutuhan pengembangan Pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian Pesantren.
Tidak sedikit Pesantren yang memiliki sumberdaya baik manusia maupun alamnya tidak tertata dengan rapi, dan tidak sedikit pula proses pendidikan
Pesantren berjalan lambat karena kesalahan dalam penataan menejemen keuangannya.
Dalam lingkungan pendidikan, terutama lembaga pendidikan swasta masalah keuangan dan pembiayaan menjadi lebih banyak di atur oleh lembaga
pendidikan itu sendiri, tidak terkecuali Pesantren. Walaupun sebenarnya Pesantren dari dahulu sejak awal berdirinya memang adalah lembaga yang mandiri dalam
penataan manajemenya. Namun alangkah lebih baik jika Pesantren bisa mengadopsi penataan manajemen yang bisa membawa kemaslahatan umat.
9
Rahmini Hadi. Parno. Manajemen Keuangan Konsep, Teori, dan Praktiknya di sekolah dan Pondok Pesantren. Purwokerto: STAIN Press, 2011 Hal. 145-146
6
Salah satu lembaga pendidikan pondok pesantren yang akan penulis jadikan objek penelitian pada skripsi ini adalah pondok pesantren Al-Kholidin.
Penulis pun mencoba meneliti dan menjadikan objek sebagai studi dalam perencanaan dan evaluasi manajemen keuangan pesantren. Pendidikan akan dapat
terlaksana dengan baik apabila tersedia dana. Mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan hingga penilaian, pendidikan
membutuhkan biaya. Demikian pula berbagai komponen yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kegiatan pondok pesantren Al-Kholidin membutuhkan biaya. Untuk
membangun gedung lengkap dengan isinya, gaji guru dan karyawan, pengadaan bahan bacaan, dan lain sebagainya membutuhkan dana.
Berdasarkan latar belakang di atas yang menjelasakan bahwa Pondok Pesantren harus melakukan perubahan dalam pelaksanaan perencanaan keuangan,
akuntasi, pelaporan dan pertanggung jawaban, serta pengawasan dalam keuangan
pesantren. Oleh karena itu, penelitian yang berjudul : Studi Mengenai Sistem Pengelolaan Keuangan Sekolah di Pondok Pesantren Al-Kholidin Terhadap
Penguatan Manajemen Keuangan diharapkan mampu menjadi informasi yang
berguna bagi seluruh lapisan masyarakat khususnya dalam bidang manajemen keuangan pesantren.
B. Masalah Penelitian