Korelasi Drug Related Problems (DRP) Penggunaan Antibiotika Terhadap Outcomes Pasien Pneumonia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Periode Oktober-Desember 2010 dan Januari-Maret 2011

(1)

KORELASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRP)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA TERHADAP

OUTCOMES PASIEN PNEUMONIA DI INSTALASI

RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE

OKTOBER-DESEMBER 2010 DAN

PERIODE JANUARI-MARET 2011

SKRIPSI

OLEH:

NURUL HIDAYAH

NIM 071501048

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KORELASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA TERHADAP

OUTCOMES PASIEN PNEUMONIA DI INSTALASI

RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE

OKTOBER-DESEMBER 2010 DAN

PERIODE JANUARI-MARET 2011

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NURUL HIDAYAH

NIM 071501048

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

KORELASI

DRUG RELATED PROBLEMS

(DRPs)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA TERHADAP

OUTCOMES

PASIEN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH

SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE

OKTOBER-DESEMBER 2010 DAN PERIODE

JANUARI-MARET 2011

OLEH: NURUL HIDAYAH

NIM 071501048

Dipertahakan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal: Desember 2011

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dra. Azizah Nasution, M. Sc., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195503121983032001 NIP 195301011983031004

Dra. Azizah Nasution, M. Sc., Apt. Pembimbing II, NIP 195503121983032001

Dra. Desi Rinza, M. Kes., Apt. Drs. Rasmadin Mukhtar, M. S., Apt. NIP 196212051990022001 NIP 194909101980031002

Drs. Saiful Bahri, M. S., Apt. NIP 195208241983031001

Medan, Desember 2011 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan ridhaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Korelasi Drug

Related Problems (DRP) Penggunaan Antibiotika Terhadap Outcomes Pasien

Pneumonia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Periode Oktober-Desember 2010 dan Januari-Maret 2011” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus tiada terhingga kepada Ayahanda H. Abdul Husain dan Ibunda Almh. Hj. Nurhayati Tarigan, Kakek dan Nenek, serta abang dan adik-adik tercinta, atas do’a, dukungan, motivasi dan perhatian yang tiada hentinya kepada penulis.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Apt. dan Ibu Dra. Desi Rinza, M.Kes., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah memberi motivasi dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran, tanggung jawab, tulus dan ikhlas selama penelitian hingga menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., sebagai dosen wali yang telah membimbing penulis selama masa pendidikan.


(5)

3. Bapak Dr. M. Nur Rasyid Lubis, SpB, FINANC., selaku Direktur SDM dan Pendidikan Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

4. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., Drs. Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt., dan Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt, selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Dosen-dosen di Fakultas Farmasi yang telah membimbing penulis selama perkuliahan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Kakak-kakak, Abang-abang, Teman-teman, Adik-adik dan seluruh

Pegawai Tata Usaha di Fakultas Farmasi yang telah membantu selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menyempurnakan skripsi ini.

Medan, Desember 2011 Penulis,


(6)

KORELASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRP) PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA TERHADAP OUTCOMES PASIEN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM

MALIK MEDAN PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2010 DAN PERIODE JANUARI-MARET 2011

ABSTRAK

Salah satu penyakit infeksi saluran napas yang paling sering terjadi adalah pneumonia. Tingginya insidensi penyakit pneumonia serta dampak yang ditimbulkannya membawa akibat terhadap tingginya konsumsi obat termasuk antibiotika sehingga berpeluang besar menimbulkan Drug Related Problems (DRP)(FK UGM, 2011). Drug Related Problems (DRP) penggunaan antibiotika merupakan masalah serius akibat ketidaktepatan pemakaian antibiotika dalam klinik yang dapat memberikan dampak negatif mempengaruhi tercapainya tujuan terapi (Depkes RI, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola dan frekuensi penggunaan antibiotika pada pasien rawat inap serta mengetahui DRP yang paling berpengaruh terhadap outcomes pasien.

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Jenis penelitian adalah deskriptif dengan desain retrocpective cross sectional pada dua periode yaitu periode Oktober-Desember 2010 dan periode Januari-Maret. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medik pasien sebanyak 30 pasien untuk periode Oktober-Desember 2010 dan sebanyak 42 pasien untuk periode Januari-Maret 2011 yang memenuhi kriteria inklusi. Data diidentifikasi terhadap peluang terjadinya DRP, kemudian dianalisis secara deskriptif berdasarkan konsep regresi linier.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotika yang paling banyak digunakan adalah golongan sefalosporin pada kedua periode. Untuk terapi tunggal/monoterapi, antibiotika yang paling banyak digunakan adalah seftriakson (20,00%) dan sefotaksim (16,67%) untuk periode Oktober-Desember 2010; seftriakson (40,48%) dan sefotaksim (4,76%) untuk periode Januari-Maret 2011, sedangkan terapi kombinasi dua atau lebih antibiotika yang paling banyak digunakan adalah kombinasi seftriakson dengan siprofloksasin pada kedua periode yaitu 30,00% pada periode Oktober-Desember 2010 dan 19,57% pada periode Januari-Maret 2011. Frekuensi kejadian DRP Pada periode Oktober-Desember 2010 kategori indikasi tanpa obat adalah sebesar 3,33%, obat tanpa indikasi sebesar 10,00%, dosis salah sebesar 6,67%, dan interaksi obat sebesar 53,33% sedangkan pada periode Januari-Maret 2011 kejadian DRP kategori indikasi tanpa obat sebesar 0,00%, obat tanpa indikasi sebesar 9,52%, dosis salah sebesar 14,29%, dan interaksi obat sebesar 66,67%. Hasil analisis regresi linier pada periode Oktober-Desember 2010 menunjukkan bahwa indikasi tanpa obat berkorelasi paling besar terhadap kematian pasien dan lama rawat pasien yaitu sebesar 0,694 dan 6,167 sedangkan pada periode Januari-Maret 2011 interaksi obat (0,151) berkorelasi paling besar terhadap kematian pasien, dan dosis salah (5,889) berkorelasi paling besar terhadap lama rawat pasien.


(7)

DRUG RELATED PROBLEMS (DRP) USE OF ANTIBIOTIC IN THE TREATMENT OF PNEUMONIA INPATIENT AT GENERAL HOSPITAL

CENTER H. ADAM MALIK MEDAN PERIOD OF OCTOBER TO DECEMBER 2010 AND PERIOD OF JANUARY TO MARCH 2011

ABSTRACT

The most common respiratory tract infection in Indonesia is pneumonia. The high incidence of pneumococcal disease and its impact on the high consumption of drugs including antibiotics lead to the Drug Related Problems (DRP) (FK UGM, 2011). Drug Related Problems (DRP) resulted antibiotics use is a serious problem due to its irrational use in clinic that could result in negative impact on therapeutic goals (Depkes RI, 2005). This study aims to determine the pattern and frequency of antibiotics use in hospitalized patients and to evaluate the most influential DRP on the patient outcomes.

This research was conducted at General Hospital Center H. Adam Malik Medan. The type of this research is a descriptive retrospective cross sectional design in two periods, firstly the period of October to December 2010 and period of January to March 2011. Data were collected retrospectively from the patient medical records of 30 patients for the period of October to December 2010 and as many as 42 patients for the period of January to March 2011 that met the inclusion criteria. Data on occurrence of DRP were identified, then analyzed descriptively based on the concept of linear regression.

The result showed that the most widely used class of antibiotics for the two periods was cephalosporin. For single therapy/monotheraphy, the most widely administered antibiotics were ceftriaxone (20.00%) and cefotaxime (16.67%) for the period of October to December 2010; ceftriaxone (40.48%) and cefotaxime (4.67%) for the period of January to March 2011, while the most commonly administered combination of two or more antibiotics were ceftriaxone and ciprofloxacin in which as much as 30.00% for the period of October to December 2010 and 19.57% for the period of January to March 2011. The incidence of DRP in the period of October to December 2010 with no indication of drugs categories was 3.33%, drug without indication was 10.00%, wrong dose was 6.67%, and drug interactions was 53.33%, while in the period of January to March 2011 incidence of DRP categories indication without drug was 0.00%, drugs without indication was 9,52%, wrong dose was 14.29%, and drug interactions was 66.67%. The result linear regression analysis for the period of October to December 2010 showed that the major indication without drugs had a high correlation with the mortality and the length of stay of the patients was 0.694 and 6.167, while in the period of January to March 2011 drug interactions (0.151) had the highest correlation to the death of the patient, and wrong dose (5.889) had the highest correlation to the length of stay of patients.


(8)

DAFTAR ISI

Halama n JUDUL ……….

LEMBAR PENGESAHAN ……….. KATA PENGANTAR ……….. ABSTRAK ………..…………. ABSTRACT ………. DAFTAR ISI ………... DAFTAR TABEL ……… DAFTAR GAMBAR ………... DAFTAR LAMPIRAN ……… BAB I PENDAHULUAN ……… 1.1 Latar Belakang ………... 1.2 Kerangka Pikir Penelitian ………... 1.3 Perumusan Masalah ……… 1.4 Hipotesis ………. 1.5 Tujuan Penelitian ……… 1.6 Manfaat Penelitian ………... BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 2.1 Pneumonia ……….. 2.1.1 Definisi pneumonia ………..

i ii iv vi vii viii xii xiii xiv 1 1 4 5 5 4 6 7 7 7


(9)

2.1.2 Etiologi ……….. 2.1.3 Patogenesis ………... 2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

pneumonia ……… 2.1.5 Epidemiologi ……… 2.1.6 Klasifikasi pneumonia ……….. 2.1.7 Faktor risiko ……….. 2.1.8 Anamnesis ……… 2.1.9 Diagnosis ……….. 2.1.7.1 Gambaran klinis ………... 2.1.7.2 Pemeriksaan penunjang ……… 2.1.10 Penatalaksanaan ……….. 2.2 Antibiotika ……….. 2.2.1 Definisi antibiotika ………... 2.2.2 Pilihan antibiotika dan posologi ………... 2.2.2.1 Golongan betalaktam ………... 2.2.2.2 Golongan makrolida ………. 2.2.2.3 Golongan aminoglikosida ……… 2.2.2.4 Golongan flourokuinolon ………. 2.2.3 Sebab-sebab kegagalan terapi ……….. 2.3 Drug Related Problems ……….

BAB III METODE PENELITIAN ……….. 3.1 Jenis Penelitian ………... 3.2 Populasi dan Sampel ………...

7 8 8 9 10 11 11 12 12 12 13 13 13 14 17 22 23 24 25 27 31 31 31


(10)

3.2.1 Populasi ……… 3.2.2 Sampel ………... 3.3 Variabel Penelitian ………. 3.4 Waktu dan Tempat Penelitian ……… 2.5 Definisi Operasional ………... 3.6 Pengumpulan Data ………... 3.7 Analisis Data ………... 3.8 Langkah Penelitian ………. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………

4.1 Karakteristik Pasien Pneumonia ………. 4.2 Gambaran Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Pneumonia ………. 4.3 Gambaran Frekuensi Kejadian DRP Pada Periode

Oktober-Desember 2010 dan Periode Januari-Maret 2011 4.3.1 Drug related problems kategori indikasi tanpa

obat ……….. 4.3.2 Drug related problems kategori obat tanpa

indikasi ………. 4.3.3 Drug related problems kategori dosis salah …...

4.3.4 Drug related problems kategori interaksi obat ……….

4.4 Gambaran Outcomes Pasien Pneumonia Pada Periode Oktober-Desember 2010 dan Periode Januari-Maret 2011

4.5 Korelasi Kejadian DRP Terhadap Outcomes Pasien Pada Periode Oktober-Desember 2010 dan Periode Januari-Maret 2011 ………... 4.5.1 Korelasi DRP terhadap kematian pasien periode

Oktober-Desember 2010 ………... 4.5.2 Korelasi DRP terhadap lama rawat pasien

periode Oktober-Desember 2010 ………..

31 32 33 33 33 34 35 36 40 40 45 47 49 51 55 58 60 60 63


(11)

4.5.3 Korelasi DRP terhadap kematian pasien periode Januari-Maret 2011 ……….. 4.5.4 Korelasi DRP terhadap lama rawat pasien periode Januari-Maret 2011………. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 5.1 Kesimpulan ………... 5.2 Saran ……… DAFTAR PUSTAKA ………... LAMPIRAN .………

65

67 71 71 71 73 76


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 2.2 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14

Daftar Mikroorganisme Yang Menyebabkan Pneumonia ……. Daftar Kuman Penyebab Pneumonia dan Terapi Empiris Antibiotika yang Digunakan ………. Karakteristik Pasien Pneumonia ……… Gambaran Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pneumonia Periode Oktober-Desember 2010 dan Periode Januari-Maret 2011 ………... Frekuensi Kejadian DRP Kategori Indikasi Tanpa Obat …….. Frekuensi Kejadian DRP Kategori Obat Tanpa Indikasi …….. Frekuensi Kejadian DRP Kategori Dosis Salah ……… Pedoman Pengaturan Dosis Gentamisin ………... Panduan Dosis Sefalosporin dan Karbapenem ………... Frekuensi Kejadian DRP Kategori Interaksi Obat ………….... Interaksi Antibiotika Dengan Obat Lain ………... Frekuensi Outcomes Pasien Pada Periode Oktober-Desember 2010 dan Periode Januari-Maret 2011 ……….. Hasil Analisis Regresi Linier DRP Terhadap Kematian Pasien Pada Periode Oktober-Desember 2010 Dengan Menggunakan Program SPSS Versi 17.0

………...

Hasil Analisis Regresi Linier DRP Terhadap Lama Rawat Pasien Pada Periode Oktober-Desember 2010 Dengan

Menggunakan Program SPSS Versi 17.0 ………... Hasil Analisis Regresi Linier DRP Terhadap Kematian Pasien Periode Januari-Maret 2011 Dengan Menggunakan Program SPSS Versi 17.0 ……… Hasil Analisis Regresi Linier DRP Terhadap Lama Rawat Pasien Periode Januari-Maret 2011 Dengan Menggunakan Program SPSS Versi 17.0 ...………...

7 15 40 47 48 50 52 53 54 55 57 59 61 63 66 68


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 3.1 3.2

Kerangka Pikir Penelitian……… Bagan Alur Penelitian………. Kerangka Teori Penelitian………...

5 38 39


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Lembar Pengumpul Data……….. Keterangan Lembar Pengumpul Data………... Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian …... Nomor Rekam Medis Yang Memenuhi Kriteria Inklusi …. Biografi Pasien Pneumonia Yang Menerima Antibiotika Pada Periode Oktober-Desember 2010 ……… Biografi Pasien Pneumonia Yang Menerima Antibiotika Pada Periode Januari-Maret 2011 ……… Hasil Uji Sensitivitas Bakteri Pada Pasien Pneumonia Periode Oktober-Desember 2010 ………. Hasil Uji Sensitivitas Bakteri Pada Pasien Pneumonia Periode Januari-Maret 2011 ………. Contoh Indenfikasi Kejadian Drug Related Problems…….

Master Data Drug Related Problems dan Outcomes Pasien (LOS dan Kematian) Periode Oktober-Desember 2010 … Master Data Drug Related Problems dan Outcomes Pasien (LOS dan Kematian) Periode Januari-Maret 2011 ……….. Hasil Analisis Regresi Linier DRP Terhadap Kematian Pasien Periode Oktober-Desember 2010 Dengan Menggunakan Program SPSS Versi 17.0………. Hasil Analisis Regresi Linier DRP Terhadap Lama Rawat Pasien Periode Oktober-Desember 2010 Dengan

Menggunakan Program SPSS Versi 17.0………. Hasil Analisis Regresi Linier DRP Terhadap Kematian Pasien Periode Januari-Maret 2011 Dengan Menggunakan Program SPSS Versi 17.0………. Hasil Analisis Regresi Linier DRP Terhadap Lama Rawat Pasien Periode Januari-Maret 2011 Dengan Menggunakan Program SPSS Versi 17.0……….

71 74 77 78 80 84 92 95 99 103 104 105 107 109 111


(15)

KORELASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRP) PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA TERHADAP OUTCOMES PASIEN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM

MALIK MEDAN PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2010 DAN PERIODE JANUARI-MARET 2011

ABSTRAK

Salah satu penyakit infeksi saluran napas yang paling sering terjadi adalah pneumonia. Tingginya insidensi penyakit pneumonia serta dampak yang ditimbulkannya membawa akibat terhadap tingginya konsumsi obat termasuk antibiotika sehingga berpeluang besar menimbulkan Drug Related Problems (DRP)(FK UGM, 2011). Drug Related Problems (DRP) penggunaan antibiotika merupakan masalah serius akibat ketidaktepatan pemakaian antibiotika dalam klinik yang dapat memberikan dampak negatif mempengaruhi tercapainya tujuan terapi (Depkes RI, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola dan frekuensi penggunaan antibiotika pada pasien rawat inap serta mengetahui DRP yang paling berpengaruh terhadap outcomes pasien.

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Jenis penelitian adalah deskriptif dengan desain retrocpective cross sectional pada dua periode yaitu periode Oktober-Desember 2010 dan periode Januari-Maret. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medik pasien sebanyak 30 pasien untuk periode Oktober-Desember 2010 dan sebanyak 42 pasien untuk periode Januari-Maret 2011 yang memenuhi kriteria inklusi. Data diidentifikasi terhadap peluang terjadinya DRP, kemudian dianalisis secara deskriptif berdasarkan konsep regresi linier.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotika yang paling banyak digunakan adalah golongan sefalosporin pada kedua periode. Untuk terapi tunggal/monoterapi, antibiotika yang paling banyak digunakan adalah seftriakson (20,00%) dan sefotaksim (16,67%) untuk periode Oktober-Desember 2010; seftriakson (40,48%) dan sefotaksim (4,76%) untuk periode Januari-Maret 2011, sedangkan terapi kombinasi dua atau lebih antibiotika yang paling banyak digunakan adalah kombinasi seftriakson dengan siprofloksasin pada kedua periode yaitu 30,00% pada periode Oktober-Desember 2010 dan 19,57% pada periode Januari-Maret 2011. Frekuensi kejadian DRP Pada periode Oktober-Desember 2010 kategori indikasi tanpa obat adalah sebesar 3,33%, obat tanpa indikasi sebesar 10,00%, dosis salah sebesar 6,67%, dan interaksi obat sebesar 53,33% sedangkan pada periode Januari-Maret 2011 kejadian DRP kategori indikasi tanpa obat sebesar 0,00%, obat tanpa indikasi sebesar 9,52%, dosis salah sebesar 14,29%, dan interaksi obat sebesar 66,67%. Hasil analisis regresi linier pada periode Oktober-Desember 2010 menunjukkan bahwa indikasi tanpa obat berkorelasi paling besar terhadap kematian pasien dan lama rawat pasien yaitu sebesar 0,694 dan 6,167 sedangkan pada periode Januari-Maret 2011 interaksi obat (0,151) berkorelasi paling besar terhadap kematian pasien, dan dosis salah (5,889) berkorelasi paling besar terhadap lama rawat pasien.


(16)

DRUG RELATED PROBLEMS (DRP) USE OF ANTIBIOTIC IN THE TREATMENT OF PNEUMONIA INPATIENT AT GENERAL HOSPITAL

CENTER H. ADAM MALIK MEDAN PERIOD OF OCTOBER TO DECEMBER 2010 AND PERIOD OF JANUARY TO MARCH 2011

ABSTRACT

The most common respiratory tract infection in Indonesia is pneumonia. The high incidence of pneumococcal disease and its impact on the high consumption of drugs including antibiotics lead to the Drug Related Problems (DRP) (FK UGM, 2011). Drug Related Problems (DRP) resulted antibiotics use is a serious problem due to its irrational use in clinic that could result in negative impact on therapeutic goals (Depkes RI, 2005). This study aims to determine the pattern and frequency of antibiotics use in hospitalized patients and to evaluate the most influential DRP on the patient outcomes.

This research was conducted at General Hospital Center H. Adam Malik Medan. The type of this research is a descriptive retrospective cross sectional design in two periods, firstly the period of October to December 2010 and period of January to March 2011. Data were collected retrospectively from the patient medical records of 30 patients for the period of October to December 2010 and as many as 42 patients for the period of January to March 2011 that met the inclusion criteria. Data on occurrence of DRP were identified, then analyzed descriptively based on the concept of linear regression.

The result showed that the most widely used class of antibiotics for the two periods was cephalosporin. For single therapy/monotheraphy, the most widely administered antibiotics were ceftriaxone (20.00%) and cefotaxime (16.67%) for the period of October to December 2010; ceftriaxone (40.48%) and cefotaxime (4.67%) for the period of January to March 2011, while the most commonly administered combination of two or more antibiotics were ceftriaxone and ciprofloxacin in which as much as 30.00% for the period of October to December 2010 and 19.57% for the period of January to March 2011. The incidence of DRP in the period of October to December 2010 with no indication of drugs categories was 3.33%, drug without indication was 10.00%, wrong dose was 6.67%, and drug interactions was 53.33%, while in the period of January to March 2011 incidence of DRP categories indication without drug was 0.00%, drugs without indication was 9,52%, wrong dose was 14.29%, and drug interactions was 66.67%. The result linear regression analysis for the period of October to December 2010 showed that the major indication without drugs had a high correlation with the mortality and the length of stay of the patients was 0.694 and 6.167, while in the period of January to March 2011 drug interactions (0.151) had the highest correlation to the death of the patient, and wrong dose (5.889) had the highest correlation to the length of stay of patients.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, penanganan infeksi masih merupakan masalah utama di bidang kesehatan. Salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi dan tidak jarang diikuti kematian adalah infeksi saluran pernapasan (Supandi, 1992).

Salah satu penyakit infeksi saluran napas adalah pneumonia. Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract; LRT) akut,

biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007). Pneumonia merupakan penyakit infeksi dengan morbiditas dan mortalitas (kematian) yang tinggi walaupun dalam era antibiotika modern dewasa ini. Manifestasi klinik menjadi sangat berat pada pasien dengan usia sangat muda, manula serta pada pasien dengan kondisi kritis (Farmacia, 2006).

Pneumonia merupakan salah satu dari keenam penyakit infeksi penyebab kematian terbesar. Di United States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011). Di Indonesia sendiri, insidensi penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian mencapai 20-50% (Farmacia, 2006).


(18)

Tingginya insidensi penyakit pneumonia serta dampak yang ditimbulkannya membawa akibat pada tingginya konsumsi obat termasuk antibiotika (Depkes RI, 2005). Dalam kenyataannya, antibiotika banyak diresepkan untuk mengatasi infeksi ini. Keputusan yang tepat sangat diperlukan saat memilih kapan harus memberikan antibiotika dengan akurat (Farmacia, 2006). Penatalaksaaan yang baik tentunya akan menurunkan mortalitas dan morbiditas yang signifikan (Sajinadiyasa, 2011). Berdasarkan atas panduan penatalaksanaan Community

Acquired Pneumonia (CAP) oleh American Thorasic Society (ATS), untuk pasien

yang memerlukan perawatan di rumah sakit dengan penyakit kardiopulmoner dengan atau tanpa modifikasi, terapi yang dianjurkan adalah golongan beta laktam (sefotaksim, seftriakson, ampisilin/sulbaktam) dikombinasi dengan makrolida atau doksisiklin oral atau intravena, atau pemberian flouroquinolon. Begitu juga panduan penatalaksanaan yang dikeluarkan oleh Infectious Disease Society of

America (IDSA) menganjurkan pemberian sefalosporin ditambah makrolida atau

beta laktam inhibitor ditambah makrolida atau flouroquinolon saja. Penelitian yang dilakukan oleh Sajinadiyasa tahun 2011 yang membandingkan pemberian antibiotika monoterapi dengan dual terapi terhadap outcomes pasien Community

Acquired Pneumonia (CAP) di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, Bali menyatakan

bahwa pemberian dual terapi antibiotika memberikan outcomes (kematian dan

length of stay) yang lebih baik dibandingkan dengan monoterapi.

Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antimikroba sementara, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan kepada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antimikroba terbaik untuk infeksi tersebut


(19)

(Setiabudy, 2007). Dalam perjalanannya, kebanyakan terapi yang appropriate

terhadap pneumonia tidak disertai diagnosis dan etiologi yang akurat di sebagian besar pasien (Farmacia, 2006). Selain itu penggunaan antibiotika cenderung berlebihan dan umumnya justru diberikan pada penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotika (Dwiphrahasto, 2011).

Studi yang dilakukan oleh Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UGM bekerja sama dengan Pokja Pengelolaan dan Penggunaan Obat Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan ditemukan berbagai antibiotika yang jauh dari ideal. Hampir semua penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (92-98%), baik dewasa maupun balita mendapatkan paling tidak satu jenis antibiotika jika berobat ke puskesmas. Di praktek swasta, fenomena ini juga ternyata tidak berbeda, ketidaktepatan penggunaan antibiotika mencapai 82-89%. Hal ini menjadi salah satu cermin betapa antibiotika telah keliru diberikan kepada yang tidak membutuhkan (Dwiphrahasto, 2011).

Studi yang dilakukan Kollef tahun 2005 di Intensive Care Unit (ICU) rumah

sakit pendidikan di Barnes-Jewish Hospital, menemukan bahwa pemberian antibiotika pada sekitar 8,5% pasien yang dirawat di ICU tergolong inadekuat. Jika dihitung berdasarkan angka mortalitasnya, maka angka kematian pasien akibat pemberian antibiotika yang tidak adekuat mencapai 52,1%. Angka ini secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian pasien yang mendapatkan antibiotika adekuat, yaitu sekitar 12,2% (Dwiprahasto, 2011).

Peresepan antibiotika untuk pasien yang tidak membutuhkan obat serta dosis dan lama pemberian yang tidak tepat dapat mengakibatkan resistensi. Dengan cara demikian akan meningkatkan resiko obat menjadi tidak akan efektif lagi jika


(20)

pasien membutuhkannya (Powers, 2010). Jika resistensi antibiotika tidak terdeteksi dan tetap bersifat patogen maka akan terjadi penyakit yang merupakan ulangan dan menjadi lebih sulit disembuhkan (Setiabudy, 2007).

British National Formulary (BNF) menyatakan bahwa ketidaktepatan

penggunaan antibiotika termasuk salah satu dari lima kejadian drug error terbesar

yang terjadi yaitu sebesar 6,2% (Glavin, 2010). Ketidakrasionalan penggunaan antibiotika menimbulkan kejadian drug related problems (DRP) yang berdampak

negatif terhadap outcomes pasien. Drug related problems yang terjadi meliputi

indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, dosis salah (dosis subterapi atau dosis lebih), interaksi obat, efek samping obat, pemilihan obat yang salah, kegagalan pasien menerima obat, dan ketidakpatuhan pasien (Cipolle, 1998).

Sehubungan permasalahan penggunaan antibiotika tersebut di atas, peneliti tertarik untuk meneliti insidensi Drug Related Problems (DRP) dalam

penanganan infeksi pasien penderita pneumonia, serta meneliti korelasi antara kejadian DRP terhadap outcomes (kematian dan length of stay) pasien. Kategori

DRP yang diteliti meliputi indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, dosis salah, dan interaksi obat (Cipolle, 1998).

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang Drug Related Problems yang berpotensial

terjadi yaitu kategori indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, dosis salah (dosis kurang dan dosis berlebih), dan interaksi obat dalam pengobatan pneumonia di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik (HAM) selama periode Oktober-Desember 2010 dan Januari-Maret 2011. Dalam hal ini kejadian DRP adalah variabel bebas (independent variable) dan outcomes pasien


(21)

merupakan variabel terikat (dependent variable). Adapun selengkapnya mengenai

gambaran kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1 di bawah ini.

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah penggunaan antibiotika dalam pengobatan penyakit pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUP HAM rasional?

b. Apakah DRP berkorelasi secara signifikan terhadap outcomes (LOS dan

kematian) pasien?

1.4 Hipotesis

Berdasarkan permusan masalah di atas, maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut:

a. Penggunaan antibiotika pada pengobatan penyakit pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUP HAM Medan belum rasional.

b. DRP berkorelasi secara signifikan terhadap outcomes (LOS dan kematian)

pasien.

1.5 Tujuan Penelitian

Variabel Bebas Variabel

Kejadian DRP:

Indikasi tanpa obat Obat tanpa indikasi Dosis salah

I t k i b t

Outcomes Pasien

Kematian


(22)

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui gambaran penggunaan antibiotika pada pengobatan penyakit pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUP HAM Medan periode Oktober-Desember 2010 dan periode Januari-Maret 2011.

b. Untuk mengetahui korelasi antara kejadian DRP terhadap outcomes (LOS dan

kematian) pasien.

1.6 Manfaat penelitian

a. Memberikan gambaran tentang kerasionalan penggunaan antibiotika pada pengobatan penyakit pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUP HAM Medan. b. Memberikan gambaran tentang DRP yang berpotensi terjadi pada pengobatan

penyakit pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUP HAM Medan.

c. Memberikan informasi kepada para dokter dan praktisi kesehatan lainnya serta sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan khususnya penggunaan obat yang rasional.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia

2.1.1 Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract

(LRT)) akut, biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007). Sebenarnya

pneumonia bukan penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah muncul pada anak, orang tua dan penderita penyakit kronis (Elin, 2008).

2.1.2 Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel 2.1 memuat daftar mikroorganisme dan masalah patologis yang menyebabkan pneumonia (Jeremy, 2007).

Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia

Infeksi Bakteri Infeksi Atipikal Infeksi Jamur

Streptococcus pneumoniae

Mycoplasma pneumoniae Aspergillus

Haemophillus influenza Legionella pneumophillia Histoplasmosis Klebsiella pneumoniae Coxiella burnetii Candida Pseudomonas aeruginosa Chlamydia psittaci Nocardia

Gram-negatif (E. Coli)

Infeksi Virus Infeksi Protozoa Penyebab Lain

Influenza Pneumocytis carinii Aspirasi

Coxsackie Toksoplasmosis Pneumonia lipoid

Adenovirus Amebiasis Bronkiektasis

Sinsitial respiratori Fibrosis kistik (Jeremy, 2007)


(24)

Dalam keadaan sehat, pada pru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.

Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat memlalui berbagai cara:

a. Inhalasi langsung dari udara

b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain

d. Penyebaran secara hematogen (Supandi, 1992).

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pneumonia

Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu: a. Mekanisme pertahanan paru

Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup seperti partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis saluran napas, reflex batuk, sistem mukosilier, juga sistem fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikel-partikel yag mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan baik, maka bahan infeksi yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, sehingga pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius.. Infeksi saluran napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem pertahanan paru yang tidak bekerja dengan baik. 2. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan


(25)

Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman ini kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini bermanifestasi sebagai penyakit. Mikroorganisme yang tidak menempel pada permukaan mukosa saluran anaps akan ikut dengan sekresi saluran napas dan terbawa bersama mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi kolonisasi. 3. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius

Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki oleh berbagai mikroorganisme dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit, ini menunjukkan adanya suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien sehingga dapat menyapu bersih mikroorganisme sebelum mereka bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru terhadap bahan-bahan berbahaya dan infeksius berupa reflex batuk, penyempitan saluran napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral (Supandi, 1992).

2.1.5 Epidemiologi

Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di rawat dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada pasien yang sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas: 5-12% pada pasien yang dirawat di rumah sakit; 25-50% pada pasien ICU (Jeremy, 2007). Di United States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien yang


(26)

memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011). Di Indonesia sendiri, insidensi penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian mencapai 20-50% (Farmacia, 2006).

2.1.6 Klasifikasi Pneumonia

a. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia,

CAP): pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari (Jeremy, 2007).

b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya. Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan menderita pneumonia (Supandi, 1992).

c. Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan (Jeremy, 2007).

d. Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan mikobakteri, selain organisme bakteria lain (Jeremy, 2007).


(27)

e. Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob yang terjadi pada fibrosis kistik dan bronkietaksis (Jeremy, 2007).

2.1.7 Faktor Risiko

Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia antara lain usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik (misalnya ginjal, dan paru), diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV), ketergantungan alkohol, aspirasi (misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru terjadi (misalnya influenza), malnutrisi, ventilasi mekanik, pascaoperasi, lingkungan, pekerjaan, pendingin ruangan (Jeremy, 2007; Misnadirly, 2008).

2.1.8 Anamnesis

Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien pneumonia adalah sesak napas, peningkatan suhu tubuh, dan batuk. Pada pasien dengan pneumonia, keluhan batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk yang biasanya tersedia di pasaran. Pada awalnya keluhan batuk yang tidak produktif, tapi selanjutnya akan berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus purulen kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau busuk. Pasien biasanya mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil. Adanya keluhan nyeri dada, sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan kepala nyeri (Supandi, 1992; Jeremy, 2007; Alberta Medical Assosiation, 2011).

2.1.9 Diagnosis

Tujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis, mengidentifikasi komplikasi, menilai keparahan, dan menentukan klasifikasi untuk membantu memilih antibiotika (Jeremy, 2007). Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis,


(28)

sedangkan pemeriksaaan foto polos dada perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis, diamping untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat (Supandi, 1992).

2.1.9.1 Gambaran Klinis

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40oC, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum purulen, kadang-kadang berdarah (Supandi, 1992). Pada pasien muda atau tua dan pneumonia atipikal (misalnya Mycoplasma),

gambaran nonrespirasi (misalnya konfusi, ruam, diare) dapat menonjol (Jeremy, 2007).

2.1.9.2 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat peningkatan sel darah putih (White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC

15.000-40.000/mm3, jika disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah WBC dapat normal atau menurun (Supandi, 1992; Jeremy, 2007). Dalam keadaan leukopenia laju endap darah (LED) biasanya meningkat hingga 100/mm3

Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat menunjukkan perbedaan nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambaran infiltrat intertisial dan hiperinflasi. Pneumonia yang

, dan protein reaktif C mengkonfirmasi infeksi bakteri. Gas darah mengidentifikasi gagal napas (Jeremy, 2007). Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Kadang-kadang didapatkan peningkatan kadar ureum darah, akan tetapi kreatinin masih dalam batas normal (Supandi, 1992).


(29)

disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering memperlihatkan adanya infiltrate bilateral atau bronkopneumonia.

2.1.10 Penatalaksanaan

a. Terapi antibiotika awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan sensitivitas antibiotika (Jeremy, 2007).

b. Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa (SaO2

2.2 Antibiotika

< 90%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi

mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi membantu bersihan sputum (Jeremy, 2007).

2.2.1 Definisi Antibiotika

Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman. Peresepan antibiotika untuk pasien yang tidak membutuhkan dapat mengakibatkan resistensi (Setiabudy, 2007).

2.2.2 Pilihan Antibiotika dan Posologi

Setelah dokter menetapkan perlu diberikannya antibiotika kepada pasien, cara berikutnya adalah memilih antibiotika, serta menentukan dosis dan cara pemberian. Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor


(30)

sensitivitas bakterinya terhadap antibiotika, keadaan tubuh hospes, dan faktor biaya pengobatan (Setiabudy, 2007).

Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotika secara pasti perlu dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji kepekaan. Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan, diambil sebelum pemberian antibiotika. Setelah pengambilan bahan tersebut, terutama dalam keadaan penyakit infeksi yang berat, terapi dengan antibiotika dapat dimulai dengan memilih antibiotika yang tepat berdasarkan gambaran klinik pasien. Dalam praktek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemeriksaan biakan pada setiap terapi penyakit infeksi. Bila dapat diperkirakan kuman penyebab dan pola kepekaannya, dapat dipilih antibiotika yang tepat. Bila dari hasil uji kepekaan ternyata pilihan antibiotika semula tadi tepat serta gejala klinik jelas membaik dapat dilanjutkan terus dengan menggunakan antibiotika tersebut. Dalam hal hasil uji sensitivitas menunjukkan ada antibiotika yang lebih efektif, sedangkan dengan antibiotika semula gejala klinik penyakit menunjukkan perbaikan-perbaikan yang meyakinkan, antibiotika semula tersebut sebaiknya dilanjutkan. Tetapi bila hasil perbaikan klinik kurang memuaskan, antibiotika yang diberikan semula dapat diganti dengan yang lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas (Setiabudy, 2007).

Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya, tidak dibenarkan karena


(31)

hasil terapi tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas (Setiabudy, 2007).

Tabel 2.2 Daftar nama kuman penyebab pneumonia dan terapi empiris antibiotika yang digunakan

Agen Penyebab

Antibiotika Yang

Pilihan

Tanggapan Digunakan Antibiotika

Lain

Legionella Eritromisin Klaritromisin

dengan atau

tanpa

atau azitromisin,

rifampin rifampin,

siprofloksasin doksisiklin

dengan

rifampin,

ofloksasin

Mycoplasma Doksisiklin, Klaritromisin Selama

pneumoniae eritromisin atau azitromisin, 1-2 minggu

rifampin,

siprofloksasin

atau ofloksasin

Chlamydia Doksisiklin, Klaritromisin Selama

pneumoniae eritromisin atau azitromisin, 1-2 minggu

Siprofloksasin

atau ofloksasin

Chlamydia Doksisiklin Eritromisin,


(32)

Tabel 2.2 Sambungan Agen Penyebab Antibiotika Yang Pilihan Tanggapan Digunakan Antibiotika

Lain

S. pneumonia Penisilin G atau V

Sefalosporin: Dosis untuk

Sensitif terhadap sefazolin, penyakit berat:

penisilin Penisilin IV:

(MIC < 0,1 ug/ml) sefuroksim, 0,5 juta unit/4

jam

Sefuroksim:

sefotaksim, 750 mg/8 jam IV

Seftriakson:

seftizoksim, 2 g/hari IV

Sefotaksim:

seftriakson, 2 g/6 jam IV

Vankomisin:

sefalosporin oral 1 g/12 jam IV

Resistensi sedang Penisilin G: Vankomisin Tingkat resistensi

terhadap penisilin 2-3 juta unit/4 jam

sedang:

(MIC 0,1-1 ug/ml) seftriakson, 0,1-1 ug/ml; 80%

sefotaksim. biasanya sensitif

Agen oral: terhadap

makrolida, sefalosporin

sefuroksim,

sefodoksim

Resistensi tinggi Vankomisin Imipenem Resistensi tingkat

terhadap Penisilin tinggi:

(MIC > 1 ug/ml) > 1 ug/ml;

20% perlu

vankomisin

H. influenzae Sefalosporin generasi kedua

Tetrasiklin;

atau ketiga, betalaktam-

klaritromisin, betalaktamase,

azitromisin, fluorokuinolon,

trimetoprin-sulfametoksazol

kloramfenikol

S. aureus Nafsilin/oxasillin Sefazolin atau

dengan atau

tanpa

sefuroksim,

rimfapisin atau vankomisin,

gentamisin klindamisin,

trimetoprin-


(33)

fluorokuinolon

Enterobakteriaceae Sefalosporin Aztreonam,

(E. coli, generasi kedua imipenem,

Klebsiella, atau ketiga betalaktam-

Proteus, dengan/tanpa betalaktamase

Enterobacter) aminoglikosida (Barlett, 2001)

2.2.2.1 Golongan Betalaktam

Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin.

A. Kelompok Penisilin

Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis

yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja. Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi fatal (Elin, 2008).

1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Gram-positif (khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G tidak tahan-asam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t½ nya sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun. Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari ginjal dan dalam keadaan utuh. Aktivitas penisilin G masih dinyatakan dalam Unit Internasional (UI) (Tjay, 2007).

2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam dan memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi terhadap kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H. influenzae) 5-10 kali


(34)

lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan oleh asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80%, plasma t½ 30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan (Tjay, 2007; Elin, 2008).

3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas spektrum

kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan amoksisilin). Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa suku Proteus.

Resorpsinya dari usus 30-40% (dihambat oleh makanan), plasma t½ nya 1-2 jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G dan penisilin V. Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam keadaan utuh aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1 g (garam-K atau trihidrat) sebelum makan (Tjay, 2007; Elin, 2008).

4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin. Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat. Ikatan dengan protein plasma dan t½ nya lebih kurang sama, namun difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam klavulanat efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih jarang terjadi. Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10 tahun 3 dd 10 mg/kg, juga diberikan secara i.m/i.v (Istiantoro, 2007; Tjay, 2007; Elin, 2008).


(35)

5. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat beta laktamase). Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki antibakterial. Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin (Tjay, 2007). 6. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang

disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap

beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides fragilis

(Tjay, 2007).

B. Kelompok Sefalosporin

Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal

dari Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup

enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi

tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Istiantoro,

2007; Elin, 2008).

Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta,


(36)

mencapai kadar tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (Elin, 2008).

Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida mempermudah terjadinya nefrotoksisitas (Elin, 2008).

Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah:

1. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes, Str.

viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah

Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim,

sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak (Tjay, 2007; Elin, 2008).


(37)

2. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim. Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif, misalnya H. Influenza, E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif

terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrheae (Tjay, 2007; Elin,

2008).

3. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson, sefiksim, sefodoksim, sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase (Elin,

2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim (Tjay, 2007).

4. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap pseudomonas (Tjay, 2007).

C. Antibiotika Laktam Lainnya

1. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis dinding-sel kuman. Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman gram-positif dan negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides, juga kuman

patogen anaerob. Tahan terhadap kebanyakan betalaktamase kuman, tetapi berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh ginjal dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya digunakan terkombinasi


(38)

dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin. Dosis terkombinasi dengan cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap 5 jam (Tjay, 2007). Efek samping sama dengan antibiotika betalaktam lainnya. Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat tinggi dan pada pasien gagal ginjal (Elin, 2008). 2. Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap enzim di

ginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam semua jaringan baik termasuk ke dalam cairan serebrospinal sehingga efektif terhadap meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena atau infus 10-120 mg/kg dalam 3-4 dosis atau setiap 8-12 jam (Elin, 2008).

2.2.2.2 Golongan Makrolida

Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450 menjadi metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari klaritromisin dengan aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta kemih, terutama dalam bentuk inaktif (Elin, 2008).

Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum (Iriantoro, 2007; Elin, 2008).

a. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti


(39)

penisilin (Elin, 2008). Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap bakteri gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan masa paruhnya singkat, maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin merupakan pilihan pertama khususnya pada infeksi paru-paru dengan

Legionella pneumophila dan Mycoplasna pneumonia. Eritromisin

menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat perut kosong selama maksimal 7 hari (Tjay, 2007; Elin, 2008).

b. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula daya tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t1/2

2.2.2.3 Golongan Aminoglikosida

13 jam yang memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari. Makanan memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong (Tjay, 2007).

Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan

Micromonospora. Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk

menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan. Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin, kanamisin, neomisin, dan paramomisin (Tjay, 2007).


(40)

a. Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9 enzim yang merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak oleh 5 dari enzim tersebut. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram negatif yang resisten terhadap gentamisin. Guna menghindari resisten, jangan digunakan lebih dari 10 hari (Tjay, 2007).

b. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada

infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi dengan penisilin dan/atau metronidazol (Elin, 2008). Dosis harian 5 mg/kg dalam dosis terbagi tiap 8 jam (bila fungsi ginjal normal). Sebaiknya pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang diperlukan pada neonatus dan defisiensi imunologis (Tjay, 2007; Elin, 2008).

2.2.2.4 Golongan Fluorokuinolon

a. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman

gram-positif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia

trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan

H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis

polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t½ nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambung-usus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat


(41)

berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam bentuk anemia (Tjay, 2007; Elin, 2008).

b. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces

orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan

anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya

kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang lain tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t½ nya 5-11 jam. Eksresinya berlangsung 80% melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v. (infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam dengan jangka waktu minimal 2 jam (Elin, 2008).

c. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman

yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan logam berat (besi, aluminium, dana bismuth). Doksisiklin mempunyai t½ yang panjang (14-17 jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan loading dose 200 mg.

Efek samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan dalam keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air( Tjay, 2007; Elin, 2008).


(42)

2.2.3 Sebab-Sebab Kegagalan Terapi

Kepekaan kuman terhadap antibiotika tertentu tidak dapat menjamin efektivitas klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan terapi:

a. Dosis kurang

Dosis suatu antibiotika seringkali bergantung dari tempat infeksi, walaupun kuman penyebanya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh Pneumococcus jauh lebih tinggi daripada

dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi saluran napas bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama.

b. Masa terapi yang kurang

Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk setiap jenis infeksi perlu diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah ditinggalkan. Pada umunya para ahli cenderung melakukan individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respon klinik yang memuaskan. Namun untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis paru tetap dipertahankan masa terapi yang cukup walaupun perbaikan klinis cepat terlihat.

c. Kesalahan dalam menetapkan etiologi

Demam tidak selalu disebabkan oleh kuman, virus, jamur, parasit, reaksi obat, dan lain-lain dapat meningkatkan suhu badan. Pemberian antibiotika yang lazim diberikan dalam keadaan ini tidak bermanfaat.

d. Pilihan antibotika yang kurang tepat

Suatu daftar antibiotika yang dinyatakan efektif dalam uji sensitivitas tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap antibiotika akan memberikan aktivitas klinik yang sama. Disini dokter harus dapat mengenali dan memilih


(43)

antibiotika yang secara klinis merupakan obat terpilih untuk suatu kuman tertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk infeksi S. faecalis adalah ampisilin,

walaupun secara in vitro kuman tersebut juga dinyatakan sensitif terhadap sefamandol atau gentamisin.

e. Faktor pasien

Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme pertahanan tubuh (selular dan humoral) merupakan faktor penting yang menyebabkan gagalnya terapi antibotika. Sebagai contoh obat imunosupresan, AIDS (Setiabudy, 2007).

2.2.4. Drug Related Problems ( DRP )

Drug related problems adalah sebuah kejadian atau problem yang melibatkan

terapi obat penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. Drug Related

Problems (DRP) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari

pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki (Cipolle, 1998).

DRP dapat diatasi atau dicegah ketika penyebab dari masalah tersebut dipahami dengan jelas. Dengan demikian perlu untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan DRP dan penyebabnya. Jenis-jenis DRP dan penyebabnya menurut standar disajikan sebagai berikut:

A. Indikasi tanpa obat

1. Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru. 2. Pasien yang kronik membutuhkan lanjutan terapi obat.

3. Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau potensiasi.


(44)

4. Pasien dengan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru dapat dicegah dengan penggunaan terapi prophylactic drug atau premedication.

B. Terapi Obat yang Tidak Perlu

1. Pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi. 2. Pasien yang keracunan karena obat atau hasil pengobatan. 3. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol dan rokok.

4. Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik diobati dengan non drug

therapy.

5. Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug

therapy dapat digunakan.

6. Pasien dengan terapi obat dengan penyembuhan dapat menghindari reaksi yang merugikan dengan pengobatan lainnya.

C. Salah Obat

1. Pasien dimana obatnya tidak efektif. 2. Pasien alergi.

3. Pasien penerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan. 4. Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi penggunaan obat.

5. Pasien menerima obat efektif tetapi least costly.

6. Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman.

7. Pasien yang terkena infeksi resisten terhadap obat yang digunakan. D. Dosis Terlalu Rendah

1. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.

2. Pasien menerima kombinasi produk yang tidak perlu dimana single drugs


(45)

3. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan respon.

4. Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah range terapeutik yang

diharapkan.

5. Obat prophylaxis (presugikal) antibiotik diberikan terlalu cepat.

6. Dosis dan flexibility tidak cukup untuk pasien.

7. Terapi obat berubah sebelum terapeutik percobaan cukup untuk pasien. 8. Pemberian obat terlalu cepat.

9. Pasien alergi

E. Reaksi Obat yang Merugikan

1. Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila obat digunakan.

2. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan pasien.

3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien.

4. Efek dari obat diubah enzyme inhibitor atau induktor dari obat lain.

5. Efek dari obat diubah dengan pemindahan obat dari binding cite oleh obat

lain.

6. Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan obat lain. F. Dosis Terlalu Tinggi

1. Dosis terlalu tinggi

2. Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas therapeutic range obat yang

diharapkan.

3. Dosis obat meningkat terlalu cepat.

4. Obat, dosis rute, perubahan formulasi yang tidak tepat. 5. Dosis dan interval flexibility tidak tepat


(46)

G. Kepatuhan

1. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan obat, pemberian, pemakaian).

2. Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan.

3. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.

4. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang mengerti.

5. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat (Cipolle, 2008).


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan metode retrospektif cross sectional. Data yang dikumpulkan adalah data rekam medis dan

status pasien pneumonia periode Oktober-Desember 2010 dan periode Januari-Maret 2011 yang dirawat inap di RSUP HAM Medan. Penelitian retrospektif adalah penelitian dengan mengkaji informasi atau mengambil data-data pasien tanpa memberikan intervensi ataupun perlakuan terhadap pasien. Cross sectional

adalah penelitian yang dilakukan dengan mengambil informasi data-data pasien dimana dapat diketahui faktor risiko dan efek pada saat yang bersamaan (Marrie, 2004).

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi adalah seluruh data rekam medis dan status pasien pneumonia periode Oktober-Desember 2010 dan periode Januari-Maret 2011 yang dirawat inap di RSUP HAM Medan. Subjek yang dipilih adalah yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria ekslusi.

Kriteria inklusi adalah:

a. Pasien yang didiagnosis menderita pneumonia dan mendapatkan terapi antibiotika.

b. Pasien dengan rekam medis dan status pasien yang lengkap (memuat informasi dasar yang diperlukan dalam penelitian).


(48)

Kriteria ekslusi adalah:

a. Pasien yang didiagnosis menderita pneumonia yang tidak mendapatkan terapi antibiotika.

b. Rekam medis dan status pasien yang tidak lengkap.

3.2.2 Sampel

Sebelum dilakukan pengumpulan sampel terlebih dahulu dilakukan penentuan ukuran sampel. Dengan mengambil nilai presisi (d) 10%, interval

konfidensi (ά) 90% (Zά 1,65), proporsi sampel 50%, maka besar sampel yang

diperlukan adalah 68 sampel (Lameshow, 1997). Penentuan ukuran sampel ini juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel deskriptif kategorik (World Health Organization, 2001).

) 1 .( .

2

2 p p

d Z

n= α −

Dimana:

n : Ukuran sampel

Zά : Simpangan rata-rata pada derajat kemaknaan ά p : Proporsi kategori

d : Presisi maka, pasien n x x n 68 5 , 0 5 , 0 1 , 0 65 , 1 2 2 = =

Populasi target berupa data rekam medis pasien pada periode Oktober-Desember 2010 adalah 33 pasien dan periode Januari-Maret 2011 sebesar 44


(49)

pasien. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria ekslusi dijadikan sebagai populasi studi, dimana untuk periode Oktober-Desember 2010 adalah sebesar 30 pasien dan periode Januari-Maret 2011 sebesar 42 pasien. Berdasarkan rumus penentuan ukuran sampel, besar sampel yang diperlukan adalah 384 pasien sedangkan berdasarkan kenyataan jumlah pasien yang masuk dalam periode Oktober-Desember 2010 sebesar 30 pasien dan periode Januari-Maret 2011 sebesar 42 pasien, sehingga seluruh populasi target yang memenuhi kriteria inklusi dijadikan sebagai sampel.

3.3 Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:

a. Variabel Bebas: indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, dosis salah, dan interaksi obat.

b. Variabel Terikat: outcomes (LOS dan kematian) pasien.

3.4 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai April 2011 di Instalasi Rawat Inap RSUP HAM, Jalan Bunga Lau No.17 Medan.

3.5 Defenisi Operasional

a. Drug Related Problems (DRP) adalah kejadian yang tidak diharapkan dari

pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan.

b. Kategori DRP antara lain indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, dosis salah, dan interaksi obat.


(50)

c. Indikasi tanpa obat adalah penyakit infeksi yang membutuhkan antibiotika, tetapi tidak menerima antibiotika.

d. Obat tanpa indikasi adalah pasien yang mendapatkan antibiotika namun tidak ada indikasi terhadap obat tersebut.

e. Dosis salah adalah dosis antibiotika terlalu rendah atau dosis terlalu tinggi yang diberikan kepada pasien.

f. Interaksi obat adalah interaksi antara antibiotika dengan antibiotika lain atau obat lain yang mempengaruhi efek obat.

g. Karakteristik pasien adalah jenis kelamin, kelompok usia, dan jumlah terapi antibiotika.

h. Jenis kelamin terdiri dari laki-laki dan perempuan

i. Kelompok usia terbagi atas < 18 tahun, 18-65 tahun, dan > 65 tahun

j. Jumlah terapi antibiotika terbagi atas monoterapi/terapi tunggal dan kombinasi ≥ 2 antibiotika.

l. Outcomes pasien adalah keberhasilan atau kegagalan terapi pengobatan yang

dinilai berdasarkan parameter frekuensi kematian dan length of stay (LOS)

pasien.

3.6Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan data rekam medis dan status pasien pneumonia yang dirawat di instalasi RSUP HAM Medan periode Oktober-Desember 2010 dan periode Jauari-Maret 2011.

Adapun data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:


(51)

b. Mengelompokkan data penanganan pasien pneumonia yang menerima pengobatan antibiotika meliputi data pasien (usia, jenis kelamin, kombinasi antibiotika yang diterima) dan data obat (nama obat, jumlah obat, jenis obat, dosis, aturan pakai, cara pemberian, dan lama pemberian).

c. Mengevaluasi data berdasarkan ada tidaknya DRP yang terjadi pada rekam medis dan status pasien berdasarkan studi literatur.

3.7 Analisis Data

Evaluasi data dilakukan secara teoritik berdasarkan studi literatur (Farmakologi dan Terapi, Farmasi Klinis, Pedoman Penggunaan Antibiotika Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, Iso Farmakoterapi). Selain itu, digunakan

juga situs internet terpercaya (http:

www.medscape.com,

software (Stockley’s Drug Interaction). Analisis data menggunakan metode

deskriptif. Ditentukan frekwensi kejadian DRP dari keseluruhan sampel dan dihitung seberapa kuat korelasi kejadian DRP terhadap outcomes pasien

menggunakan program SPSS versi 17.0. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007, kemudian disajikan dalam bentuk

tabel.

3.8 Langkah Penelitian

a. Survei awal

Survei ini dilakukan untuk mengetahui gambaran utama tentang pasien pneumonia. Proses survei ini dimulai dari observasi laporan di Sub Bagian Rekam Medik untuk kasus-kasus dengan diagnosis pneumonia periode Oktober-Desember 2010. Data dari Sub Bagian Rekam Medis berupa nomor


(52)

rekam medis dari penderita pneumonia. Nomor rekam medis digunakan untuk mengumpulkan rekam medis pasien.

b. Pembuatan lembar pengumpul data.

Pembuatan lembar pengumpul data ini bertujuan untuk memudahkan pengumpulan data dari rekam medik. Lembar pengumpul data berisikan: no rekam medis, nama pasien, umur pasien, jenis kelamin, berat badan pasien, tanggal masuk rumah sakit, tanggal keluar rumah sakit, lama perawatan, diagnosis saat masuk rumah sakit, diagnosa akhir, uji laboratorium, obat yang digunakan, sediaan (bentuk, kadar), dosis, dan rute pemberian (lembar pengumpul data dapat dilihat pada Lampiran 1)

c. Penentuan ukuran sampel

Sebelum dilakukan pengumpulan sampel terlebih dahulu dilakukan penentuan ukuran sampel berdasarkan rumus besar sampel untuk deskriptif kategorik. d. Pelaksanaan pengambilan data.

Proses pengambilan data dilakukan dengan cara mencatat data-data yang dibutuhkan dari rekam medis ke formulir pengumpul data.

e. Pengelompokan data.

Seluruh data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan kriteria inklusi atau data yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai sampel (data yang memuat: no rekam medis, nama/inisial, berat badan, umur, jenis kelamin, lama perawatan, data laboratorium (leukosit), dan antibiotika)

f. Analisis dan tabulasi data.

Analisis data menggunakan metode deskriptif. Ditentukan frekuensi kejadian DRP dari keseluruhan sampel dan dihitung seberapa kuat korelasi kejadian


(53)

DRP terhadap outcomes pasien menggunakan program SPSS versi 17.0. Data

yang diperoleh diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007,


(54)

Gambar 3.1 Bagan alur penelitian Pasien Rawat Inap

Periode Oktober-Desember

Pasien Rawat Inap Periode Januari-Maret 2011

Pengelompokkan data Berdasarkan kriteria

Pengelompokkan data Penggunaan antibiotika

Identifikasi kejadian DRP kategori:

1. Indikasi Tanpa Obat 2. Obat Tanpa Indikasi 3. Dosis Salah

k i b

Identifikasi DRP yang berkorelasi terhadap

outcomes (LOS dan kematian) pasien

Analisis Data


(55)

Gambar 3.2 Kerangka teori penelitian

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pasien dengan diagnosis Pneumonia

- Perlu pemberian antibiotika

-Dosis obat tidak subterapi

-Dosis obat tidak berlebih

-Interaksi obat

Ketepatan Indikasi

Tepat Dosis

Rasionalitas Penggunaan Antibiotika


(56)

4.1 Karakteristik Penderita Pneumonia

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh pasien dengan diagnosis pneumonia pada periode Oktober-Desember 2010 sebanyak 33 pasien dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 30 pasien sedangkan pada periode Januari-Maret 2011 diperoleh 44 pasien dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 42 pasien.

Tabel 4.1 Karakteristik pasien pneumonia

No Karakteristik

Jumlah Rekam % Jumlah Status %

Medis Pasien

( n=30 ) ( n=42)

1 Jenis Kelamin

Laki-laki 15 50,00 22 52,38

Perempuan 15 50,00 20 47,62

2 Kelompok Usia

< 18 tahun 2 6,67 0 0,00

18-65 tahun 19 63,33 37 88,10

> 65 tahun 9 30,00 5 11,90

3 Terapi Antibiotika

Monoterapi 11 36,7 19 45,24

Kombinasi ≥ 2 19 63,33 23 54,76

antibiotika

4 Biaya

Jamkesmas 9 30,00 33 78,57

Askes 10 33,33 2 4,76

Umum 11 36,67 7 16,67

5 Cara Pulang

PBJ 14 46,67 31 73,81

PAPS 6 20,00 5 11,90

Exittus 10 33,33 6 14,29

6

Lama Rawatan

(hari) 7,63 ± 5,78 12,19 ± 7,36

(rerata ± SD)

PAPS : Pulang Atas Permintaan sendiri PBJ : Pulang Berobat Jalan

Berdasarkan Tabel 4.1 halaman 40 dapat diketahui bahwa pada periode Oktober-Desember 2010 jumlah pasien pneumonia lebih sedikit dibandingkan


(57)

dengan pada periode Januari-Maret 2011 hal ini dikarenakan dari bulan November-Mei kawasan Sumatera Utara memiliki banyak uap air dan hujan sedangkan dari bulan Juni-Oktober kawasan Indonesia memiliki sedikit uap air (musim kemarau) (Asinah, 2011). Musim hujan dengan kondisi kelembaban yang tinggi merupakan media pertumbuhan yang baik untuk bakteri-bakteri, termasuk bakteri patogen sehingga berpengaruh terhadap besarnya insidensi penyakit infeksi.

Jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada periode Oktober-Desember 2010 adalah sama banyak yaitu masing-masing 15 pasien (50,00%), sedangkan untuk periode Januari-Maret 2011 jumlah pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan dimana jumlah pasien laki-laki sebanyak 22 pasien (52,38%) dan jumlah pasien perempuan sebanyak 20 pasien (47,62%). Hal ini sesuai dengan yang dimuat oleh Mandell (2000) dalam

Canadian Guidelines for Initial Management of Community Acquired Pneumonia

An Evidence Based Update by The Canadian Infectious Disease Society and The

Canadian Thorasic Society berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di dua

kabupaten di Ohio pada tahun 1991 yang menemukan bahwa insidensi dari

Community Acquired Pneumonia (CAP) pada pasien dewasa yang dirawat inap

adalah 2,66 per 1000 pasien. Insiden ini lebih tinggi pada pasien dengan ras hitam dibandingkan putih (3,37 per 1000 orang versus 2,53 per 1000 orang), dan lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita (2,91 versus 2,44 per 1000 orang). Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan gaya hidup pada laki-laki dan perempuan sehingga mengakibatkan komorbiditas seperti gagal jantung, penyakit paru obtruktif kronis, dan diabetes yang lebih banyak diderita oleh laki-laki


(58)

sehingga memberikan peluang yang lebih besar menderita penyakit pneumonia dibandingkan dengan perempuan.

Jumlah pasien pada periode Oktober-Desember 2010 dengan karakteristik kelompok usia yang paling banyak adalah berada pada kelompok usia 18-65 tahun sebanyak 19 pasien (63,33%), kelompok usia > 65 tahun sebanyak 9 pasien (30,00%), dan kelompok usia < 18 tahun sebanyak 2 pasien (6,67%). Pada periode Januari-Maret 2011 jumlah pasien dengan karakteristik kelompok usia yang paling banyak juga berada kelompok usia 18-65 tahun sebanyak 37 pasien (88,01%), kelompok usia > 65 tahun sebanyak 5 pasien (11,90%), dan tidak ditemukan pasien dengan usia < 18 tahun. Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan dalam Canadian Guidelines for Initial Management of Community

Acquired Pneumonia An Evidence Based Update by The Canadian Infectious

Disease Society and The Canadian Thorasic Society tahun 2000 yang menyatakan

bahwa insidensi pneumonia lebih tinggi pada kelompok usia ≥ 65 tahun (10,12 per 1000 pasien). Hal ini mungkin terjadi karena perubahan pola hidup pada masyarakat dimana dewasa ini masyarakat lebih menyukai makanan dan minuman serta pola hidup instan yang jauh berbeda dari pola hidup sehat sehingga memicu munculnya berbagai penyakit pada usia yang lebih muda.

Penggunaan kombinasi ≥ 2 antibiotika merupakan pilihan terbanyak digunakan pada kedua periode tersebut. Pada periode Oktober-Desember 2010, jumlah pasien yang mendapatkan kombinasi ≥ 2 antibiotika sebanyak 19 pasien (63,33%), dan pada periode Januari-Maret 2011 sebanyak 23 pasien (54,76%). Hal ini sesuai dengan penelitian retrospektif pada pasien yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar, Bali dari bulan Januari 2008 - Desember


(1)

Oktober-Desember 2010 dengan menggunakan program SPSS versi 17.0

Regression

Variables Entered/Removed Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Interaksi

Obat, Obat Tanpa Indikasi, Indikasi Tanpa Obat, Dosis Salaha

. Enter

a. All requested variables entered.

Model Summaryb Model R R Square

Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .560a .313 .203 5.165

a. Predictors: (Constant), interaksi obat, obat tanpa indikasi, indikasi tanpa obat, dosis salah

b. Dependent Variable: Lama rawat

ANOVAb Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 304.092 4 76.023 2.850 .045a

Residual 666.875 25 26.675

Total 970.967 29

a. Predictors: (constant), interaksi obat, obat tanpa indikasi, indikasi tanpa obat, dosis salah


(2)

Lampiran 7. Sambungan

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardize d Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 4.833 1.610 3.001 .006

Indikasi Tanpa Obat

6.167 5.410 .195 1.140 .265

Obat Tanpa Indikasi

-1.542 3.221 -.081 -.479 .636

Dosis Salah -2.333 3.991 -.102 -.585 .564 Interaksi Obat 5.125 1.826 .503 2.807 .010 a. Dependent Variable: Lama rawat

Residuals Statisticsa Minimum Maximum Mean

Std.

Deviation N Predicted Value 2.50 15.08 7.63 3.238 30 Residual -7.958 12.167 .000 4.795 30 Std. Predicted

Value

-1.585 2.301 .000 1.000 30

Std. Residual -1.541 2.356 .000 .928 30 a. Dependent Variable: Lama rawat


(3)

Januari-Maret 2011 dengan menggunakan program SPSS versi 17.0

Warnings

For models with dependent variable Kematian, the following variables are constants or have missing correlations: Indikasi Tanpa Obat. They will be deleted from the analysis.

Variables Entered/Removed Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Interaksi,

Obat Tanpa Indikasi, Dosis Salaha

. Enter

a. All requested variables entered.

Model Summary Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .341a .116 .047 .346

a. Predictors: (constant), interaksi, obat tanpa indikasi, dosis salah

ANOVAb Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression .599 3 .200 1.669 .190a

Residual 4.544 38 .120

Total 5.143 41

a. Predictors: (constant), interaksi, obat tanpa indikasi, dosis salah b. Dependent Variable: Kematian


(4)

Lampiran 8. Sambungan

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardize d Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) .021 .090 .236 .815

Obat Tanpa Indikasi

-.097 .184 -.081 -.525 .603 Dosis Salah .136 .161 .136 .847 .402 Interaksi .151 .097 .250 1.555 .128 a. Dependent Variable: Kematian


(5)

Januari-Maret 2011 dengan menggunakan program SPSS versi 17.0

Warnings

For models with dependent variable Lama Rawat, the following variables are constants or have missing correlations: Indikasi Tanpa Obat. They will be deleted from the analysis.

Variables Entered/Removed Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Interaksi,

Obat Tanpa Indikasi, Dosis Salaha

. Enter

a. All requested variables entered.

Model Summary Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .378a .143 .075 7.081

a. Predictors: (constant), interaksi, obat tanpa indikasi, dosis salah

ANOVAb Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 317.300 3 105.767 2.110 .115a

Residual 1905.176 38 50.136

Total 2222.476 41

a. Predictors: (constant), interaksi, obat tanpa indikasi, dosis salah b. Dependent Variable: Lama rawat


(6)

Lampiran 15. Sambungan

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 10.537 1.852 5.688 .000

Obat Tanpa Indikasi

-3.033 3.774 -.122 -.804 .427

Dosis Salah 5.889 3.291 .283 1.790 .081 Interaksi 1.492 1.986 .119 .751 .457 a. Dependent Variable: Lama Rawat


Dokumen yang terkait

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien COPD (Chronic Pulmonary Disease) di Instalasi Rawat Inap RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2012

2 48 70

Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I Medan Tahun 2000-2004

0 28 94

Evaluasi drug related problems obat antidiabetes pada pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap rumah sakit umum pelabuhan periode januari-juni 2014

4 24 164

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Akut Infeksi Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS “X” Kota Tangerang Selatan Periode Januari- Desember 2015

8 22 167

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Akut Infeksi Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS “X” Kota Tangerang Selatan Periode Januari- Desember 2015.

0 2 167

Analisis Farmakoekonomi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pneumonia Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

24 169 75

Analisis Farmakoekonomi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pneumonia Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

1 1 13

Analisis Farmakoekonomi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pneumonia Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

0 0 2

Analisis Farmakoekonomi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pneumonia Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

0 0 7

Analisis Farmakoekonomi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pneumonia Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

0 0 19