menyatakan bahwa setiap penambahan satu kejadian interaksi obat maka akan meningkatkan kematian pasien sebesar 0,151.
Berdasarkan uraian di atas semakin besar nilai koefisien variabel bebas maka semakin besar korelasinya terhadap peningkatan kematian pasien. Semakin kecil
nilai koefisien variabel bebas maka semakin besar korelasinya terhadap peningkatan kematian pasien. Nilai koefisien interaksi obat b
3
4.5.4 Korelasi DRP Terhadap Lama Rawat Pasien Periode Januari-Maret 2011
= 0,151 merupakan nilai koefisien yang paling besar, sehingga DRP yang berkorelasi
paling besar terhadap kegagalan terapi pasien pada periode Januari-Maret 2011 berturut-turut interaksi obat, dosis salah dan obat tanpa indikasi.
Berdasarkan hasil analisis Regression Linier Test dengan program SPSS versi 17.0 menunjukkan bahwa kejadian DRP kategori indikasi tanpa obat, obat
tanpa indikasi, dosis salah, dan interaksi obat mempunyai korelasi yang lemah R square = 0,143 terhadap lama rawat pasien. R square dapat disebut koefisien
determinasi, yang dalam hal ini berarti hanya 14,30 lama rawat pasien dapat dijelaskan oleh DRP yang terjadi. Sedangkan sisanya 100 - 14,30 = 85,70
dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain. R square berkisar antara 0 sampai 1, dengan catatan semakin kecil nilai R square semakin lemah hubungan antar
variabel Santoso, 2001.
Tabel 4.14 Hasil analisis regresi linier DRP terhadap lama rawat pasien periode
Januari-Maret 2011 dengan program SPSS versi 17.0
Model Summary
Model R
R Square Adjusted R
Square Std. Error of the
Estimate 1
.378
a
.143 .075
7.081 a. Predictors: constant, interaksi, obat tanpa indikasi, dosis salah
Universitas Sumatera Utara
Coefficients
a
Model Unstandardized
Coefficients Standardized
Coefficients t
Sig. B
Std. Error Beta
1 Constant
10.537 1.852
5.688 .000
Obat Tanpa Indikasi
-3.033 3.774
-.122 -.804
.427 Dosis Salah
5.889 3.291
.283 1.790
.081 Interaksi
1.492 1.986
.119 .751
.457 a. Dependent Variable: Lama Rawat
Berdasarkan Tabel 4.14 dapat diketahui persamaan regresinya adalah Y = 10,537 – 3,033 b
1
+ 5,889 b
2
+ 1,492 b Dimana:
3
Y = Lama Rawat
b
1
b = Obat tanpa indikasi
2
b = Dosis salah
3
Konstanta sebesar 10,537 menyatakan bahwa jika tidak ada kejadian DRP kategori obat tanpa indikasi, dosis salah, dan interaksi obat, maka lama rawat
pasien akan meningkat sebesar 10,537. = Interaksi obat
Koefisien regresi b
1
sebesar 3,033 menyatakan bahwa setiap setiap pengurangan karena tanda - satu kejadian obat tanpa indikasi maka lama rawat
pasien akan menurun sebesar 3,033. Koefisien regresi b
2
sebesar 5,889 menyatakan bahwa setiap penambahan karena tanda + satu kejadian dosis salah
maka lama rawat pasien akan meningkat sebesar 5,889. Koefisien regresi b
3
Universitas Sumatera Utara
sebesar 1,492 menyatakan bahwa setiap setiap penambahan karena tanda + satu kejadian interaksi obat maka lama rawat pasien akan meningkat sebesar 1,492.
Berdasarkan uraian di atas semakin besar nilai koefisien variabel bebas maka semakin besar korelasinya terhadap peningkatan lama rawat pasien. Semakin kecil
nilai koefisien variabel bebas maka semakin besar korelasinya terhadap peningkatan lama rawat pasien. Nilai koefisien dosis salah 5,889 merupakan
nilai koefisien yang paling besar, sehingga DRP yang berkorelasi paling besar terhadap lama rawat pasien pada periode Januari-Maret 2011 berturut-turut adalah
dosis salah, interaksi obat, dan obat tanpa indikasi. Penelitian yang dilakukan oleh Krahenbuhl tahun 2005 tentang evaluasi
management DRP oleh farmasis di Swiss dimana dari 287 kejadian DRP yang diintervensi oleh farmasis, dosis salah 31,7 merupakan kejadian DRP dengan
persentase terbesar, disusul berturut-turut interaksi obat 15,7, obat tanpa indikasi 7, dan indikasi tanpa obat 6,6. Kejadian DRP ini selanjutnya
dihubungkan dengan outcomes negatif pasien. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kejadian quantitatively ineffective berhubungan dengan dosis salah dan
interaksi farmakokinetik mempunyai persentase yang besar 35,2 terhadap outcomes negatif pasien. Disusul oleh obat tanpa indikasi 15,0, dan indikasi
tanpa obat 6,6. Hal ini sesuai dengan hasil korelasi DRP terhadap outcomes pasien periode Januari-Maret 2011, dimana interaksi obat 0,151 dan dosis salah
5,889 berkorelasi kuat terhadap outcomes pasien. Studi yang dilakukan Kollef tahun 2005 di Intensive Care Unit ICU rumah sakit pendidikan di Barnes-Jewish
Hospital, menemukan bahwa pemberian antibiotika pada sekitar 8,5 pasien yang dirawat di ICU tergolong inadekuat. Jika dihitung berdasarkan angka
Universitas Sumatera Utara
mortalitasnya, maka angka kematian pasien akibat pemberian antibiotika yang tidak adekuat mencapai 52,1. Angka ini secara bermakna lebih tinggi
dibandingkan dengan angka kematian pasien yang mendapatkan antibiotika adekuat, yaitu sekitar 12,2 Dwiprahasto, 2011.
Hasil penelitian Krahenbuhl ini berbeda dengan hasil korelasi DRP terhadap outcomes pasien periode Oktober-Desember 2011, dimana indikasi tanpa obat
mempunyai korelasi yang paling besar terhadap outcomes kematian dan length of stay pasien.
Indikasi tanpa obat merupakan keadaan dimana pasien yang sudah mempunyai indikasi terinfeksi namun tidak diberikan antibiotika. Penundaan
pemberian antibiotika pada pasien yang terinfeksi tentu saja akan menghalangi tercapainya peningkatan kualitas hidup pasien. Penatalaksanaan pneumonia akan
berhasil dengan baik apabila diagnosis ditegakkan lebih dini sehingga pengobatan dapat diberikan sebelum penyakit berkembang lebih lanjut. Kegagalan dalam
pemberian awal antibiotika berpengaruh terhadap tingginya angka kematian pasien Kothe, 2008.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN