disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering memperlihatkan adanya infiltrate bilateral atau bronkopneumonia.
2.1.10 Penatalaksanaan
a. Terapi antibiotika awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis
tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan sensitivitas antibiotika Jeremy, 2007.
b. Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO
2
8 kPa SaO
2
2.2 Antibiotika
90 dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif misalnya tekanan jalan
napas positif kontinu continous positive airway pressure, atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi
membantu bersihan sputum Jeremy, 2007.
2.2.1 Definisi Antibiotika
Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman. Peresepan
antibiotika untuk pasien yang tidak membutuhkan dapat mengakibatkan resistensi Setiabudy, 2007.
2.2.2 Pilihan Antibiotika dan Posologi
Setelah dokter menetapkan perlu diberikannya antibiotika kepada pasien, cara berikutnya adalah memilih antibiotika, serta menentukan dosis dan cara
pemberian. Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor
Universitas Sumatera Utara
sensitivitas bakterinya terhadap antibiotika, keadaan tubuh hospes, dan faktor biaya pengobatan Setiabudy, 2007.
Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotika secara pasti perlu dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji kepekaan.
Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan, diambil sebelum pemberian antibiotika. Setelah pengambilan bahan tersebut, terutama dalam keadaan
penyakit infeksi yang berat, terapi dengan antibiotika dapat dimulai dengan memilih antibiotika yang tepat berdasarkan gambaran klinik pasien. Dalam
praktek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemeriksaan biakan pada setiap terapi penyakit infeksi. Bila dapat diperkirakan kuman penyebab dan pola
kepekaannya, dapat dipilih antibiotika yang tepat. Bila dari hasil uji kepekaan ternyata pilihan antibiotika semula tadi tepat serta gejala klinik jelas membaik
dapat dilanjutkan terus dengan menggunakan antibiotika tersebut. Dalam hal hasil uji sensitivitas menunjukkan ada antibiotika yang lebih efektif, sedangkan dengan
antibiotika semula gejala klinik penyakit menunjukkan perbaikan-perbaikan yang meyakinkan, antibiotika semula tersebut sebaiknya dilanjutkan. Tetapi bila hasil
perbaikan klinik kurang memuaskan, antibiotika yang diberikan semula dapat diganti dengan yang lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas Setiabudy,
2007. Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi
yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya, tidak dibenarkan karena
Universitas Sumatera Utara
hasil terapi tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan
antibiotika berspektrum luas Setiabudy, 2007.
Tabel 2.2 Daftar nama kuman penyebab pneumonia dan terapi empiris antibiotika
yang digunakan
Agen Penyebab Antibiotika
Yang Pilihan
Tanggapan Digunakan
Antibiotika Lain
Legionella Eritromisin
Klaritromisin dengan atau
tanpa atau azitromisin,
rifampin rifampin,
siprofloksasin doksisiklin
dengan rifampin,
ofloksasin Mycoplasma
Doksisiklin, Klaritromisin
Selama pneumoniae
eritromisin atau azitromisin, 1-2 minggu
rifampin, siprofloksasin
atau ofloksasin Chlamydia
Doksisiklin, Klaritromisin
Selama pneumoniae
eritromisin atau azitromisin, 1-2 minggu
Siprofloksasin atau ofloksasin
Chlamydia Doksisiklin
Eritromisin, psittaci
kloramfenikol
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Sambungan
Agen Penyebab Antibiotika
Yang Pilihan
Tanggapan Digunakan
Antibiotika Lain
S. pneumonia Penisilin G atau
V Sefalosporin:
Dosis untuk Sensitif terhadap
sefazolin, penyakit berat:
penisilin Penisilin IV:
MIC 0,1 ugml sefuroksim,
0,5 juta unit4 jam
Sefuroksim: sefotaksim,
750 mg8 jam IV Seftriakson:
seftizoksim, 2 ghari IV
Sefotaksim: seftriakson,
2 g6 jam IV Vankomisin:
sefalosporin oral 1 g12 jam IV Resistensi sedang
Penisilin G: Vankomisin
Tingkat resistensi terhadap penisilin
2-3 juta unit4 jam
sedang: MIC 0,1-1 ugml
seftriakson, 0,1-1 ugml; 80
sefotaksim. biasanya sensitif
Agen oral: terhadap
makrolida, sefalosporin
sefuroksim, sefodoksim
Resistensi tinggi Vankomisin
Imipenem Resistensi tingkat
terhadap Penisilin tinggi:
MIC 1 ugml 1 ugml;
20 perlu vankomisin
H. influenzae Sefalosporin
generasi kedua Tetrasiklin;
atau ketiga, betalaktam-
klaritromisin, betalaktamase,
azitromisin, fluorokuinolon,
trimetoprin- sulfametoksazol
kloramfenikol S. aureus
Nafsilinoxasillin Sefazolin atau dengan atau
tanpa sefuroksim,
rimfapisin atau vankomisin,
gentamisin klindamisin,
trimetoprin- sulfametoksazol,
Universitas Sumatera Utara
fluorokuinolon Enterobakteriaceae Sefalosporin
Aztreonam, E. coli,
generasi kedua imipenem,
Klebsiella, atau ketiga
betalaktam- Proteus,
dengantanpa betalaktamase
Enterobacter aminoglikosida
Barlett, 2001
2.2.2.1 Golongan Betalaktam
Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin.
A. Kelompok Penisilin Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis
yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja. Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dnding sel. Efek
samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi fatal Elin, 2008.
1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Gram-positif khususnya cocci dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G tidak tahan-
asam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 60; plasma t½ nya sangat singkat, hanya
30 menit dan kadar darahnya cepat menurun. Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari ginjal dan dalam keadaan utuh.
Aktivitas penisilin G masih dinyatakan dalam Unit Internasional UI Tjay, 2007.
2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam dan memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi terhadap
kuman negatif antara lain suku Nesseira dan bacilli H. influenzae 5-10 kali
Universitas Sumatera Utara
lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan oleh asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80, plasma t½ 30-60 menit. Sebagian
besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30 dieksresikan lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau
2 jam sesudah makan Tjay, 2007; Elin, 2008. 3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas spektrum
kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang memproduksi
penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin dan amoksisilin. Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa suku Proteus.
Resorpsinya dari usus 30-40 dihambat oleh makanan, plasma t½ nya 1-2 jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G
dan penisilin V. Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45 dalam keadaan utuh aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan
dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1 g garam-K atau trihidrat sebelum makan Tjay, 2007; Elin, 2008.
4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin. Resorpsinya lebih lengkap 80 dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat.
Ikatan dengan protein plasma dan t½ nya lebih kurang sama, namun difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam klavulanat
efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih jarang terjadi.
Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak 10 tahun 3 dd 10 mgkg, juga diberikan secara i.mi.v Istiantoro, 2007; Tjay, 2007; Elin, 2008.
Universitas Sumatera Utara
5. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat penghambat beta laktamase. Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki antibakterial.
Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin Tjay, 2007.
6. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap
beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides fragilis Tjay, 2007.
B. Kelompok Sefalosporin Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal
dari Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-
keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi
tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin Istiantoro, 2007; Elin, 2008.
Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena
diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena
menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar
tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta,
Universitas Sumatera Utara
mencapai kadar tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif
tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke
urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal Elin,
2008. Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi
anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi
penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan
aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida mempermudah terjadinya nefrotoksisitas Elin, 2008.
Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah: 1. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan
sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes, Str.
viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim,
sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang
terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak Tjay, 2007; Elin, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim. Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang
aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif, misalnya H. Influenza, E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif
terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki aktivitas
yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrheae Tjay, 2007; Elin, 2008.
3. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson, sefiksim, sefodoksim, sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus
gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase Elin,
2008. Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim Tjay, 2007.
4. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap
pseudomonas Tjay, 2007. C. Antibiotika Laktam Lainnya
1. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis dinding-sel kuman. Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman gram-positif dan
negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides, juga kuman patogen anaerob. Tahan terhadap kebanyakan betalaktamase kuman, tetapi
berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh ginjal dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya digunakan terkombinasi
Universitas Sumatera Utara
dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin. Dosis terkombinasi dengan cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap 5 jam Tjay, 2007. Efek
samping sama dengan antibiotika betalaktam lainnya. Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat tinggi dan pada pasien gagal ginjal Elin, 2008.
2. Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap enzim di ginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam semua
jaringan baik termasuk ke dalam cairan serebrospinal sehingga efektif terhadap meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena atau infus 10-120 mgkg dalam
3-4 dosis atau setiap 8-12 jam Elin, 2008.
2.2.2.2 Golongan Makrolida
Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida
diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450 menjadi metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari klaritromisin
dengan aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta kemih, terutama dalam bentuk inaktif Elin, 2008.
Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada
eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat
mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum Iriantoro, 2007; Elin, 2008.
a. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti
Universitas Sumatera Utara
penisilin Elin, 2008. Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap bakteri gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada
ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan
masa paruhnya singkat, maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin merupakan pilihan pertama khususnya pada infeksi paru-paru dengan
Legionella pneumophila dan Mycoplasna pneumonia. Eritromisin menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada
saat perut kosong selama maksimal 7 hari Tjay, 2007; Elin, 2008. b. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki
sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula
daya tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t
12
2.2.2.3 Golongan Aminoglikosida
13 jam yang memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari.
Makanan memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong Tjay, 2007.
Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk
menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi RNA dan DNA diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan.
Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin,
kanamisin, neomisin, dan paramomisin Tjay, 2007.
Universitas Sumatera Utara
a. Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9 enzim yang merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak
oleh 5 dari enzim tersebut. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram negatif yang resisten terhadap gentamisin. Guna menghindari resisten, jangan
digunakan lebih dari 10 hari Tjay, 2007. b. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman
anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi
dengan penisilin danatau metronidazol Elin, 2008. Dosis harian 5 mgkg dalam dosis terbagi tiap 8 jam bila fungsi ginjal normal. Sebaiknya
pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang diperlukan pada neonatus dan defisiensi imunologis Tjay, 2007; Elin, 2008.
2.2.2.4 Golongan Fluorokuinolon
a. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman gram- positif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia
trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis
polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan bioavaibilitas 75-90. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50 , t½
nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90 zat ini dirombak menjadi glukuronida inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih
kurang 10 secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambung-usus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat
Universitas Sumatera Utara
berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam bentuk anemia Tjay, 2007; Elin, 2008.
b. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan
anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting
sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang lain tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk
penisilinsefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t½ nya 5-11 jam. Eksresinya
berlangsung 80 melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer,
reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v.
infuse 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9 atau glukosa 5 setiap 12 jam dengan jangka waktu minimal 2 jam Elin, 2008.
c. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir
lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan logam berat besi,
aluminium, dana bismuth. Doksisiklin mempunyai t½ yang panjang 14-17 jam, sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan loading dose 200 mg.
Efek samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan dalam keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air Tjay, 2007; Elin, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Sebab-Sebab Kegagalan Terapi
Kepekaan kuman terhadap antibiotika tertentu tidak dapat menjamin efektivitas klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan terapi:
a. Dosis kurang Dosis suatu antibiotika seringkali bergantung dari tempat infeksi, walaupun
kuman penyebanya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh Pneumococcus jauh lebih tinggi daripada
dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi saluran napas bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama.
b. Masa terapi yang kurang Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk setiap jenis infeksi perlu
diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah ditinggalkan. Pada umunya para ahli cenderung melakukan individualisasi
masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respon klinik yang memuaskan. Namun untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis paru tetap dipertahankan
masa terapi yang cukup walaupun perbaikan klinis cepat terlihat. c. Kesalahan dalam menetapkan etiologi
Demam tidak selalu disebabkan oleh kuman, virus, jamur, parasit, reaksi obat, dan lain-lain dapat meningkatkan suhu badan. Pemberian antibiotika yang
lazim diberikan dalam keadaan ini tidak bermanfaat. d. Pilihan antibotika yang kurang tepat
Suatu daftar antibiotika yang dinyatakan efektif dalam uji sensitivitas tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap antibiotika akan memberikan
aktivitas klinik yang sama. Disini dokter harus dapat mengenali dan memilih
Universitas Sumatera Utara
antibiotika yang secara klinis merupakan obat terpilih untuk suatu kuman tertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk infeksi S. faecalis adalah ampisilin,
walaupun secara in vitro kuman tersebut juga dinyatakan sensitif terhadap sefamandol atau gentamisin.
e. Faktor pasien Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme pertahanan tubuh
selular dan humoral merupakan faktor penting yang menyebabkan gagalnya terapi antibotika. Sebagai contoh obat imunosupresan, AIDS Setiabudy,
2007.
2. 2.4. Drug Related Problems DRP
Drug related problems adalah sebuah kejadian atau problem yang melibatkan terapi obat penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. Drug Related
Problems DRP merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu
keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki Cipolle, 1998. DRP dapat diatasi atau dicegah ketika penyebab dari masalah tersebut
dipahami dengan jelas. Dengan demikian perlu untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan DRP dan penyebabnya. Jenis-jenis DRP dan penyebabnya
menurut standar disajikan sebagai berikut: A. Indikasi tanpa obat
1. Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru. 2. Pasien yang kronik membutuhkan lanjutan terapi obat.
3. Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau potensiasi.
Universitas Sumatera Utara
4. Pasien dengan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru dapat dicegah dengan penggunaan terapi prophylactic drug atau premedication.
B. Terapi Obat yang Tidak Perlu 1. Pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi.
2. Pasien yang keracunan karena obat atau hasil pengobatan. 3. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol dan rokok.
4. Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik diobati dengan non drug therapy.
5. Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan.
6. Pasien dengan terapi obat dengan penyembuhan dapat menghindari reaksi yang merugikan dengan pengobatan lainnya.
C. Salah Obat 1. Pasien dimana obatnya tidak efektif.
2. Pasien alergi. 3. Pasien penerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.
4. Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi penggunaan obat. 5. Pasien menerima obat efektif tetapi least costly.
6. Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman. 7. Pasien yang terkena infeksi resisten terhadap obat yang digunakan.
D. Dosis Terlalu Rendah 1. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.
2. Pasien menerima kombinasi produk yang tidak perlu dimana single drugs dapat memberikan pengobatan yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
3. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan respon. 4. Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah range terapeutik yang
diharapkan. 5. Obat prophylaxis presugikal antibiotik diberikan terlalu cepat.
6. Dosis dan flexibility tidak cukup untuk pasien. 7. Terapi obat berubah sebelum terapeutik percobaan cukup untuk pasien.
8. Pemberian obat terlalu cepat. 9. Pasien alergi
E. Reaksi Obat yang Merugikan 1. Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila obat digunakan.
2. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan pasien.
3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien. 4. Efek dari obat diubah enzyme inhibitor atau induktor dari obat lain.
5. Efek dari obat diubah dengan pemindahan obat dari binding cite oleh obat lain.
6. Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan obat lain. F. Dosis Terlalu Tinggi
1. Dosis terlalu tinggi 2. Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas therapeutic range obat yang
diharapkan. 3. Dosis obat meningkat terlalu cepat.
4. Obat, dosis rute, perubahan formulasi yang tidak tepat. 5. Dosis dan interval flexibility tidak tepat
Universitas Sumatera Utara
G. Kepatuhan 1. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat penulisan obat,
pemberian, pemakaian. 2. Pasien tidak menuruti ketaatan rekomendasi yang diberikan untuk
pengobatan. 3. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.
4. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang mengerti.
5. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat Cipolle, 2008.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan metode retrospektif cross sectional. Data yang dikumpulkan adalah data rekam medis dan
status pasien pneumonia periode Oktober-Desember 2010 dan periode Januari- Maret 2011 yang dirawat inap di RSUP HAM Medan. Penelitian retrospektif
adalah penelitian dengan mengkaji informasi atau mengambil data-data pasien tanpa memberikan intervensi ataupun perlakuan terhadap pasien. Cross sectional
adalah penelitian yang dilakukan dengan mengambil informasi data-data pasien dimana dapat diketahui faktor risiko dan efek pada saat yang bersamaan Marrie,
2004.
3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi
Populasi adalah seluruh data rekam medis dan status pasien pneumonia periode Oktober-Desember 2010 dan periode Januari-Maret 2011 yang dirawat
inap di RSUP HAM Medan. Subjek yang dipilih adalah yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria ekslusi.
Kriteria inklusi adalah: a. Pasien yang didiagnosis menderita pneumonia dan mendapatkan terapi
antibiotika. b. Pasien dengan rekam medis dan status pasien yang lengkap memuat informasi
dasar yang diperlukan dalam penelitian.
Universitas Sumatera Utara