5,08 persen, tegalankebun 1.267 Ha atau 4,83 persen, dan perkebunan rakyat 1.244 Ha atau 4,74 persen.
46
Disamping itu juga terdapat lahan yang sementara tidak diusahakan seluas 645 Ha atau 2,46 persen, hutan bakau 350 Ha atau 1,33 persen dan padang
rumput seluas 34 Ha atau 0,13 persen serta untuk penggunaan lainnya seperti jalan, jembatan, lapangan dan lain sebagainya seluas 1.075 Ha atau sebesar 4,10
persen dari total luas wilayah Kota Langsa.
B. Historis – Yuridis Mahkamah Syariah
Peradilan Islam telah lahir di Aceh sejak zaman jayanya kerajaan Aceh, pada masa itu di masing-masing daerah Uleebalang terdapat Qadli Uleebalang
yang memutuskan perkara di daerahnya. Kemudian upaya hukum Banding terhadap putusan Qadli Uleebalang diajukan ke Qadli Malikul Adil. Qadli
Malikul Adil yang berkedudukan di ibukota kerajaan, kutaraja. Qadli Malikul
Adil ini kira-kira dapat disamakan dengan Pengadilan Tinggi, sebagai lembaga
Peradilan tingkat I di Indonesia saat ini. Qadli Uleebalang dan Qadli Malikul Adil
diangkat dari ulama-ulama yang cakap dan berwibawa. Oleh karena perkara
46
Staff Dinas Perindustrian, “Industri dan perdagangan di Kota Langsa”, artikel diakses pada tanggal 31 Januari 2009, dari http :www.langsakota.go.id
yang diajukan Banding tidak terlalu banyak pada masanya, maka Qadli Malikul Adil
lebih banyak bertugas memberikan fatwa dan nasehat kepada kerajaan
47
. Pada zaman Hindia Belanda, Peradilan Agama merupakan bagian dari
Pengadilan Adat, dimana untuk tingkat Uleebalang ada Pengadilan yang diketuai oleh Uleebalang yang bersangkutan. Sedangkan untuk tingkat afdeeling atau
onderafdeeling ada lembaga Peradilan yang bernama “musapat” yang di kepalai
oleh controleur, dimana Uleebalang serta pejabat tertentu menjadi anggotanya. Adanya
Peradilan Agama
di Aceh,
khusunya untuk
bumiputera pribumiinlander didasarkan pada ordonansi 17 Juni 1916 Stbl. 1916 No.423 jo
435 yang beberapa kali sudah diubah dan terakhir dengan ordonansi tahun 1930 Stbl No.58. dalam prakteknya, bila perkara hanya bersangkutan dengan hukum
agama, maka sering kali hanya diserahkan pada Qadli Uleebalang saja yang memutuskan perkara tersebut. Akan tetapi jika berkaitan dengan hukum yang lain
diluar hukum agama, maka diketuai sendiri oleh Uleebalang yang bersangkutan dan didampingi oleh Qadli Uleebalang, perlu diketahui pula bahwa dalam sidang
Peradilan musapat, agar putusannya sah maka harus ada Ketua, dan adanya anggota sekurang-kurangnya tiga orang anggota dan seorang ulama Islam. Dan
47
Armia Ibrahim, “Sejarah perkembangan Peradilan Agama di Aceh sebelum dan setelah kemerdekaan
RI ”,
artikel diakses
pada tanggal
12 Agustus
2008, dari
http:mahkamahsyariahaceh.go.id2006sejarah.
bila menyangkut kasus Pidana, maka harus ada seorang opsir justisi bumiputera
48
. Pada zaman pendudukan Jepang, keadaan Peradilan Agama di Indonesia
tidak banyak berubah. Apa yang berjalan pada zaman Belanda tetap dipertahankan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Khusus untuk wilayah Aceh,
Jepang mengeluarkan suatu Undang-undang yang bernama Atjeh Syu Rei Undang-undang Daerah Aceh No 12 tanggal Syowa Ni Gatu 15 15 Februari
1944 tentang Syukyo Hooin Mahkamah Agama. Berdasarkan pasal 1 Atjeh Syu Rei
No. 12, ada tiga tingkatan Peradilan Agama saat itu, yakni
49
: 1.
Syukyo Hooin berkedudukan di Kutaraja sekarang Banda Aceh. 2.
Seorang kepala Qadli dan beberapa anggotanya di tiap-tiap Bunsyu di tingkat kabupaten.
3. Seorang Qadli Son di tiap-tiap Son kecamatan.
Syukyo Hooin merupakan lembaga Peradilan pada Tingkat Banding atau
putusan atas kepala Qadli atau Qadli Son. Tugas Qadli Son pada saat itu mirip dengan tugas Kepala Kantor Urusan Agama KUA di tingkat Kecamatan pada
saat ini. Syukyo Hooin terdiri dari anggota-anggota harian dan anggota-anggota biasa, salah seorang dari anggota harian diangkat menjadi Ketua lintyo oleh
48
Ibid.,
49
Ibid.,
Aceh Syu Tyokan berdasarkan rekomendasi dari Kepala Pengadilan Negeri
Kutaraja yang dipilih dari ulama yang cerdik, pandai, jujur dan berpengaruh di dalam daerah Aceh. Pada saat itu, yang sempat menjabat sebagai Ketua Syukyo
Hooin adalah Tgk. H. Ja’far Siddiq, sedangkan anggota-anggota harian adalah
Tgk. M. Daud Beureueh dan Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, serta Said Abu Bakar
50
. Pada awal kemerdekaan Indonesia, perjuangan rakyat Aceh dalam upaya
melaksanakan syariat Islam melalui lembaga Peradilan yang mandiri dan berkuasa penuh juga tetap dilaksanakan, Gubernur Sumatera Utara melalui surat
kawat No. 189 tertanggal 13 Januari 1974 memberi izin kepada Residence Aceh untuk membentuk Peradilan Agama, kemudian disusul dengan kawat wakil
Kepala Jawatan Agama Provinsi Sumatera Utara No. 2263djaps tertanggal 22 Februari 1974
51
. Adapun mengenai kewenangan Peradilan Agama di Aceh pada saat itu
awalnya didasarkan kepada kawat Kepala Jawatan Agama Provinsi Sumatera Utara yang ditujukan kepada jabatan agama daerah Aceh di Kutaraja No.
8963djaps yang intinya bahwa Pengadilan Agama, memutuskan perkara tentang
52
:
50
Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No.3 Tahun 2006 sejarah, kedudukan dan kewenangan
, Yogyakarta : UII Press, 2007, cet. pertama, h.109.
51
Ibid., h. 109.
52
Armia Ibrahim, “Mahkamah Syariah di daerah Aceh di awal kemerdekaan”, artikel diakses pada tanggal 12 Agustus 2008 dari http:mahkamahsyariahaceh.go.id2006sejarah.
1. Nikah, Talak, Rujuk, Nafkah.
2. Kewarisan.
3. Wakaf, Hibah, Shadaqah.
4. Baitul Mal.
Pada zaman Reformasi era Reformasi, diundangkannya Undang-undang No.18 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam Undang-undang ini pada pasal 25, disebutkan, bahwa :
Ayat 1 Peradilan Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem Peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah
Syariah yang bebas dari pengaruh pihak manapun, ayat 2 Kewenangan Mahkamah Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didasarkan atas
syariat Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
53
. Jadi tampak jelas sekali bahwasanya lembaga Mahkamah Syariah
merupakan salah satu lembaga Peradilan Khusus dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang sejalan dengan lahirnya Undang-undang No. 18 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sehingga Undang-undang inilah yang memberikan
pintu bagi pembentukan Peradilan Syariat Islam di Aceh.
53
Undang-undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada pasal 25 ayat 1 dan 2.
Kemudian, selang dua tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang Mahkamah Syariah, yakni dalam bentuk
Keppres No. 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi, yang mana pada pasal 1 disebutkan, bahwa :
Ayat 1 Pengadilan Agama yang telah ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syariyah. Ayat 2 Mahkamah
Syariyah sebagaimana dimaksud ayat 1 adalah Mahkamah Syariyah Banda Aceh, Mahkamah Syariyah Sabang, Mahkamah Syariyah Sigli, Mahkamah
Syariyah Meureudu, Mahkamah Syariyah Bireun, Mahkamah Syariyah Lhokseumawe, Mahkamah Syariyah Takengon, Mahkamah Syariyah
Lhoksukon, Mahkamah Syariyah Idi, Mahkamah Syariyah Langsa, Mahkamah Syariyah Kuala Simpang, Mahkamah Syariyah Blang Kejeren,
Mahkamah Syariyah Kutacane, Meulaboh, Mahkamah Syariyah Sinabang, Mahkamah Syariyah Calang, Mahkamah Syariyah Singkil, Mahkamah
Syariyah Tapak Tuan, Mahkamah Syariyah Jantho. Ayat 3 Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh diubah menjadi Mahkamah Syariyah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Mahkamah Syariyah Provinsi
54
. Seiring dengan adanya tuntutan agar terciptanya hukum yang lebih
bermartabat dan bermasyarakat maka di lakukan pengundangan terhadap Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No.14
tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwasanya Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
55
. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi peradilan dalam lingkungan
54
Keppres No. 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi.
55
Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 10 ayat 1.
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara
56
. Seperti dimaklumi, UUD 1945 sendiri menentukan dalam pasal 24 ayat 2
bahwa ‘Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan Peradilan lainnya di
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer
’
57
. Dengan disahkannya Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang perubahan
atas Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa peradilan syariat Islam dan Mahkamah Syariah di Aceh
sebagai Peradilan Khusus, pada pasal 15 ayat 2 disebutkan, bahwa : Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan
Pengadilan Khusus dalam
lingkungan Peradilan Agama sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Agama, dan merupakan Peradilan
Khusus dalam
lingkungan Peradilan
Umum sepanjang
kewenangannya menyangkut Peradilan Umum”. Dalam penjelasan pasal 15 ayat 2 tersebut disebutkan : “Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam yang terdiri atas Mahkamah Syariah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk tingkat banding adalah sebagaimana
diatur dalam Undang-undang No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
58
.
56
Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 10 ayat 2.
57
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, cet. Pertama, h. 229.
58
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia : Gemuruhnya Politik Hukum Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga
Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh , Jakarta: Kencana, 2006, cet.
Pertama, h. 167.
Hal ini juga dicantumkan, dalam Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
diantara pasal 3 dan pasal 4 disisipkan ketentuan pasal 3A yang menyatakan bahwa ‘di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan
Pengadilan yang diatur dengan Undang-undang ’
59
. Yang dimaksud dengan pengkhususan lembaga Pengadilan, adalah sebagaimana yang tertera pada pasal
15 ayat 2 Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang- undang No.14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pada tahun 2006, eksistensi lembaga Peradilan Islam di Aceh semakin kuat berdiri kokoh dengan lahirnya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, yang mana Undang-undang ini merupakan sebagai pengganti dari Undang-undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
pada pasal 128 1 disebutkan, bahwa : Peradilan Syariat Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional
dalam lingkungan Peradilan Agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syariah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Kemudian pada ayat 2 Mahkamah
Syariah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama islam dan berada di Aceh.
Mengenai kompetensinya ada pada ayat 3 ‘Mahkamah Syariah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang
59
Jaenal Aripin, Peradilan Agama, h. 230.
meliputi bidang Ahwal Al-syakhsiyah hukum keluarga, Muamalah hukum perdata, dan Jinayah hukum pidana yang didasarkan atas syariat Islam’
60
. Dimana hal ini tampak sejalan dengan Qanun provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Dalam pasal 49 disebutkan bahwa :
Perkara-perkara dibidang perdata yang meliputi hukum kekeluargaan, hukum ekonomi syariah, hukum perikatan dan hukum harta benda serta
perkara-perkara dibidang pidana yang meliputi : qishas – diyat, hudud dan ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syariah
61
dan Undang-undang ini juga menegaskan bahwa kewenangan ini hanya berlaku bagi pemeluk agama islam.
Sedangkan Kompetensi Relatief dari Mahkamah Syariah Langsa yaitu
62
: 1.
Kecamatan Langsa Baro. 2.
Kecamatan Langsa Lama. 3.
Kecamatan Langsa Barat. 4.
Kecamatan Langsa Timur. 5.
Kecamatan Langsa Kota.
Mengenai sumber hukum yang digunakan dalam Lembaga Mahkamah Syariah, Hukum Materil dan Hukum Formil Mahkamah Syariah harus
menggunakan Syariat Islam. Menurut Qanun No. 10 tahun 2002 pada pasal 53 dan 54, Hukum Materil dan Hukum Formil yang bersumber dari syariat Islam
60
Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada pasal 128 1,2 dan3.
61
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama, h. 171.
62
Wawancara Pribadi dengan Drs. Amri, SH. Langsa, 22 Desember 2008.
yang akan dilaksanakan di Aceh harus dituangkan dalam bentuk Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Oleh karenanya Syariat Islam yang akan
dilaksanakan oleh hakim Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu
63
. Hal ini juga disebutkan dalam Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, pada pasal 132 2 yaitu : Sebelum Qanun Aceh tentang hukum acara dibentuk, maka hukum acara
yang berlaku adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama kecuali yang diatur khusus, juga dalam
lingkungan Peradilan Umun kecuali yang diatur khusus dalam Undang-undang ini
64
. Perbedaan yang sangat mendasar dari lembaga Peradilan Agama dengan
lembaga Mahkamah Syariah diantaranya pada Mahkamah Syariah terdapat kewenangan mengadili di bidang pidana sepanjang menyangkut kewenangan
Peradilan Umum. Adapun mengenai dasar hukum atas dibentuknya Mahkamah Syariah
yaitu
65
: 1.
Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
63
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama, h. 171.
64
Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada pasal 132 2.
65
Wawancara Pribadi dengan Drs. Amri, SH. Langsa, 22 Desember 2008.
2. Undang-undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3. Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4. Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
5. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
6. Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
7. Keppres No. 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah
Syariah Provinsi di Nanggroe Aceh Darussalam. 8.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No: KMA070SKX2004 tanggal 06 Oktober 2004 tentang pelimpahan sebagian Kewenangan
dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
9. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 tahun 2002 tentang
Peradilan Syariat Islam.
C. Prosedur Penyelesaian Perkara Cerai Gugat