1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, hidup berpasang-pasangan adalah naluri segala makhluk Allah SWT termasuk manusia,
maka setiap diri akan cenderung untuk mencari pasangan hidup dari lawan jenisnya untuk menikah dan melahirkan generasi baru yang akan memakmurkan
kehidupan dimuka bumi ini. Hal ini sejalan sebagaimana yang tertuang dalam Q.S An-Nur : 32, yang berbunyi :
+,.
1 2
3 045 + 6
78
9 :
; 5 9
= ;
? ABC
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas pemberian-Nya
lagi Maha Mengetahui”.
Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon ghalidzan untuk menaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya merupakan ibadah
1
. Di Negara kita telah ada perundang- undangan yang mengatur tentang perkawinan yang tujuannya adalah untuk
menciptakan ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Hakikatnya pernikahan dalam hukum Islam merupakan suatu perjanjian
suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia. Perjanjian ini mengandung pengertian adanya kemauan
bebas antara kedua belah pihak yang saling berjanji berdasarakan prinsip suka sama suka, sehingga diharapkan pernikahan tersebut dapat berlangsung sampai
akhir hayat. Meskipun mengandung pengertian adanya kemauan bebas, pernikahan harus tetap memperhatikan aturan-aturan hukum yang telah
ditetapkan dan berlaku secara sah, karena pernikahan disamping sebagai ibadah ritual juga merupakan suatu perbuatan hukum.
Pernikahan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amatlah
tepat jika Kompilasi Hukum Islam KHI menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan
nilai ibadah
2
.
1
Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Direktorat pembinaan Peradilan Agama, 1992, pasal 2
2
Tim penulis, Relasi Suami Istri dalam Islam, Jakarta : Pusat Studi Wanita PSW UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004, h.1
Setiap orang mendambakan pernikahan yang bahagia dan kekal, tetapi kenyataan yang terjadi banyak pasangan yang mengalami perceraian, walaupun
perceraian merupakan perbuatan yang halal, tetapi perbuatan itu dibenci oleh Allah SWT. Perceraian tidak boleh dipermainkan karena akan merugikan salah
satu pihak. Dalam hal ini adalah pihak suami atau isteri. Ketika kehidupan keluarga sudah tidak lagi harmonis serta sering terjadi
perselisihan, bukan sekedar pertengkaran yang akan terjadi secara terus menerus bahkan bisa berujung kepada sebuah perpisahan dimana salah satu pihak akan
menceraikan pasangannya. Dalam Islam pernikahan tidak diikat dalam ikatan yang mati dan tidak pula
mempermudah terjadinya perceraian. Perceraian boleh dilakukan jika benar- benar dalam keadaan darurat atau mendesak, sebagai solusi akhir dalam
menyelesaikan masalah rumah tangga. Perceraian dibenarkan dan diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik dari pada tetap dalam ikatan pernikahan akan
tetapi tidak tercapai kebahagiaan dan selalu berada dalam penderitaan. Sebagaimana di tulis Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah bahwa lepasnya ikatan
pernikahan sangat dilarang kecuali terhadap alasan yang benar dan terjadi hal yang darurat
3
. Sementara itu hikmah dari perceraian menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin
dalam garis-garis besar fiqh adalah walaupun perceraian itu dibenci terjadinya
3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 3. Penerjemah Nor Hasanuddin, dkk Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2004, h. 136.
dalam suatu rumah tangga, namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan kadang- kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan
rumah tangga itu, dalam keadaan begini kalau dilanjutkan juga rumah tangga akan menimbulkan mudharat yang lebih jauh, maka lebih baik ditempuh
perceraian. Dengan demikian perceraian dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan maslahat
4
. Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dijelaskan bahwa
salah satu penyebab putusnya perkawinan diantaranya disebabkan oleh penipuan identitas salah satu pihak sehingga dapat dimintakan pembatalan perkawinan
5
. Faktor dari penyebab perceraian didalam putusan perceraian yang telah
saya analisis tersebut pada dasarnya karena perselisihan dan pertengkaran yang terjadi antara kedua belah pihak, disamping itu juga karena adanya penipuan
identitas sang isteri, yang mana kemudian diketahui bahwasanya si isteri ketika sedang melakukan akad nikah telah hamil akibat dari perbuatan orang lain.
Akibat dari pada perceraian pada umumnya menyangkut harta, ataupun pemeliharaan anak, namun dalam putusan yang telah saya analisis tersebut mahar
juga dipermasalahkan beserta pemberian-pemberian lainnya. Mahar sendiri salah satu faktor yang tidak dapat dilepaskan dari pernikahan, oleh karenanya
4
Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh, Jakarta : Kencana, 2003, h.127-128.
5
Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, pasal 72 2.
penyerahan mahar merupakan suatu kewajiban yang wajib dilaksanakan oleh suami
6
. Secara hukum formil isi dari putusan yang telah saya analisis menjelaskan
tentang putusan cerai yang berupa cerai gugat. Akan tetapi setelah saya telaah lebih jauh, secara hukum materilnya amar dari putusan tersebut memutuskan
untuk pengembalian mahar seutuhnya dan pemberian lainnya kepada pihak suami. Seharusnya jika putusan tersebut merupakan putusan perceraian yang
Qabla dukhul , maka akibat dari amar putusan tersebut diantaranya pengembalian
mahar sebesar setengah dari jumlah yang ditentukan
7
, namun dalam amar putusan tersebut pengembalian mahar di lakukan seutuhnya beserta pemberian-
pemberian lainnya. Didalam KHI dijelaskan pada pasal 35 1 yaitu ‘suami yang mentalak
isterinya qabla dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah di tentukan dalam akad nikah’
. Begitu juga dengan penjelasan pasal 149 c yaitu ‘melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila qabla dukhul’.
Dari penjelasan pasal-pasal dalam KHI tersebut di atas jelas sekali bahwa terjadi ketimpangan atau ketidaksesuaian amar putusan tersebut ketika di
pandang dari segi hukum formil dan materilnya.
6
Ibid., pada pasal 34 1
7
Ibid., pada pasal 35 1
Dengan latar belakang yang telah penulis gambarkan, penulis mencoba
untuk mengungkap bahasan tersebut dengan judul “Pengembalian Mahar Seutuhnya Akibat Perceraian Studi Analisa atas Putusan Perceraian
No:81Pdt.G2005Msy – LGS di Mahkamah Syariah Langsa”.
Adapun yang menjadikan alasan penulis memilih judul ini adalah : 1.
Karena adanya ketimpanganketidaksesuaian hukum antara putusan perceraian yang Qabla dukhul dengan amar dari putusan perceraian tersebut.
2. Karena sangat tingginya kedudukan mahar dalam perkawinan, sehingga
mahar itu sendiri menjadi suatu faktor yang tidak dapat ditinggalkan, bahkan jika mahar tersebut belum di penuhi, maka hal itu di anggap sebagai hutang
yang harus dipenuhi. 3.
Karena pada umumnya akibat dari kasus perceraian yang dipermasalahkan hanya berupa harta, atau pemeliharaan anak, akan tetapi ada juga yang
mempermasalahkan status dari mahar yang telah diberikan.
B. Pembatasan dan Perumusan masalah