BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG MAHAR
A. Pengertian Mahar
Kata “Mahar” berasal dari bahasa arab, sering disebut dengan delapan nama yaitu : mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba`, ujr, ‘uqar dan alaiq. Kata mahar
sendiri telah menjadi bahasa Indonesia terpakai. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia mahar didefinisikan dengan pemberian wajib berupa uang atau barang
dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkannya akad nikah. Definisi ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa
mahar itu diserahkan ketika berlangsungya akad nikah
15
. Mahar adalah hak istri yang diterima dari suaminya, pihak suami
memberikannya dengan suka rela tanpa mengharap imbalan, sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya
16
. Dalam Al-qur`an, istilah mahar disebut dengan kata “saduqat” yang artinya
pemberian tulus yang menggambarkan kecintaan suami kepada isterinya dengan
15
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan,
Jakarta: Kencana, 2007, cet. Kedua, h. 84.
16
Peunoh Daly, Hukum perkawinan Islam suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlu Sunnah dan Negara-negara Islam
, Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1988, cet. Pertama, h. 219.
sebenarnya. Dan mahar juga disebut dengan kata “nihlah” yang artinya suatu pemberian tanpa mengharap balasannya
17
. Mahar atau sadaq dalam hukum perkawinan, bahkan dalam Islam
merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh seseorang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan
18
. Sementara Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
KHI pada pasal 1 point d disebutkan tentang pengertian mahar, ‘mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik
berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam’
19
. Di Indonesia, adat dibeberapa daerah, seperti di Kalimantan adanya istilah
jujuran , yang mana mahar diberikan kepada orang tua dari mempelai wanita,
kemudian mahar tersebut digunakan juga untuk biaya pernikahan resepsi pernikahan, sehingga kelihatan jumlah maharnya menjadi lebih kecil. Menurut
Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, esensi mahar jangan sampai di ganggu untuk biaya pernikahan, mengingat sangat pentingnya kedudukan mahar dalam sebuah
pernikahan
20
.
17
Ibid., h.220.
18
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. Kelima, h.68.
19
Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Direktorat pembinaan Peradilan Agama, 1992, pasal 1 d.
20
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, Jakarta, 16 Februari 2009.
B. Macam-macam Mahar