Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
berhasil membuat 400 judul film, Amerika menghasilkan 630 judul film dan India mempunyai jumlah produksi film terbesar di dunia, yaitu 877 judul film
3
. Hollywood adalah contoh industri film Amerika yang dengan sukses mampu
membuat film yang bukan hanya dapat menghibur penontonnya secara afektif tapi juga dapat mempengaruhi kognisi penontonnya. Salah satunya dengan mengkonstruksi
konsep jihad dan kegiatan terorisme yang marak belakangan ini. Sejak kejadian 911 tersebut, banyak bermunculan film-film yang mengangkat
tema ini. The Kingdom, United 93, atau World Trade Center karya Oliver Stone, film dokumenter karya Michael Moore, Fahrenheit 911 dan My Name is Khan. Tetapi,
kebanyakan dari film-film produksi Hollywood tersebut mendeskreditkan agama Islam. Mengidentikkan Islam dengan terorisme, seperti film The Kingdom yang menceritakan
usaha FBI mengungkap serangan pengeboman yang menewaskan ratusan warga Amerka di sebuah komplek pemukiman di Arab Saudi oleh teroris muslim. United 93
juga tidak jauh berbeda. Film yang disutradarai Paul Greengas ini sejak awal sudah secara nyata menyuguhkan penampilan teroris yang berwajah Arab, membaca al-
Qur`an, dan melakukan sholat berjama‟ah. Bahkan disalah satu adegan diperlihatkan
bahwa salah satu teroris itu menusuk leher seorang pramugari sambil membaca basmalah
. Sineas Indonesia juga tidak ketinggalan, Peristiwa Bom Bali I juga diangkat ke
layar lebar dengan judul Long Road to Heaven, dengan pemain antara lain Surya Saputra sebagai Hambali dan Alex Komang, serta melibatkan pemeran dari Australia
dan Indonesia. Dian Rousta Febryanti
dalam penelitiannya menemukan bahwa
3
http:perfilman.pnri.go.idkliping_artikel.php?1=1a=viewrecid=KAR-000072 diakses pada
19 November 2010
kepentingan dan ideologi pembuat film menentukan bagaimana suatu penggambaran konsep tertentu disajikan dalam film. Dalam hal ini jihad yang ditampilkan dalam film
“Long Road to Heaven” tidak sesuai dengan pengertian jihad yang sebenarnya dalam Islam berdasarkan Al-Qur`an dan Hadits. Tidak ada upaya konfirmasi dari pembuatnya
tentang konsep jihad dalam film ini. Representasi tersebut ditunjukkan secara eksplisit maupun implisit dalam dialog pemain, acting pemain, setting, kostum, dan sebagainya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa representasi jihad dalam film ini adalah representasi yang terkonstruksi.
4
Meskipun film bukan faktor utama dari pencitraan buruk tentang Islam itu, tanpa disadari efeknya kian terasa, islamophobia masih kental terjadi, banyak orang terang-
terangan menunjukkan dirinya memusuhi Islam. Ini adalah realita yang terhampar di mana masih banyak orang-orang yang menganggap Islam sebagai suatu ancaman,
bukan sebagai agama yang merupakan rahmatan lil ‟alamin, rahmat bagi semesta alam.
Kenyataan ini tentu saja mengusik kita, sebagai umat Islam. Oleh karena itu beberapa insan perfilman dunia mulai memproduksi film-film yang menghadirkan
perspektif sebenarnya tentang agama Islam. Salah satunya adalah film In The Name of God
atau dalam bahasa urdu disebut, Khuda Kay Liye. Film ini adalah film Pakistan yang dirilis pada bulan Juli tahun 2007, dan disutradarai oleh Shoaib Mansoor, sutradara
asal Pakistan. Di Indonesia sendiri, film ini baru ditayangkan secara resmi di bioskop- bioskop lokal, pada bulan November 2010. Meski sebelumnya pernah ditayangkan di
Jiffest Jakarta International Film Festival pada tahun 2008.
4
http:digilib.ui.ac.idopacthemeslibri2detail.jsp?id=132777lokasi=lokal diakses pada 7
Maret 2011
Film In The Name of God adalah salah satu film Pakistan dengan isu sensitif yang bisa dirilis di bioskop di negerinya. Film ini juga menunjukkan bahwa terorisme,
ekstrimisme, dan radikalisme berbasis pada kesalahan interpretasi terhadap ajaran Islam, bukan semata-mata kesalahan agama tersebut. Film ini juga mendapat banyak
penghargaan dunia Internasional, diantaranya Silver Pyramid Award for Best Picture dari Cairo International Film Festival 2007 di Mesir dan Audience Award untuk
kategori film terbaik di Fukuoka Film Festival 2007, Jepang. Film ini mencoba memberikan sebuah perspektif bahwa tidak ada satu agama pun yang melegalkan
kekerasan dan radikalisme. Begitu juga dengan agama Islam. In The Name of God
juga merupakan film yang sangat padat compact dan lengkap mengungkapkan sisi-sisi kehidupan keislaman masyarakat Pakistan. Ia
bercerita tentang realitas Islam di Pakistan, yang bermacam-macam, baik yang kita sebut liberalis, moderat, maupun fundamentalis. Sehingga film berdurasi hampir tiga
jam ini dapat memberikan sebuah pencerahan dalam melihat Islam. Setidaknya film ini bisa menjadi jawaban bagi islamophobia yang yang digencarkan Barat dan menjadi
rujukan bagi mereka untuk memandang Islam secara lebih baik. Oleh karena itu menjadi menarik untuk menelusuri tanda-tanda apa yang ada
dalam film ini. Terutama bagaimana tanda-tanda dalam film ini merepresentasikan Islam yang seperti apa. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu
dikolaborasikan untuk mencapai efek yang diinginkan. Karena film merupakan produk visual dan audio, maka tanda-tanda ini berupa gambar dan suara. Tanda-tanda tersebut
adalah sebuah gambaran tentang sesuatu.
Untuk mengetahui hal itu semua, kita dapat menelitinya melalui pendekatan semiotik. Karena tanda tidak pernah benar-benar mengatakan suatu kebenaran secara
keseluruhan
5
. Ia hanya merupakan representasi, dan bagaimana suatu hal direpresentasikan, dan medium yang dipilih untuk melakukan itu bisa sangat
berpengaruh pada bagaimana orang menafsirkannya. Dari sekian banyak model semiotik yang ada, peneliti memilih model semiotik
Roland Barthes 1915-1980, karena menurutnya, semua objek kultural dapat diolah secara tekstual. Teks yang dimaksud bukan hanya berkaitan dengan linguistik saja,
tetapi semua yang dapat terkodifikasi. Jadi semiotik dapat meneliti berbagai macam teks seperti berita, film, iklan, fashion, fiksi, puisi, drama
6
. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
yang akan dituangkan dalam skripsi dengan
judul, ” ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP FILM
IN THE NAME OF GOD . ”