Etiologi Patofisiologi Human Immunodeficiency Virus HIVAcquired Immunodeficiency

oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun 200mm 3 adalah 3,7 tahun Pinsky Douglas, 2009; Corwin, 2008. Secara ringkas, perjalanan virus HIV dapat dilihat di bagan berikut: Gambar 2.1 Patofisiologi HIVAIDS Tabel 2.1 Klasifikasi infeksi HIV yang didasarkan pada patofisiologi penyakit seiring memburuknya secara progresif fungsi imun Kelas Kriteria Grup I 1. Infeksi akut HIV 2. Gejala mirip influensa, mereda sempurna 3. Antibodi HIV negatif HIV asimtomatik Grup II 1. Antibodi HIV positif 2. Tidak ada indikator klinis atau laboratorium adanya imunodefisiensi HIV simtomatik Grup III 1. Antibodi HIV positif 2. Limfadenopati generalisata persisten Grup IV-A 1. Antibodi HIV positif 2. Penyakit konstitusional demam atau diare menetap, menurunnya BB 10 dibandingkan berat normal Grup IV-B 1. Sama seperti grup IV-A 2. Penyakit neurologik demensia, neuropati, mielopati Grup IV-C 1. Sama seperti grup IV-B 2. Hitung limfosit CD4+ kurang daripada 200µl Grup IV-D 1. Sama seperti grup IV-C 2. Tuberkolosis paru, kanker serviks, atau keganasan lain Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2011

2.1.4 Cara Penularan

Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu Wijaya, 2010. Terdapat dua cairan utama dalam transmisi virus HIV yakni, transmisi seksual dan non seksual. Transmisi seksual melalui hubungan seksual baik heteroseksual, homoseksual, oral seks maupun anal seks. Transmisi nonseksual dibedakan menjadi parenteral dan transplasental. Transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya alat tindik dan alat tato yang telah terkontaminasi darah yang terinfeksi virus HIV. Transmisi transplasental yakni penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak yang dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui Siregar, 2004; Wijaya, 2010.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Acquired Immunodeficiency Sindrom AIDS memiliki beragam manifestasi klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi opurtunistik. Jenis keganasan yang paling sering dijumpai pada keganasan lain yang pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV adalah myeloma multipel, leukemia limfositik akut sel B, limfoma limfoblastik T, penyakit Hodgkin, karsinoma anus, karsinoma sel skuamosa di lidah, karsinoma adenoskuamosa paru, adenokarsinoma kolon dan pankreas, kanker serviks, dan kanker testis Price Wilson, 2006; Smeltzer Bare, 2010. Pasien AIDS rentan terhadap terhadap infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan virus. Pneumonia Pnuemocytis Carinii PPC adalah infeksi serius yang paling sering dijumpai dengan gejala panas yang pendek, sesak nafas, batuk, nyeri dada, dan demam. Hal ini hampir serupa tanda dan gejalanya dengan pasien AIDS yang disertai Tuberkulosis TB karena Mycobacterium tuberculosis. Infeksi lainnya seperti fungus antara lain kandidiasis, kriptokokosis, dan histoplasmosis. Infeksi opurtunistik yang disebabkan oleh virus sangat beragam dan merupakan penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi Price Wilson, 2006; Smeltzer Bare, 2014.

2.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan infeksi HIVAIDS menggunakan kombinasi tiga kelas obat antiviral. Tipe obat yang pertama yang digunakan secara luas adalah analog nukleotida yang menghambat aktivitas reverse transcriptase yaitu perubahan pada rantai DNA menjadi RNA pada virus HIV. Obat ini secara signifikan menurunkan level plasma RNA dari HIV untuk beberapa bulan tetapi tidak menghentikan progresivitas HIV akibat virus yang berevolusi dan menjadi resisten Pasek, dkk., 2008. Melihat hal tersebut, tentunya pencegahan penularan HIVAIDS menjadi fokus tindakan yang perlu dilakukan untuk memutus transmisi HIV Permenkes RI, 2013. Pencegahan HIVAIDS dapat dilakukan pada tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier Murti, 2010. Dalam pencegahan dan perawatan HIVAIDS, ketiga program pencegahan tersebut perlu dilakukan secara optimal. Bagan berikut menyajikan tentang tingkat pencegahan penyakit HIVAIDS. Tabel 2.2 Tabel tingkat pencegahan HIVAIDS Tingkat pencegahan Jenis intervensi Tujuan intervensi Bentuk intervensi pada HIVAIDS Pencegahan primer Modifikasi determinan faktor risikokausa penyakit, sebelum dimulainya perubahan patologis, dilakukan pada tahap suseptibel dan induksi penyakit, promosi kesehatan terkait penyakit Mencegah atau menunda penyakit 1 Peningkatan kesehatan dengan pendidikan kesehatan reproduksi tentang HIVAIDS, standarisasi nutrisi, menghindari seks bebas