Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan Terkait Deteksi Dini HIV/AIDS pada Wanita Penjaja Seks di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng.

(1)

SKRIPSI

PERILAKU PENCARIAN PELAYANAN KESEHATAN TERKAIT

DETEKSI DINI HIV/AIDS PADA WANITA PENJAJA SEKS DI

KECAMATAN SAWAN KABUPATEN BULELENG

OLEH :

I PUTU YOGA APRIADI 1102105014

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

PERILAKU PENCARIAN PELAYANAN KESEHATAN TERKAIT

DETEKSI DINI HIV/AIDS PADA WANITA PENJAJA SEKS DI

KECAMATAN SAWAN KABUPATEN BULELENG

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH :

I PUTU YOGA APRIADI 1102105014

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : I Putu Yoga Apriadi NIM : 1102105014

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana Program Studi : Ilmu Keperawatan

menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Januari 2015 Yang membuat pernyataan,


(4)

iv

LEMBAR PERSETUJUAN

SKRIPSI

PERILAKU PENCARIAN PELAYANAN KESEHATAN TERKAIT

DETEKSI DINI HIV/AIDS PADA WANITA PENJAJA SEKS DI

KECAMATAN SAWAN KABUPATEN BULELENG

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh :

I PUTU YOGA APRIADI 1102105014

TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI

Pembimbing Utama

(Ns. Made Oka Ari Kamayani, S.Kep, M.Kep) NIP. 198301182008122004

Pembimbing Pendamping

(Ns. Indah Mei Rahajeng, S.Kep) NIP. 198303152010122003


(5)

v

HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI DENGAN JUDUL:

PERILAKU PENCARIAN PELAYANAN KESEHATAN TERKAIT DETEKSI DINI HIV/AIDS PADA WANITA PENJAJA SEKS DI KECAMATAN SAWAN

KABUPATEN BULELENG

Oleh

I Putu Yoga Apriadi

Nim. 1102105014

TELAH DIUJIKAN DIHADAPAN TIM PENGUJI

PADA HARI : Rabu

TANGGAL : 15 Juni 2015

TIM PENGUJI :

1. Ns. Made Oka Ari Kamayani, S.Kep, M.Kep (Ketua) 2. Ns. Indah Mei Rahajeng, S.Kep, (Sekretaris) 3. Ns. Ni Made Dian Sulistyowati, M.kep, Sp.Kep.J (Pembahas)

MENGETAHUI :

DEKAN

FK UNIVERSITAS UDAYANA

Prof. Dr. Dr. Putu Astawa, Sp. OT (K), M.Kes NIP. 195530131 198003 1 004

KETUA

PSIK FK UNIVERSITAS UDAYANA

Prof. dr. Ketut Tirtayasa,MS. AIF NIP. 19501231 198003 1 015


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan Terkait Deteksi Dini HIV/AIDS pada Wanita Penjaja Seks di

Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan proposal ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada :

1. Prof.Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes, sebagi Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.

2. Prof.dr. Ketut Tirtayasa, MS. AIF, sebagai ketua PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam pembuatan Skripsi.

3. Ns. Made Oka Ari Kamayani, S.Kep, M.Kep, sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Ns. Made Rini Damayanti S, S.Kep, MNS, sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. 5. Ns. Indah Mei Rahajeng, S.Kep, sebagai pembimbing pendamping pengganti yang

telah memberikan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu 6. Staf Puskesmas Sawan I sebagai pembimbing lapangan yang telah memberikan

bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu

7. Bapak dan Ibu, serta keluarga yang secara terus-menerus memberikan dukungan biopsikososiokultural untuk menyelesaikan skripsi ini.


(7)

vii

8. I Kadek Bondan Noviada sebagai partner kerja selama penelitian berlangsung untuk menyelesaikan skripsi ini

9. Kadek Ikapatria Sandre Putri yang selalu memberikan secara terus menerus dukungan dan motivasi tak ternilai dalam menyelesaikan skripsi ini

10.Fajar, Alam, Koko, Arya, Jembo, Rama, Eris, Hadi, Sugi, dan Teman-teman PSIK A angkatan 2011 (Achilesextavortouz) yang secara terus-menerus memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

11.Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun.

Denpasar, Januari 2015


(8)

viii

ABSTRAK

Apriadi, I Putu Yoga. 2015. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan Terkait Deteksi Dini HIV/AIDS pada Wanita Penjaja Seksual di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Pembimbing (1) Ns. Made Oka Ari Kamayani, S.Kep., M.Kep. (2) Ns. Made Rini Damayanti S. S.Kep., MNS. (3) Ns.Indah Mei Rahajeng, S.Kep.

HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan global saat ini. Hal ini menyebabkan pencegahan penyakit menjadi prioritas utama dalam penanggulangan HIV/AIDS yang berfokus pada populasi kunci seperti WPS. Pengadaan Klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) di fasilitas-fasilitas kesehatan di Indonesia merupakan strategi untuk pencegahan penyebaran HIV/AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan mengeksplorasi perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS pada kalangan WPS di Sawan, Buleleng. Desain penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik analisis tematik. Prosedur pengumpulan data dilakukan di Sawan (Mei – Juni 2015) menggunakan wawancara mendalam dan observasi lapangan. Teknik sampling menggunakan purposive sampling dengan jumlah 6 partisipan. Hasil penelitian ini menunjukkan pengetahuan WPS tentang HIV/AIDS masih umum dan belum terfokus hal ini berpengaruh terhadap perilaku seksual beresiko yang dilakukan WPS dengan pasangannya seperti seks anal dan seks oral yang tidak menggunakan kondom. Pandangan WPS terhadap pelayanan kesehatan yaitu petugas kesehatan, pelayanan kesehatan, dan klinik khusus cukup baik. Faktor pendorong dalam perilaku WPS dalam mencari pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS adalah kesadaran dan keinginan dari WPS sendiri, dukungan terhadap WPS, dan ajakan dari teman. Faktor penghambat dalam perilaku WPS dalam mencari pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS adalah biaya pelayanan kesehatan, hasil pemeriksaan, kurangnya informasi terkait pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan partner periksa. Berdasarkan hasil penelitian, pemerintah bersama-sama dengan tenaga kesehatan mampu menggencarkan pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS untuk menekan angka kejadian AIDS terutama pada WPS yang memiliki resiko tinggi HIV/AIDS.

Kata Kunci: HIV/AIDS, WPS, Perilaku Seksual Beresiko, Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan


(9)

ix

ABSTRACT

Apriadi, I Putu Yoga. 2015. Health Seeking Behavior Related on Early Detection of HIV/AIDS Among Female Sex Workers (FSW) at Sawan, Buleleng Regency. Final Project, Nursing Science Program, Faculty of Medicine, Udayana University. Advisers (1) Ns. Made Oka Ari Kamayani, S.Kep., M.Kep. (2) Ns. Made Rini Damayanti S. S.Kep., MNS. (3) Ns. Indah Mei Rahajeng, S.Kep.

HIV/AIDS is an infectious disease that is becoming a global health problem today. This causes disease prevention a top priority in the prevention of HIV/AIDS that focus on key populations such as FSW. Voluntary Counselling and Testing (VCT) at health facilities in Indonesia is a strategy to prevent the spread of HIV / AIDS. This study aims to describe and explore health care seeking behavior related to early detection of HIV/AIDS among FSW in Sawan, Buleleng Regency. This study used a qualitative approach with a thematic analysis technique. The data was collected in Sawan (May - June 2015) using in-depth interviews and field observations. Sampling technique used purposive sampling by the number of six participants. The results showed FSW knowledge about HIV/AIDS are still common and have not focused that influence risky sexual behaviors of FSW such as anal sex and oral sex

don’t use condoms. FSW view to health care such as health care workers, health care, and special clinics is quite good. Motivating factor in the behavior in seeking health care related to the early detection of HIV/AIDS is the awareness and the desire of the FSW itself, support for the FSW, and an invitation from a friend or other parties. FSW inhibiting factor in the behavior in seeking health care related to the early detection of HIV/AIDS is the cost of health care, examination results, the lack of information, health care facilities, and partner check. Based on this research, government and health workers together were able to intensify early detection of health services related to HIV/AIDS to suppress the incidence of AIDS, especially in FSW that have a high risk of HIV/AIDS.


(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS ... 11

2.1.1 Definisi ... 11

2.1.2 Etiologi ... 11

2.1.3 Patofisiologi ... 12

2.1.4 Cara Penularan ... 14

2.1.5 Manifestasi Klinis ... 15

2.1.6 Penatalaksanaan ... 16

2.2 Wanita Penjaja Seks dan Seksualitas ... 18

2.2.1 Definisi Wanita Penjaja Seks (WPS) ... 18

2.2.2 Seksualitas ... 18

2.2.2.1 Definisi Seks dan Seksualitas ... 18

2.2.2.2 Identitas Seksual ... 19

2.2.2.3 Identitas Gender ... 19

2.2.2.4 Orientasi Seksual ... 20

2.2.2.5 Perilaku Seksual ... 20

2.3 Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan ... 21

2.3.1 Konsep Perilaku Kesehatan ... 21

2.3.1.1 Batasan Perilaku ... 21

2.3.1.2 Perilaku Kesehatan ... 23

2.3.1.3 Domain Perilaku ... 24

2.3.2 Bentuk Perilaku... 26

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku ... 26

2.3.4 Teori Perilaku Kesehatan ... 29

2.3.4.1 Teori Karr ... 29

2.3.4.2 Teori Green ... 30

2.3.4.3 Teori World Health Organization ... 31

2.3.5 Pelayanan Kesehatan pada WPS ... 32


(11)

xi

2.3.5.2 Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian... 34

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

3.2.1 Tempat ... 35

3.2.2 Waktu ... 35

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 36

3.4 Instrumen Penelitian ... 36

3.5 Prosedur Pengumpulan Data ... 37

3.5.1 Tahap Persiapan ... 37

3.5.2 Tahap Pelaksanaan ... 38

3.5.3 Tahap Terminasi ... 39

3.6 Analisis Data dan Keabsahan Data ... 39

3.7 Etika Penelitian ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Proses Penelitian ... 44

4.2 Data Karakteristik Partisipan ... 46

4.2.1 Partisipan 1... 47

4.2.2 Partisipan 2... 48

4.2.3 Partisipan 3... 49

4.2.4 Partisipan 4... 50

4.2.5 Partisipan 5... 51

4.2.6 Partisipan 6... 52

4.3 Perumusan Tema ... 53

4.3.1 Respon Pengetahuan WPS tentang HIV/ AIDS... 53

4.3.2 Perilaku Seksual Beresiko yang Dilakukan WPS ... 57

4.3.3 Pandangan WPS terhadap Keberadaan Pelayanan Kesehatan ... 60

4.3.4 Respon WPS Pada Saat Pertama Kali Mengunjungi Pelayanan Kesehatan ... 62

4.3.5 Dorongan WPS dalam Mencari Pelayanan Kesehatan ... 63

4.3.6 Hambatan WPS dalam Mencari Pelayanan Kesehatan ... 65

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Pengetahuan WPS terhadap HIV/AIDS... 68

5.2 Perilaku Seksual Beresiko yang Dilakukan WPS ... 74

5.3 Pandangan WPS terhadap Pelayanan Kesehatan ... 76

5.4 Faktor Pendorong Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan pada Kalangan WPS ... 81

5.5 Faktor Penghambat Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan pada Kalangan WPS ... 84

5.6 Keterbatasan Penelitian ... 88

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 89

6.2 Saran ... 90


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Infeksi HIV yang Didasarkan pada Patofisiologi Penyakit Seiring

Memburuknya Secara Progresif Fungsi Imun ... 14

Tabel 2.2 Tabel Tingkat Pencegahan HIV/AIDS ... 16

Tabel 3.1 Distribusi Jumlah WPS Disetiap Kecmatan di Kabupaten Buleleng ... 35


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patofisiologi HIV/AIDS ... 13


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Lampiran 2: Penjelasan Penelitian

Lampiran 3: Surat Persetujuan Menjadi Partisipan

Lampiran 4: Panduan Wawancara

Lampiran 5: Catatan Observasi Lapangan

Lampiran 6: Dana Penelitian

Lampiran 7: Perumusan Tema

Lampiran 8: Surat Ijin Penelitian Program Studi Ilmu Keperawatan FK UNUD

Lampiran 9: Surat Ijin Penelitian Badan Penanaman Modal dan Perizinan

Lampiran 10: Surat Ijin Penelitian KESBANGPOL Kabupaten Buleleng

Lampiran 11: Surat Ijin Penelitian Kecamatan Sawan


(15)

(16)

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam

Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah disepakati para pemimpin dunia pada tahun 2000 di Kota New York (Departemen Kesehatan RI, 2005; Peter, 2008). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2014, IMS adalah infeksi yang menyebar dari orang ke orang lain melalui kontak seksual. Terdapat lebih dari 30 bakteri, virus, dan parasit berbeda yang dapat menularkan infeksi seksual. Penyakit IMS yang paling umum ditemukan diantaranya gonore, klamidiasis, sifilis, trikomoniasis, chancroid, herpes genital, kutil kelamin, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) , dan infeksi hepatitis B. Salah satu penyakit IMS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome

(AIDS) yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Laura, et al., 2009).

Kasus HIV/AIDS di Indonesia senantiasa meningkat dari tahun ke tahun bahkan situasi ini menempatkan Indonesia sebagai negara tempat penyebaran HIV/AIDS tercepat di Asia (UNAIDS, 2009; Syarief, 2011). Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Juni 2014, HIV-AIDS tersebar ke 76% kabupaten dari 498 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Direktorat Jenderal


(18)

2

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI (2014) menyatakan bahwa sampai Juni 2014 jumlah total penderita HIV mencapai 142.950 dan AIDS sebanyak 56.623 sejak tahun 1987 dengan kasus HIV baru pada tahun 2014 (s/d Juni 2014) sebanyak 15.534 jiwa dan kasus AIDS baru sebanyak 1.700 jiwa dengan total jumlah kematian karena AIDS sejak tahun 1987 sebanyak 9.760 jiwa. Jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang merupakan jumlah kasus HIV baru yang terbanyak sejak periode pencatatan kasus HIV dari tahun 2005 dengan jumlah 29.037 jiwa, pada periode enam bulan (Januari s/d Juni 2014) angka HIV baru di Indonesia sudah mencapai 15.534 jiwa yang berarti dalam kurun satu tahun penuh kasus baru HIV bisa mencapai lebih dari 30.000 jiwa pada tahun 2014.

Provinsi di Indonesia dimana pertama kali ditemukan adanya kasus HIV-AIDS adalah Provinsi Bali (Purwadianto, 2011). Jumlah HIV di Bali pada tahun 2014 mencapai 9.051 kasus dan menempati peringkat ke-5 setelah Papua, Jawa Timur, Jawa Barat dan DKI Jakarta, namun merupakan provinsi peringkat ketiga dengan nilai prevalensi tertinggi setelah Papua dan Papua Barat yaitu sebesar 109,52 per 100.000 jumlah penduduk. Menurut Ditjen PP dan PL (2014) Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali tahun 2013 diperoleh data kasus HIV/AIDS di Bali hingga akhir Januari 2012 mencapai 5.902 kasus dengan faktor risiko heteroseksual menjadi peringkat pertama penularan. Salah satunya, bisa dilihat 22 - 25% dari 9.000 wanita penjaja seks (WPS) yang ada di Bali positif terinfeksi HIV sehingga saat ini kasus tersebut sudah memasuki lampu merah atau zona berbahaya (KPAD Bali, 2013). Buleleng merupakan Kabupaten dengan penduduk terinfeksi HIV nomor dua terbesar di Provinsi Bali setelah Kota Denpasar


(19)

3

dengan jumlah 1.992 kasus HIV (KPAD Buleleng, 2013). Peningkatan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng rata-rata mencapai 20 kasus per bulan dengan wilayah yang menjadi kasus HIV/AIDS terbesar sampai bulan Desember 2014 adalah Kecamatan Sawan dengan jumlah 258 jiwa (12,95%).

Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam menanggulangi HIV/AIDS adalah dengan menyelenggarakan layanan yang komprehensif dan berkesinambungan yang meliputi semua bentuk layanan HIV/ADIS yang dilakukan secara paripurna mulai dari rumah, masyarakat, sampai ke fasilitas pelayanan kesehatan (Permenkes RI, 2013). Program pemerintah yang sekarang sedang digalakkan melalui Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yakni mengembangkan program yang komprehensif dan berkesinambungan dalam merespon HIV/AIDS dengan sasaran pembuat kebijakan, sektor swasta, organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat melalui National Strategy and Action Plan for HIV and AIDS Response (SRAN) 2010-2014 (KPAN, 2010). Salah satu program SRAN adalah klinik khusus konseling dan testing sukarela (Voluntary Counseling and Testing) pada tempat pelayanan kesehatan yang berkualitas, ramah, dan mudah dijangkau (KPAN, 2010). Saat ini ada tiga puskesmas di Kabupaten Buleleng yang dilengkapi klinik VCT yaitu Puskesmas Sawan I, Puskesmas Gerokgak II, dan Puskesmas Seririt I (KPAD Buleleng, 2014). Berdasarkan studi pendahuluan terhadap jangkauan kerja khusus kalangan WPS dari Puskesmas Sawan I melalui data statistik WPS di Kecamatan Sawan, didapatkan data bahwa WPS yang dominan berdomisili di Kota Singaraja, akan tetapi banyak juga diantaranya yang bekerja di luar Kota Singaraja seperti Sawan dan Gerokgak.


(20)

4

Fokus penanggulangan HIV/AIDS adalah pada masyarakat yang memiliki risiko tinggi yang disebut dengan populasi kunci (Permenkes, 2013; KPAN, 2013). Populasi kunci dari kategori WHO adalah heteroseksual, homo-biseksual, pengguna narkoba suntik (penasun) yang sering disebut Inject Drug User (IDU) (WHO, 2014). Beberapa populasi yang sudah menderita AIDS berdasarkan data yang diperoleh sampai dengan Juni 2014 di Indonesia adalah heteroseksual sebanyak 34.187 jiwa (55%), homo-biseksual sebanyak 1.298 jiwa (17%) dan IDU 8.451 jiwa (6%) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014).

Salah satu populasi kunci penyebaran HIV/AIDS dalam konteks diatas adalah WPS yang termasuk dalam kategori heteroseksual (WHO, 2014). Menurut American Foundation Of AIDS Research (AMFAR) (2014) menyimpulkan WPS, baik WPS langsung (WPSL) maupun WPS tidak langsung (WPSTL), ternyata berisiko 19 kali lebih besar tertular penyakit HIV dibanding masyarakat umum. Perilaku WPS yang berisiko seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom melalui anal, hubungan seksual melalui oral dan berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Menurut Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 yang memaparkan prevalensi HIV dan IMS pada WPS (WPSL dan WPSTL) sebanyak 13% dari total populasi kunci di Indonesia (Kemenkes RI, 2014).

Perilaku pencarian pelayanan kesehatan dalam keperawatan komunitas akan menjadi fokus prioritas dalam upaya pencegahan dini terhadap agen penyakit. Upaya pencarian pelayanan kesehatan pada kalangan WPS yang masih rendah dan masih sulit diketahui sampai saat ini (KPAN, 2010). Dari data Komisi


(21)

5

Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Buleleng, jumlah WPS di Buleleng tercatat hingga 1.035 jiwa yang 20% atau sekitar 200 orang terjangkit HIV/AIDS dan tercatat hanya 50% atau 577 jiwa yang terdaftar untuk mendapat pelayanan kesehatan di puskesmas Kabupaten Buleleng yang menyediakan fasilitas klinik

Voluntary Counseling and Testing (VCT) (KPAD Buleleng, 2013).

Berdasarkan grand tour yang telah peneliti lakukan melalui observasi lapangan dan studi dokumentasi Puskesmas Sawan I di Kecamatan Sawan, didapatkan data: pertama, jumlah WPS di Kecamatan Sawan yaitu 288 jiwa dengan jumlah kunjungan WPS di fasilitas klinik VCT Puskesmas Sawan I untuk melakukan konseling dan cek kesehatan yang tercatat hanya 78 jiwa (27%), hal ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran WPS dalam mencari pelayanan kesehatan dalam deteksi dini HIV/AIDS; kedua, observasi lapangan yang menunjukkan aktivitas WPS di lokalisasi prostitusi yang tinggi yaitu satu orang WPS bisa melayani hingga lima orang pelanggan WPS; ketiga, hasil wawancara yang dilakukan dengan tokoh masyarakat yang mengatakan bahwa faktor stigma dan persepsi masyarakat yang menganggap WPS adalah kalangan yang merusak moral bangsa dan penyebar penyakit yang sangat rentan dan berisiko HIV/AIDS.

Berbagai penelitian telah dilakukan guna melakukan deteksi terhadap penyebab HIV/AIDS dan faktor risikonya, diantaranya Djumaroh dan Khazanah (2010) yang melakukan studi fenomenologi terhadap WPS menunjukkan bahwa pengetahuan WPS tentang HIV/AIDS adalah penyakit yang mematikan, pengetahuan tentang pencegahan HIV/AIDS adalah dengan menggunakan kondom, mengkonsumsi


(22)

6

jamu dan antibiotik, sikap WPS adalah menerima positif dalam penggunaan kondom, namun kendala yang dihadapi WPS dalam pemanfaatan kondom adalah para pelanggan tidak mau menggunakan kondom. Fadhali, dkk (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa 72,4% WPS di Kabupaten Bulukumba melakukan praktek pencegahan secara baik, dimana variabel yang berhubungan dengan praktek pencegahan HIV/AIDS adalah pengetahuan dan sikap, sedangkan faktor yang tidak berhubungan diantaranya ketersediaan kondom, dukungan pendidik sebaya, dan dukungan keluarga.

Sianturi (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa 45,4% WPS menggunakan kondom dengan kategori baik pada saat berhubungan seks dan 54,6% WPS menggunakan kondom dengan kategori tidak baik. Hasil uji Chi-Square

menunjukkan bahwa terdapat empat variabel yang berhubungan secara signifikan dengan tindakan penggunaan kondom, yaitu sikap, ketersediaan kondom, dukungan mucikari, dan dukungan petugas kesehatan dimana variabel dukungan petugas kesehatan yang paling berhubungan dengan tindakan penggunaan kondom.

Kothimah (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan WPS tentang pencegahan IMS dan HIV/AIDS tergolong sedang yaitu 62,5% memiliki sikap yang positif dalam mendukung pencegahan. Pernyataan WPS yang menyebutkan dukungan yang paling banyak dalam upaya pencegahan IMS dan HIV/AIDS diberikan oleh tenaga kesehatan, mucikari, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta teman WPS. Perilaku pencegahan IMS dan HIV WPS di


(23)

7

Lokalisasi Gempol Porong dengan persentase 80% adalah baik dalam pemakaian kondom.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, perilaku pencegahan WPS dalam melakukan pencegahan HIV/AIDS sudah tergolong baik, namun masih terdapatnya pelanggan yang tidak kooperatif dalam penggunaan kondom, maka penyebaran HIV belum dapat dicegah secara optimal. Bagi WPS yang merupakan populasi kunci sangat penting untuk melakukan pemeriksaan kesehatan ke pusat pelayanan kesehatan seperti Puskesmas terkait deteksi dini penyakit HIV/AIDS.

Penelitian tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait IMS dan HIV pada WPS telah dilakukan oleh Ngo, et al (2007) di Vietnam dengan hasil bahwa pengambilan keputusan untuk mencari pelayanan kesehatan oleh WPS dilakukan karena tiga hal yaitu persepsi terhadap risiko IMS dan HIV, hubungan sosial dan pandangan masyarakat. Pengetahuan WPS tentang HIV tergolong cukup namun pengetahuan tentang IMS terbatas. Mereka mampu menjelaskan tentang risiko tinggi dari HIV, tetapi menunjukkan perhatian yang kurang tentang IMS. Pencarian pelayanan kesehatan oleh WPS dilakukan ketika terdapat gejala pada saluran kencing. Pengambilan keputusan WPS untuk mengakses pelayanan kesehatan dan melakukan tes HIV dihambat karena biaya perawatan yang mahal, kurangnya sikap yang baik dari penyedia pelayanan, dan kurangnya informasi tentang pelayanan test HIV.

Situasi sosial (tempat atau letak geografis, populasi penduduk , dan aktivitas keseharian) dan budaya yang terdapat di negara-negara asia tenggara seperti


(24)

8

Vietnam dengan di Indonesia terutama di Bali sangatlah berbeda, dengan demikian perbedaan tersebut merupakan salah satu dasar perlu dilakukannya eksplorasi lebih mendalam tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah HIV/AIDS terus meningkat di kalangan WPS. Perilaku hubungan seksual yang tidak aman menjadi faktor predisposisi terjadinya HIV/AIDS di kalangan WPS. Dari fenomena yang terjadi di lapangan, masih banyak WPS yang tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual dan kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan seperti puskesmas yang menyediakan klinik VCT.

Perawat yang merupakan salah satu pelaksana pelayanan kesehatan, tentu harus mampu menjadi garda terdepan dalam menangani masalah peningkatan kasus HIV yang akan berdampak pada AIDS. Dalam hal ini, perawat komunitas berperan untuk menjangkau masyarakat yang berisiko tinggi, serta harus mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat guna memberikan informasi tentang deteksi dini HIV/AIDS. Oleh karena itu, pengembangan pengetahuan dan penelitian mengenai perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS dengan studi kualitatif penting dilaksanakan untuk mengeksplorasi lebih mendalam mengenai perilaku dari WPS dalam mencari pelayanan kesehatan.

Berdasarkan uraian latar belakang dan pernyataan masalah penelitian, maka timbul masalah yang akan dikaji lebih lanjut yaitu: “Bagaimanakah perilaku pencarian


(25)

9

pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS pada kalangan WPS di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng?”

1.3Tujuan

Untuk mengetahui gambaran, menggali, dan mengeksplorasi perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS pada kalangan WPS di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng.

1.4Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini meliputi: 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan komunitas mengenai perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS pada kalangan WPS di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pemikiran dan evidence based nursing bagi perawat, khususnya perawat komunitas sebelum melakukan intervensi asuhan keperawatan kepada kalangan WPS yang memerlukan pendekatan khusus.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada instansi pemerintahan dan non pemerintahan dalam upaya promosi kesehatan yang lebih optimal terutama dalam hal penggunaan akses pelayanan kesehatan bagi populasi berisiko seperti WPS.


(26)

10

c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada populasi kunci khususnya WPS untuk berupaya mencari pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS


(27)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS)

2.1.1 Definisi

Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala yang didapat akibat dari penurunan respon sistem kekebalan tubuh akibat infeksi virus

Human Immunodeficiency Virus (HIV). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang bereplikasi didalam sistem imun tubuh dan merupakan salah satu retrovirus karena dapat mengubah urutan sistem rantai Deoxyribonucleic Acid

(DNA)

menjadi Ribonucleic Acid (RNA) setelah masuk ke dalam sel inang (Price & Wilson, 2006; Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008).

2.1.2 Etiologi

Penyebab terjadinya AIDS berasal dari infeksi virus HIV. Virus ini dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (Human T Lympotrophic Virus III / HTLV-III) atau virus limfadenopati, adalah suatu retrovirus manusia dari famili lentivirus (Price & Wilson, 2006). Terdapat dua tipe virus HIV yang sudah teridentifikasi berdasarkan susunan genom dan hubungan filogeniknya, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang keduanya memiliki penyebaran epidemiologis yang berbeda. Virus HIV-1 merupakan tipe yang paling umum dan virulen menginfeksi manusia dimana


(28)

12

sebanyak 90% kejadian infeksi HIV yang terjadi di dunia berasal dari HIV-1 (Phangkawira, dkk., 2009).

2.1.3 Patofisiologi

Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen dan sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus (HIV) tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya (Price & Wilson, 2006; Pasek, dkk., 2008; Wijaya, 2010). Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Price & Wilson, 2006; Departemen Kesehatan RI, 2003).

Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau

Acute Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah CD4 dan peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load (jumlah virus HIV dalam darah) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti timbulnya infeksi


(29)

13

oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun (Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008). Secara ringkas, perjalanan virus HIV dapat dilihat di bagan berikut:


(30)

14

Tabel 2.1 Klasifikasi infeksi HIV yang didasarkan pada patofisiologi penyakit seiring memburuknya secara progresif fungsi imun

Kelas Kriteria

Grup I 1. Infeksi akut HIV

2. Gejala mirip influensa, mereda sempurna 3. Antibodi HIV negatif

HIV asimtomatik Grup II

1. Antibodi HIV positif

2. Tidak ada indikator klinis atau laboratorium adanya imunodefisiensi

HIV simtomatik Grup III

1. Antibodi HIV positif

2. Limfadenopati generalisata persisten Grup IV-A 1. Antibodi HIV positif

2. Penyakit konstitusional (demam atau diare menetap, menurunnya BB > 10% dibandingkan berat normal Grup IV-B 1. Sama seperti grup IV-A

2. Penyakit neurologik (demensia, neuropati, mielopati)

Grup IV-C 1. Sama seperti grup IV-B

2. Hitung limfosit CD4+ kurang daripada 200/µl Grup IV-D 1. Sama seperti grup IV-C

2. Tuberkolosis paru, kanker serviks, atau keganasan lain

Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2011

2.1.4 Cara Penularan

Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu (Wijaya, 2010). Terdapat dua cairan utama dalam transmisi virus HIV yakni, transmisi seksual dan non seksual. Transmisi seksual melalui hubungan seksual baik heteroseksual, homoseksual, oral seks maupun anal seks. Transmisi nonseksual dibedakan menjadi parenteral dan transplasental. Transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik dan alat


(31)

15

tato) yang telah terkontaminasi darah yang terinfeksi virus HIV. Transmisi transplasental yakni penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak yang dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui (Siregar, 2004; Wijaya, 2010).

2.1.5 Manifestasi Klinis

Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) memiliki beragam manifestasi klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi opurtunistik. Jenis keganasan yang paling sering dijumpai pada keganasan lain yang pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV adalah myeloma multipel, leukemia limfositik akut sel B, limfoma limfoblastik T, penyakit Hodgkin, karsinoma anus, karsinoma sel skuamosa di lidah, karsinoma adenoskuamosa paru, adenokarsinoma kolon dan pankreas, kanker serviks, dan kanker testis (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2010).

Pasien AIDS rentan terhadap terhadap infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan virus.

Pneumonia Pnuemocytis Carinii (PPC) adalah infeksi serius yang paling sering dijumpai dengan gejala panas yang pendek, sesak nafas, batuk, nyeri dada, dan demam. Hal ini hampir serupa tanda dan gejalanya dengan pasien AIDS yang disertai Tuberkulosis (TB) karena Mycobacterium tuberculosis. Infeksi lainnya seperti fungus antara lain kandidiasis, kriptokokosis, dan histoplasmosis. Infeksi opurtunistik yang disebabkan oleh virus sangat beragam dan merupakan penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2014).


(32)

16

2.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan infeksi HIV/AIDS menggunakan kombinasi tiga kelas obat antiviral. Tipe obat yang pertama yang digunakan secara luas adalah analog nukleotida yang menghambat aktivitas reverse transcriptase yaitu perubahan pada rantai DNA menjadi RNA pada virus HIV. Obat ini secara signifikan menurunkan level plasma RNA dari HIV untuk beberapa bulan tetapi tidak menghentikan progresivitas HIV akibat virus yang berevolusi dan menjadi resisten (Pasek, dkk., 2008). Melihat hal tersebut, tentunya pencegahan penularan HIV/AIDS menjadi fokus tindakan yang perlu dilakukan untuk memutus transmisi HIV (Permenkes RI, 2013). Pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan pada tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier (Murti, 2010). Dalam pencegahan dan perawatan HIV/AIDS, ketiga program pencegahan tersebut perlu dilakukan secara optimal. Bagan berikut menyajikan tentang tingkat pencegahan penyakit HIV/AIDS.

Tabel 2.2 Tabel tingkat pencegahan HIV/AIDS

Tingkat pencegahan

Jenis intervensi Tujuan intervensi Bentuk intervensi pada HIV/AIDS Pencegahan primer Modifikasi determinan /faktor risiko/kausa penyakit, sebelum dimulainya perubahan patologis, dilakukan pada tahap suseptibel dan induksi penyakit, promosi kesehatan terkait penyakit

Mencegah atau menunda penyakit

1) Peningkatan

kesehatan dengan pendidikan

kesehatan

reproduksi tentang HIV/AIDS,

standarisasi nutrisi, menghindari seks bebas


(33)

17

2) Perlindungan khusus, misalnya imunisasi,

kebersihan pribadi, pemakaian kondom

Pencegahan sekunder

Deteksi dini penyakit dengan skrining dan pengobatan segera Memperbaiki prognosis kasus (memperpendek durasi penyakit, memperpanjang hidup) Teknik skrining (pemeriksan laboratorium serum darah dengan tehnik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau Western Bolt rutin untuk kelompok risiko tinggi) dan pengobatan penyakit pada tahap dini

Pencegahan tersier

Pengobatan, rehabilitasi dan pembatasan kecacatan

Mengurangi dan mencegah sekuel dan disfungsi, mencegah serangan ulang, meringankan akibat penyakit, dan memperbaiki kualitas hidup

Kegiatan pencegahan tersier pada HIV/AIDS ditujukan untuk melaksanakan

rehabilitasi, pembuatan diagnosa dan tindakan penatalaksanaan penyakit. Perawatan pada tingkat ini ditujukan untuk

membantu orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mencapai tingkat fungsi optimal sesuai dengan keterbatasan yang terjadi akibat HIV/AIDS Sumber: Murti, 2010; Aminah, 2010


(34)

18

2.2. Wanita Penjaja Seks dan Seksualitas 2.2.1 Definisi Wanita Penjaja Seks

Menurut Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011, wanita penjaja seks (WPS) dibagi menjadi dua yaitu wanita penjaja seks langsung (WPSL) adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial dan wanita penjaja seks tidak langsung (WPSTL) adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu seperti bar, panti pijat, dan sebagainya.

2.2.2 Seksualitas

2.2.2.1 Definisi Seks dan Seksualitas

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional tahun 2006 mendefinisikan seks sebagai perbedaan badani atau biologis jasmani perempuan dan laki-laki yang sering disebut jenis kelamin, yaitu penis untuk laki-laki dan vagina untuk perempuan. Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, perilaku dan kultural. Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin. Termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual (BKKBN, 2006). Dimensi sosial berkaitan dengan seksualitas muncul dalam hubungan manusia. Dimensi perilaku menjelaskan bahwa seksualitas merupakan salah satu bentuk perilaku manusia. Dimensi kultural menerangkan bahwa seksualitas terkait budaya dalam kehidupan manusia yang beragam (BKKBN, 2006).


(35)

19

2.2.2.2 Identitas Seksual

Identitas seksual merupakan penerimaan seseorang terhadap kategori jenis kelamin tertentu, apakah seseorang mengaku sebagai laki-laki atau perempuan. Identitas seksual ini ada beberapa macam, yang dikenal masyarakat umum adalah identitas seksual sebagai laki-laki dan perempuan. Namun ada beberapa identitas seksual menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta tahun 2009, seperti:

1) Transeksual merupakan seseorang yang hidup atau menginginkan hidup sebagai lawan dari jenis kelamin yang dimilikinya. Biasanya seseorang baru disebut transeksual ketika sudah berganti kelamin.

2) Questioning merupakan istilah yang digunakan bagi seseorang yang sedang dalam proses mempertanyakan siapa dirinya, apa identitas seksualnya termasuk apa orientasi seksualnya.

3) Interseksual merupakan seseorang yang memiliki kelamin ganda atau yang sering disebut dengan hemaprodit. Penentuan kecondongan dari identitas seksualnya sangat tergantung dari pandangan dan identifikasi diri seseorang tersebut.

4) Queer merupakan istilah yang muncul untuk merangkul banyaknya variasi seksualitas manusia yang tidak bisa ataupun tidak mau dimasukkan dalam suatu kelompok tertentu

2.2.2.3 Identitas Gender

Identitas gender merupakan definisi kelaki-lakian atau keperempuanan yang dikonstruksikan secara kultural. Seseorang yang menginginkan hidup sebagai


(36)

20

anggota gender yang lain dan tidak menginginkan pergantian kelamin dinamakan transgender atau waria (PKBI DIY, 2009).

2.2.2.4 Orientasi Seksual

Orientasi seksual adalah suatu keadaan emosional dimana seseorang tertarik secara seksual dengan jenis kelamin tertentu. Orientasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu heteroseksual (orang yang secara seksual tertarik dengan lawan jenis) dan homoseksual (orang yang secara seksual lebih tertarik dengan orang lain yang sejenis kelamin) (BKKBN, 2006).

2.2.2.5 Perilaku Seksual

Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual. Bentuk perilaku seksual bermacam-macam mulai dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, bercumbu berat sampai berhubungan seks (BKKBN, 2006). Perilaku seksual mencangkup orang-orang yang melakukan keintiman dengan orang lain maupun dirinya sendiri (autoseksual) dan juga mencangkup perilaku yang diarahkan untuk memperoleh kenikmatan seksual. Ramadhani (2010) menyebutkan perilaku seksual terdiri atas hubungan seksual (intercourse) dan selain hubungan seksual (nonintercourse) diantaranya berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, dan masturbasi. Hubungan seksual (intercourse) terdiri dari:

1) Orogenital merupakan hubungan seksual dengan melakukan rangsangan melalui mulut pada organ seks pasangannya dan sering disebut oral seks yang berarti hubungan seksual secara oral (mulut) dan dengan alat kelamin.


(37)

21

2) Anogenital merupakan hubungan seksual yang dilakukan dengan memasukkan penis kedalam anus aau anal, sehingga disebut juga anal seks

3) Genitogenital merupakan hubungan seksual yang dilakukan antara kelamin dengan kelamin yaitu hubungan seksual yang memasukan penis ke dalam vagina.

2.3. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan 2.3.1. Konsep Perilaku Kesehatan

2.3.1.1Batasan Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010). Manusia adalah makhluk individual maupun sosial, serta sebagai subjek sekaligus objek dalam kehidupan dan tidak bersifat pasif dalam menerima keadaan hidup. Proses perkembangan perilaku manusia sebagian ditentukan oleh kehendaknya sendiri dan sebagian bergantung pada alam, sedangkan makhluk lain sepenuhnya bergantung pada alam (Sunaryo, 2004). Notoatmodjo (2010) mengelompokkan aktivitas manusia menjadi dua yakni aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain dan aktivitas yang tidak dapat diamati oleh orang.

Menurut Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus, organisme, dan respon, sehingga teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respon). Teori ini


(38)

22

menjelaskan adanya dua jenis respon, yaitu refleksif (respondent respons) dan instrumental respon (Operant respon).

Refleksif (respondent respons) adalah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut electing stimuli, karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap dan mencangkup perilaku emosional. Instrumental respon (operant respon), yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan lain. Perangsang yang terakhir ini disebut

reinforcing stimuli atau reinforce, karena berfungsi untuk memperkuat respon (Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu:

1) Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk unobservable behavior atau covert behavior dapat diukur dari pengetahuan dan sikap.

2) Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable behavior. Bentuk dari perilaku terbuka ini adalah tindakan nyata ataupun dalam bentuk praktik.


(39)

23

Gambar 2.2Bagan teori “S-O-R” Skiner

2.3.1.2Perilaku kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayana kesehatan, makanan, dan lingkungan (Wawan & Dewi, 2011). Perilaku kesehatan sama halnya dengan segala aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati dan berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Oleh karena itu, perilaku kesehatan dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:

1) Perilaku orang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini disebut perilaku sehat (healthy behavior), yang mencangkup perilaku-perilaku dalam mencegah atau menghindari suatu penyakit dan penyebab penyakit/masalah, atau penyebab masalah kesehatan (perilaku preventif), dan perilaku yang mengupayakan meningkatnya kesehatan (perilaku promotif).

2) Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Perilaku ini mencangkup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepas dari masalah STIMULUS ORGANISME RESPON TERTUTUP

Pengetahuan Sikap

RESPON TERBUKA Praktik


(40)

24

kesehatan yang dideritanya. Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan, baik tradisional maupun modern

Backer (1979) dalam Wawan dan Dewi (2011) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan sebagai berikut:

1) Perilaku kesehatan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih tekanan, sanitasi, dan sebagainya.

2) Perilaku sakit, yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseoran individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini adalah kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit, serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.

3) Perilaku peran sakit, yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu dan sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan/kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain.

2.3.1.3Domain Perilaku

Bloom (1908) dalam Notoatmojo tahun 2010 membedakan adanya tiga domain perilaku, yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan tindakan atau praktik (practice). Kemudian oleh para ahli pendidikan di Indonesia, ketiga domain ini diterjemahkan ke dalam cipta (kognitif), rasa (afektif), dan karsa (psikomotor).


(41)

25

1) Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi menjadi enam tingkat pengetahuan, yaitu tahu (know), memahami (comprehention), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).

2) Sikap (Attitude)

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Sikap merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain (Notoatmodjo, 2010). Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010) sikap itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu: (a) kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek; (b) kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek; (c) kecenderungan untuk bertindak.


(42)

26

Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut kualitasnya, yaitu: a. Praktik terpimpin (guided response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan panduan.

b. Praktik secara mekanisme (mechanism)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.

c. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.

2.3.2. Bentuk Perilaku

Bentuk perilaku dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Bentuk Pasif

Bentuk pasif adalah respon internal yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir tanggapan atau sikap batin, dan pengetahuan (Wawan & Dewi, 2011). Perilaku ini sebatas sikap dan belum ada tindakan nyata (Sunaryo, 2004).


(43)

27

Bentuk aktif apabila perilaku jelas dapat diobservasi secara langsung (Wawan & Dewi, 2011). Perilaku ini bersifat terbuka dan sudah berupa tindakan yang nyata (Sunaryo, 2004)

2.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Perilaku manusia dalam melakukan kegiatan atau aktivitas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sunaryo (2004) membagi faktor yang memperngaruhi perilaku manusia ke dalam dua bagian, yaitu:

1) Faktor Genetik atau Faktor Endogen

Faktor genetik atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk kelanjutan perkembangan perilaku makhluk hidup. Faktor genetik ini dibagi menjadi beberapa hal yang terkait dari dalam diri individu, antara lain:

a. Jenis ras, setiap ras di dunia memiliki perilaku spesifik dan berbeda satu dengan yang lainnya.

b. Jenis kelamin, perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara berpakaian dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Pria berperilaku atas dasar pertimbangan rasional atau akal, sedangkan wanita atas dasar pertimbangan emosional atau perasaan.

c. Sifat fisik, perilaku individu jika diamati akan berbeda-beda karena sifat fisiknya, misalnya perilaku individu yang pendek dan gemuk berbeda dengan individu yang memiliki fisik yang tinggi kurus.

d. Sifat kepribadian, menurut masyarakat awam adalah bagaimana tampil dan menimbulkan kesan bagi individu lainnya.


(44)

28

e. Bakat pembawaan, merupakan interaksi dari faktor genetik dan lingkungan serta bergantung pada adanya kesempatan untuk pengembangan.

f. Intelegensi, sesuatu terkait kemampuan berpikir abstrak dan kemampuan untuk membuat kombinasi. Maka dikenal tindakan seseorang yang memiliki intelegensi tinggi akan bertindak cepat dan tepat, sebaliknya seseorang dengan intelegensi rendah akan bertindak lambat.

2) Faktor Luar Individu atau Faktor Eksogen

Faktor eksogen merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi yang berasal dari luar individu, antara lain:

a. Faktor lingkungan, menyangkut segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang karena sebagian besar dari proses perkembangan perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

b. Pendidikan, secara luas pendidikan mencangkup seluruh proses kehidupan individu sejak dari kecil, berupa interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal maupun informal.

c. Agama, merupakan tempat mencari makna hidup yang terakhir atau penghabisan. Agama sebagai suatu keyakinan hidup yang telah masuk ke dalam kontruksi kepribadian individu dan mempengaruhi proses berpikir, bersikap, bereaksi, dan berperilaku.

d. Sosial ekonomi, lingkungan seseorang dengan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap perilaku, sebagai contoh seseorang dengan sosial ekonomi berkecukupan akan mampu memenuhi kebutuhan hidup, dan


(45)

29

sebaliknya pada seseorang dengan sosial ekonomi rendah akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidup.

e. Kebudayaan, hasil kebudayaan manusia akan mempengaruhi perilaku manusia itu sendiri di setiap daerah atau wilayah.

2.3.4. Teori Perilaku Kesehatan 2.3.4.1. Teori Karr

Karr (1983) dalam Notoatmodjo (2010) mengidentifikasi determinan perilaku, yaitu:

1) Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan objek atau stimulus di luar dirinya.

2) Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak memperoleh dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak nyaman. Demikian pula, untuk berperilaku kesehatan orang memerlukan dukungan masyarakat sekitarnya.

3) Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang. 4) Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil keputusan. Kebebasan pribadi masih terbatas, khususnya di pedesaan Indonesia. Contohnya, seorang istri dalam mengambil keputusan masih tergantung kepada suami.

5) Adanya kondisi atau situasi yang memungkinkan (action situation), kondisi dan situasi mempunyai pengertian yang luas, baik fasilitas yang tersedia serta kemampuan yang ada. Meskipun determinan yang lain tidak ada masalah, tetapi


(46)

30

apabila kondisi dan situasinya tidak mendukung, maka perilaku tersebut tidak akan terjadi.

Secara matematik, teori Karr ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

B = Behavior

F = Fungsi

Bi = Behavior Intention

Ss = Social support

Ai = Accessibility Information

Pa = Personal Autonomy

As = Action Situation

2.3.4.2. Teori Green

Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) membedakan adanya suatu determinan antara faktor perilaku dengan faktor non perilaku. Tiga faktor utama yang dapat dianalisis mengenai faktor perilaku, yaitu:

1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.

2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factor), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor pemungkin yang dimaksud adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, dan lain sebagainya.


(47)

31

3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Seseorang yang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya.

2.3.4.3. Teori World Health Organization (WHO)

World Health Organization (WHO) merumuskan determinan perilaku ini secara sederhana dan memiliki alasan pokok (Notoatmodjo, 2010), yaitu:

1) Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), hasil pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus yang merupakan model awal untuk bertindak atau berperilaku.

2) Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai (personal reference), tatanan masyarakat dengan sikap paternalistik masih kuat, maka perubahan perilaku masyarakat dengan sikap tergantung dari perilaku acuan yang pada umumnya adalah para tokoh masyarakat setempat.

3) Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Jika dibandingkan dengan teori Green, sumber daya ini sama dengan faktor enabling (sarana dan prasarana atau fasilitas).

4) Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku seseorang. Faktor sosio-budaya merupakan faktor eksternal untuk terbentuknya perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku tiap-tiap etnis di Indonesia yang berbeda-beda, karena memang


(48)

32

masing-masing etnis mempunyai kebudayaan berbeda-beda yang khas (Sutardi, 2007).

Dari uraian tersebut, teori WHO ini dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut:

B = Behavior

F = Fungsi

Tf = Thoughts and Feeling

Pr = Personal refrences

C = Culture

2.3.5. Pelayanan Kesehatan Pada WPS

2.3.5.1. Klinik Voluntary Counceling and Testing (VCT)

Klinik VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan berdasarkan prinsip sukarela dalam melaksanakan testing HIV, saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas (Suherman, 2009). Layanan VCT dapat diimplementasikan dalam berbagai keadaan dan sangat bergantung pada kondisi dan situasi daerah setempat, kebutuhan masyarakat dan profil klien seperti individual atau pasangan, perempuan atau laki-laki, dewasa atau anak muda (Depkes RI, 2008). Konseling VCT mampu memberikan keuntungan, baik bagi mereka yang positif terinveksi virus HIV, maupun bagi mereka yang negatif (Suherman, 2009). Voluntary Counseling and Test dapat mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan mereka


(49)

33

tentang faktor-faktor risiko infeksi HIV, mengembangkan perilaku, dan dukungan termasuk akses terapi ART (anti-retro viral) (Dewi, 2008).

2.3.5.2. Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)

Pelayanan VCT dapat dikembangkan di berbagai layanan terkait yang dibutuhkan, misalnya klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) (Suherman, 2009). Layanan kesehatan IMS merupakan kegiatan pemeriksaan dan pengobatan bagi pasien yang mengalami kebutuhan IMS. Layanan kesehatan IMS memiliki fungsi kontrol terhadap IMS pada populasi berisiko dapat diminimalisir. Pelayanan kesehatan IMS bertujuan untuk menjalankan fungsi kontrol dan menekan penyebaran IMS pada laki-laki maupun perempuan (KPAN, 2008).

Standar minimum yang harus dilakukan sebuah klinik IMS menurut Clinical Services Unit Family Health International Indonesia (2007) adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan pencegahan, seperti promosi kondom dan seks yang aman.

2) Pelayanan ditargetkan kepada kelompok berisiko. 3) Pelayanan yang efektif.

4) Program penatalaksanaan mitra seksual. 5) Sistem monitoring dan surveilan yang efektif.


(1)

e. Bakat pembawaan, merupakan interaksi dari faktor genetik dan lingkungan serta bergantung pada adanya kesempatan untuk pengembangan.

f. Intelegensi, sesuatu terkait kemampuan berpikir abstrak dan kemampuan untuk membuat kombinasi. Maka dikenal tindakan seseorang yang memiliki intelegensi tinggi akan bertindak cepat dan tepat, sebaliknya seseorang dengan intelegensi rendah akan bertindak lambat.

2) Faktor Luar Individu atau Faktor Eksogen

Faktor eksogen merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi yang berasal dari luar individu, antara lain:

a. Faktor lingkungan, menyangkut segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang karena sebagian besar dari proses perkembangan perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

b. Pendidikan, secara luas pendidikan mencangkup seluruh proses kehidupan individu sejak dari kecil, berupa interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal maupun informal.

c. Agama, merupakan tempat mencari makna hidup yang terakhir atau penghabisan. Agama sebagai suatu keyakinan hidup yang telah masuk ke dalam kontruksi kepribadian individu dan mempengaruhi proses berpikir, bersikap, bereaksi, dan berperilaku.

d. Sosial ekonomi, lingkungan seseorang dengan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap perilaku, sebagai contoh seseorang dengan sosial ekonomi berkecukupan akan mampu memenuhi kebutuhan hidup, dan


(2)

sebaliknya pada seseorang dengan sosial ekonomi rendah akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidup.

e. Kebudayaan, hasil kebudayaan manusia akan mempengaruhi perilaku manusia itu sendiri di setiap daerah atau wilayah.

2.3.4. Teori Perilaku Kesehatan 2.3.4.1. Teori Karr

Karr (1983) dalam Notoatmodjo (2010) mengidentifikasi determinan perilaku, yaitu:

1) Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan objek atau stimulus di luar dirinya.

2) Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak memperoleh dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak nyaman. Demikian pula, untuk berperilaku kesehatan orang memerlukan dukungan masyarakat sekitarnya.

3) Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang. 4) Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil keputusan. Kebebasan pribadi masih terbatas, khususnya di pedesaan Indonesia. Contohnya, seorang istri dalam mengambil keputusan masih tergantung kepada suami.

5) Adanya kondisi atau situasi yang memungkinkan (action situation), kondisi dan situasi mempunyai pengertian yang luas, baik fasilitas yang tersedia serta kemampuan yang ada. Meskipun determinan yang lain tidak ada masalah, tetapi


(3)

apabila kondisi dan situasinya tidak mendukung, maka perilaku tersebut tidak akan terjadi.

Secara matematik, teori Karr ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

B = Behavior F = Fungsi

Bi = Behavior Intention Ss = Social support

Ai = Accessibility Information Pa = Personal Autonomy As = Action Situation

2.3.4.2. Teori Green

Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) membedakan adanya suatu determinan antara faktor perilaku dengan faktor non perilaku. Tiga faktor utama yang dapat dianalisis mengenai faktor perilaku, yaitu:

1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.

2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factor), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor pemungkin yang dimaksud adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, dan lain sebagainya.


(4)

3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Seseorang yang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya.

2.3.4.3. Teori World Health Organization (WHO)

World Health Organization (WHO) merumuskan determinan perilaku ini secara sederhana dan memiliki alasan pokok (Notoatmodjo, 2010), yaitu:

1) Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), hasil pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus yang merupakan model awal untuk bertindak atau berperilaku.

2) Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai (personal reference), tatanan masyarakat dengan sikap paternalistik masih kuat, maka perubahan perilaku masyarakat dengan sikap tergantung dari perilaku acuan yang pada umumnya adalah para tokoh masyarakat setempat.

3) Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Jika dibandingkan dengan teori Green, sumber daya ini sama dengan faktor enabling (sarana dan prasarana atau fasilitas).

4) Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku seseorang. Faktor sosio-budaya merupakan faktor eksternal untuk terbentuknya perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku tiap-tiap etnis di Indonesia yang berbeda-beda, karena memang


(5)

masing-masing etnis mempunyai kebudayaan berbeda-beda yang khas (Sutardi, 2007).

Dari uraian tersebut, teori WHO ini dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut:

B = Behavior

F = Fungsi

Tf = Thoughts and Feeling Pr = Personal refrences C = Culture

2.3.5. Pelayanan Kesehatan Pada WPS

2.3.5.1. Klinik Voluntary Counceling and Testing (VCT)

Klinik VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan berdasarkan prinsip sukarela dalam melaksanakan testing HIV, saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas (Suherman, 2009). Layanan VCT dapat diimplementasikan dalam berbagai keadaan dan sangat bergantung pada kondisi dan situasi daerah setempat, kebutuhan masyarakat dan profil klien seperti individual atau pasangan, perempuan atau laki-laki, dewasa atau anak muda (Depkes RI, 2008). Konseling VCT mampu memberikan keuntungan, baik bagi mereka yang positif terinveksi virus HIV, maupun bagi mereka yang negatif (Suherman, 2009). Voluntary Counseling and Test dapat mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan mereka


(6)

tentang faktor-faktor risiko infeksi HIV, mengembangkan perilaku, dan dukungan termasuk akses terapi ART (anti-retro viral) (Dewi, 2008).

2.3.5.2. Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)

Pelayanan VCT dapat dikembangkan di berbagai layanan terkait yang dibutuhkan, misalnya klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) (Suherman, 2009). Layanan kesehatan IMS merupakan kegiatan pemeriksaan dan pengobatan bagi pasien yang mengalami kebutuhan IMS. Layanan kesehatan IMS memiliki fungsi kontrol terhadap IMS pada populasi berisiko dapat diminimalisir. Pelayanan kesehatan IMS bertujuan untuk menjalankan fungsi kontrol dan menekan penyebaran IMS pada laki-laki maupun perempuan (KPAN, 2008).

Standar minimum yang harus dilakukan sebuah klinik IMS menurut Clinical Services Unit Family Health International Indonesia (2007) adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan pencegahan, seperti promosi kondom dan seks yang aman.

2) Pelayanan ditargetkan kepada kelompok berisiko. 3) Pelayanan yang efektif.

4) Program penatalaksanaan mitra seksual. 5) Sistem monitoring dan surveilan yang efektif.