4.2.1 Faktor Penyebab Kemiskinan
Masalah kemiskinan dalam novel 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor individu, faktor
sub-budaya, faktor struktural, dan faktor keluarga.
4.2.1.1 Faktor Individu
Faktor individu terlihat dari perjalanan hidup keluarga Iwan terutama dilihat dari sisi hidup sang Ayah selaku kepala keluarga dan pencari nafkah.
Sosok Bapak dalam novel ini digambarkan sebagai seorang yang memiliki cara pandang yang sempit terhadap pengertian pekerjaan yang layak karena adanya
sikap pesimis untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari menjadi sopir angkot. Kemudian adanya sikap ceroboh dari bapaknya tersebut sehingga kurang
berhati-hati saat bekerja dan mengakibatkannya masuk penjara karena menabrak pengendara vespa. Peristiwa ini membuat keluarga Iwan sejenak tidak memiliki
sumber pendapatan karena ibunya hanya menjadi ibu rumah tangga dan terpaksa sang ibu menggadaikan barang-barang berharga dirumah untuk bertahan hidup.
Selain itu, bapak Iwan terkadang muncul sifat mudah putus asa dan sayangnya keputusasaan tersebut dilampiaskan ke hal yang kurang baik yaitu minum
minuman keras. Alhasil mengurangi pendapatannya sebagai sopir angkot berkurang. Berikut kutipannya.
184 Menurut bapak, sopir adalah pekerjaan yang sangat bagus pada saat itu. Cita-cita tinggi hanya menjadi angan-angan. Kerjaan
menyopir ini memberi dia segalanya. 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 26.
185 Dalam perjalanan itu, ia sempat mendekam di penjara selama sebulan karena menabrak dua orang yang sedang mengendarai
Vespa. Beruntung tidak ada nyawa yang terenggut atau cedera yang menyebabkan cacat seumur hidup, tapi Bapak tak mampu
membiayai mereka yang harus masuk rumah sakit untuk beberapa hari… . Ibu dengan ketegarannya menghidupi dirinya,
Mbak Isa, dan bayi di kandungannya dengan menjual atau menggadaikan barang-barang yang tersisa di rumah.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 26. 186 Bapak menjadi seseorang yang temperamental. Ia sempat
berkenalan dengan minum-minuman keras untuk memberi ruang pada rasa penatnya.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 27.
4.2.1.2 Faktor Sub-budaya
Faktor sub-budaya dapat terlihat pada kisah Bapak Ngatemun, kakek Iwan. Ia seharusnya memiliki pekerjaan yang bagus, yaitu menjadi polisi. Prinsip
keluarga “mangan ora mangan sing penting kumpul” kurang memihak pada pekerjaan tersebut. Ia memilih menjadi penjual jam tangan bekas. Secara tidak
langsung prinsip keluarga tersebut menjadi penyebab awal keluarga Iwan tidak dapat keluar dari kemiskinan. Berikut kutipannya.
187 Bapak Ngatemun adalah bekas polisi yang pernah ikut berlayar sampai ke Mekah, tapi harus meninggalkan pekerjaannya
karena Mbok Pah, mertuanya menginginkan dia tinggal di Batu, mengikuti prinsip “ mangan ora mangan sing penting
kumpul ”. Bapak Ngatemun yang sangat pendiam ini akhirnya
memilih menjadi penjual jam tangan bekas di Pasar Batu. 9 Summers 10 Autumns : Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 31.
Masyarakat Kota Batu pada saat itu sebagian besar tidak pernah merantau. Mereka tidak mencoba menemukan pekerjaan yang lebih baik di luar kota karena
prinsip mangan ora mangan sing penting kumpul sudah menjadi tradisi. Hal ini membuat masyarakat Kota Batu sulit berkembang dalam perekonomiannya.
4.2.1.3 Faktor Struktural Sosial
Selain itu faktor struktur sosial juga menjadi masalah kemiskinan berikutnya. Kota Batu tidak begitu banyak tersedia pekerjaan yang menjanjikan.
Hampir semua masyarakat kota Batu pada saat itu hanya memiliki pekerjaan kecil dengan penghasilan rendah, seperti sopir angkot dan buruh. Berikut kutipannya.
188 Semua saudara laki-laki ibuku menjadi sopir, bapakku seorang sopir, banyak sekali tetanggaku yang menjadi sopir, buruh
pabrik, pedagang di pasar sayur. Hanya sedikit yang menjadi polisi atau pegawai negeri. Bagaimana aku akan membantu
menafkahi keluargaku nantinya?
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 62. Hal ini yang menandakan struktur sosial di Kota Batu saat itu tidak ada
pembaharuan dari segi lapangan pekerjaan. Struktur sosial di kota tersebut sudah menjadikan pekerjaan sopir angkot, buruh, dan pedagang sebagai profesi turun-
temurun dan membudaya. Profesi ini pun tidak luput ditanamkan oleh bapak Iwan kepada anaknya, Iwan.
4.2.1.4 Faktor Keluarga
Faktor pendidikan keluarga yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan terlihat dari cara Iwan menjelaskan cita-citanya di masa kecil. Ketika kecil ia
menganggap pekerjaan hansip sama dengan militer. Begitu pula dengan teman- temannya yang memilih bercita-cita menjadi presiden, wakil presiden, atau
menteri karena tidak ada jenis pekerjaan lainnya yang mereka ketahui. Itu membuktikan bahwa orang tua dan lingkungan kurang memberikan bekal
pengetahuan tentang jenis-jenis pekerjaan yang menghasilkan pendapatan tinggi selain jenis pekerjaan yang Iwan dan teman-temannya lihat di lingkungannya.
Berikut kutipannya. 189 Pernah tetanggaku bertanya apa cita-citaku, dan aku menjawab
ingin jadi hansip. Tertawalah orang-orang disekitarku. Aku pikir hansip adalah militer juga. Aku tak ingin menjadi
presiden saat itu karena semua anak kecil lainnya bercita-cita menjadi presiden, wakil presiden, atau menteri, hanya karena
tidak ada inspirasi di sekitar mereka Inspirasi di sekitar begitu
kecil tapi begitu dekat, seakan-akan aku akan terlahir menjadi sopir.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 62. Latar belakang pendidikan orang tua Iwan tidak begitu baik. Mereka tidak
memiliki pendidikan tinggi sehingga keterampilan kerja yang mereka miliki terbatas. Berikut kutipan 190 dan 191 yang mencerminkan riwayat singkat
orang tua Iwan. 190 Sayangnya, bapak harus putus sekolah karena tidak ada ada
biaya. Ia hanya mengecap pendidikan sampai kelas 2 SMP dan memutuskan untuk bekerja penuh sebagai kenek angkot
bersama Pak Ucup.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 25. 191 Ibu tidak bisa menyelesaikan sekolahnya di SD Taman Siswa
Batu karena penyakit gatalnya ketika memasuki ujian akhir. 9 Summers10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 33.
4.2.2 Dampak Masalah Kemiskinan Bagi Keluarga Iwan
Berbagai faktor penyebab kemiskinan di atas memberikan dampak yang sangat komplek bagi keluarga Iwan. Beberapa diantaranya adalah kesulitan dalam
mencukupi kebutuhan primer, seperti : sandang, papan, pangan, dan pendidikan. Selain kebutuhan primer, Iwan dan saudara-saudaranya memiliki kesulitan untuk
mengikuti pergaulan teman-temannya saat itu karena keterbatasan uang yang mereka miliki. Mereka terpaksa membantu perekonomian keluarga dengan
bekerja di salah satu kerajinan boneka milik tetangganya. Berikut kutipannya. 192 Ibu yang tahu barang apa yang harus digadaikan untuk membeli
sepatu baru untuk anaknya dan mengatur pembayaran uang sekolah kami. Ibulah yang membelah satu telur dadar untuk
dua atau tiga orang. Ibulah yang selalu menyembunyikan tempe goreng supaya tidak dihabiskan salah satu anaknya.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 33-34. 193 Di rumah mungil berukuran 6x7 meter dan hampir tak
berhalaman ini, kami bertujuh berbagi dua kamar tidur, satu ruang tamu kecil, satu dapur, dan satu kamar mandi.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 8. 194 Pada saat Lebaran, Ibu selalu bertarung untuk membelikan baju
baru untuk kami. Inilah pengeluaran “termewah” untuk anak- anaknya, dan dia selalu mencari pilihan terbaik sesuai dengan
uang yang ada. Pernah, dia baru membelikan baju baru untukku setelah salat Ied, itu pun setelah mendapat pinjaman uang.
Sementara, aku sendiri dengan teganya, bahkan sampai menangis, meminta baju baru jauh sebelum Lebaran.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 34. 195 Pada saat Mbak Inan memasuki Universitas Brawijaya, kami
telah menjual sebagian dari tanah warisan Bapak di Yogya ke Lek Tukeri. Kami sengaja tidak menjual semua tanah warisan
yang tak seberapa luas ini karena ingin mempunyai sesuatu untuk dikenang di Yogya. Kami kemudian menjadikan
sebagian tanah warisan ini sebagai jaminan utang lainnya ke Lek Tukeri.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 115. 196 Sering kali aku harus tinggal di rumah ketika teman-teman
mengajak berenang di Pemandian Songgoriti atau Selecta. Demikian juga kakak-kakakku. Mereka harus lebih banyak
tinggal di rumah ketika teman-teman mengajak nonton bioskop, makan-makan di luar atau pergi jalan-jalan ke Kota
Malang. Kami juga sering tidak hadir di undangan pesta ulang
tahun karena malu, tidak bisa membawa kado… . Selain “berteman” dengan buku-buku pelajaran, aku dan saudara-
saudaraku juga mulai menggunakan tangan-tangan kecil kami untuk membantu meringkankan beban keluarga: untuk uang
jajan sekolah, membeli cwie mie di pasar Plastik atau ikut menonton bioskop bersama teman-teman sekolah.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm.70. Kutipan 192 menceritakan cara Ibu Iwan mencukupi kebutuhan makanan
anak-anaknya secara adil. Kutipan 193 mendeskripsikan kondisi tempat tinggal Iwan dan keluarganya saat Iwan masih sekolah dulu. Pakaian baru di saat Lebaran
merupakan suatu barang mewah di keluarga Iwan karena Ibunya terkadang harus meminjam uang terlebih dahulu untuk membelikan mereka pakaian baru. Hal
tersebut tercermin di dalam kutipan 194. Kutipan 195 menggambarkan pemenuhan pendidikan Iwan dan saudara-saudaranya perlu perjuangan yang
sangat berat karena harus menggadaikan tanah warisan Bapaknya untuk mencukupi biaya kuliah mereka. Begitu banyak pengeluaran keluarga yang harus
dibiayai orang tua mereka sehingga Iwan dan saudara-saudaranya berinisiatif bekerja untuk mendapatkan uang jajan, uang untuk berjalan-jalan dengan teman-
teman mereka atau membeli perlengkapan sekolah yang belum mampu dibelikan orang tua mereka. Hal ini terlihat pada kutipan 196.
Masalah kemiskinan ini tidak semuanya memberikan dampak yang negatif namun ada sisi positifnya. Iwan menjadi lebih bersemangat dalam belajar karena
ia ingin mengubah kondisi keluarganya tersebut. Penderitaan hidup tersebut membuatnya terpacu untuk selalu bekerja semaksimal mungkin. Selain itu
Masalah kemiskinan dalam keluarganya juga menumbuhkan rasa prihatin dan mendidik Iwan hidup sederhana. Pada akhirnya Perjuangan orang tua Iwan dalam
memberikan pendidikan yang tinggi kepada anak-anak mereka membuahkan hasil. Berkat pendidikan tersebut, Iwan dan saudara-saudaranya dapat
memperoleh pekerjaan dengan pendapatan tinggi. Akhirnya Iwan dan saudara- saudaranya mampu merentaskan keluarga mereka dari kemiskinan. Orang tua
mereka tidak perlu bekerja keras lagi di hari tua mereka. Disinilah peran besar tokoh Iwan terlihat dalam mengubah kondisi perekonomian keluarga mereka
menjadi lebih baik. Berikut kutipan yang menggambarkan perjuangan Iwan. 197 Aku mencoba lebih prihatin, lebih irit. Aku ingin
menyelesaikan kuliah secepatnya. Membantu kami dari kemiskinan ini.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 115. 198 Setiap akhir bulan, aku menyisihkan sedikit gajiku untuk
rumah kecilku. Selain untuk orangtua, aku membuka tabungan untuk adik-adikku, Mira dan Rini, sehingga bisa langsung
mengirimi mereka juga.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm.171.
199 Senang sekali dapat telepon dari rumah dua minggu lalu dan dengar bahwa Bapak sudah tidak nyetir lagi, setelah 36 tahun.
Semoga ia bisa menikmati masa tuanya di rumah dengan damai, mengurus cucu-cucunya dan kos-kosan yang telah kita
bangun untuk masa pensiunnya. Hatiku benar-benar penuh mendengar berita ini.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm.113.
4.3 Hubungan antara Tokoh dan Penokohan, Latar, Alur, Tema, dan Bahasa dengan Masalah Kemiskinan dalam Novel 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota
Apel ke The Big Apple Karya Iwan Setyawan 4.3.1 Hubungan Tokoh dan Penokohan dengan Masalah Kemiskinan
Tokoh dan penokohan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan yang terkandung dalam novel 9 Summers 10 Autumns: Dari
Kota Apel ke The Big Apple. Tokoh dalam hal ini keluarga Iwan merupakan tokoh yang diceritakan mengalami permasalahan kemiskinan sehingga gambaran hidup
keluarga Iwan dideskripsikan sebagai keluarga yang tidak mampu dan sering mengalami masalah keuangan ketika harus mencukupi kebutuhan keluarga.
Penokohan memberikan gambaran mengenai karakter setiap tokoh. Dalam hal ini karakter Bapak Iwan yang digambarkan mudah puas dengan apa yang ia peroleh
membuatnya hanya mengandalkan penghasilan sopir angkot sebagai sumber pendapatannya. Selain itu sikap ceroboh dan mudah putus asanya juga
memberikan dampak buruk bagi perekonomian keluarga. Dari beberapa karakter sang Bapak ini terlihat bahwa karakter tokoh menjadi salah satu penyebab
timbulnya masalah kemiskinan. Berikut hubungan tokoh dan penokohan dengan timbulnya masalah kemiskinan.
200 Dalam perjalanan itu, ia sempat mendekam di penjara selama sebulan karena menabrak dua orang yang sedang mengendarai
Vespa. Beruntung tidak ada nyawa yang terenggut atau cedera yang menyebabkan cacat seumur hidup, tapi Bapak tak mampu
membiayai mereka yang harus masuk rumah sakit untuk beberapa hari… . Ibu dengan ketegarannya menghidupi dirinya,
Mbak Isa, dan bayi di kandungannya dengan menjual atau menggadaikan barang-barang yang tersisa di rumah.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 26. 201 Bapak menjadi seseorang yang temperamental. Ia sempat
berkenalan dengan minum-minuman keras untuk memberi ruang pada rasa penatnya.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 27.
4.3.2 Hubungan Latar dengan Masalah Kemiskinan
Latar tempat, latar waktu, dan latar sosial dalam novel 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple memiliki hubungan dengan masalah
kemiskinan yang terkandung di dalam novel tersebut terutama ketika latar tempat di Kota Batu. Kota Batu pada saat Iwan kecil, yaitu sekitar tahun 1970 an
digambarkan sebagai daerah kurang maju dari segi sumber daya manusia dan cara berpikir masyarakatnya terlihat dari pendidikan orang tua Iwan yang rendah dan
keluarga Iwan yang sebagian besar anggota keluarganya hanya bekerja menjadi sopir angkot. Selain itu latar tempat berada di Kota Batu di daerah Jawa Timur
sehingga tradisi Jawa terutama prinsip hidupnya yang kolot masih berkembang, yaitu mangan ora mangan sing penting kumpul. Prinsip hidup dari tradisi Jawa ini
membuat orang enggan merantau memperbaiki perekonomian. Hal ini cukup membuat Kota Batu lambat dalam perkembangannya dan menciptakan masalah
kemiskinan pada saat itu. Berikut kutipannya. 202 Sayangnya, bapak harus putus sekolah karena tidak ada biaya.
Ia hanya mengecap pendidikan sampai kelas 2 SMP dan memutuskan untuk bekerja penuh sebagai kenek angkot
bersama Pak Ucup.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 25.
203 Semua saudara laki-laki ibuku menjadi sopir, bapakku seorang sopir, banyak sekali tetanggaku yang menjadi sopir, buruh
pabrik, pedagang di pasar sayur. Hanya sedikit yang menjadi polisi atau pegawai negeri. Bagaimana aku akan membantu
menafkahi keluargaku nantinya?
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 62. 204 Bapak Ngatemun adalah bekas polisi yang pernah ikut berlayar
sampai ke Mekah, tapi harus meninggalkan pekerjaannya karena Mbok Pah, mertuanya menginginkan dia tinggal di
Batu, mengikut i prinsip “mangan ora mangan sing penting
kumpul ”. Bapak Ngatemun yang sangat pendiam ini akhirnya
memilih menjadi penjual jam tangan bekas di Pasar Batu. 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 31.
4.3.3 Hubungan Alur dengan Masalah Kemiskinan
Alur adalah urutan peristiwa dalam cerita novel. Urutan peristiwa tersebut membantu pembaca menangkap jalan cerita dalam novel tersebut. Dalam
hal ini alur dan masalah kemiskinan berhubungan. Dengan adanya alur, pembaca dapat memahami runtutan penyebab timbulnya masalah kemiskinan yang
terkandung dalam novel 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple dan cara penyelesaiannya. Alur yang baik juga membuat jalan cerita
menjadi tidak terasa monoton. Dalam novel ini alur menggunakan alur campuran yang menceritakan perjalanan hidup keluarga Iwan saat masih hidup
berkekurangan dan ketika Iwan telah sukses mengentaskan keluarganya dari kemiskinan tersebut. Kedua peristiwa tersebut disajikan secara bergantian
sehingga pembaca tidak merasa jalan cerita disajikan secara monoton.
4.3.4 Hubungan Tema dengan Masalah Kemiskinan
Tema adalah gagasan dasar yang menopang isi cerita dalam sebuah karya sastra. Tema dengan masalah kemiskinan yang terkandung dalam novel 9
Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple saling berhubungan karenamasalah kemiskinan merupakan masalah pokok dalam novel tersebut
sehingga permasalahan ini membangun tema novel. Tema novel 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple adalah
“Perjuangan memperoleh pendidikan di dalam keterbatasan ekonomi untuk taraf hidup yang lebih baik”.
Tokoh utama, yaitu Iwan merupakan tokoh yang mengalami permasalahan kemiskinan. Tokoh ini berusaha membebaskan diri dari kemiskinan dengan
berjuang mendapatkan pendidikan yang tinggi supaya kelak mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat mengentaskan keluarganya dari permasalahan
kemiskinan. Dalam novel ini diceritakan penyebab kemiskinan, dampak dari kemiskinan bagi keluarga Iwan, dan cara Iwan bersama keluarganya menangani
permasalahan kemiskinan tersebut. Penjabaran tersebut pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan mengenai tema novel yaitu tentang masalah kemiskinan dan
perjuangan memperoleh pendidikan. Berikut kutipan yang membuktikan masalah kemiskinan menjadi bagian dari tema.
205 Aku mencoba lebih prihatin, lebih irit. Aku ingin menyelesaikan kuliah secepatnya. Membantu kami dari
kemiskinan ini. 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 115.
206 Selain “berteman” dengan buku-buku pelajaran, aku dan
saudara-saudaraku juga mulai menggunakan tangan-tangan kecil kami untuk membantu meringankan beban keluarga:
untuk uang jajan sekolah, membeli alat-alat tulis, naik angkot, membeli cwie mie di Pasar Plastik atau ikut menonton bioskop
bersama teman-teman sekolah.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 70.
4.3.5 Hubungan Bahasa dengan Masalah Kemiskinan
Karya sastra seperti novel 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple bertujuan menyampaikan sesuatu terhadap pembaca, maka sesuatu
tersebut dapat dikomunikasikan melalui bahasa. Bahasa dan masalah kemiskinan sangat berkaitan erat karena masalah kemiskinan merupakan masalah utama
dalam novel 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple dan bahasa sebagai alat penyampaiannya ke pembaca. Selain itu bahasa juga dapat
memberikan penanda mengenai status sosial pembicara dan tingkat pendidikan yang ia miliki. Adanya suatu perubahan gaya bahasa yang dialami Iwan dari
seorang yang tergolong kurang mampu menjadi seorang yang berada di kalangan masyarakat mampu. Hal ini terlihat ketika Iwan menceritakan pengalamannya
dan keluarganya menghadapi kemiskinan di Kota Batu terdapat pencampuran bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa sehingga memperkuat kelas sosialnya saat itu.
Ketika Iwan telah bekerja di New York dan masuk dalam masyarakat kelas atas terdapat bahasa Inggris dalam pencampurannya. Sehingga dalam novel ini
menggunakan tiga bahasa meskipun bahasa Indonesia yang paling dominan penggunaannya. Berikut kutipan penggunaan ketiga bahasa tersebut.
207 Aku teringat kalimat yang aku sampaikan ke Ibu suatu hari karena keputusasaanku, “Buk, aku kesel, mlarat terus” –Ibu,
aku capek, miskin terus. 9
Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm 115. 208 Aku selalu berperang dengan diriku, selalu berat memilih
antara kesendirian atau hiruk pikuk kehidupan NYC; seperti perayaan ulang tahun, nongkrong di bar, piknik di Central Park,
brunch bersama pada hari Minggu, pesta kecil di apartemen teman atau makan malam bersama di restoran favorit pada
akhir pekan. Aku telah terbiasa sendiri dalam hidupku, belasan tahun.
And let me also tell you, dear reader. Aku sebenarnya tak percaya diri untuk berkumpul dengan orang-orang di New
York. anda kini telah tahu semua, bagaimana masa laluku. Tak mudah bagi anak seorang sopir angkot untuk masuk ke dalam
kelas sosial yang lebih tinggi, jauh lebih tinggi.
9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple, hlm. 106.
125
BAB V IMPLEMENTASI HASIL ANALISIS NOVEL 9 SUMMERS 10 AUTUMNS:
DARI KOTA APEL KE THE BIG APPLE KARYA IWAN SETYAWAN DALAM MATERI PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI,
SEMESTER 1
Bab V ini merupakan pendeskripsian pengimplementasian hasil analisis novel 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke the Big Apple Karya Iwan
Setyawan dalam pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas SMA, semester 1.
5.1 Gambaran Ringkas Hasil Analisis
Permasalahan sosial yang ditemukan dalam Bab IV adalah masalah kemiskinan yang terjadi di Kota Batu, Malang. Masalah kemiskinan menjadi
permasalahan utama yang melatarbelakangi cerita novel 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke the Big Apple karya Iwan Setyawan. Permasalahan tersebut
mengambil latar tempat di Kota Batu, Malang sehingga dapat disimpulkan bahan penelitian diambil di Kota Batu, Malang.
Masalah kemiskinan yang nampak dalam novel 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke the Big Apple karya Iwan Setyawan tercermin pada kondisi
kehidupan keluarga Iwan. Masalah kemiskinan ini merupakan masalah kemiskinan struktural karena terjadi secara turun temurun dengan penyebab yang
bermacam-macam. Beberapa penyebab kemiskinan tersebut yaitu faktor lingkungan, faktor pendidikan, dan faktor gaya hidup atau prinsip hidup. Faktor
lingkungan disebabkan karena keluarga Iwan tinggal di daerah yang sebagian besar masyarakatnya menjadikan pekerjaan sopir dan buruh sebagai pekerjaan
favorit mereka. Hal ini yang membuat masyarakat, termasuk Bapak dari Iwan tidak berfikir tentang pekerjaan yang lebih baik lagi. Faktor pendidikan terlihat
dari latar pendidikan orang tua Iwan yang tidak tinggi. Bapaknya hanya dapat mengenyam pendidikan sampai SMP dan hanya memiliki keterampilan menjadi
sopir angkot. Ibunya tidak lulus SD dan hanya memiliki pengalaman sebaagai penjual baju bekas di pasar. Pendidikan yang rendah daan keterampilan terbatas
ini membuat mereka sulit mendapatkan peluang pekerjaan yang lebih baik. Faktor gaya hidup atau prinsip hidup yang menyebabkan terjadinya kemiskinan nampak
pada prinsip hidup yang dip egang leluhur Iwan, yaitu ―Mangan ora mangan sing
penting kumpul ‖. Prinsip ini yang membuat keluarga leluhur Iwan tidak dapat
merantau ke luar kota padahal lapangan pekerjaan yang tersedia di kotanya tidak menjanjikan pendapatan yang tinggi. Prinsip ini pula yang membuat kakek Iwan
berhenti menjadi polisi karena pekerjaan ini menuntutnya sering ke luar kota bahkan ke luar negeri. Kakeknya memutuskan hanya menjadi penjual jam tangan
bekas di pasar agar tidak jauh dari keluarga. Penyebab-penyebab tersebutlah yang membuat keluarga Iwan secara turun-temurun selalu berada dalam lingkaran
kemiskinan. Prinsip ―Mangan ora mangan sing penting kumpul‖ tidak dialami Iwan dan saudara-saudaranya. Hal tersebut terbukti dari kesediaan orang tua Iwan
mengijinkan Iwan dan saudara-saudaranya kuliah di luar kota Batu dan bahkan Iwan mampu bekerja di New York sebagai manager di salah satu perusahaan
pengelolaan data. Peristiwa ini merupakan suatu pencapaian terbesar dalam