113
dalam perjanjian. Hal ini terjadi disebabkan sengketa tentang perjanjian adalah sengketa hak perseorangan yang sifatnya hak relatif.
Peranan KPPU dalam rangka menegakkan UU Monopoli dalam menyelesaikan kasus dapat dilihat dari putusan yang telah dikeluarkannya sejak tahun 2000 sampai
dengan tahun 2009 telah menyelesaikan kasus pelanggaran UU Monopoli sebanyak 134 kasus.
104
KPPU dalam menyelesaikan kasus pembatalan perjanjian didasarkan pada adanya laporan dari pihak yang merasa dirugikan. Jadi pihak yang menuntut
pembatalan perjanjian bukan oleh para pihak yang terikat oleh perjanjian tersebut melainkan dilakukan oleh pihak ketiga dalam hal ini adalah KPPU.
B. Akibat hukum dari pembatalan perjanjian yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
Pada kesempatan ini, akan dianalisis 2 dua isi amar putusan KPPU yang berkaitan dengan pembatalan perjanjian oleh KPPU terhadap perjanjian yang
menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana terlihat di dalam amar putusan KPPU dalam Perkara No. 03KPPU-L2008 tanggal 29
Agustus 2008 yang dikukuhkan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 255K Pdt.Sus 2008 dan Putusan KPPU No. 53KPPU-L2008 yang amar putusannya telah diuraikan
pada bab terdahulu. Pada pembahasan terdahulu telah diuraikan suatu perjanjian yang menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan atau praktik monopoli bentuk pembatalannya adalah mengandung dua bentuk yaitu batal relatif dan batal absolut. Perjanjian yang batal
104
KPPU, Buku Penjelasan Katalog Putusan KPPU Periode 2000-2009, KPPU, Jakarta, t.t
Universitas Sumatera Utara
114
absolut karena secara materiil perjanjian tersebut bertentangan dengan ketentuan undang-undang, sedangkan bentuk relatifnya adalah berkaitan dengan formalitas,
artinya pembatalan perjanjian itu mulai berlaku efektif apabila dibatalkan oleh pelaku usaha yang membuatnya berdasarkan keputusan KPPU.
Adanya dua bentuk pembatalan perjanjian sebagaimana disebutkan di atas, berkaitan dengan tindakan atau perbuatan membuat perjanjian yang melahirkan
perbuatan atau perilaku pelaku usaha yang
digolongkan sebagai perbuatan atau tindakan pelanggaran. Pasal 48 UU Monopoli secara tegas menyebutkan hal tersebut
sebagaimana terlihat dari kutipan pasal tersebut yang mengatakan : 1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14,
Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000.00 dua
puluh lima milyart dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00;- seratus milyar rupiah, atau pidana kurungan pengganti denda selama-
lamanya 6 enam bulan.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 diancam denda serendah-
rendahnya Rp 5.000.000.000,00;- lima milyar rupiah dan setinggi- tingginya Rp 25.000.000.000;- dua puluh lima milyar, atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 lima bulan.
Karakter hukum pidana terhadap perjanjian yang terdapat di dalam UU Monopoli juga diperkuat dari alat bukti yang dipergunakan di dalam UU Monopoli
yang menempatkan bukti saksi pada urutan pertama sebagai alat bukti. Penempatan saksi sebagai alat bukti dalam persidangan pada prinsipnya adalah untuk menemukan
kebenaran materiil hal ini diprioritaskan untuk membuktikan telah terjadi secara nyata praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pada sisi lain, apabila
Universitas Sumatera Utara
115
dilihat dari formalitas putusan putusan KPPU sangat mirip dengan formalitas putusan dalam perkara pidana, dimana untuk membuktikan telah terjadi suatu peristiwa
pidana terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan saksi-saksi baru kemudian diperiksa terdakwanya. Yang tujuannya untuk membuktikan bahwa pelaku telah melakukan
perbuatan melanggar unsur-unsur yang dimintakan oleh pasal yang dilanggar. Jadi, pada intinya membuktikan unsur-unsur pasal yang diperiksa atau dengan kata lain
membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang dimintakan oleh ketentuan yang ditentukan pasal yang dilanggar.
Selain itu, bila dilihat dimulainya pemeriksaan atas dugaan adanya perbuatan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat atas dasar laporan orang yang
mengetahui adanya dugaan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan melalui perjanjian, maupun oleh pelaku usaha yang dirugikan atau
oleh inisiatif KKPU sendiri sebagai perangkat pemerintah atau negara memberi indikasi yang kuat bahwa karakter pidana sangat menonjol dalam perkara perjanjian
yang menimbulkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Apabila dilihat dari kronologis pemeriksaan perkara di KPPU sejak adanya
laporan, pemeriksaan awal, pembuktian dalam sidang Komisi, hingga putusan komisi tidak didasarkan atas permohonan pembatasan perjanjian sebagaimana yang
dilakukan terhadap perkara sengketa perdata. Norma hukum yang termuat di dalam Pasal 48 UU Monopoli yang me-
nentukan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan tentang perjanjian yang dilarang sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU Monopoli
Universitas Sumatera Utara
116
bertentangan dengan isi norma hukum yang termuat di dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik yang telah dirativikasi oleh negara Indonesia
melalui UU No.12 Tahun 2005. Pasal 11 Kovenan Internasional tersebut mengatakan: “tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya
memenuhi kewajiban
kontraktualnya”. Pasal
ini secara
tegas dan
lugas memerintahkan hubungan keperdataan yang dilakukan oleh setiap orang tidak dapat
di pidana. Penghormatan terhadap hak asasi manusia di bidang hak sipil dan hak politik
ini wajib diberikan oleh setiap negara dan atau individu. Kewajiban tersebut didasarkan atas perintah undang-undang sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 2
UU No. 12 Tahun 2005 yang mengatakan : “kewajiban setiap Negara Pihak untuk menghormati hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini. Pasal ini juga memastikan
pelaksanaannya bagi semua individu yang berada di wilayahnya berada di bawah yurisdiksinya tanpa ada pembedaan apapun”;
Bagi bangsa Indonesia telah menjadi komitmennya untuk menegakkan dan menghormati hak keperdataan seseorang sebagaimana dapat dilihat dari per-
timbangan dirativikasinya kovenan Internasional tentang hak sipil dan hak politik dalam penjelasan angka 2 UU No. 12 Tahun 2005. Hal yang sama juga terlihat dari
ketentuan Pasal 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatakan:
Negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan
tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan
Universitas Sumatera Utara
117
ditegakkan demi
peningkatan martabat
kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Pertentangan norma hukum yang terjadi antara UU Monopoli dengan UU No.
12 Tahun 2005 tentang hak sipil dan hak politik ini dapat dianulir dengan mengutamakan UU Monopoli karena dalam pandangan bangsa Indonesia hak asasi
harus diikuti dengan kewajiban asasi manusia sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan yang diatur di dalam Pasal 69 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang mengatakan : Ayat 1 Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral,
etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ayat 2 Setiap hak asasi manusia seseroang menimbulkan kewajiban dasar dan
tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbale balik serta menjadi tugas pemerintah untuk mengormati, melindungi, menegakkan
dan memajukannya.
Dari ketentuan tersebut, asas atau prinsip dasar yang terkandung di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan adanya kewajiban
dasar sebagai kontra prestasi dari hak dasar adalah untuk mengimplementasikan prinsip keseimbangan sebagai landasan filosofi kehidupan bermasyarakat yang juga
dituangkan di dalam isi norma hukum. Asas keseimbangan ini pulalah yang menjadi asas bagi prilaku pelaku usaha yang ditentukan di dalam UU Monopoli. Pada sisi lain
penerapan pandangan filosofis bangsa Indonesia, sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, adalah dilihat dari sisi kemasyarakatannya atau dari sisi interaksi dalam
masyarakat sebagaimana hak milik berfungsi sosial. Argumentasi tentang karakter hukum pidana dalam perjanjian sebagaimana
yang dianut oleh UU Monopoli mempunyai landasan filosofis yang kuat dan oleh
Universitas Sumatera Utara
118
karenanya ketentuan tersebut menjustifikasi ketentuan Pasal 48 UU Monopoli tersebut.
Akhirnya dapatlah disimpulkan bahwa akibat hukum dari pelanggaran terhadap ketentuan UU Monopoli khususnya tentang pelangaran pasal yang menentukan
perjanjian yang dilarang batal demi hukum dan dapat dipidana adalah suatu norma hukum yang tidak perlu lagi diragukan adanya nilai-nilai keadilan di dalamnya.
Uraian-uraian di atas telah memberikan kejelasan bahwa akibat hukum dari suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang
melahirkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, perjanjian tersebut menjadi batal dan bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut dapat
dikenakan sanksi pidana pada dasarnya adalah untuk menciptakan keadilan di bidang ekonomi, dan menghormati serta menghargai prinsip keseimbangan dan kesempatan
yang sama bagi semua orang untuk meraih kesejahteraan ekonominya dengan cara keadilan dan berkemanusiaan.
Merujuk akibat dari suatu perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat sebagaimana diuraikan di atas maka terlihat bahwa kekebasan
seseorang untuk meningkatkan kesejahteraannya di bidang ekonomi bukanlah kebebasan yang tanpa syarat. Artinya untuk mencari kekayaan atau kesejahteraan
yang merupakan hak seseorang tidaklah dapat dilakukan dengan cara-cara yang tidak adil dan tidak jujur. Jadi kebebasan untuk mencari kekayaan merupakan kebebasan
yang terkendali apabila dilihat dari sudut pandang UU Monopoli.
Universitas Sumatera Utara
119
Pada sisi lain, dengan diberinya karakter pidana dalam lapangan hukum perjanjian yang terdapat di dalam UU Monopoli ini menunjukkan bahwa faham
ekonomi liberal yang menonjolkan hak-hak individu selaku hak asasi manusia telah dikurangi.
C. Pembatalan Perjanjian Oleh KPPU