84
dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah”. Kemudian ketentuan ini dilanjutkan oleh Pasal 1337 KUHPerdata yang menentukan ”suatu sebab adalah terlarang, jika sebab
itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum”.
Dari ketentuan yang termuat pada Pasal 1335 KUHPerdata dibandingkan dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata terdapat perbedaan yaitu sebab yang tidak
sah berdasarkan pada Pasal 1335 KUHPerdata bersumber dari perbuatan subjek pembuat perjanjian, sedangkan pada Pasal 1337 KUHPerdata sebab yang tidak halal
itu bersumber di luar diri pembuat perjanjian yaitu oleh undang-undang dalam hal ini negara. Dengan demikian kaedah hukum yang termuat di dalam Pasal 1335
KUHPerdata bersifat subjektif artinya inisiatif pembatalan datangnya dari para pihak yang membuat perjanjian sifat kaedah hukumnya adalah fakultatif atau mengatur,
sedangkan pada Pasal 1337 KUHPerdata bersifat objektif yang pembatalannya tidak didasarkan pada aksi dari para pihak yang membuat perjanjian tetapi oleh undang-
undang yang sifat normanya memaksa.
B. Syarat pembatalan perjanjian menurut UU Monopoli
Di atas telah diuraikan suatu perjanjian yang dapat dibatalkan dan dapat batal dengan sendirinya hal ini berkaitan dengan tidak dipenuhinya syarat-syarat
sebagaimana yang ditentukan di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila syarat subjektif dari suatu perjanjian tidak dipenuhi, maka perjanjian yang telah dibuat oleh
para pihak dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan suatu perjanjian yang tidak
Universitas Sumatera Utara
85
memenuhi syarat objektif maka perjanjian yang dibuat tersebut menjadi batal demi hukum. Hal ini terlihat jelas dari ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata dan Pasal 1337
KUHPerdata sebagaimana diuraikan di atas. Pasal 1331 KUHPerdata dengan tegas menentukan bahwa perjanjian-perjanjian
yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap dapat dibatalkan atas tuntutan si tidak cakap atau oleh wakilnya.
86
Dari ketentuan pasal ini tidak berlaku bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian dalam hal ada ketidakwenangan. Karena yang disebut dengan tegas
hanya mereka yang tidak cakap saja. Begitu pula pasal-pasal paksaan lebih lanjut dari pasal 1331 KUH Perdata, yaitu Pasal 1446 KUHPerdata
menyebutkan tentang mereka yang tidak cakap saja.
Berbeda halnya suatu perjanjian yang dibuat didasarkan pada sebab yang tidak halal sebagaimana yang ditentukan di dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu
perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang demikian ini adalah batal demi hukum. Artinya
perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan umum, dan ketertiban umum tidak perlu dimintakan pembatalannya tetapi batal demi hukum.
Secara praktis pembatalan perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang juga harus dilakukan melalui prosedur atau hukum formal. Menurut Subekti, ”sistem
bahwa tidak dipenuhinya syarat subjektif hanya berakibat bahwa perjanjiannya dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, tetapi hal tidak dipenuhinya syarat
86
J.Satrio, Op.cit. hlm. 18
Universitas Sumatera Utara
86
objektif diancam dengan kebatalan perjanjiannya demi hukum, merupakan suatu
sistem yang dianut dimana-mana”.
87
Untuk melihat syarat batal suatu perjanjian yang terjadi dalam lapangan UU Monopoli dapat dilihat dari Putusan KPPU No. 53KPPU-L2008 tentang Pembagian
Wilayah oleh Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia DPP AKLI atas adanya dugaan pelanggaran yang berkaitan dengan perjanjian pembagian
wilayah sebagaimana yang ditentukan di dalam Pasal 9 UU Monopoli yang dilakukan oleh DPP AKLI, DPD AKLI Sulawesi Selatan, DPC AKLI Palopo, DPC AKLI Luwu
Utara, DPC AKLI Luwu Timur, dan DPC AKLI Tana Toraja. Perjanjian yang dibatalkan oleh KPPU dalam perkara Putusan No. 53 KPPU-
L2008 adalah keputusan rapat pleno Pengurus DPD AKLI Sulawesi Selatan dengan DPC Palopo, Luwu Utara, Luwu Timur, Tana Toraja tanggal 3 Ok-tober 2007 yang
isinya :
88
a. Apabila salah satu anggota dari ke empat DPC tersebut lintas batas untuk melaksanakan pekerjaan pemasangan instalasi listrik, maka diwajibkan
melaporkan kepada DPC setempat dan harus menggunakan SJI DPC tersebut.
b. Dalam melakukan pemasangan instalasi diharapkan menggunakan material listerik dan mengikuti harga standar yang ditentukan DPC setempat.
c. Menghimbau kepada PejabatPetugas PT.PLN Pesero agar tidak melayani siapapun untuk mengurus pekerjaan kelistrikan tanpa mengenakan tanda
pengenal badan usaha keintalatiran yang sah. d. Memberi sanksi kepada yang melanggar pelaksanaan kesepakatan ini.
Rapat pleno tersebut dilaksanakan karena ada salah satu anggota DPC mencoba lintas batas ke wilayah DPC lainnya dan ini diperotes oleh DPC lainnya karena
87
Subekti, Op.cit. hlm., 16
88
Putusan KPPU No. 53KPPU-L2008, hlm. 10
Universitas Sumatera Utara
87
khawatir tidak mendapat proyek. Pembagian wilayah kerja tersebut diperjelas dengan adanya surat dari Terlapor V DPC AKLI Luwu Timur kepada Manajer PT.PLN
Pesero Ranting Malili dan Manajer PT.PLN Pesero Ranting Tomini yang intinya menyatakan bahwa wilayah kerja Terlapor V adalah Kabupaten Lawu atau Wilayah
kerja PT.PKN Pesero Ranting Malili dan Manajer PT.PLN Pesero Ranting Tomoni.
Rapat pleno yang dijadikan dasar bagi salah seorang anggota DPC AKLI untuk membatasi anggota lainnya masuk dalam wilayah anggota AKLI lainnya oleh KPPU
dinilai sebagai perjanjian. Isi rapat pleno itulah yang dibatalkan oleh KPPU
sebagaimana terlihat
di dalam
salah amar
putusannya yang
berbunyi:
89
”Memerintahkan Terlapor I membatalkan perjanjian pembagian wilayah kerja Penanggung Jawab Tehnik pada Surat Pengesahan Penanggung Jawab Tehnik ter-
hitung sejak dibacakannya putusan ini”. Dari putusan KPPU tersebut dapat dilihat bahwa rapat pleno pengurus AKLI
dikualifikasi sebagai perjanjian merupakan pengertian perjanjian yang khusus dikenal di dalam UU Monopoli. Padahal dalam logika umum, rapat bukanlah merupakan
perjanjian yang masuk dalam kualifikasi sebagaimana yang ditentukan dalam hukum perjanjian. Karena rapat pleno sesungguhnya adalah menentukan kebijakan organisasi
untuk kebutuhan dan kepentingan organisasi. Namun dalam UU Monopoli rapat pleno dikatagorikan sebagai perjanjian sesuai dengan kehendak Pasal 1 angka 7 UU
Monopoli mengatakan : ”Perjanjian adalah perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
89
Ibid, hlm 50
Universitas Sumatera Utara
88
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”. Jadi rapat pleno dikategorikan sebagai perjanjian
didasarkan pada pengertian perjanjian pada Pasal 1 angka 7 UU Monopoli khususnya ditafsirkan dari perkataan ”dengan nama apapun”.
Pertimbangan KPPU mengkualifikasikan rapat pleno sebagai bentuk perjanjian dapat dimaklumi, karena pada intinya rapat bertujuan untuk melakukan konsensus
untuk mengambil keputusan tentang sesuatu hal. Kualifikasi rapat pleno sebagai perjanjian dari sudut pandang UU Monopoli adalah perjanjian dalam nama apapun,
baik tertulis maupun tidak tertulis. Dari kata-kata dengan ”nama apapun” dapat diartikan perjanjian itu baik yang ditemukan di dalam KUHPerdata maupun di luar
KUHPerdata atau apa yang terjadi dalam praktik kehidupan hukum sehari-hari. Jadi, ruang lingkup pengertian perjanjian dalam UU Monopoli menganut penafsiran yang
luas bila dibanding dengan pengertian perjanjian pada umumnya yang dikenal menurut KUHPerdata.
Apabila diperhatikan hasil rapat pleno yang dilakukan oleh para pihak dalam pembagian wilayah kerja dari bentuk prestasinya adalah perjanjian bersegi satu, yaitu
hanya satu pihak yang dibebani kewajiban sedangkan pihak lawannya hanya menerima prestasi dari pihak yang satu. Dan bentuk prestasinya adalah menyerahkan
sesuatu yaitu Terlapor I menyerahkan kepada Terlapor II, Terlapor II, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI untuk dapat mengekspolitasi sumber daya ekonomi yaitu
pasar barang dan jasa di wilayah yang ditetapkan oleh Terlapor I.
Universitas Sumatera Utara
89
Dari kasus yang diteliti ini dapat diketahui bahwa objek perjanjian dalam kasus ini adalah pembagian wilayah kerja oleh Terlapor I kepada Terlapor II, Terlapor III,
Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI. Dengan demikian bentuk prestasi yang ada dalam perjanjian tersebut rapat pleno adalah pembagian wilayah kerja. Pertanyaan
yang timbul apakah pembagian wilayah dapat dijadikan dasar objek terjadinya hubungan hukum antara para pihak? Kriteria objek perjanjian sebagaimana yang
ditentukan di dalam Pasal 1332 KUHPerdata yang menetapkan hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat dijadikan objek perjanjian. Demikian pula
Asser’s mengatakan ”perikatan itu adalah hubungan hukum yaitu suatu hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum. Perikatan dalam arti yang sebenarnya hanyalah
hubungan-hubungan hukum, yang murni bersifat hubungan hukum harta benda antara dua orang atau lebih”.
90
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikemukakan pendapat Mariam Darus yang mengatakan:
91
Dahulu yang menjadi kriteria perikatan ialah apakah sesuatu hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat
dinilai dengan uang maka hubungan hukum itu adalah merupakan perikatan. Kriteria itu semakin lama sukar untuk dipertahankan, karena di dalam
masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang. Namun kalau terhadapnya tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan
tidak akan dipenuhi. Dan ini bertentangan dengan salah satu tujuan dari pada hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh karena itu, sekarang kriteria di atas tidak
lagi dipertahankan sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat
90
C. Asser’s, Ibid, hlm 5.
91
Mariam Darus Badrulzaman, KUH.Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung, Alumni, 1983, hlm. 2-3
Universitas Sumatera Utara
90
atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukumpun akan melekat akibat hukum pada hubungan tadi.
Berpegang pendapat Mariam Darus, pertimbangan dari putusan KPPU sudah tepat.
Pertimbangan KPPU yang menetapkan pembagian wilayah kerja sebagai
objek perjanjian sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 9 UU Monopoli. Apabila dilihat dari sisi ekonomi penetapan
pembagian wilayah kerja sebagai objek perjanjian dapat diterima, karena pembagian wilayah kerja sesungguhnya berkaitan
dengan sumber daya ekonomi yang dapat dinilai dengan uang dan bermotif ekonomi. Wilayah kerja yang dibagi tersebut merupakan pasar barang dan atau jasa yang dapat
dijadikan sumber untuk memproleh uang sebagai sumber pendapatan bagi pelaku usaha. Untuk itulah UU Monopoli melarang eksploitasi sumber daya ekonomi secara
tidak adil. Selain itu, pertimbangan KPPU tentang perbuatan pembagian wilayah
termasuk dalam kategori perjanjian dapat diterima bila dilihat dari kaca mata hukum Perdata. Pembagian wilayah sesungguhnya adalah bentuk prestasi memberikan
sesuatu sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1234 KUHPerdata. Dalam hal ini yang diserahkan Terlapor I kepada Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V,
dan Terlapor VI adalah sumber daya ekonomi yang berbentuk wilayah kerja yang memiliki nilai ekonomi. Dan penyerahan wilayah kerja yang berisi nilai ekonomi
tersebut dapat dilaksanakan oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian pembagian wilayah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
91
Perjanjian yang membagi wilayah kerja dalam kasus tersebut sesungguhnya adalah pembatasan wilayah yang ditentukan secara sepihak oleh Terlapor I agar
Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V dan Terlapor VI mengeksplorasi sumber daya ekonomi yang ada di wilayah dibagi-bagi tersebut. Intinya pembagian
wilayah kerja sesungguhnya bersumber dari ada kewenangan yang dimiliki Terlapor I. Sedangkan bagi Pihak Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan
Terlapor VI sebagai anggota Terlapor dengan dasar pembagian yang dilakukan oleh Terlapor I dapat mengekpolitasi sumber daya ekonomi pada wilayah yang ditentukan
berdasarkan kewenangan Terlapor I. Dari pertimbangan hukum KPPU tersebut dapat dipahami syarat batal dari
perjanjian atau rapat pleno pengurus AKLI adalah didasarkan pada menghambat pelaku usaha lain untuk dapat melakukan usahanya dengan mengeksplorasi sumber
daya ekonomi yang bernilai ekonomi yaitu wilayah kerja pemasangan instalasi listrik. Jadi pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh KPPU dalam perkara dimaksud
sesungguhnya ditujukan untuk mengatur perilaku para pelaku usaha. Dalam buku ajar Hukum Persaingan Usaha dapat ditemukan keterangan yang menyebutkan, “yang
dimaksud dengan hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan
ketika berinteraksi dilandasi oleh motif - motif ekonomi”.
92
92
Retno Wiranti, “KPPU di Garda Edukasi Hukum Persaingan Usaha”, infocomkppu.go.id. diakses tangal 13 Juni 2011, pukul 21:01
Universitas Sumatera Utara
92
Dalam putusan KPPU tersebut terbukti bahwa Terlapor I, II, III, IV, V dan Terlapor VI terbukti terjadinya persaingan tidak sehat sebagaimana terlihat dalam
pertimbangan KPPU yang mengatakan :
93
i. Bahwa adanya pembagian wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor I
di daerah Sulawesi Selatan melalui Terlapor II, III, IV, V dan Terlapor VI, dan DPC-DPC lainnya di Sulawesi Selatan, menimbulkan dampak badan
usaha intalatir tidak dapat menggunakan jasa PJT seempat yang menjadi pegawai di badan usaha instalatir sebagaimana diuraikan dalam butir
16.3.1.3 bagian tentang duduk perkara Putusan ini.
ii. Mejelis Komisi sependapat dengan LHPL yang menyatakan pembagian
wilayah kerja PJT yang menyatakan pembagian wilayah kerja PJT ini menghambat persaingan usaha di antara seluruh anggota Terlapor I.
iii. Dengan demikian, persaingan usaha tidak sehat terpenuhi.
Syarat batal yang demikian ini termasuk pada kriteria tentang larangan membuat perjanjian yang menghambat pelaku usaha lainnya untuk masuk ke pasar,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU Monopoli yang menentukan bahwa ”pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat”. Dengan demikian, syarat batal yang ditentukan dalam membatalkan perjanjian tersebut oleh KPPU adalah isi perjanjian tersebut
bertentangan dengan undang-undang. Syarat batal dari suatu perjanjian di mana isi perjanjian bertentangan dengan
undang-undang yang ditentukan oleh UU Monopoli juga dapat dilihat dari putusan lainnya, yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.255KPdt.Sus2009
93
Putusan KPPU No. 53PPPU-L2008, Op.cit, hlm 47
Universitas Sumatera Utara
93
yang dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II yang keberatan atas putusan KPPU No. 03KPPU-L2008 yang
salah satu amar putusannya mengatakan menetapkan pembatalan perjanjian antara ESPN STAR Sport Pemohon Kasasi I dengan ALL ASIA MULTI-MEDIA
Pemohon Kasasi II tentang hak siar liga primer Inggeris.
94
4.2.8.30.13Bahwa dalam masa Sidang Majelis Komisi, diperoleh fakta baru sebagai berikut:
a. Bahwa sejak tanggal 16 Agustus 2008, terjadi peralihan siaran BPL musim 2008-2009 dari PT DV ke AORA TV PT
Karyamegah Adijaya atas dasar alasan dan pertimbangan komersial vide Bukti B48;
b. Bahwa Majelis Komisi menilai peralihan siaran BPL berupa eksploitasi hak eksklusif BPL tersebut dilakukan melalui proses
yang tidak kompetitif; c. Bahwa Majelis Komisi menilai perjanjian antara ESS dengan
AAMN mengenai pengalihan kewenangan menunjuk operator yang akan menyiarkan BPL musim 2007-2010 berpotensi
menimbulkan abuse of dominant position dan mengakibatkan berkurangnya tingkat kompetisi lessening competition;
d. Bahwa berdasarkan surat–surat yang ditandatangani oleh Grant Ferguson tertanggal 18 Agustus 2008 yang diperoleh Majelis
Komisi, selain peralihan BPL, Group Astro yang dalam hal ini AAAN, AAMN dan MBNS telah memberi peringatan kepada
Group Lippo yang dalam hal ini PT First Media, Tbk, PT Ayunda Prima Mitra dan PT Direct Vision mengenai rencana
penghentian pemberian fasilitas antara lain vide Bukti A194- A199:
i. Transponder capacity dari MBNS; ii. Information Technology Services dari MBNS;
iii. Broadcasting Services dari MBNS; iv. Channel Supply dari AAMN;
v. Satellite Reception Equipment Lease dari AAMN; vi. Trademark Licence Agreement;
4.2.8.30.14 Bahwa berdasarkan fakta tersebut, Majelis Komisi menilai rencana penghentian pemberian fasilitas dimaksud merupakan bukti bahwa
AAMN berniat untuk mening-galkan PTDV;
94
Putusan KPPU No. 03KPPU-L2008, hlm 173-174
Universitas Sumatera Utara
94
4.2.8.30.15Bahwa berdasarkan fakta tersebut, Majelis Komisi ber-pendapat, peralihan hak siar BPL dan rencana penghentian tersebut pada butir
4.2.8.30.13 di
atas yang
dilakukan oleh
AAMN tersebut
bertentangan dengan pernyataan AAMN dalam proses pemeriksaan yang bertujuan untuk memiliki sebagian saham dan membesarkan
PTDV; 4.2.8.30.16Bahwa Majelis Komisi menilai terdapat itikad tidak baik yang
mendasari perilaku-perilaku Group Astro hingga saat ini yang berpengaruh dalam perkembangan industri TV berlangganan di
Indonesia; 4.2.8.30.17Bahwa Majelis Komisi menilai perilaku tersebut dapat merugikan
pelanggan PTDV khususnya karena mengakibatkan ketidakjelasan kelangsungan siaran PTDV serta menimbulkan sunk cost akibat dari
adanya peralatan yang tidak bisa digunakan kembali;
4.2.8.30.18Bahwa berdasarkan keseluruhan uraian tersebut, Majelis Komisi menilai terdapat dampak anti persaingan pada pasar downstream;
Dari pertimbangan putusan KPPU dapat diketahui bahwa untuk memutuskan perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha, KPPU terlebih dahulu membuktikan
bahwa perjanjian yang dibuat tersebut apakah telah memenuhi unsur yang dilanggar sebagaimana yang ditentukan di dalam UU Monopoli yang mengatur tentang
perjanjian yang dilarang. Dengan demikian ketentuan perjanjian yang dilarang sebagaimana yang ditentukan di dalam UU Monopoli tersebut merupakan ketentuan
yang mengatur tentang syarat batal dari suatu perjanjian di dunia bisnis. Ketentuan yang termuat dalam UU Monopoli yang mengatur tentang perjanjian
yang dilarang sebagai suatu syarat batal dari perjanjian dapat ditarik kesimpulan pada redaksi yang termuat pada setiap Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU Monopoli yang
masing-masing pasal tersebut diawali dengan redaksi “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian…” redaksi ini diikuti dengan isi perjanjian sebagai causa
perjanjian yang dilarang. Dengan demikian, perjanjian yang dibuat para pihak yang
Universitas Sumatera Utara
95
menimbulkan praktik monopoli dan persaiangan usaha tidak sehat batal demi hukum apabila telah memenuhi syarat batal yang ditentukan oleh ketentuan tentang laranan
perjanjian yang diatur di dalam UU Monopoli tersebut.
C. Bentuk pembatalan perjanjian oleh Pemerintah dan pengadilan 1.