77
BAB III PEMBATALAN PERJANJIAN OLEH PEMERINTAH DAN
PENGADILAN
A. Syarat subjektif dan syarat objektif perjanjian menurut UU Monopoli
Dari pembahasan tentang pengertian perjanjian sebagai diuraikan terdahulu, bahwa perjanjian yang di atur di dalam UU Monopoli adalah hukum privat yang
berkarakter publik. Berdasarkan argumentasi itu, maka untuk melihat syarat sahnya perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha juga berlaku ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata sebagai aturan hukum yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang syarat-syarat membuat perjanjian yang meliputi syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif yang ditentukan
pada Pasal 1320 KUH Perdata adalah syarat mengenai pelaku atau subjek yang membuat perjanjian tersebut, yaitu 1 Kesepakatan para pihak yang membuat
perjanjian 2 Kecakapan para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat objektif adalah berkenaan dengan objek atau prestasi dari perjanjian yang dibuat oleh
para pihak tersebut yaitu : 1 hal tertentu 2 sebab yang halal. ”Keempat syarat ini merupakan hal yang essensial setiap perjanjian. Tanpa
keempat syarat ini perjanjian dianggap tidak pernah ada”.
77
Pernyataan Harahap ini sesungguhnya adalah kalimat penegasan kekuatan mengikatnya norma hukum yang
terkandung di dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
77
M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1986, hlm. 25
77
Universitas Sumatera Utara
78
Syarat subjektif yang ditentukan di dalam Pasal 1320 KUHPerdata bila diterapkan terhadap perjanjian menurut UU Monopoli dapat diuraikan sebagai
berikut: Subjek yang melakukan perjanjian dalam UU Monopoli adalah para pelaku
usaha. Pasal 1 angka 5 UU Monopoli mengatakan: Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik
sendiri maupun
bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Dari ketentuan pasal ini dapat dipahami bahwa subjek yang membuat perjanjian menurut UU Monopoli adalah semua subjek hukum yang ditentukan oleh hukum
apakah itu dalam orang pribadi, badan hukum atau bukan badan hukum haruslah dihubungkan dengan melakukan kegiatan usaha yang berkaitan dengan ekonomi.
Artinya harus ada kaitan yang erat antara orang atau subjek yang melakukan perjanjian dengan melakukan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi barulah dapat
dikatakan sebagai pelaku usaha. Pelaku usaha inilah yang dinilai dan diawasi apakah dalam melakukan perjanjian dalam kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli
atau persaingan usaha tidak sehat. Pada sisi lain pelaku usaha ini pulalah yang dinilai kecakapannya membuat perjanjian.
Apabila dilihat ketentuan yang termuat di dalam UU Monopoli, unsur subjektif atau para pihak yang melakukan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
menjadi unsur yang perlu dibuktikan dalam menyelesaikan sengketa pelanggaran undang-undang monopoli termasuk dalam kasus perjanjian yang dilarang.
Universitas Sumatera Utara
79
Syarat tentang subjeknya, yaitu tentang kesepakatan dan kecakapan membuat perjanjian. Syarat subjektif dari perjanjian yang pertama adalah kesepakatan. Untuk
melahirkan suatu perjanjian haruslah dilakukan dengan ada kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Sepakat dalam perjanjian merupakan asas dalam perjanjian
yang dikenal dengan asas konsensualisme mempunyai arti penting, yaitu ”bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan tercapainya sepakat yang mengenai
hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus”.
78
Menurut Eggens diambilnya asas konsensualisme ini dalam perjanjian sesungguhnya sebagai tuntutan kesusilaan.
79
Asas konsensualisme merupakan suatu puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul dalam pepatah : een man een man, een woord een woord.
Maksudnya dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataaanya, orang itu ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya sebagai manusia. Meletakkan
keperdayaan pada perkataan seorang berarti mengganggap orang itu sebagai kesatria.
Wirjono menegaskan bahwa ”sepakat merupakan syarat dari sahnya suatu perjanjian. Maka dengan tiada kesepakatan itu, tiada pula suatu perjanjian yang sah”.
80
Untuk itu lahirnya suatu perjanjian kedua belah pihak harus berkehendak untuk mengikatkan diri.
Menurut Soedewi:
81
”kehendak itu sudah barang tentu harus diberitahukan kepada pihak lainnya. Ini dapat secara dikatakan tegas-tegas tetapi dapat juga
78
R.Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan, Bandung, Alumni, 1986, hlm., 6
79
Ibid.
80
Wirjono Projodikoro, Op,cit. hlm., 30
81
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Perhutangan, Bagian B, Yogyakarta, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, 1980, hlm., 18
Universitas Sumatera Utara
80
secara tidak dikatakan. Cara terakhir itu sering sekali terjadi siap yang naik trem, dengan perbuatan begitu saja ia sudah mengikatkan diri untuk membayar
perjalanannya kepada kondektur sebagai wakil dari perusahaan trem itu dan kondektur juga mengikatkan diri, secara tidak dikatakan, untuk mengangkut
penumpang itu seaman mungkin.
Fungsi kehendak untuk membuat perjanjian adalah sangat menentukan. Khairandy mengutip Donald Haris dan Denis mengatakan :
82
Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak mereka masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang menjadi
dasar kontrak atau perjanjian. Terjadinya perbuatan ukum itu ditentukan berdasarkan kesepakatan atas kehendak itu tadi.
Unsur kesepakatan sebagai syarat untuk sahnya perjanjian ini adalah unsur yang benar-benar sangat berkaitan dengan subjek yang membuat perjanjian. Mengingat
dengan adanya kesepakatan sebagai salah satu penyebabnya terikatnya dua orang atau lebih maka untuk melahirkan kesepakatan tersebut haruslah dilakukan secara jujur
dan terang atau jelas dipahami oleh para pihak. Untuk itulah lahirnya kesepakatan agar para pihak terikat satu dengan lainnya kesepakatan itu haruslah tidak dicederai
oleh paksaan, penipuan, dan kekeliruan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1322 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata. Ketentuan tentang
kesepakatan yang diatur di dalam KUH Perdata ini berlaku juga terhadap perjanjian yang diatur di dalam UU Monopoli.
Di atas telah disebutkan bahwa kesepakatan merupakan salah satu dasar untuk terikatnya seseorang dengan orang lain. Maka pihak yang membuat kesepakatan itu
82
Ridwan Khairandy, Kewenangan Hakim untuk Melakukan Intervensi terhadap Kewajiban Kontraktual berdasarkan Asas Iktikad Baik, Artikel dalam Jurnal Hukum ius Quia iustum. No. 15
Vol.7 – 2000, hlm 95.
Universitas Sumatera Utara
81
dituntut untuk memahami dan menyadari sepenuhnya tentang apa yang menjadi kesepakatan itu. Oleh karena itu, terhadap subjek yang melakukan perjanjian itu harus
memahami dan menyadari akibat dari kesepatan yang telah dikemukakannya. Hal ini menjadi penting karena apa yang telah disepakati itu akan menimbulkan akibat atau
konsekuensi bagi para pihak yang membuatnya. Oleh karena itulah, syarat kesepakatan itu diikuti dengan syarat subjektif lainnya yaitu kecakapan membuat
perjanjian. Kapankah suatu kesepakatan lahir dalam suatu perjanjian dalam dunia bisnis
dapat dijawab dengan beberapa teori yang ditemui dalam hukum perjanjian, yaitu teori penerimaan, teori kehendak, dan teori penerimaan penawaran.
83
Teori penerimaan
adalah perjanjian
mengikat bagi
para pihak
yang membuatnya apabila penawar bahwa pernyataan itu cocok dengan kehendak
sejati dari pihak yang menyatakannya. Teori kehendak adalah menganggap bahwa pihak-pihak yang terikat terhadap
hal-hal apa yang memang benar-benar dikehendakinya. Teori penerimaan penawaran adalah suatu perjanjian mengikat bagi para pihak
apabila penawaran yang diberikan seseorang telah diterima secara tegas oleh pihak lain tentang apa yang ditawarkan tersebut.
Berdasarkan teori yang dikenal dalam hukum inilah seseorang dapat mengajukan pembatalan perjanjian atau menentukan pemenuhan prestasi dari
masing-masing pihak yang terikat dalam suatu perjanjian. Setelah kesepakatan terjadi, maka terhadap syarat subjektif dari suatu perjanjian diikuti syarat kecakapan
sebagaimana ditentukan
dalam Pasal
1320 KUHPerdata.
Istilah kecakapan
merupakan suatu istilah teknik hukum, bukan sifat pembawaan, karenanya tidak
83
Achmad Ichsan, Hukum Perdata, IB, Jakarta, Pembimbing Masa, 1969, hlm 18.
Universitas Sumatera Utara
82
tertutup kemungkinan bahwa ia tidak sesuai dengan kenyataannya; orang yang secara yuridis tidak cakap, ada kemungkinan dalam kenyataannya adalah orang yang tahu
atau sadar akan akibat atau konsekuensi dari tindakannya. Lagi pula menurut hukum, kecakapan bertindak pada umumnya berkaitan dengan masalah kehendak.
84
Undang-undang berangkat dari anggapan, jadi bukan atas dasar kenyataan, bahwa orang-orang tertentu tidak atau belum dapat menyatakan kehen-daknya
dengan sempurna, dalam arti belum dapat menyadari sepenuhnya akibat hukum yang muncul dari pernyataan kehendaknya. Sehingga atas tindakan hukum
mereka, yang merupakan pernyataan kehendaknya, tak dapat diberi akibat hukum sebagaimana biasanya.
Dalam praktik bisnis kelihatannya masalah kesepakatan dan kecakapan ini hampir
tidak menimbulkan
permasalahan dalam
kaitannya perjanjian yang
menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini logis terjadi karena, pada dasarnya subjek yang masuk dalam kegiatan dunia bisnis adalah orang-
orang yang sudah dewasa dan memahami risiko dari tindakan atau perbuatannya dari apa yang disepakatinya.
Syarat lain berkaitan dengan syarat perjanjian adalah syarat objektif, yaitu tentang tertentu dan sebab yang halal. Syarat tentang hal tertentu sebagaimana syarat
sahnya suatu perjanjian adalah berkaitan dengan prestasi atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pembuat perjanjian. Kalau demikian, intisari atau hakikat dari
perjanjian tiada lain dari pada prestasi. ”Jika undang-undang telah menetapkan subjek perjanjian, yaitu pihak kreditur yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang
wajib melaksanakan prestasi, maka intisari atau objek dari perjanjian ialah prestasi itu
84
J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Bandung, Citra Adytia Bakti, 2001, hlm 4
Universitas Sumatera Utara
83
sendiri”.
85
Jadi, prestasi ini adalah sebagai tindak lanjut dari adanya kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak dalam membuat perjanjian. Oleh karena itu, Pasal 1320
KUHPerdata menentukan objek perjanjian itu harus memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu. Atau sekurang-kurangnya objek itu mempunyai jenis tertentu seperti
yang ditentukan di dalam Pasal 1333 KUHPerdata. Ditentukannya prestasi dengan hal tertentu atau dapat ditentukan adalah suatu hal yang logis dan praktis, sebab bila hal
ini tidak jelas atau tidak tertentu maka tidak jelas apa yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang telibat dalam perjanjian yang mereka lahirkan. Jelasnya, objek
perjanjian itu haruslah sesuatu yang mungkin dapat dilaksanakan. Undang-undang sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1234 KUHPerdata
menentukan bentuk-bentuk prestasi yang diperjanjikan adalah menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Bentuk-bentuk prestasi inilah
yang menjadi perhatian utama atau fokus dalam UU Monopoli, apakah prestasi yang ditentukan di dalam perjanjian oleh pelaku usaha tersebut menimbulkan praktik
monopoli atau patut diduga melahirkan praktik monopoli. Terkait dengan syarat objektif perjanjian adalah syarat sebab yang halal. Pasal
1335 KUHPerdata mengatakan: ”suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai
kekuatan mengikat”. Lebih lanjut undang-undang menentukan dalam Pasal 1336 KUHPerdata : ”Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi mempunyai ada sebab yang
tidak terlarang, atau jika ada sebab lain yang tidak terlarang selain dari yang
85
M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, op.cit. hlm 10
Universitas Sumatera Utara
84
dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah”. Kemudian ketentuan ini dilanjutkan oleh Pasal 1337 KUHPerdata yang menentukan ”suatu sebab adalah terlarang, jika sebab
itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum”.
Dari ketentuan yang termuat pada Pasal 1335 KUHPerdata dibandingkan dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata terdapat perbedaan yaitu sebab yang tidak
sah berdasarkan pada Pasal 1335 KUHPerdata bersumber dari perbuatan subjek pembuat perjanjian, sedangkan pada Pasal 1337 KUHPerdata sebab yang tidak halal
itu bersumber di luar diri pembuat perjanjian yaitu oleh undang-undang dalam hal ini negara. Dengan demikian kaedah hukum yang termuat di dalam Pasal 1335
KUHPerdata bersifat subjektif artinya inisiatif pembatalan datangnya dari para pihak yang membuat perjanjian sifat kaedah hukumnya adalah fakultatif atau mengatur,
sedangkan pada Pasal 1337 KUHPerdata bersifat objektif yang pembatalannya tidak didasarkan pada aksi dari para pihak yang membuat perjanjian tetapi oleh undang-
undang yang sifat normanya memaksa.
B. Syarat pembatalan perjanjian menurut UU Monopoli