Pihak pemohon pembatalan perjanjian menurut UU Monopoli

104

BAB IV PIHAK YANG DAPAT MEMOHON PEMBATALAN PERJANJIAN YANG

MENIMBULKAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT

A. Pihak pemohon pembatalan perjanjian menurut UU Monopoli

Pasal 1340 KUHPerdata menentukan perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Ketentuan ini memberikan pengertian bahwa para pihak yang membuat perjanjian menjadi terikat satu sama lainnya. Hal ini menggambarkan daya ikat perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Itulah sebabnya perjanjian merupakan sumber dari perikatan, karena dengan perjanjian masing- masing pihak terikat dengan apa yang telah diperjanjikan dan disepakati bersama. Kelangsungan dan penghentian perjanjian berada di tangan para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dalam Pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Apabila kedua pasal ini dipertemukan, maka dapat diketahui yang dapat membatalkan suatu perjanjian yang telah dibuat hanya dapat dilakukan oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Kedua pasal tersebut di atas mempunyai hubungan dan kaitan yang erat tentang pelaksanaan ataupun pembatalan perjanjian. Ketentuan perdata ini membuktikan bahwa perjanjian adalah murni hubungan privat antar pribadi sebagai akibat dari hak perorangan yang melekat pada setiap orang dalam hubungan perjanjian. 104 Universitas Sumatera Utara 105 Konsekuensi logis dari perjanjian sebagai hak perorangan atau hak relatif, maka tidak ada hak dari pihak lain untuk turut campur terhadap suatu perjanjian yang dilakukan oleh pihak lain. Demikian juga untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak. Jelasnya, hanya para pihak yang membuat perjanjianlah yang dapat mengajukan pembatalan perjanjian atau menuntut ganti kerugian akibat tidak dilaksanakannya perjanjian sebagaimana mestinya ataupun terlambat melaksanakan perjanjian. Dalam KUHPerdata Perjanjian menerbitkan perikatan, hanya orang-orang yang terikat oleh perjanjianlah yang dapat melakukan aksi hukum terhadap pihak lawannya. Menurut Asser, ciri utama dari perikatan ialah: 98 Bahwa ia merupakan suatu hubungan antara orang-orang, dengan hubungan mana seorang berhak meminta sesuatu penunaian prestasi dari orang lain, dan orang tersebut terakhir mempunyai kewajiban kepadanya. Bila suatu perikatan diadakan, maka terwujudlah di satu pihak suatu hak, sementara di pihak lainnya terwujud suatu kewajiban yang sesuai dengan hak tersebut. Pembatalan perjanjian yang diatur di dalam KUHPerdata tersebut kelihatannya tidak berlaku secara konsekuen terhadap peristiwa praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kalau dilihat dari ketentuan yang termuat di dalam UU Monopoli yang menentukan pihak yang dapat melakukan pembatalan perjanjian yang mengakibatkan atau patut diduga menimbulkan praktik monopoli memiliki kekhususan tersendiri bila dibandingkan dengan ketentuan yang diatur di dalam KUH Perdata. Ciri kekhususan yang dianut di dalam UU Monopoli dalam hal pembatalan 98 C.Asser’s, Op.cit, hlm, 5 Universitas Sumatera Utara 106 perjanjian dapat dilacak dari sejarah pemikiran anti monopoli yang tumbuh berawal pada abad ke 17 di Inggris. Menurut Maulana : 99 Sejarah pemikiran antimonopoli berawal dari Inggeris pada abad ke 17. Awal terjadinya, yang kemudian berkembang, didasarkan pada tiga hal : Pertama, timbul revolusirakyat yang menginginkan pembatasan ”gilda” dan hak-hak istimewa atau monopoli yang dikuasai oleh Raja. Dengan adanya pembatasan tersebut, rakyat mengharapkan, akan timbul kemerdekaan dan kebebasan serta adanya perlindungan terhadap perdagangan yang sehat dan jujur. Kedua, akibat revolusi industri timbul pengusaha-pengusaha besar dan membentuk kartel yang kegiatan usahanya bersifat monopolistis sehingga merugikan konsumen serta para pengusaha kecil dan menengah lainnya; dan ketiga, sebagai akibat Perang Dunia II timbul tuntutan yang kuat dari masyarakat agar produksi dilakukan secara efisien, karena dengan produksi yang efisien akan mengakibatkan harga penjualan rendah, dan dapat memberikan keuntungan bagi konsumen. Dari keterangan ini dapat diketahui, bahwa pihak yang melakukan aksi untuk menghilangkan praktik monopoli dilakukan oleh: 1 rakyat, 2 pengusaha kecil dan 3. konsumen. Pengaruh sejarah ini kelihatannya memberi pengaruh terhadap pembentuk UU Monopoli yang memberi warna khas UU Monopoli dibandingkan dengan apa yang diatur di dalam KUHPerdata tentang pembatalan perjanjian yang menimbulkan atau patut diduga menimbulkan praktik monopoli. UU Monopoli menentukan ada tiga pihak yang diberi wewenang untuk memintakan pembatalan perjanjian yang dibuat oleh para pelaku usaha yang dapat menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, yaitu 1 Setiap orang 2 pihak yang dirugikan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 38 ayat 1 99 Irsan Budi Maulana, Pelangi Haki dan Antimonopoli, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum, FH –UII, 2000, hlm 207-208. Universitas Sumatera Utara 107 dan ayat 2 dan 3 Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU sebagaimana yang ditentukan di dalam Pasal 40 ayat 1 UU Monopoli. Ayat 1 Pasal 38 UU Monopoli ditegaskan bahwa setiap orang dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi untuk memohonkan pembatalan perjanjian, selain itu menurut ayat 2 Pasal 38 UU Monopoli yang dapat memohonkan pembatalan perjanjian adalah pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap UU Monopoli. Jadi menurut Pasal 38 UU Monopoli orang atau pihak yang dirugikan hanya dapat memohon untuk dilakukannya pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha. Bila dibandingkan antara Pasal 38 ayat 1 dengan Pasal 38 ayat 2 UU Monopoli dapat diketahui bahwa permohonan pembatalan yang ditentukan dalam ayat 1 Pasal 38 UU Monopoli dapat dilakukan oleh setiap orang baik ia merupakan pelaku usaha ataupun bukan pelaku usaha berbeda dengan Pasal 38 ayat 2 UU Monopoli dari perkataan orang yang dirugikan dapat disimpulkan bahwa yang melapor tersebut adalah dalam kapasitasnya sebagai pelaku usaha. Ayat 2 Pasal 38 UU Monopoli menegaskan bahwa pembatalan perjanjian juga dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap UU Monopoli. Apabila dibandingkan antara ketentuan ayat 1 dan ketentuan ayat 2 Pasal 38 UU Monopoli ini khususnya pada kata ”setiap orang” dan kata ”pihak yang dirugikan” dapat melaporkan kepada KPPU untuk melakukan pembatalan perjanjian dapat diketahui bahwa pada ayat 1 Pasal 38 UU Monopoli tersebut berlaku umum. Artinya ada kewajiban bagi setiap orang siapa saja, apakah Universitas Sumatera Utara 108 itu pelaku usaha atau bukan pelaku usaha, melaporkan kepada KPPU terjadinya pelanggaran terhadap UU Monopoli. Dari bunyi ketentuan ini terlihat bahwa sesungguhnya hal ini adalah untuk melindungi kepentingan umum di bidang kegiatan ekonomi, atau upaya dari setiap orang untuk mencegah agar tidak terjadinya pemanfaatan atau penggunaan sumber daya ekonomi oleh individu-individu tertentu. Berbeda halnya dengan ayat 2 Pasal 38 UU Monopoli, di sini terlihat yang harus dilindungi adalah kepentingan individu tertentu yaitu pihak yang dirugikan dalam kapasitasnya sebagai pelaku usaha artinya pihak yang terkena dampak langsung dari perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tujuannya agar pemanfaatan sumber daya ekonomi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu tidak dibenarkan merugikan kepentingan individu atau pelaku usaha lainnya. Perkataan pihak yang dirugikan dapat ditafsirkan sebagai pelaku usaha yang dirugikan oleh adanya praktik monopoli. Jadi bukan para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Peran aktif pelaku usaha yang dirugikan untuk melaporkan perjanjian pelaku usaha lain yang menimbulkan praktik monopoli tersebut perlu didukung adalah tuntan moral dari pelaku usaha yang dipositifkan menjadi ketentuan undang-undang. Rinajin mengatakan: 100 Di dalam dunia bisnis tanggung jawab seseorang itu meliputi 1 tang- gungjawab pada diri sendiri atau pada hati nuraninya 2 tanggungjawab kepada pemilik perusahaan yang telah mempercayakan seluruh kegiatan bisnis dan menajemen perusahaan kepadanya 3 tanggungjawab kepada pihak yang dilayani konsumen atau pemakai jasa dengan menyediakan barang atau jasa 100 Ketut Rinajin, Etika Bisnis dan Implementasinya, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004 hlm.74 Universitas Sumatera Utara 109 yang bermutu baik dengan harga sesuai 4 tanggungjawab kepada pemerintah dan masyarakat yang secara tidak langsung menerima dampak dari keputusan bisnisnya. Laporan yang dilakukan oleh setiap orang atau pihak yang dirugikan dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan sebagaimana bunyi ayat 1 dan ayat 2 Pasal 38 UU Monopoli dari perkataan ”dapat melaporkan” yang mengandung arti bersifat fakultatif yaitu bisa dilakukan bisa juga tidak dilakukan pelaporan. Di atas disebutkan, setiap orang atau pihak yang dirugikan dapat melaporkan kepada KPPU untuk membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menimbulkan praktik monopoli. Berdasarkan ketentuan ini maka dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang disebutkan di dalam Pasal 38 UU Monopoli tersebut bukanlah pihak yang diberi wewenang untuk membatalkan melainkan pihak yang berwenang melaporkan adanya perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 35, Pasal 40, Pasal 44 ayat 2, Pasal 45 ayat 3 UU Monopoli ditentukan bahwa pihak yang dapat membatalkan perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli adalah 1 KPPU 2 Pengadilan Negeri 3 Mahkamah Agung. Kewenangan KPPU untuk membatalkan suatu perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli dapat dilakukan atas dasar laporan setiap orang atau oleh pihak yang dirugikan juga dapat dilakukan atas inisiatif sendiri dari KPPU. Melalui kewenangan KPPU mengandung arti bahwa pemerintah intervensi terhadap perjanjian yang dibuat oleh para pelaku usaha yang menimbulkan praktik monopoli. Universitas Sumatera Utara 110 Ketentuan undang-undang ini terlihat bahwa pembuat UU Monopoli mengikuti pendapat Smith 101 ”mengusulkan agar pemerintah mengambil peranan lebih positif dengan menyediakan prasarana pasar. Peranan pemerintah tersebut pada gilirannya merupakan suatu bentuk intervensi”, sebagaimana disebutkan dalam pasal 36 Undang-undang nomor 5 tentang Monopoli. Dari ketentuan ini, kapasitas KPPU dalam melakukan pembatalan suatu perjanjian adalah sebagai perangkat pemerintah untuk menjaga dan melaksanakan fungsi pemerintah untuk memberi ruang dan peluang bagi warganya demi terwujud kesejahteraan bersama di bidang ekonomi. Ketentuan ini memberikan pengertian bahwa negara mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk melakukan intervensi terhadap tindakan monopoli atau patut diduga terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha. Kapasitas KPPU sebagai perangkat pemerintah dalam rangka melindungi seluruh warga negaranya adalah dalam rangka melaksanakan tanggungjawab pemerintah terhadap pelaku usaha untuk mencapai kemakmuran dirinya sekaligus memberi perlindungan kepada konsumen sehingga tercapai kesejahteraan bersama. Dalam kapasitas yang demikian itulah KPPU bertindak sebagai pihak pemerintah untuk mencegah atau menghilangkan praktik monopoli demi terciptanya keseimbangan posisi dan keadilan melakukan kegiatan usaha dan terlindungannya kepentingan umum dalam memanfaatkan dan menggunakan sumber daya ekonomi. 101 Mikhael Dua, Mikhael Dua, Filsafat Ekonomi Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama, Yogyakarta, Kanisius 2008, hlm., 53 Universitas Sumatera Utara 111 Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 40 UU Monopoli, inisiatif untuk menghilangkan atau mencegah praktik monopoli didasarkan oleh tanggungjawab KPPU itu sendiri. Ketentuan ini dapat dilihat jelas dengan bunyi Pasal 47 ayat 2 huruf a UU Monopoli, dijabarkan lebih jauh lagi di dalam Pasal 2 ayat 1 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU tanggal 18 April 2006. Tugas KPPU yang memiliki inisiatif untuk menindak perjanjian pelaku usaha yang menimbulkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat tanpa ada pengaduan dari anggota masyarakat maupun orang yang dirugikan dari perjanjian tersebut, secara norma hukum mengandung pengertian bahwa KPPU melaksanakan tugas dari wewenang yang dimilikinya adalah demi kepentingan hukum. Sifat kaedah hukum ini merupakan karakter yang khas berlaku di dalam hukum publik khususnya dalam lapangan hukum pidana. Apabila dilihat dari tugas KPPU dalam menyelesaikan kasus pelanggaran UU Monopoli berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat 1 UU Monopoli yang mengatakan ”telah terjadinya” atau ”patut diduga telah terjadinya” maka dalam memeriksa dan memutus perkara perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli dilakukan melalui pendekatan per se illegal dan rule of reason. 102 Pendekatan per se illegal dalam menyelesaikan kasus praktik monopoli atau diduga menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diterapkan terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 15 UU Monopoli terhadap pelanggaran pasal-pasal ini tidak 102 Ibid. Universitas Sumatera Utara 112 diperlukan cukup secara rational diduga akan terjadi praktik monopoli. Pendekatan pendekatan rule of reason berkaitan dengan pelanggaran Pasal 4, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat 2, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 14 UU Monopoli dalam pelanggaran kasus atas pasal-pasal tersebut harus dibuktikan terjadinya praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Apabila dihubungkan antara pengertian perjanjian dikaitkan dengan tugas dan wewenang dari KPPU untuk membatalkan perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha yang dapat menimbulkan praktik monopoli terlihat bahwa pengertian perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli merupakan kaedah hukum yang mengatur kepentingan hukum publik bukan hubungan individu atau hukum privat mutlak. Di sini terlihat hukum privat yang memiliki karakter hukum publik. Hal ini diperkuat lagi dari pendaftaran perkara di Pengadilan yang mendaftarkan sengketa praktik monopoli didaftar pada register bidang perkara perdata khusus. 103 Berdasarkan penelurusan kasus tentang pembatalan perjanjian menurut UU Monopoli, terlihat pihak yang menuntut pembatalan bukan dilakukan oleh para pihak yang terikat oleh perjanjian sebagaimana yang terjadi di lapangan hukum perdata, tetapi dilakukan oleh pihak ketiga baik yang merasa dirugikan ataupun tidak. Dari kenyataan ini terlihat bahwa dalam UU Monopoli memiliki sifat publik yang lebih kuat dibanding bersifat privat. Sebab bila diikuti ketentuan yang termuat di dalam lapangan hukum privat hanya para pihak yang terikat dalam perjanjianlah yang dapat melakukan aksi hukum terhadap pihak lawannya, bukan pihak yang tidak terlibat 103 No. Akta Permohonan Kasasi 118Srt.Pdt.Kas2008PN.JKT.PST dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 255KPdt.Sus2009. Universitas Sumatera Utara 113 dalam perjanjian. Hal ini terjadi disebabkan sengketa tentang perjanjian adalah sengketa hak perseorangan yang sifatnya hak relatif. Peranan KPPU dalam rangka menegakkan UU Monopoli dalam menyelesaikan kasus dapat dilihat dari putusan yang telah dikeluarkannya sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 telah menyelesaikan kasus pelanggaran UU Monopoli sebanyak 134 kasus. 104 KPPU dalam menyelesaikan kasus pembatalan perjanjian didasarkan pada adanya laporan dari pihak yang merasa dirugikan. Jadi pihak yang menuntut pembatalan perjanjian bukan oleh para pihak yang terikat oleh perjanjian tersebut melainkan dilakukan oleh pihak ketiga dalam hal ini adalah KPPU.

B. Akibat hukum dari pembatalan perjanjian yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Persekongkolan Tender Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Kota Pematang Siantar Ditinjau Dari UU Nomor 5 Tahun 1999 (Studi Kasus RSU Kota Pematang Siantar)

2 83 190

Pengelengaraan Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha (Studi UU No 5 Tahun 1999)

0 14 0

Pembatalan Putusan Kppu Nomor 06/Kppu-L/2012 Tentang Persekongkolan Tender Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap Xi Tahun 2012 (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-Kppu/2014)

0 16 129