Alat Pengumpulan Data Perjanjian menurut Undang-Undang Monopoli

31

4. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan sifat penelitian ini adalah penelitian doktrinal yaitu mengkaji dan menganalisis nilai yang ada di balik norma hukum atau peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini alat yang dipergunakan untuk pengumpulan data adalah studi dokumen berupa buku, surat kabar, jurnal hukum, majalah, artikel dan putusan pengadilan dan keputusan KPPU. Metode dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang asas kebebasan berkontrak, dan pembatasan asas kebeb asan berkontrak yang ditentukan di dalam undang-undang maupun dalam putusan pengadilan dan keputusan KPPU.

5. Analisis Data

Data yang terkumpul diklasifikasi dan disistematisasikan sesuai dengan masalah yang telah ditetapkan. Kemudian data yang telah diklasifikasi dan disistematisasikan tersebut dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara melakukan penafsiran data dengan menggunakan penafsiran autentik, gramatikal, teleoligis, historis dan filosofis terhadap ketentuan hukum dan pertimbangan KPPU dan Hakim dalam putusannya yang memeriksa perkara perjanjian yang dilarang. Dari penafsiran yang dilakukan untuk menemukan makna atau arti contens yang terkandung di dalam data tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menjawab permasalahan yang ada sehingga ditemukan kesimpulan dengan menggunakan cara berpikir induktif ke cara berpikir deduktif. Artinya dari kasus yang diteliti dicari atau dibentuk kesimpulan yang berlaku umum. Universitas Sumatera Utara 32

BAB II PEMBATASAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

OLEH PEMERINTAH

A. Pengertian Umum tentang Perjanjian 1.

Asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian Setiap warga Negara Indonesia memiliki hak konstitusi untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya sebagai wujud demokrasi ekonomi yang berlaku di Indonesia berdasarkan UUD 1945. Kesejahteraan seseorang sebagai indikator untuk mewujudkan kemakmuran, berkaitan dengan siapa yang akan memperoleh kemakmuran dan bagaimana memperoleh kemakmuran itu. Di samping itu, pemenuhan kebutuhan seseorang akan benda ekonomi sangat berkaitan dengan kepemilikan. Masalah kepemilikan merupakan bagian terbesar dari kewenangan hukum yang mengaturnya, 36 di sinilah terlihat hubungan ekonomi dengan hukum. Memang antara ekonomi dan hukum berlainan bidangnya, tetapi kedua bidang ini saling membutuhkan dan melengkapi satu dengan yang lainnya. Berdasarkan pendekatan sistem, norma hukum yang dianut di dalam Hukum Perdata KUHPerdata, perjanjian adalah bagian dari hukum harta kekayaan. Artinya semua perjanjian pada dasarnya adalah berkaitan dan berhubungan dengan kekayaan yang mempunyai nilai ekonomi yaitu yang dapat dijadikan objek perdagangan in de 36 Milik senantiasa dipikirkan sebagai bagian dari hukum meun et tuum, yaitu hukum tentang apa yang menjadi milik saya dan apa yang menjadi milik anda Save M.Dagun, Pengantar Filsafat Ekonomi, Jakarta, Rineka Cipta, 1992. hlm., 82. 32 Universitas Sumatera Utara 33 handel. 37 Oleh karena itulah, perjanjian merupakan titel untuk memperoleh dan mengalihkan kekayaan dari dan untuk seseorang. 38 Pada dasarnya setiap orang bebas melakukan perjanjian. Hal ini sebagai realisasi dari asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya adalah implementasi dari alam pikiran faham individualis. Mariam Darus Badrulzaman mensinyalir bahwa kebebasan berkontrak yang dituangkan ke dalam Buku III KUHPerdata berlatar-belakang pada faham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Eficuristen dan berkembang pesat pada abad ke XVIII melalui pemikiran Huge de Groot Grotius, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Puncak perkembangannya dalam periode setelah revolusi Perancis. Faham individualis mengutamakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan eksistensi individu di dunia ini, termasuk dalam memenuhi kebutuhannya. 39 Dalam sejarah perkembangan kebebasan berkontrak, makna dan isi kebebasan berkontrak mengalami pergeseran sesuai dengan faham atau ideologi yang dianut oleh 37 Pasal 1332 KUH,Perdata : yang dapat dijadikan objek perjanjian adalah semua benda yang dapat diperdagangkan. Benda yang dapat diperdagangkan mempunyai arti bahwa benda tersebut adalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi. 38 Cara lain adalah melalui perikatan yang lahir karena undang-undang semata-mata dan berdasarkan undang-undang karena perbuatan manusia yaitu perbuatan manusia yang melawan hukum dan perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum. 39 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Alumni Bandung, 1981:118-119. Lihat juga pendapat Achmad Ichsan yang mengatakan bahwa KUH.Perdata adalah diperuntukkan bagi suatu cultuurgemenschap, suatu masyarakat yang modern dengan pandangan differensiasi terhadap pemisahan pelbagai masalah yang sangat tajam, indivualistis- kapitalis, di mana hak individu dalam perekonomian merupakan sebagian dari hak asasinya. Erat sekali hubungannya dengan dunia luar, sehingga untuk ini perlu diadakan ketentuan-ketentuan yang tertib tentang jaminan-jaminan pemenuhan janji yang telah diadakan Achmad Ichsan, Hukum Perdata I B, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, hlm.: 9. Universitas Sumatera Utara 34 suatu masyarakat, dengan kalimat lain sejauh mana kebebasan seseorang melakukan kontrak dapat dibatasi oleh faham atau ideologi yang dianut suatu masyarakat. Pada saat lahirnya asas kebebasan berkontrak pada abad 17 dan 18, asas kebebasan berkontrak mempunyai daya kerja sangat kuat, kebebasannya itu tidak dapat dibatasi baik oleh rasa keadilan masyarakat atau pun oleh campur tangan negara. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh Ideologi Individualisme. Pengaruh faham individualisme yang berkembang pada abad 17-18 telah memberi peluang yang cukup luas atas isi asas kebebasan berkontrak sedemikian bebasnya dan sangat kuat dalam melindungi kepentingan individu. Namun dalam perkembangannya, akibat desakan faham-faham etis dan sosialis, faham individualisme mulai pudar, terlebih - lebih setelah perang dunia kedua. Faham ini secara umum menimbulkan zaman baru dalam hukum, demikian juga pengaruh faham etis dan sosialis ini terlihat dan sangat terasa pada isi dari asas kebebasan berkontrak. 40 Asas kebebasan berkontrak mula-mula muncul dan berlaku dalam hukum perjanjian Inggris sebagai awal dari sejarah timbulnya asas kebebasan berkontrak. 40 Mahadi, mengutip pendapat Pompe, menyebutkan bahwa dalam tahun 1945 atau abad ke 19 telah muncul zaman baru dalam bidang hukum. yang ditandai dengan “Zaman individualime telah habis”. Gerakan sosialisme telah membawa maut bagi individualisme. Gerakan sosialisme telah membawa gelombang baru dalam dunia hukum. Yang penting dan relevan dari zaman baru itu, adalah: a. Penetapan kepentingan umum lebih tinggi dari kepentingan individual. b. Penempatan hukum lebih tinggi daripada undang-undang. c. Penempatan dan penegakan asas-asas hukum hendaknya didasarkan kepada susila. Dengan menonjolkan tiga segi relevan itu serentak pula berarti, bahwa dalam zaman sebelumnya ketiga itu tidakkurang, mungkin pula sama sekali tidak mendapat perhatian. Kepentingan individual menempati tempat tertinggi terpenting Mahadi, Hukum Sebagai Sarana Mensejahterakan Masyarakat, Medan, USU Press, 1985: 2-3 . Universitas Sumatera Utara 35 Menurut Treitel, sebagaimana dikutip oleh Remy Sjahdeini, freedom of contract digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum. 41 a. asas umum yang mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syarat- syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak; asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat- syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Menurut Treitel, asas ini ingin menegaskan bahwa ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat. b. asas umum yang mengemukakan pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Menurut Treitel, dengan asas umum ini ingin mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Asas ini merupakan asas umum yang bersifat universal. ”Asas kebebasan berkontrak merupakan asas dalam hukum perjanjian yang dikenal hampir semua sistem hukum”. 42 Asas kebebasan berkontrak telah menjadi asas hukum utama dalam hukum perdata, khususnya dalam hukum perjanjian, dikenal dalam civil law system maupun dalam common law system, bahkan dalam sistem hukum Islam. Pengertian kebebasan berkontrak dalam civil law system berasal dan dikembangkan dari konsep dan perkembangan perikatan atau obligatio yang untuk 41 Remy Syahdeini, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang seimbang dari kreditur dan debitur, makalah yang disampaikan pada Seminar Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya pada tanggal 27 April 1993:2. 42 Asas kebebasan berkontrak dalam sistem common law dikenal dengan istilah freedom of contract atau liberty of contract, bandingkan dengan pernyataan Hardijan Rusli : asas kebebasan berkontrak dikenal juga dengan istilah Laissez Faire yang pengertiannya seperti diterangkan oleh Jessel M.R. dalam kasus Printing and Numerical Registering Co. vs Sampson 1875 LR Eq. 462 pada 465, yaitu men of full age and understanding shall have the utmost liberty of contracting and that contracts which are freely and voluntarily entered inti shall be held sacred and enforced by the courts…you are not lightly to interfere with this freedom of contract Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993:38. Lihat juga Ridwan Khairandy “istilah kebebasan berkontrak dalam sistem common law adalah freedom of contract atau liberty of contract Ridwan Khairandy, Pengaruh Paradigma Kebebasan Berkontrak Terhadap Teori Hukum Kontrak Klasik dan Pergeserannya, tidak dipublikasikan, 2003 hlm. 49 Universitas Sumatera Utara 36 pertama kali dipergunakan di dalam civil law tradition pada zaman Romawi oleh Kaisar Justianus, di dalam Corpus Iuris Civilis pada tahun 533, bagian Institutiones. 43 Pengertian kebebasan berkontrak dalam common law : 44 1. Tidak seorang pun terikat untuk membuat kontrak apapun jika ia tidak menghendakinya nobody was bound to enter into any contracts at all if he didnot chose todo so; 2. Setiap orang memiliki pilihan orang dengan siapa ia akan membuat kontrak everyone had a choice of persons with whom he could contract; 3. Orang dapat membuat pelbagai macam bentuk kontrak people could make virtually any kind of contract; 4. Orang dapat membuat berbagai kontrak dengan isi dan persyaratan yang dipilihnya people could make any kind of contract on an term they chose. Asas kebebasan berkontrak ini juga pada era globalisasi telah disepakati sebagai suatu asas hukum dapat dilihat dalam : 45 The Unidroit Principles of International Institute Contract yang diselesaikan penyusunannya oleh The International Institute for the univication of Private Law UNIDROIT di Roma pada bulan Mei 1994 memuat kebebasan berkontrak sebagai suatu asas dan diatur di dalam Pasal pertama. Selain itu, Commission on Europen Contract Law, sebuah badan yang beranggotakan para ahli hukum dari European Community sekarang Uni Eropa telah pula menyelesaikan The principles Of European Contract Law pada tahun 1998 pada Pasal 1.102 mengatur tentang kebebasan berkontrak sebagai suatu asas. Dalam sistem hukum nasional Indonesia, asas ini ini diimplementasikan pada hukum perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menentukan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perjanjian dengan siapa 43 Johannes Gunawan. “Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak” dalam Sri Rahayu Oktoberina, Niken Savitri, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta, Bandung, Aditama, 2008 hlm : 259. 44 Ibid., hlm. 265. 45 Ibid., hlm. 258. Universitas Sumatera Utara 37 yang dikehendakinya dan bebas menentukan isi perjanjian yang akan dilakukan. Berdasarkan prinsip asas inilah maka Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka. Asas kebebasan berkontrak pada prinsipnya sebagai sarana hukum yang digunakan subjek hukum untuk memperoleh hak kebendaan dan mengalihkan hak kebendaan demi pemenuhan kebutuhan diri pribadi subjek hukum. Dalam KUHPerdata yang menganut sistem kontinental kebebasan untuk melakukan kontrak dan menentukan isi kontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Wujud kebebasan berkontrak baru dapat diketahui dalam praktiknya pada saat melakukan perjanjian. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan akan benda ekonomi, peranan perjanjian ini sangat penting karena perjanjian oleh hukum disebutkan sebagai titel untuk memperoleh hak kepemilikan. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut: 46 a. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; b. kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; c. kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang dibuatnya; d. kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; e. kebebasan untuk menentukan syarat-syarat suatu perjanjian termasuk kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional aanvullend, optional.

2. Perjanjian menurut Undang-Undang Monopoli

Hubungan sosial yang paling dominan dalam kehidupan manusia adalah hubungan ekonomi, karena melalui hubungan ekonomi itu pemenuhan segala kebutuhan 46 Remy Syahdeini, op.cit.,hlm 10 Universitas Sumatera Utara 38 hidupnya dapat terwujud. Seorang manusia memerlukan manusia lainnya, terutama dalam kehidupan modern di mana kehidupan manusia sudah mengarah pada spesialisasi profesi dan produksi. Dalam hubungan ekonomi, kegiatan tukar menukar harta atau jasa merupakan fenomena yang sangat lazim. Kegiatan tukar menukar itu terjadi dalam sebuah proses yang dinamakan transaksi. Secara umum, transaksi itu timbul setelah adanya perjanjian dan perjanjian itu sendiri berakibat munculnya ikatan atau perikatan. Istilah perjanjian merupakan subjek bahasan dalam tulisan ini. Untuk itu perlu dikemukakan definisi dari perjanjian. Untuk melihat validitas dari definisi perjanjian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah definisi tersebut harus dilihat berdasarkan Undang-undang. Karena definisi menurut Undang-undang lah definisi yang autentik yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Berkaitan dengan tulisan ini dikemukakan definisi perjanjian baik yang termuat di dalam Undang-Undang Monopoli maupun sebagaimana yang diatur di dalam KUHPerdata. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Monopoli mengatakan: ”Perjanjian adalah perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”. Ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Monopoli ini secara substansi sebenarnya mengadopsi rumusan perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang mengatakan: ”Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Tegasnya, rumusan perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Monopoli materinya sama dengan apa yang Universitas Sumatera Utara 39 dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Bedanya ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata diberlakukan kepada semua perjanjian secara umum, sedangkan rumusan perjanjian dalam Undang-Undang Monopoli adalah rumusan khusus tentang perjanjian yang berkaitan dengan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang diberlakukan kepada pelaku usaha. Jelasnya, rumusan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Monopoli merupakan ketentuan khusus lex specialis dari perjanjian pada umumnya. Para ahli menganggap rumusan perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut selain kurang lengkap juga terlalu luas. Perjanjian lahir karena ada persetujuan atau kesepakatan di antara para pihak, bukan persetujuan sepihak saja. Dari kritik para ahli mengenai definisi perjanjian ini mengandung kelemahan. Walaupun para ahli menganggap definisi perjanjian tersebut mengandung kelemahan namun pada kenyataannya pembuatan Undang-Undang Monopoli tetap merujuk dari definisi perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut. Kritik terhadap definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang mengatakan definisi tersebut terlalu luas dan bersifat sepihak sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Kalaupun ada kritik seperti itu karena pengkritik menggunakan ajaran dalam ilmu hukum perdata berdasarkan teori kepercayaan yang menyebutkan bahwa perjanjian lahir didasarkan atas pengertian dan kepercayaan pada ucapan pihak lain. ”Teori kepercayaan ini didasarkan pada asas perjanjian yang mengatakan janji adalah Universitas Sumatera Utara 40 hutang yang dianut dalam hukum Jerman. Sedangkan teori kehendak didasarkan pada asas konsensus yang dikenal dalam hukum Romawi”. 47 Pendapat yang tidak dapat dibantah melalui pemahaman tentang terjadinya kesepakatan atau perjanjian yang didasarkan pada adanya penawaran offer dan adanya penerimaan acceptance. Pendapat umum, baik praktik maupun teoritis, bahwa untuk terjadinya kesepakatan haruslah dipenuhi dua unsur yaitu adanya penawaran dari satu pihak dan penawaran itu diterima pula oleh pihak yang lain. ”Suatu perjanjian adalah terjadi, apabila ada suatu penawaran yang diikuti oleh suatu penerimaan. Apa yang diterima, haruslah cocok dengan apa yang ditawarkan. Ini terutama mengenai tujuan dari suatu perjanjian”. 48 Jadi, penawaran dalam arti yuridis baru ada jika salah satu pihak mengusulkan untuk mengadakan perjanjian dengan menerapkan syarat-syarat sedemikian rupa, sehingga dengan penerimaan dari penawaran tersebut perjanjian terjadi. Atau dengan kata lain penawaran baru terjadi, bilamana usul untuk mengadakan perjanjian telah sampai pada orang untuk siapa penawaran itu ditujukan. Menurut Van Dunne : 49 Penawaran adalah perbuatan hukum sepihak. Sumber-sumber hukum yang dipupuk oleh tuntutan pergaulan perdagangan juga menentukan apakah penawaran itu dapat dicabut atau tidak menurut hemat saya pertanyaan mengenai apakah penawaran menurut hukum dapat dicabut, jawabannya adalah tidak. 47 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm., 37 48 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung, Mandar Maju, 2000, hlm. 28 49 J.M. Van Dunne, Vervintenissen recht in Ontwikkeling Op de grenzen van geldend recht in wordend recht vh normative uitleg van Rechtshandelingen, 1985, terjemahan Lely Niwan, Kurus Hukum Perikatan- Bagian I a Hukum Perjanjian, 1985, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Medan, 31 Agustus – 12 September 1987, hlm. 67 Universitas Sumatera Utara 41 Dengan mengucapkan, dengan mengajukan penawaran kepada orang lain, orang menimbulkan kepercayaan bahwa tawaran itu akan dipenuhi. Kepercayaan itu bila pantas harus diakui dan dengan demikian ia juga berguna bagi pergaulan perdagangan, apakah kepercayaan itu wajar baru ditentukan setelah penawaran itu ditafsirkan dengan memperhatikan keadaan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Kalau dicermati melalui pendekatan sejarah lahirnya KUHPerdata tersebut, secara akademis dapat diketahui bahwa definisi perjanjian yang termuat di dalam KUHPerdata sesungguhnya dilatar belakangi pendapat para ahli yang berkembang dan mendominasi tentang paham atau ajaran ilmu pengetahuan yang berkembang pada abad ke-19 yaitu ajaran tentang ajaran kehendak. Lebih jauh van Dunne mengatakan : 50 Latar belakang cara pengamatan penyusun Code Civil dan BW adalah menurut ajaran kehendak yang berkuasa ketika itu; perbuatan hukum didasarkan atas dasar kehendak psykhis dari pihak yang bertindak. Bila ada dua pihak dalam perkara itu seperti demikian halnya pada perjanjian menurut definisinya, maka dasar dari perbuatan hukum yang timbal balik itu, adalah kehendak dari kedua pihak, dengan kata lain kesamaan kehendak kesepakatan mereka. Bila diikuti keterangan van Dunne tersebut jelaslah bahwa ajaran kehendak sangat dominan saat itu, dan ajaran inilah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan rumusan Pasal 1313 KUHPerdata. ”Pendirian tersebut sangat ketat bila dikatakan bahwa selama tidak ada sekaligus dua kehendak tidak ada perjanjian”. 51 Dari apa yang dikemukan di atas, jelaslah bahwa definisi yang tertuang di dalam Pasal 1313 KUHPerdata lebih menekankan pada unsur pertama adanya perjanjian yaitu penawaran. Secara logika hal ini dapat dipahami, seseorang akan terikat pada pihak lain bila setuju atau sepakat dengan penawaran yang ada. Jika tidak ada penawaran maka 50 Ibid., hlm. 64 51 Ibid, hlm. 65 Universitas Sumatera Utara 42 seseorang tidak akan ada dasar untuk merespon sesuatu. Dengan landasan berpikir yang demikian maka adalah kekeliruan bila mengatakan bahwa definisi perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1313 KUHPerdata sebagai perjanjian sepihak. Sesungguhnya Pasal 1313 KUHPerdata haruslah dipandang defenisi mengenai cara lahirnya perjanjian bukan perjanjian itu sendiri. Perjanjian itu sendiri baru dapat diketahui apabila sudah ada pertemuan antara penawaran dan penerimaan sehingga mereka menjadi terikat. Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa perjanjian adalah salah satu cara lahirnya perikatan. Di atas telah diterangkan, bahwa definisi perjanjian yang tertuang di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli merupakan adopsi dari Pasal 1313 KUHPerdata, dan di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli ditemukan unsur-unsur dari suatu perjanjian yang ditentukan di dalam UU Monopoli yaitu: a. Perbuatan b. Pelaku Usaha c. Mengikatkan diri dengan nama apapun d. Tertulis maupun lisan. Unsur perbuatan sebagaimana yang dituangkan di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli dapat menimbulkan pertanyaan dan permasalahan oleh beberapa ahli. Pembuat UU Monopoli tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan sebagaimana termuat dalam rumusan Pasal 1 angka 7 UU Monopoli. Dalam penjelasan pasal demi pasal ditegaskan dengan perkataan cukup jelas. Namun, para ahli berpendapat perkataan yang tertuang di dalam UU Monopoli tersebut tidak jelas dan perlu penjelasan sebagaimana para ahli mengkritik definisi perjanjian yang termuat di Universitas Sumatera Utara 43 dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Kritik dilontarkan oleh para ahli berkaitan apakah perbuatan itu perbuatan hukum atau bukan. Kritik yang dilontarkan para ahli tentang apa yang dimaksud dengan ”perbuatan” sebagaimana yang ditentukan di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli dan Pasal 1313 KUHPerdata dapat dimaklumi karena tidak semua perbuatan manusia masuk dalam kategori perbuatan hukum khususnya dalam ranah hukum perjanjian. Misalnya tidur adalah perbuatan alamiah namun perbuatan alamiah ini dapat menjadi perbuatan hukum apabila tidurnya seseorang itu menimbulkan akibat hukum. Ketidakjelasan tentang pengertian perbuatan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli dapat dipecahkan secara akademis dan ilmu hukum melalui pendekatan sistem. Melalui pendekatan sistem pasal-pasal yang termuat di dalam UU Monopoli tidaklah berdiri sendiri tetapi antara pasal yang satu dengan pasal lainnya saling berkaitan dan berhubungan. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan perbuatan dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli haruslah dikaitkan dengan konsideran dari UU Monopoli tersebut dan dikaitkan juga ketentuan-ketentuan pasal-pasal lainnya. Melalui pendekatan sistem ini akan diketahui apa yang dimaksud dengan perbuatan dalam definisi perjanjian yang termuat di dalam UU Monopoli tersebut. Di samping itu secara ilmu hukum bahwa perbuatan yang tertuang di dalam UU Monopoli dan atau KUHPerdata dapat dijawab melalui beberapa teori yang berlaku dalam hukum perjanjian. Kata perbuatan yang termuat di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli dan Pasal 1313 KUHPerdata sesungguhnya yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang adalah perbuatan hukum. Hal ini dijawab melalui teori atau ajaran Universitas Sumatera Utara 44 kehendak dalam menentukan terjadinya perjanjian, dapat dipahami bahwa kehendak subyektif dari melakukan tindakan dijadikan pusat perhatian. Menurut Pitlo: ”dalam ajaran kehendak, perbuatan hukum adalah perbuatan yang bertujuan menimbulkan akibat hukum contoh perjanjian merupakan peristiwa hukum, suatu peristiwa oleh hukum diberi akibat hukum.” 52 Dalam ajaran kehendak ini interpretasi dari perbuatan hukum dan perjanjian adalah sesungguhnya suatu proses. Interpretasi dari perbuatan sebagai perbuatan hukum dan perjanjian sebagai suatu proses juga dikemukakan oleh Wirjono : 53 Suatu perjanjian berdasarkan atas janji seorang subjek dan janji berdasarkan kemauan orang itu untuk berjanji. Maka pokoknya harus ada kemauan. Akan tetapi, oleh karena suatu janji tentu ditujukan kepada pihak lain, yang kemudian mendapat hak atas pelaksanaan janji itu, kemuan orang itu baru berarti bagi pihak lain itu, apa bila diucapkan. Bagaimanapun keluarnya dari suatu kemauan, kalau kemauan ini disimpan saja di dalam hati sanubari seseorang, ini tidak berarti dalam hukum. Di samping ajaran kehendak yang dijadikan dasar untuk menafsirkan perbuatan dalam definisi perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1313 KUH Perdata maupun dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli dapat dilihat dari ajaran pertanggungjawaban. ”Menurut ajaran ini, perbuatan dipandang sebagai perbuatan hukum, yang menurut norma-norma hukum yang berlaku menimbulkan akibat hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada yang melakukan perbuatan. Penafsiran tentang pengertian perbuatan di sini digunakan penafsiran normatif”. 54 52 A.Pitlo. “Perkembangan Dari Sistem Tertutup ke Sistim Terbuka Tantang Perikatan pada Peradilan di H-R 1972” dalam Kursus Hukum Perikatan Bagian Ia, Hukum Perjanjian, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Medan, 31 Agustus – 12 September 1987,hlm 61 53 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung, Mandar Maju, 2000, hlm., 27 54 Pitlo, Op.cit, hlm 61 Universitas Sumatera Utara 45 Menurut penafsiran normatif dari perbuatan hukum, penawaran dan penerimaan adalah bagian-bagian dari hukum yang berdiri sendiri, yang oleh hukum diberi akibat hukum. Bila ini dilakukan, terlihat yang dimaksud dengan perbuatan dalam definisi perjanjian menurut UU Monopoli adalah suatu perbuatan hukum karena perkataan perbuatan yang dituangkan di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli bila dikaikan dengan pasal-pasal yang ada dalam batang tubuh UU Monopoli terlihat perbuatan mengikatkan diri tersebut menimbulkan akibat hukum yang diatur oleh hukum sebagaimana ditentukan di dalam UU Monopoli. Menurut UU Monopoli akibat hukum dari perbuatan tersebut adalah menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang di larang atau tidak dibenarkan menurut UU Monopoli. Unsur kedua, yaitu tentang pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha secara autentik dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Monopoli : Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dari definisi ini terlihat bahwa para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian menurut UU Monopoli adalah subjek hukum baik ia subjek hukum secara pribadi natuurlijk persoon maupun subjek hukum dalam bentuk badan hukum rechtspersoon. Terkait dengan subjek hukum ini maka para pihak yang terlibat Universitas Sumatera Utara 46 dalam membuat perjanjian berlakulah ketentuan tentang kecakapan bertindak dalam hukum sebagaimana yang disyaratkan oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur ketiga, mengikatkan diri. Dari unsur ini terlihat bahwa pengertian perjanjian dapat diartikan perbuatan sepihak. Oleh karenanya, banyak ahli yang mengartikan rumusan perjanjian terlalu luas, dan merupakan perjanjian sepihak. Untuk itu sekarang ini, banyak para ahli melakukan kritik terhadap pengertian perjanjian sebagaimana termuat di dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang juga berlaku terhadap ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Monopoli. Van Dunne menjelaskan pengertian perjanjian ini terkesan bersifat sepihak karena lahirnya rumusan pasal tersebut di dasarkan pada ajaran kehendak. Pada prinsipnya, perjanjian yang berkaitan dengan kekayaan, merupakan domain hukum yang termasuk pada domain hukum privat. Nuansa privat dari suatu perjanjian sesungguhnya adalah sebagai impelementasi dari hak milik sebagai hak dasar dari setiap manusia. Oleh karenanya, untuk mengalihkan dan memperoleh hak milik melalui hukum salah satu titel yang dibenarkan adalah melalui perjanjian. Dalam ilmu ekonomi, kontrak atau perjanjian merupakan pengikat pengambil keputusan pelaku ekonomi swasta; ”kontrak-kontrak tersebut memungkinkan efisiensi dalam hal kepemilikan dan membantu menciptakan perusahaan serta mengatur hubungan di dalam dan di antara perusahaan maupun pasar keuangan mereka”. 55 Jadi, baik dari segi hukum maupun ekonomi kontrak atau perjanjian memainkan peranan penting bagi setiap 55 Paul H.Brietzke, Relevansi hukum Kontrak Amerika di Indonesia, Elips Proyek, Proyek Pengembangan hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Komponen Pelatihan Hukum, November – Desember 1991, hlm 18. Universitas Sumatera Utara 47 subjek hukum, apakah itu subjek hukum dalam kategori natuurlijke persoon maupun rechts persoon. Karakter bahwa perjanjian merupakan hak sipil atau hak individu perseorangan secara akademis telah lama dikenal sebagaimana ditemukan di dalam hukum Romawi. Keberadaan perjanjian merupakan hak pribadi individu atau hak perorangan hingga saat ini juga telah diakui secara universal sebagai hak asasi manusia, sebagaimana yang dituangkan di dalam kovenan internasional Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights. Kovenan Internasional ini telah dirativikasi Negara Indonesia melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik pada tanggal 28 Oktober 2005 yang diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119. Perjanjian atau kontrak sebagai hak asasi manusia secara eksplisit tertuang di dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik: ”tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya”. Dari ketentuan pasal ini jelas diperlukan pengertian kontrak atau perjanjian agar dalam kajian teoritis maupun secara praktis ditemukan pengertian yang tepat untuk mencegah penegakan hukum dan perlindungan hak-hak pribadi seseorang. Unsur mengikatkan diri sebagaimana yang ditemukan di dalam defenisi perjanjian pada Pasal 1 angka 7 UU Monopoli dikaitkan dengan dengan kata-kata dengan nama apapun. Kata-kata ”dengan nama apapun” mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat tersebut baik yang diatur di dalam KUHPerdata maupun di Universitas Sumatera Utara 48 luar KUHPerdata. Hal ini konsekuensi dari hukum perjanjian menganut sistem terbuka sebagai implementasi prinsip kebebasan berkontrak sebagai azas yang berlaku dalam hukum perjanjian. Unsur tertulis maupun tidak tertulis sabagai salah satu unsur yang ditemukan di dalam definisi perjanjian dalam UU Monopoli sesungguhnya adalah sama halnya dengan yang dianut di dalam KUHPerdata. Pada prinsipnya perjanjian dibuat secara bebas oleh para pihak dan dalam bentuk yang bebas pula. Artinya dalam membuat perjanjian tidak ditentukan syarat formal tertentu. Namun ada beberapa perjanjian yang harus dibuat dengan memenuhi syarat formal tertentu sebagaimana yang terjadi dalam perjanjian perdamaian, perjanjian pengalihan hak atas tanah, pendirian perseroan terbatas yang oleh undang-undang harus dibuat dengan syarat formal. Ketiadaan syarat formal ini, maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak menjadi batal. Apabila ditilik dari unsur perjanjian yang diatur di dalam UU Monopoli, maka perjanjian yang dibuat para pihak baik yang mengikuti syarat formal maupun tidak memenuhi syarat formal. Jadi, UU Monopoli tidak ada membedakan bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Misalnya merger perusahaan yang biasanya dituangkan di dalam syarat formal yaitu dalam akta perusahaan dapat dibatalkan oleh KPPU sepanjang merger perusahaan itu dapat diduga dan menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Pada dasarnya perjanjian yang dibuat secara tertulis ataupun tidak sesungguhnya bukanlah menentukan adanya perjanjian bagi para pihak yang Universitas Sumatera Utara 49 membuatnya, tetapi pada umunya dihubungkan dengan untuk membuktikan adanya perjanjian para pihak. Jelasnya perjanjian dibuat secara tertulis atau dalam bentuk akta adalah diperuntukkan untuk alat bukti. Sedangkan dalam UU Monopoli titik tekannya bukan kepada alat bukti melainkan kepada isi atau peristiwa yang terjadi akibat perjanjian tersebut. Peristiwa yang diantisipasi oleh UU Monopoli adalah peristiwa kemungkinan terjadinya praktik monopoli ataupun persaingan usaha tidak sehat. Tegasnya, titik tekan UU Monopoli berkaitan dengan perilaku dari pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut. Untuk membuktikan adanya suatu perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat tidaklah harus dibuktikan semata-mata hanya didasarkan pada bukti tertulis atau akta sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 42 UU Monopoli yang menentukan alat-alat bukti pemeriksaan KPPU berupa a keterangan saksi b keterangan ahli c surat dan atau dokumen d petunjuk e Keterangan pelaku usaha. Dalam undang-undang monopoli alat bukti saksi ditempatkan pada urutan pertama untuk membuktikan adanya perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli memberi indikasi bahwa adanya perjanjian tidak didasarkan pada bukti formal. Hal ini berbeda halnya dengan alat bukti yang berlaku pada acara pemeriksaan perkara di Pengadilan Umum dalam perkara perdata yang menempatkan posisi alat bukti tertulis sebagai alat bukti yang diprioritaskan lebih dahulu dari alat-alat bukti lainnya, karena dalam perkara perdata yang didahulukan adalah kebenaran formal sebagaimana terlihat pula dari ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata yang mengatakan alat Universitas Sumatera Utara 50 pembuktian meliputi bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Jadi, dari definisi perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli dianut kebenaran materil bukan kebenaran formal sebagaimana yang ditemukan di dalam perkara perdata di Pengadilan Umum. Dari ulasan unsur-unsur yang termuat dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli di atas, terlihat bahwa pengertian perjanjian yang tertuang di dalam Pasal 1 angkat 7 UU Monopoli secara harfiah sama dengan pengertian perjanjian pada umumnya sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, tetapi apabila dilihat dari kaedah hukum yang ada di dalamnya; terlihat perjanjian yang termuat di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli mengandung sifat kaedah hukum publik sebagai upaya melindungi dan mengatur pemanfaatan sumber daya ekonomi yang memiliki karakter pemilikan umum atau pemilikan publik di mana setiap orang untuk menggunakan haknya haruslah memperhatikan hak orang lain. Artinya hak individu dalam menggunakan dan mengeksplorasi sumber daya ekonomi bersifat kegunaan publik harus memperhatikan hak orang lain. Di sini hak yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk mengeksplorasi sumber daya ekonomi yang bersifat kegunaan publik didasarkan pada sifat kemasyarakatan dari hak yang dimiliki oleh individu atau pelaku usaha tersebut. Itulah sebabnya secara kaedah hukum yang terkandung di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli bersifat hukum memaksa yang tidak dapat dikesampingkan oleh hak-hak perorangan atau individu. Perjanjian pelaku usaha yang menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana sebagaimana di atur di Universitas Sumatera Utara 51 dalam Pasal 48 ayat 1 UU Monopoli. Sifat pidana dari kaedah hukum yang terkandung di dalam Pasal 1 angka 7 UU Monopoli adalah tindak pidana pelanggaran, hal ini terlihat jelas secara operasionalnya sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 angka 9 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 yang mengatakan: ”Pelanggaran adalah perjanjian danatau kegiatan danatau penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat” .

3. Perjanjian yang dilarang menurut UU Monopoli

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Persekongkolan Tender Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Kota Pematang Siantar Ditinjau Dari UU Nomor 5 Tahun 1999 (Studi Kasus RSU Kota Pematang Siantar)

2 83 190

Pengelengaraan Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha (Studi UU No 5 Tahun 1999)

0 14 0

Pembatalan Putusan Kppu Nomor 06/Kppu-L/2012 Tentang Persekongkolan Tender Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap Xi Tahun 2012 (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-Kppu/2014)

0 16 129