16 pemegang saham yaitu untuk kesejahteraannya sendiri daripada untuk
memakmurkan para pemegang saham. Pemegang saham tidak menyukai ambisi pribadi para manajer, karena hal itu
dapat menyebabkan timbulnya tambahan biaya bagi perusahaan, hal ini dengan sendirinya akan menurunkan tingkat laba perusahaan. Biaya-biaya yang timbul ini
disebut dengan biaya keagenan agency cost. Jensen dan Meckling 1976 mendefinisikan biaya keagenan atau agency cost sebagai berikut:
1. Monitoring cost, yaitu biaya untuk memonitor perilaku manajemen agar tidak
melakukan tindakan penyimpangan. Biaya tersebut ditanggung oleh pihak principal.
2. Bonding cost, yaitu biaya yang ditanggung oleh pihak manajemen sebagai
agent dalam membentuk mekanisme untuk menjamin bahwa manajemen akan bertindak sesuai dengan kepentingan principal dan tidak akan mengambil
tindakan yang dapat membahayakan pihak principal. 3.
Residual loss, yaitu biaya untuk mendorong manajer bertindak sesuai dengan kemampuannya untuk kepentingan pemegang saham.
2.3 Teori Kebijakan Dividen
Ada empat bentuk kebijakan pembayaran dividen Riyanto, 1997, yaitu: 1.
Kebijakan dividen yang stabil. Kebijakan ini merupakan pola pembayaran dividen per lembar saham yang
dibayarkan setiap tahun relatif tetap selama jangka waktu tertentu meskipun pendapatan per lembar saham per tahunnya berfluktuasi. Dividen yang sudah
dinaikkan ini akan dipertahankan untuk jangka waktu yang relatif panjang.
17 2.
Kebijakan dividen dengan penetapan jumlah dividen minimal plus jumlah
ekstra tertentu.
Kebijakan ini menetapkan jumlah rupiah minimal dividen per lembar saham setiap tahunnya. Jika kondisi keuangan perusahaan baik, perusahaan akan
membagikan dividen ekstra di atas jumlah minimal tersebut. Jika kondisi memburuk, maka yang dibayarkan hanya dividen minimalnya saja.
3.
Kebijakan dividen dengan penetapan dividend payout ratio yang konstan.
Jika kebijakan ini yang dipakai oleh perusahaan, ini berarti bahwa jumlah dividen per lembar saham yang dibayarkan setiap tahunnya akan berfluktuasi
sesuai dengan perkembangan keuntungan netto yang diperoleh setiap tahunnya. 4.
Kebijakan dividen yang fleksibel.
Kebijakan ini merupakan pola pembayaran dividen yang besarnya disesuaikan dengan posisi dan kebijakan finansial perusahaan setiap tahunnya.
Menurut Weston dan Brigham dan Gapenski 1996 dalam Wicaksana 2012, kebijakan dividen yang optimal adalah kebijakan dividen yang
menciptakan keseimbangan antara dividen saat ini dan pertambahan di masa yang akan datang sehingga memaksimalkan harga saham perusahaan. Prosentase laba
yang dibayarkan sabagai dividen akan berfluktuasi dari satu periode ke periode lainnya seiring dengan jumlah peluang yang diterima persahaan. Dengan
dibayarkannya dividen maka diharapkan perusahaan tersebut akan memiliki nilai yang tinggi di mata investor. Selain itu dengan pembayaran dividen yang terus
menerus, perusahaan mampu menghadapi gejolak perekonomian dan mampu memberikan hasil kepada para pemegang saham.
18 Beberapa teori yang berkaitan dengan kebijakan dividen dan asumsi-asumsi
yang mendasari antara lain: 1.
Dividen tidak relevan Menurut Modigliani dan Miller 1961, dividend payout ratio tidak mempunyai
pengaruh pada harga saham perusahaan atau biaya modalnya. Modigliani dan Miller menyatakan bahwa dividen payout ratio adalah tidak relevan,
selanjutnya nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dari asset perusahaan. Sementara itu keputusan apakah laba yang diperoleh akan
dibagikan dalam bentuk dividen atau akan ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Untuk membuktikan teorinya, Modigliani dan Miller
mengemukakan berbagai asumsi sebagai berikut: a.
Tidak ada pajak perseorangan dan pajak penghasilan perusahaan b.
Tidak ada biaya emisi atau flotation cost dan biaya transaksi c.
Kebijakan penganggaran modal perusahaan independen terhadap dividend payout ratio
d. Investor dan manajer mempunyai informasi yang sama tentang kesempatan
investasi di masa yang akan datang e.
Distribusi pendapatan di antara dividen dan laba ditahan tidak berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang diisyaratkan oleh investor.
2. Bird in the hand theory
Teori ini dikemukakan oleh Gordon dan Lintner 1956 dalam Wicaksana 2012 yang menganggap dividen yang diterima merupakan sesuatu yang
sudah pasti di tangan sehingga memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan
19 dengan capital gain. Gordon dan Lintner juga berpendapat bahwa investor
lebih menyukai dividen karena lebih pasti pendapatannya daripada mengharapkan return yang belum pasti jika menginvestasikan kembali dividen
pada investasi tertentu. Hal tersebut karena pembayaran dividen dapat diterima saat ini, sedangkan capital gain diterima pada masa mendatang. Modigliani-
Miller memberi nama pendapat ini dengan bird in the hand fallacy. Gordon dan Litner beranggapan investor memandang bahwa satu burung di tangan
lebih berharga daripada seribu burung di udara. Namun, Modigliani-Miller berpendapat bahwa tidak semua investor berkepentingan untuk
menginvestasikan kembali dividen mereka di perusahaan yang sama dengan memiliki resiko yang sama, oleh sebab itu tingkat resiko pendapatan mereka di
masa yang akan datang bukannya ditentukan oleh DPR tetapi ditentukan oleh tingkat resiko investasi baru.
3. Tax preference theory
Capital gain dikenakan pajak dengan tarif lebih rendah daripada pajak atas dividen, maka saham yang memiliki pertumbuhan tinggi menjadi lebih
menarik. Sebaliknya jika capital gain dikenai pajak yang sama dengan pendapatan atas dividen, maka keuntungan capital gain menjadi berkurang,
namun demikian pajak atas dividen karena pajak atas capital gain baru dibayar setelah saham dijual, sementara pajak atas dividen harus dibayar setiap tahun
setelah pembayaran dividen. Periode investasi juga mempengaruhi pendapatan investor jika investor hanya membeli saham untuk jangka waktu satu tahun,
maka tidak ada bedanya antara pajak atas capital gain dan pajak atas dividen.
20 Investor akan meminta tingkat keuntungan setelah pajak yang lebih tinggi
terhadap saham yang memiliki dividen yield yang tinggi daripada saham dengan dividen yield yang rendah. Oleh karena itu, teori ini menyarankan
bahwa perusahaan sebaiknya menentukan dividen payout ratio yang rendah atau bahkan tidak membagikan dividen Litzenberger dan Ramaswamy, 1979
dalam Wicaksana, 2012.
2.4 Free Cash Flow