Landasan Teoretis KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS

2.2 Landasan Teoretis

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

2.2.1 Sinonimi

Pembicaraan mengenai sinonim tidak terlepas dari pengertian, wujud, serta faktor penyebabnya.

2.2.1.1 Pengertian Sinonim

Sinonim merupakan padanan atau persamaan kata yang berada di bawah kajian semantik leksikal. Sinonim berasal dari kata Yunani kuno onoma „nama‟ dan kata syn „dengan‟, jadi kurang lebih arti harfiahnya „nama lain untuk benda yang sama‟ Verhaar 1977:132. Hal ini dapat dibedakan menurut taraf dimana terdapat, yakni: a antar-kalimat, b antar-kata, c antar morfem. Pendapat itu juga diungkapkan oleh Chaer 2009:83 dalam bukunya yang berjudul Pengantar Semantik Bahasa Indonesia dan Pateda 2001:222-223 dalam bukunya yang berjudul Semantik Leksikal. Alwasilah 1993:164 mengatakan bahwa kata leksim yang berbeda mempunyai arti yang sama. Disimpulkan juga bahwa tidak ada sinonim mutlak yang ada hanyalah sinonim sebagian. Pendapat Alwasilah sejalan dengan Aminuddin 2011:116-117 yang menyatakan besar kemungkinan sinonim mutlak itu tidak ada. Menilik pendapat Chaer 2007:297 bahwa hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya disebut sinonim. Djajasudarma 1999:36 mengatakan bahwa sinonim adalah dua kata atau lebih memiliki makna yang sama. Kesamaan makna dapat ditentukan dengan tiga cara yaitu: 1 substitusi penyulihan, 2 pertentangan, dan 3 penentuan konotasi. Pendapat yang lebih spesifik diungkapkan oleh Soedjito 1989:1 bahwa sinonim ialah dua kata atau lebih yang maknanya sama atau hampir sama mirip. Contoh dalam tuturan dialek Banyumasan: 1 Konteks: Seorang ibu sedang menyapu di depan rumah berbicara kepada anaknya. Ibu : “Nis jukutna cethok” [nis j ʊkutna ceṭɔ?] „Nis ambilkan tempat untuk menyerok sampah‟ Pada tuturan di atas cethok [ceṭɔ?] mempunyai makna yang sama dengan ikrak. 2 Konteks: Seorang nenek bertanya kepada cucunya yang sedang memasak sayuran. Mbah Jiber : ”Dah, deneng kiye rasane letek temen?” [dah, d ԑnԑng kiyԑ rasanԑ lәtԑ? tәmәn] „Dah, ini kok rasanya asin?‟ Dari tuturan di atas, kata letek [lәtԑk] sama maknanya dengan asin. Letek [lәtԑk] mempunyai makna asin. Dari berbagai macam pendapat para ahli tentang sinonim, dapat ditarik kesimpulan bahwa sinonim merupakan persamaan kata dari baik kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata bilangan, dan lain-lain yang mempunyai makna sama atau hampir sama, dan kesinoniman ini dapat terjadi pada tingkat kata, frasa, klausa, maupun kalimat.

2.2.1.2 Wujud Sinonim

Murniah 2000:7 mengatakan bahwa ada lima bentuk atau wujud sinonim yaitu: 1 leksem bersinonim dengan leksem Sinonim dapat berupa leksem dengan leksem. Dalam dialek Banyumasan ada beberapa contoh yaitu: ayu [ayu] „cantik‟ dengan moncer [mɔncԑr] „cantik yang berlebihan‟. 2 leksem tunggal bersinonim dengan leksem majemuk Sinonim dapat berupa leksem tunggal dengan leksem majemuk. Dalam dialek Banyumasan ada beberapa contoh yaitu: cangkringan [caŋkriŋan] „keranjang kecil yang terbuat dari bambu‟ dengan rinjing cilik [rinjiŋ cilik] „keranjang kecil yang terbuat dari bambu‟. 3 leksem tunggal bersinonim dengan frasa Sinonim dapat berupa leksem tunggal dengan frasa. Dalam dialek Banyumasan ada beberapa contoh yaitu: amba [amba] „lebar‟ dengan mablak-mablak [mabla?- mabla?] „lebar sekali‟. 4 leksem majemuk bersinonim dengan leksem tunggal Sinonim dapat berupa leksem majemuk dengan leksem tunggal. Dalam dialek Banyumasan contohnya: rek jos [r ԑ? jɔs] „korek api batangan‟ dengan cuncek [cuncә?] „korek api batangan‟. 5 frasa bersinonim dengan frasa. Sinonim dapat berupa frasa dengan frasa. Dalam dialek Banyumasan contohnya: pating slarah [patiŋ slarah] dengan pating gempalang [patiŋ gәmpalaŋ] „berantakan‟

2.2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Sinonim

Kesinoniman dapat terjadi karena ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Ekoyanantyasih dan Winarti 2010:8 berpendapat bahwa kesinoniman dapat muncul karena beberapa hal. Penyebab munculnya kesinoniman antara lain adalah perbedaan lingkungan. Untuk makna yang sama digunakan bentuk kata yang berbeda di dalam lingkungan yang berbeda. Pendapat lain juga dinyatakan oleh Chaer 2007:298-299 bahwa sinonim, terjadi karena beberapa faktor diantaranya: 1 faktor waktu, 2 faktor tempat atau wilayah, 3 faktor keformalan, 4 faktor sosial, 5 faktor bidang kegiatan, dan 6 faktor nuansa makna. Selain pendapat para ahli di atas, Murniah 2000:5-6 menambahkan bahwa hal-hal yang mendorong terjadinya kesinoniman dalam bahasa Indonesia antara lain adalah dorongan kebahasaan, pengaburan masalah pokok, penggantian istilah dan kolokasi Dari paparan tentang faktor penyebab sinonim di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sinonim dapat disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya: perbedaan wilayah pemakaian, unsur estetis, bidang kegiatan dan siapa penuturnya.

2.2.2 Nomina

Menurut Kridalaksana 1990:66 nomina adalah kategori yang secara sintaksis tidak mempunyai potensi untuk 1 bergabung dengan partikel tidak, 2 mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari. Dalam menentukan sebuah kata termasuk ke dalam nomina atau bukan, Herawati dkk 1995:14-15 menjelaskan ada tiga dasar untuk menentukan nomina yaitu: a. Berdasarkan semantisnya, kata-kata termasuk dalam satu golongan apabila mempunyai ciri-ciri arti yang sama, misalnya omah ‟rumah‟. b. Berdasarkan morfologisnya, kata-kata termasuk dalam satu golongan apabila mempunyai ciri-ciri yang sama, misalnya berprefiks paN-, pi-. c. Berdasarkan sintaksisnya, menurut persamaan ciri atau perilaku dalam frasa, kata-kata termasuk dalam satu golongan apabila mempunyai ciri-ciri sintaksis yang sama. Herawati dkk 1995:15 juga menjelaskan bahwa nomina didefinisikan sebagai golongan kata yang memiliki makna leksikal, memiliki fungsi, dan memiliki makna gramatikal di dalam struktur sintaksis. Bebeda dengan Chaer 2007:166 menyatakan bahwa nomina adalah kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan. Senada dengan pendapat Chaer, Keraf 1982:63-64 menyatakan bahwa nomina adalah nama dari sebuah benda dan segala yang dibendakannya. Kata benda menurut wujudnya, dibagi atas kata benda konkret dan abstrak. Kata benda konkret adalah nama dari benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera, sedangkan kata benda abstrak adalah nama-nama benda yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nomina merupakan kata yang mengacu pada benda baik benda hidup maupun benda mati dan benda yang abstrak maupun yang konkret.

2.2.3 Adjektiva

Menurut Kridalaksana 1990:57 adjektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk 1 bergabung dengan pertikel tidak, 2 mendampingi nomina, 3 didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, 4 mempunyai ciri-ciri morfologis, seperti -er, -if, -i, 5 dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an. Sejalan dengan Kridalaksana, Chaer 2007:167 juga menyatakan bahwa adjektiva adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di belakang kata sangat atau dapat mengisi konstruksi sangat. Pendapat lain juga diungkapkan oleh Keraf 1982:65 bahwa kata sifat atau adjektiva adalah kata yang memberi keterangan atau yang menerangkan mana benda. Adjektiva selanjutnya dapat mengambil bentuk-bentuk yang istimewa bila ditempatkan dalam tingkat-tingkat perbandingan, untuk membandingkan suatu keadaan dengan keadaan yang lain. Dapat disimpulkan bahwa adjektiva merupakan kata sifat yang dimiliki oleh suatu benda.

2.2.4 Dialek

Dialek Banyumasan merupakan salah satu dialek yang ada di Jawa Tengah yang dipakai oleh empat kabupaten di eks Karesidenan Banyumas yaitu Kabupaten Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga.

2.2.4.1 Pengertian Dialek

Keraf 1982:18-19 berpendapat bahwa dialek merupakan kumpulan idiolek-idiolek yang ditandai ciri-ciri yang khas dalam tata-bunyi, kata-kata, ungkapan-ungkapan dan lain-lain. Selain itu Keraf 1996:144 dalam bukunya yang lain juga menyatakan tiap kelompok yang mempunyai ciri-ciri yang sama dalam tata bunyi, kosakata, morfologi dan sintaksis disebut dialek. Menurut Chaer dan Agustina 2010:63 variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah atau area tertentu. Meillet dalam Zulecha 1967:69 juga berpendapat bahwa istilah dialek dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasa di Yunani yang terdapat perbedaan-perbedaan bahasa yang dipergunakan oleh pendukungnya masing-masing, namun tidak sampai menyebabkan mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda. Ciri utama dialek adalah perbedaan atau keragaman dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Ada dua ciri umum yang dimiliki dialek yaitu 1 dialek merupakan seperangkat ujaran lokal yang berbeda-beda yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih sering mirip dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan 2 dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Dari beberapa pendapat ahli tentang dialek di atas dapat disimpulkan bahwa dialek merupakan variasi bahasa kedua yang digunakan oleh sekelompok orang yang relatif banyak dalam suatu tempat tertentu dan mempunyai persamaan- persamaan baik dalam tataran fonologi, morfologi maupun sintaksis.

2.2.4.2 Dialek Banyumasan

Koderi 1991:164 bahasa daerah yang digunakan di daerah Banyumas disebut bahasa Banyumasan. Dialek Banyumasan merupakan salah satu dialek bahasa Jawa disamping dialek Solo-Yogyakarta, Surabaya, Banyuwangi, Madiun- Kediri, Semarangan, Tegal, Cirebon-Indramayu, Banten.

2.2.4.2.1 Pemakaian Dialek Banyumasan

Menurut Koderi 1991:165 mengatakan bahwa dialek Banyumasan dipakai oleh masayarakat eks Karesidenan Banyumas yang meliputi 4 kabupaten diantaranya dipakai oleh Kabupaten Banyumas sendiri, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Purbalingga. Di Cilacap bagian barat yang berbatasan dengan Pasundan bahasa Jawa telah bercampur dengan bahasa Sunda bahasa Jawa Reang, yaitu di sekitar Majenang. 2.2.4.2.2 Ucapan Dialek Banyumasan Koderi 1991:167 ucapan dalam dialek Banyumasan mempunyai banyak perbedaan dengan dialek Yogya-Solo yang dijadikan bahasa Jawa baku atau standar. Hal tersebut dapat dilihat dalam contoh tuturan dialek Banyumasan di bawah ini. Konteks: Seorang laki-laki melihat wanita cantik sedang berjalan. Yayan : ”Wow, mlowes temen yah.” [ woʷ, mlowԑs tәmәn yah]. „Wah, cantik sekali ya.‟ Berbeda dengan dialek Solo-Yogja, kata mlowes [mlowԑs] tidak ada, mereka menyebut cantik dengan kata ayu. Pengucapan dalam dialek Solo-Yogja juga akan berbeda dengan dialek Banyumasan. Dapat dilihat dalam tuturan berikut. Konteks: Seorang laki-laki melihat wanita cantik sedang berjalan. Iksan : ”Wow, ayu temen ya.” [woʷ, ayu tәmәn ya] „Wah, cantik sekali ya.‟ Dari kedua contoh tuturan di atas dapat dilihat perbedaan antara dialek Banyumasan dan Solo-Yogja. Kata mlowes dan ayu walaupun berbeda tapi tetap merujuk pada makna yang sama yaitu cantik.

2.2.4.2.3 Sistem Tata Kalimat Dialek Banyumasan

Orang-orang di daerah Banyumas menyebut bahasa Solo-Yogja dengan sebutan bahasa bandhek. Mereka para penutur dialek Banyumasan dengan mudah menangkap pembicaraan penutur bahasa baku karena struktur kalimat bahasa dialek Banyumasan sama dengan bahasa Jawa baku.

2.2.4.2.4 Daftar Kata Dialek Banyumasan

Kata dalam dialek Banyumasan sangat bervariasi dimana banyak kata yang jarang dimiliki oleh dialek lain terdapat dalam dialek Banyumasan. Misalnya akan agep [ag ә p] , garep [gar ә p]; singkong boled [bol  d], budin [budin]; galak, ladak [ladak], kereng [k ә r ә ŋ]. Dari uraian di atas, dialek merupakan variasi bahasa yang penuturnya relatif banyak berada pada suatu daerah tertentu di mana terdapat kesamaan dalam pelafalan bunyi maupun kata-kata yang terdapat di dalamnya. Salah satu dialek yang ada di Jawa Tengah adalah dialek Banyumasan yang biasa disebut dengan dialek ngapak-ngapak karena pelafalan sesuai tulisan. Dialek ini memiliki kata- kata tertentu yang jarang sekali ditemui dalam dialek lain pada umumnya.

2.3 Kerangka Berpikir