Konteks : Seorang nenek berkata kepada cucunya ketika sedang di ruang

Banyumasan sedang bercakap-cakap atau berbincang-bincang. Orang-orang selain penutur dialek Banyumasan mungkin akan heran dan terkejut jika melihat atau mendengar percakapan para penutur dialek Banyumasan yang terlihat seperti orang yang sedang bertengkar. Berbeda dengan dialek lain seperti Solo-Yogja yang para penuturnya ketika berbicara terdengar intonasi yang pelan dan lembut. Kebanyakan orang-orang menganggap para penutur dialek Banyumasan kalau bicara ceplas-ceplos. Ciri lainnya adalah kosakata. Kosakata dalam dialek ini mempunyai banyak variasi, berbeda dan jarang ditemui pada dialek lain. Kosa kata dalam dialek Banyumasan diduga banyak yang bersinonim. Hal ini dapat ditemui dalam penelitian sementara ditemui tuturan sebagai berikut.

1. Konteks : Seorang nenek berkata kepada cucunya ketika sedang di ruang

tamu. Sunarti : “Manut kalih Mbah kakung.” [manut kal ɪh mbah kakʊŋ] „Menurut sama kakek.‟ Dalam tuturan tersebut diduga mengandung sinonim yaitu pada kata Mbah kakung yang dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang sama dengan kakek. Mbah kakung mempunyai makna orang tua laki-laki dari bapak atau ibu. Dalam dialek Banyumasan dalam menyebut kakek juga menggunakan istilah kaki dan eyang. Kata Mbah kakung termasuk nomina yang menunjukkan nama kekerabatan. Mbah kakung bersinonim dengan kaki merupakan merupakan wujud sinonim frasa dengan leksem tunggal. Kesinoniman tersebut disebabkan karena faktor waktu. Penggunaan istilah kaki banyak digunakan pada jaman dulu dan kebanyakan orang-orang desa. Sedangkan istilah Mbah Kakung banyak digunakan pada jaman sekarang, begitu pula dengan eyang kakung. Selain itu tuturan juga terjadi pada seorang ibu yang sedang membicarakan sifat anaknya. 2. Konteks: Seorang ibu sedang membicarakan sifat anaknya. Ibu : “Gemagus temen sih lah.” [gәmagus tәmәn sih lah] „Banyak tingkah ya.‟ Dalam tuturan di atas diduga mengandung sinonim yaitu pada kata Gemagus [gәmagus] mempunyai makna sifat yang blagu, banyak tingkah. Sinonim dari gemagus [gәmagus] di desa Sirau adalah kemaki [kәmaki], kemlithak [kәmliṭa?], gembeleng [gәmbԑlԑŋ]. Gemagus [gәmagus] dengan kemaki [kәmaki] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem, gemagus [gәmagus] dengan kemlithak [kәmliṭa?] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem, dan gemagus [gәmagus] dengan gembeleng [gәmbԑlԑŋ] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem. Semua kata sinonim dari Gemagus [gәmagus] mempunyai tingkatan nilai rasa yang berbeda. Contoh lain terlihat juga pada tuturan berikut: 3. Konteks: Sedang bercerita pengalaman ketika pergi ke Jogja naik bus. P1 :”Bali aku terus tuku setriwel, ngontal antimo men ora mumet.” [bali aku tәrus tuku sәtriwәl, ŋɔntal antimo mԑn ɔra mumәt] „Pulang, saya terus membeli kaos kaki, minum antimo supaya tidak pusing.‟ Dalam tuturan di atas diduga mengandung sinonim pada kata setriwel [sәtriwәl]. Kata setriwel [sәtriwәl] yang diucapakan oleh penutur mengandung makna kaos kaki. Dalam dialek Banyumasan yang mengandung makna kaos kaki juga terdapat pada kata kasut [kasut]. Kata kasut [kasut], setriwel [sәtriwәl] merujuk pada nomina atau kata benda. Setriwel [sәtriwәl] bersinonim dengan kasut [kasut] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem. Kesinoniman tersebut terjadi karena faktor waktu dan penutur karena yang biasa menyebut kasut [kasut] dan setriwel [sәtriwәl] adalah orang-orang jaman dulu dan yang tergolong sepuh. Sekarang kata kasut [kasut] dan setriwel [sәtriwәl] sudah jarang digunakan. Berdasarkan hal tersebut peneliti melihat adanya dugaan sinonim dalam kata benda ataupun kata sifat dalam tuturan penutur dialek Banyumasan. Adanya fenomena tersebut secara kebahasaan menarik untuk diteliti. Berdasarkan uraian tersebut, sinonim nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan yang dijadikan sebagai topik penelitian.

1.2 Rumusan Masalah