SINONIM NOMINA DAN ADJEKTIVA DIALEK BANYUMASAN

(1)

i

SINONIM NOMINA DAN ADJEKTIVA

DIALEK BANYUMASAN

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Nama : Erika Rahmatika

NIM : 2601409066

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Jurusan : Bahasa dan Sastra Jawa

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “Sinonim Nomina dan Adjektiva Dialek Banyumasan” ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi. Hari : Kamis

Tanggal : 1 Agustus 2013

Semarang, Juli 2013 Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Widodo, M.Pd. Prembayun Miji L, S.S., M.Hum. NIP 196411091994021001 NIP 197909252008122001


(3)

iii

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi yang berjudul “Sinonim Nomina dan Adjektiva Dalam Dialek Banyumasan” ini telah dipertahankan di hadapan panitia ujian skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada:

Hari : Tanggal :

Panitia Ujian Skripsi

Ketua, Sekretaris,

Dr.Abdurrachman Faridi, M.Pd Yusro Edi Nugroho ,S.S.,M.Hum NIP 19780502208012025 NIP 196512251994021001

Penguji I,

Ermi Dyah Kurnia, S.S., M.Hum. NIP 197805022008012025

Penguji II, Penguji III,

Prembayun Miji L, S.S., M.Hum. Drs. Widodo, M.Pd.


(4)

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini dengan judul “Sinonim Nomina dan Adjektiva Dalam Dialek Banyumasan” benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain sebagian maupun seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Juli 2013

Erika Rahmatika NIM 2601409066


(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto :

1) Sebaik-baik rencana kita jauh lebih indah rencana Alloh. (Erika Rahmatika)

2) Berdirilah di atas kakimu sendiri. (Alm. Bapak Sumaedi)

Skripsi ini kupersembahkan kepada: 1. Almamaterku Jurusan Bahasa dan

Sastra Jawa Unnes.

2. Alm. Bapak Sumaedi, Ibu Sri Suwarni, dan seluruh keluarga besarku yang selalu memberikan doa semangat dan dukungannya.

3. Ustad Teguh Santoso Fathurrahman yang selalu memberikan dorongan dan semangatnya.

4. Teman-teman seperjuangan Bahasa Jawa Unnes 2009.


(6)

vi PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas karunia, hidayah dan lindungan-Nya sehingga penulis masih diberi kekuatan dan petunjuk untuk menyelesaikan skripsi dengan judul Sinonim Nomina Dan Adjektiva Bahasa Jawa Dialek Banyumasan.

Skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan, motivasi, dan fasilitas yang diberikan oleh berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Widodo, M.Pd selaku dosen pembimbing I, dan Prembayun Miji Lestari S.S., M.Hum., selaku dosen pembimbing II dengan penuh kesabaran, perhatian dan ketulusan dalam memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.

3. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk menyusun skripsi. 4. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang telah

memberikan kebijakan kepada penulis selama kuliah.

5. Rektor Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi.

6. Keluargaku yang telah memberikan segenap doa, dukungan moril maupun materiil selama kuliah sampai terselesaikannya skripsi ini.


(7)

vii

7. Teman-teman angkatan 2009 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa yang selalu memberikan semangat dan kebersamaan kalian akan kuingat sampai kapanpun.

8. Sahabat-sahabatku khususnya Mba Lela, Rila, Aufrina, Tina dan Vita dan sahabatku yang lain yang tidak dapat disebutkan satupersatu terimakasih atas motivasinya.

9. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.

Semoga semua bantuan dan doa dari semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini mendapat karunia dan kemuliaan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Semarang, Juli 2013


(8)

viii ABSTRAK

Rahmatika, Erika. 2013. Sinonim Nomina dan Adjektiva dalam Dialek Banyumasan. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Pembimbing I: Drs. Widodo, M.Pd., Pembimbing II: Prembayun Miji Lestari, S.S., M.Hum.

Kata kunci: Sinonim, Nomina, Adjektiva, Dialek Banyumasan.

Sinonim merupakan persamaan kata, satu kata mempunyai banyak nama. Dialek Banyumasan merupakan dialek yang unik dan berbeda dari dialek lain pada umumnya. Keunikan tersebut terletak pada kosakatanya di mana satu kata mempunyai banyak nama. Kata tersebut meliputi kata benda dan kata sifat. Kekayaan kosakata tersebut membuat dialek Banyumasan menarik untuk diteliti.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah apa saja wujud dan faktor penyebab sinonim yang terdapat dalam dialek Banyumasan? Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah mendeskripsikan wujud dan faktor penyebab sinonim nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan teoretis dan metodologis. Secara teoretis, menggunakan pendekatan semantik dan secara metodologis menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa tuturan masyarakat desa Sirau yang diduga mengandung sinonim baik nomina maupun adjektiva. Pengumpulan datanya menggunakan metode simak, rekam dan catat sedangkan teknik dasarnya menggunakan teknik sadap, simak libat cakap dan simak bebas libat cakap. Data dianalisis menggunakan metode padan.

Dari hasil analisis adalah pengklasifikasian wujud dan faktor penyebab sinonim nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan. Wujud sinonim meliputi leksem dengan leksem, leksem tunggal dengan leksem majemuk, leksem tunggal dengan frasa, leksem majemuk dengan leksem tunggal dan frasa dengan frasa. Faktor penyebab yang ditemukan adalah adalah waktu, wilayah, penutur dan sosial, nuansa makna dan bidang pemakaian atau kegiatan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, saran yang ingin disampaikan diantaranya: penggunaan kata bersinonim terutama kata sifat yang merujuk pada makna negatif sebaiknya lebih diperhatikan dalam pemakaiannya. Penelitian ini bisa ditindaklanjuti dengan penelitian selanjutnya mengenai homonim dan homograf dalam dialek Banyumasan.


(9)

ix SARI

Rahmatika, Erika. 2013. Sinonim Nomina dan Adjektiva dalam Dialek Banyumasan. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Pembimbing I: Drs. Widodo, M.Pd, Pembimbing II: Prembayun Miji Lestari, S.S., M.Hum.

Tembung wigati: Sinonim, Nomina, Adjektiva, Dialek Banyumasan.

Sinonim yaiku siji tembung kang nduweni aran kang akeh. Dialek Banyumasan yaiku salah sijine dialek kang unik kang nduweni lan sejen karo dialek liyane. Unike dialek iki manggon ing tembung-tembunge. Tembung kuwi kalebu tembung nomina lan tembung adjektiva. Akehe tembung-tembung iku nggawe dialek Banyumasan duwe daya kanggo diteliti.

Babagan kang arep dirembug ing sajroning panaliten yaiku wujud lan faktor penyebab apa wae sinonim nomina lan adjektiva dialek Banyumasan.

Pendekatan panaliten nggunakake pendekatan loro yaiku teoretis lan

metodologis. Pendekatan teoretis digunakake pendekatan semantik lan

dialektologi. Ewadene pendekatan kanthi metodologis digunakake pendekatan deskriptif kualitatif. Data ing panaliten iki arupa gunemane masyarakat desa Sirau kang nganggo dialek Banyumasan lan kang diduga ngandhut sinonim. Ngumpulake data ing panaliten iki nggunakake metode simak, rekam, lan catat. Ewadene teknike nggunakake teknik sadap, simak libat cakap, simak bebas libat cakap. Data dianalisis kanthi nggunakake metode padan.

Asile panaliten yaiku wujud sinonim nomina lan adjektiva leksem lan leksem, leksem tunggal lan leksem majemuk, leksem tunggal lan frasa, leksem majemuk lan leksem tunggal, frasa lan frasa. Faktor kang nyebabake sinonim yaiku wektu, panggonan utawa wilayah, penutur lan sosial, nuansa makna, lan bidang kegiatan utawa pemakaian.

Gegayutan karo asile panaliten iki kaajab luwih digatekake nalika ngganggo tembung-tembung sifat kang nduweni arti kurang becik lan panaliten iki bisa dibacutake karo panaliten selanjute yaiku babagan homonim lan homograf dialek Banyumasan.


(10)

x

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERSETUJUANPEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN ...iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

ABSTRAK ... viii

SARI ...ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS ... 6

2.1 Kajian Pustaka ... 6

2.2 Landasan Teori ... 9

2.2.1 Sinonim ... 9

2.2.1.1 Pengertian Sinonim ... 9

2.2.1.2 Wujud Sinonim ... 11

2.2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Sinonim ... 11


(11)

xi

2.2.3 Adjektiva ... 14

2.2.4 Dialek ... 15

2.2.4.1 Pengertian Dialek ... 15

2.2.4.2 Dialek Banyumasan ... 16

2.2.4.2.1 Pemakaian Dialek Banyumasan ... 16

2.2.4.2.2 Ucapan Dialek Banyumasan ... 17

2.2.4.2.3 Sistem Tata Kalimat Dialek Banyumasan ... 18

2.2.4.2.4 Daftar Kata Dialek Banyumasan ... 18

2.3 Kerangka Berpikir ... 18

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1 Pendekatan Penelitian ... 21

3.2 Data dan Sumber Data ... 22

3.3 Lokasi Penelitian ... 22

3.4 Metode Pemerolehan Data ... 22

3.5 Metode Analisis Data ... 24

3.6 Metode Pemaparan Hasil Analisis Data ... 25

BAB IV ANALISIS WUJUD DAN FAKTOR PENYEBAB SINONIM NOMINA DAN ADJEKTIVA BAHASA JAWA DIALEK BANYUMASAN ... 26

4.1 Wujud Sinonim Nomina dan Adjektiva Dialek Banyumasan ... 26

4.1.1 Leksem dengan leksem ... 26

4.1.2 Leksem tunggal dengan leksem majemuk ... 31

4.1.3 leksem tunggal dengan frasa ... 33


(12)

xii

4.1.5 Frasa dengan frasa ... 37

4.2 FAKTOR PENYEBAB SINONIM ... 39

4.2.1 Faktor Waktu ... 40

4.2.2 Faktor Wilayah ... 41

4.2.3 Faktor Penutur dan Sosial ... 43

4.2.4 Faktor Nuansa Makna ... 44

4.2.5 Faktor Bidang Kegiatan/Pemakaian ... 46

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Simpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(13)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Dialek Banyumasan atau yang sering disebut dengan dialek ngapak-ngapak merupakan salah satu dialek yang ada di Jawa Tengah. Penuturnya adalah masyarakat eks Karesidenan Banyumas yang meliputi empat kabupaten diantaranya Kabupaten Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga. Selain empat kabupaten itu, dialek ini juga dipakai oleh sebagian kecil daerah di Kabupaten Kebumen seperti Gombong dan Karanganyar.

Berbeda dengan dialek lain pada umumnya, seperti dialek Solo-Yogja, Tegal, Pekalongan maupun dialek lainnya, dialek Banyumasan mempunyai ciri yang sangat menonjol dalam pengucapan, intonasi, dan kosakata. Pengucapan atau pelafalan dalam dialek Banyumasan hampir mirip dengan dialek Tegal. Bedanya, terdapat pada intonasi dalam pengucapannya. Dialek Tegal intonasi pengucapannya lebih panjang di setiap akhir kalimat dan dialek Banyumasan terlihat lebih tegas. Misalnya, pada kalimat “tes kang endi?” [tәs kaŋ әndi] „habis dari mana?‟ huruf terakhir yaitu i jika dalam dialek Banyumasan dalam pelafalan diberi penekanan, sedangkan dalam dialek Tegal pelafalan huruf i diperpanjang.

Ciri yang kedua adalah intonasi. Intonasi merupakan tinggi rendahnya nada dalam suatu pengucapan atau pelafalan. Penutur dialek Banyumasan dalam intonasi bicara mereka terlihat lepas, tegas, dan mantap. Mereka juga terdengar cepat dalam berbicara. Hal ini dapat dilihat ketika para penutur dialek


(14)

Banyumasan sedang bercakap-cakap atau berbincang-bincang. Orang-orang selain penutur dialek Banyumasan mungkin akan heran dan terkejut jika melihat atau mendengar percakapan para penutur dialek Banyumasan yang terlihat seperti orang yang sedang bertengkar. Berbeda dengan dialek lain seperti Solo-Yogja yang para penuturnya ketika berbicara terdengar intonasi yang pelan dan lembut. Kebanyakan orang-orang menganggap para penutur dialek Banyumasan kalau bicara ceplas-ceplos.

Ciri lainnya adalah kosakata. Kosakata dalam dialek ini mempunyai banyak variasi, berbeda dan jarang ditemui pada dialek lain. Kosa kata dalam dialek Banyumasan diduga banyak yang bersinonim. Hal ini dapat ditemui dalam penelitian sementara ditemui tuturan sebagai berikut.

1. Konteks : Seorang nenek berkata kepada cucunya ketika sedang di ruang tamu.

Sunarti : “Manut kalih Mbah kakung.” [manut kalɪh mbah kakʊŋ] „Menurut sama kakek.‟

Dalam tuturan tersebut diduga mengandung sinonim yaitu pada kata Mbah kakung yang dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang sama dengan kakek. Mbah kakung mempunyai makna orang tua laki-laki dari bapak atau ibu. Dalam dialek Banyumasan dalam menyebut kakek juga menggunakan istilah kaki dan

eyang. Kata Mbah kakung termasuk nomina yang menunjukkan nama

kekerabatan. Mbah kakung bersinonim dengan kaki merupakan merupakan wujud sinonim frasa dengan leksem tunggal. Kesinoniman tersebut disebabkan karena faktor waktu. Penggunaan istilah kaki banyak digunakan pada jaman dulu dan


(15)

kebanyakan orang-orang desa. Sedangkan istilah Mbah Kakung banyak digunakan pada jaman sekarang, begitu pula dengan eyang kakung. Selain itu tuturan juga terjadi pada seorang ibu yang sedang membicarakan sifat anaknya.

2. Konteks: Seorang ibu sedang membicarakan sifat anaknya. Ibu : “Gemagustemen sih lah.”

[gәmagus tәmәn sih lah] „Banyak tingkah ya.‟

Dalam tuturan di atas diduga mengandung sinonim yaitu pada kata

Gemagus [gәmagus] mempunyai makna sifat yang blagu, banyak tingkah.

Sinonim dari gemagus [gәmagus] di desa Sirau adalah kemaki [kәmaki], kemlithak [kәmliṭa?], gembeleng [gәmbԑlԑŋ]. Gemagus [gәmagus] dengan kemaki [kәmaki] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem, gemagus [gәmagus] dengan kemlithak [kәmliṭa?] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem, dan gemagus [gәmagus] dengan gembeleng [gәmbԑlԑŋ] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem. Semua kata sinonim dari Gemagus [gәmagus] mempunyai tingkatan nilai rasa yang berbeda. Contoh lain terlihat juga pada tuturan berikut:

3. Konteks: Sedang bercerita pengalaman ketika pergi ke Jogja naik bus. P1 :”Bali aku terus tuku setriwel, ngontal antimo men ora mumet.” [bali aku tәrus tuku sәtriwәl, ŋɔntal antimo mԑn ɔra mumәt]

„Pulang, saya terus membeli kaos kaki, minum antimo supaya tidak pusing.‟


(16)

Dalam tuturan di atas diduga mengandung sinonim pada kata setriwel [sәtriwәl]. Kata setriwel [sәtriwәl] yang diucapakan oleh penutur mengandung makna kaos kaki. Dalam dialek Banyumasan yang mengandung makna kaos kaki juga terdapat pada kata kasut [kasut]. Kata kasut [kasut], setriwel [sәtriwәl] merujuk pada nomina atau kata benda. Setriwel [sәtriwәl] bersinonim dengan kasut [kasut] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem. Kesinoniman tersebut terjadi karena faktor waktu dan penutur karena yang biasa menyebut kasut [kasut] dan setriwel [sәtriwәl] adalah orang-orang jaman dulu dan yang tergolong sepuh. Sekarang kata kasut [kasut] dan setriwel [sәtriwәl] sudah jarang digunakan.

Berdasarkan hal tersebut peneliti melihat adanya dugaan sinonim dalam kata benda ataupun kata sifat dalam tuturan penutur dialek Banyumasan. Adanya fenomena tersebut secara kebahasaan menarik untuk diteliti. Berdasarkan uraian tersebut, sinonim nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan yang dijadikan sebagai topik penelitian.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan dalam latar belakang, maka masalah dalam penelitian ini :

1. bagaimanakah wujud sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dalam dialek Banyumasan?

2. apa sajakah faktor-faktor penyebab sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dalam dialek Banyumasan?


(17)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. mendeskripsikan wujud sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dalam dialek Banyumasan.

2. mendeskripsikan faktor-faktor penyebab sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dalam dialek Banyumasan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para peneliti lain yang ingin meneliti lebih mendalam tentang dialek Banyumasan terutama pada kajian semantik. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembang ilmu pengetahuan kebahasaan tentang sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan kajian untuk peneliti selanjutnya yang akan meneliti tentang kajian semantik yang lain. Penelitian ini juga bermanfaat untuk masyarakat Banyumas dan masyarakat luas agar mengetahui adanya sinonim nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan dengan kosa kata baru yang ditemukan di desa Sirau.


(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS

2.2 Kajian Pustaka

Sinonim nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan yang sangat bervariasi sehingga menarik untuk diteliti. Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) dan Utami (2010).

Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) melakukan penelitian tentang kesinoniman nomina non insani dalam bahasa Indonesia. Dalam penelitiannya yang telah dibukukan sumber datanya menggunakan leksikon nomina non insani yang terdapat dalam KBBI (2001). Hasil penelitian berupa nomina non insani perlengkapan busana ikat pinggang, taksonomi alat penangkap ikan, taksonomi penunjuk waktu, taksonomi alat angkut atau usung, taksonomi alat transportasi darat yang ditarik hewan, taksonomi alat rumah tangga yang terbuat dari tanah liat, taksonomi alat rumah tangga yang terbuat dari anyaman, taksonomi busana laki-laki, bangunan atau tempat jual beli.

Persamaan penelitian ini dan penelitian Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) adalah sama-sama mengkaji bidang semantik yaitu pada kajian sinonim nomina. Perbedaan penelitian ini dengan Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) terletak pada sumber datanya. Jika Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) sumber datanya berupa leksikon nomina non insani yang terdapat dalam KBBI (2001) sedangkan penelitian ini datanya berupa tuturan masyarakat.


(19)

Kelebihan penelitian Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) terletak pada model analisisnya yang menggunakan analisis komponen makna, sedangkan kekurangannya terletak pada kajiannya karena tidak semua kata yang termasuk nomina dianalisis.

Utami (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Sinonim Nomina

dalam Bahasa Indonesia”. Penelitian Utami memfokuskan kajian sinonim nomina dalam Bahasa Indonesia. Dengan tujuan mengidentifikasi ciri pembeda makna ruang lingkup pemakaian kata-kata yang termasuk sinonim nomina. Penelitian Utami data primer yaitu kamus dan data sekunder yaitu informan serta menggunakan metode padan, teknik hubung dan analisis komponen makna. Hasil penelitian ini bahwa nomina dalam bahasa Indonesia bersinonim dekat dan terdapat ciri semantik general. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa ciri pembeda dan ada yang termasuk ke dalam anggota hiponim.

Persamaan penelitian ini dan penelitian Utami terletak pada objek kajiannya yaitu sinonim nomina. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Utami terletak pada datanya. Data Utami berupa nomina dalam bahasa Indonesia sedangkan data dalam penelitian ini berupa nomina dan adjektiva dalam bahasa Jawa dialek Banyumasan. Perbedaan lainnya adalah jika penelitian Utami hanya mengkaji nomina, penelitian ini mengkaji nomina dan adjektiva. Kelebihan dalam penelitian Utami terletak pada metode analisis yang dipakai. Penelitian ini mengadopsi metode yang dipakai yaitu sistem padan. Kekurangan dalam penelitian Utami terletak pada penyajian data yang belum dilengkapi dengan penulisan fonetiknya.


(20)

2.2 Landasan Teoretis

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 2.2.1 Sinonimi

Pembicaraan mengenai sinonim tidak terlepas dari pengertian, wujud, serta faktor penyebabnya.

2.2.1.1 Pengertian Sinonim

Sinonim merupakan padanan atau persamaan kata yang berada di bawah kajian semantik leksikal. Sinonim berasal dari kata Yunani kuno onoma „nama‟ dan kata syn „dengan‟, jadi kurang lebih arti harfiahnya „nama lain untuk benda yang sama‟ (Verhaar 1977:132). Hal ini dapat dibedakan menurut taraf dimana terdapat, yakni: a) antar-kalimat, b) antar-kata, c) antar morfem. Pendapat itu juga diungkapkan oleh Chaer (2009:83) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Semantik Bahasa Indonesia dan Pateda (2001:222-223) dalam bukunya yang berjudul Semantik Leksikal.

Alwasilah (1993:164) mengatakan bahwa kata (leksim) yang berbeda mempunyai arti yang sama. Disimpulkan juga bahwa tidak ada sinonim mutlak yang ada hanyalah sinonim sebagian. Pendapat Alwasilah sejalan dengan Aminuddin (2011:116-117) yang menyatakan besar kemungkinan sinonim mutlak itu tidak ada.

Menilik pendapat Chaer (2007:297) bahwa hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya disebut sinonim. Djajasudarma (1999:36) mengatakan bahwa sinonim adalah dua kata atau lebih memiliki makna yang sama. Kesamaan makna


(21)

dapat ditentukan dengan tiga cara yaitu: (1) substitusi (penyulihan), (2) pertentangan, dan (3) penentuan konotasi. Pendapat yang lebih spesifik diungkapkan oleh Soedjito (1989:1) bahwa sinonim ialah dua kata atau lebih yang maknanya sama atau hampir sama (mirip).

Contoh dalam tuturan dialek Banyumasan:

(1) Konteks: Seorang ibu sedang menyapu di depan rumah berbicara kepada anaknya.

Ibu : “Nis jukutna cethok!” [nis jʊkutna ceṭɔ?]

„Nis ambilkan tempat untuk menyerok sampah!‟

Pada tuturan di atas cethok [ceṭɔ?] mempunyai makna yang sama dengan ikrak.

(2) Konteks: Seorang nenek bertanya kepada cucunya yang sedang memasak sayuran.

Mbah Jiber : ”Dah, deneng kiye rasane letek temen?” [dah, dԑnԑng kiyԑ rasanԑlәtԑ? tәmәn] „Dah, ini kok rasanya asin?‟

Dari tuturan di atas, kata letek [lәtԑk] sama maknanya dengan asin. Letek [lәtԑk] mempunyai makna asin.

Dari berbagai macam pendapat para ahli tentang sinonim, dapat ditarik kesimpulan bahwa sinonim merupakan persamaan kata dari baik kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata bilangan, dan lain-lain yang mempunyai makna sama atau hampir sama, dan kesinoniman ini dapat terjadi pada tingkat kata, frasa, klausa, maupun kalimat.


(22)

2.2.1.2Wujud Sinonim

Murniah (2000:7) mengatakan bahwa ada lima bentuk atau wujud sinonim yaitu:

(1) leksem bersinonim dengan leksem

Sinonim dapat berupa leksem dengan leksem. Dalam dialek Banyumasan ada beberapa contoh yaitu: ayu [ayu] „cantik‟ dengan moncer [mɔncԑr] „cantik yang berlebihan‟.

(2) leksem tunggal bersinonim dengan leksem majemuk

Sinonim dapat berupa leksem tunggal dengan leksem majemuk. Dalam dialek Banyumasan ada beberapa contoh yaitu: cangkringan [caŋkriŋan] „keranjang kecil yang terbuat dari bambu‟ dengan rinjing cilik [rinjiŋ cilik] „keranjang kecil yang terbuat dari bambu‟.

(3) leksem tunggal bersinonim dengan frasa

Sinonim dapat berupa leksem tunggal dengan frasa. Dalam dialek Banyumasan ada beberapa contoh yaitu: amba [amba] „lebar‟ dengan mablak-mablak [mabla?-mabla?] „lebar sekali‟.

(4) leksem majemuk bersinonim dengan leksem tunggal

Sinonim dapat berupa leksem majemuk dengan leksem tunggal. Dalam dialek Banyumasan contohnya: rek jos [rԑ? jɔs] „korek api batangan‟ dengan cuncek [cuncә?] „korek api batangan‟.


(23)

(5) frasa bersinonim dengan frasa.

Sinonim dapat berupa frasa dengan frasa. Dalam dialek Banyumasan contohnya: pating slarah [patiŋ slarah] dengan pating gempalang [patiŋ gәmpalaŋ] „berantakan‟

2.2.1.3Faktor-Faktor Penyebab Sinonim

Kesinoniman dapat terjadi karena ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Ekoyanantyasih dan Winarti (2010:8) berpendapat bahwa kesinoniman dapat muncul karena beberapa hal. Penyebab munculnya kesinoniman antara lain adalah perbedaan lingkungan. Untuk makna yang sama digunakan bentuk kata yang berbeda di dalam lingkungan yang berbeda.

Pendapat lain juga dinyatakan oleh Chaer (2007:298-299) bahwa sinonim, terjadi karena beberapa faktor diantaranya: (1) faktor waktu, (2) faktor tempat atau wilayah, (3) faktor keformalan, (4) faktor sosial, (5) faktor bidang kegiatan, dan (6) faktor nuansa makna.

Selain pendapat para ahli di atas, Murniah (2000:5-6) menambahkan bahwa hal-hal yang mendorong terjadinya kesinoniman dalam bahasa Indonesia antara lain adalah dorongan kebahasaan, pengaburan masalah pokok, penggantian istilah dan kolokasi

Dari paparan tentang faktor penyebab sinonim di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sinonim dapat disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya: perbedaan wilayah pemakaian, unsur estetis, bidang kegiatan dan siapa penuturnya.


(24)

2.2.2 Nomina

Menurut Kridalaksana (1990:66) nomina adalah kategori yang secara sintaksis tidak mempunyai potensi untuk (1) bergabung dengan partikel tidak, (2) mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari. Dalam menentukan sebuah kata termasuk ke dalam nomina atau bukan, Herawati dkk (1995:14-15) menjelaskan ada tiga dasar untuk menentukan nomina yaitu:

a. Berdasarkan semantisnya, kata-kata termasuk dalam satu golongan apabila mempunyai ciri-ciri arti yang sama, misalnya omah ‟rumah‟.

b. Berdasarkan morfologisnya, kata-kata termasuk dalam satu golongan apabila mempunyai ciri-ciri yang sama, misalnya berprefiks pa(N)-, pi-. c. Berdasarkan sintaksisnya, menurut persamaan ciri atau perilaku dalam frasa,

kata-kata termasuk dalam satu golongan apabila mempunyai ciri-ciri sintaksis yang sama.

Herawati dkk (1995:15) juga menjelaskan bahwa nomina didefinisikan sebagai golongan kata yang memiliki makna leksikal, memiliki fungsi, dan memiliki makna gramatikal di dalam struktur sintaksis.

Bebeda dengan Chaer (2007:166) menyatakan bahwa nomina adalah kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan. Senada dengan pendapat Chaer, Keraf (1982:63-64) menyatakan bahwa nomina adalah nama dari sebuah benda dan segala yang dibendakannya. Kata benda menurut wujudnya, dibagi atas kata benda konkret dan abstrak. Kata benda konkret adalah nama dari benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera, sedangkan kata benda abstrak adalah nama-nama benda yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera.


(25)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nomina merupakan kata yang mengacu pada benda baik benda hidup maupun benda mati dan benda yang abstrak maupun yang konkret.

2.2.3 Adjektiva

Menurut Kridalaksana (1990:57) adjektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk (1) bergabung dengan pertikel tidak, (2) mendampingi nomina, (3) didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, (4) mempunyai ciri-ciri morfologis, seperti -er, -if, -i, (5) dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an. Sejalan dengan Kridalaksana, Chaer (2007:167) juga menyatakan bahwa adjektiva adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di belakang kata sangat atau dapat mengisi konstruksi sangat.

Pendapat lain juga diungkapkan oleh Keraf (1982:65) bahwa kata sifat atau adjektiva adalah kata yang memberi keterangan atau yang menerangkan mana benda. Adjektiva selanjutnya dapat mengambil bentuk-bentuk yang istimewa bila ditempatkan dalam tingkat-tingkat perbandingan, untuk membandingkan suatu keadaan dengan keadaan yang lain.

Dapat disimpulkan bahwa adjektiva merupakan kata sifat yang dimiliki oleh suatu benda.

2.2.4 Dialek

Dialek Banyumasan merupakan salah satu dialek yang ada di Jawa Tengah yang dipakai oleh empat kabupaten di eks Karesidenan Banyumas yaitu Kabupaten Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga.


(26)

2.2.4.1 Pengertian Dialek

Keraf (1982:18-19) berpendapat bahwa dialek merupakan kumpulan idiolek-idiolek yang ditandai ciri-ciri yang khas dalam tata-bunyi, kata-kata, ungkapan-ungkapan dan lain-lain. Selain itu Keraf (1996:144) dalam bukunya yang lain juga menyatakan tiap kelompok yang mempunyai ciri-ciri yang sama dalam tata bunyi, kosakata, morfologi dan sintaksis disebut dialek. Menurut Chaer dan Agustina (2010:63) variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah atau area tertentu.

Meillet dalam Zulecha (1967:69) juga berpendapat bahwa istilah dialek dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasa di Yunani yang terdapat perbedaan-perbedaan bahasa yang dipergunakan oleh pendukungnya masing-masing, namun tidak sampai menyebabkan mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda. Ciri utama dialek adalah perbedaan atau keragaman dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Ada dua ciri umum yang dimiliki dialek yaitu (1) dialek merupakan seperangkat ujaran lokal yang berbeda-beda yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih sering mirip dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa.

Dari beberapa pendapat ahli tentang dialek di atas dapat disimpulkan bahwa dialek merupakan variasi bahasa kedua yang digunakan oleh sekelompok orang yang relatif banyak dalam suatu tempat tertentu dan mempunyai persamaan-persamaan baik dalam tataran fonologi, morfologi maupun sintaksis.


(27)

2.2.4.2Dialek Banyumasan

Koderi (1991:164) bahasa daerah yang digunakan di daerah Banyumas disebut bahasa Banyumasan. Dialek Banyumasan merupakan salah satu dialek bahasa Jawa disamping dialek Solo-Yogyakarta, Surabaya, Banyuwangi, Madiun-Kediri, Semarangan, Tegal, Cirebon-Indramayu, Banten.

2.2.4.2.1 Pemakaian Dialek Banyumasan

Menurut Koderi (1991:165) mengatakan bahwa dialek Banyumasan dipakai oleh masayarakat eks Karesidenan Banyumas yang meliputi 4 kabupaten diantaranya dipakai oleh Kabupaten Banyumas sendiri, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Purbalingga. Di Cilacap bagian barat yang berbatasan dengan Pasundan bahasa Jawa telah bercampur dengan bahasa Sunda (bahasa Jawa Reang), yaitu di sekitar Majenang.

2.2.4.2.2 Ucapan Dialek Banyumasan

Koderi (1991:167) ucapan dalam dialek Banyumasan mempunyai banyak perbedaan dengan dialek Yogya-Solo yang dijadikan bahasa Jawa baku atau standar. Hal tersebut dapat dilihat dalam contoh tuturan dialek Banyumasan di bawah ini.

Konteks: Seorang laki-laki melihat wanita cantik sedang berjalan. Yayan : ”Wow, mlowes temen yah.”

[woʷ, mlowԑs tәmәn yah]. „Wah, cantik sekali ya.‟

Berbeda dengan dialek Solo-Yogja, kata mlowes [mlowԑs] tidak ada, mereka menyebut cantik dengan kata ayu. Pengucapan dalam dialek Solo-Yogja


(28)

juga akan berbeda dengan dialek Banyumasan. Dapat dilihat dalam tuturan berikut.

Konteks: Seorang laki-laki melihat wanita cantik sedang berjalan. Iksan : ”Wow, ayu temen ya.”

[woʷ, ayu tәmәn ya] „Wah, cantik sekali ya.‟

Dari kedua contoh tuturan di atas dapat dilihat perbedaan antara dialek Banyumasan dan Solo-Yogja. Kata mlowes dan ayu walaupun berbeda tapi tetap merujuk pada makna yang sama yaitu cantik.

2.2.4.2.3 Sistem Tata Kalimat Dialek Banyumasan

Orang-orang di daerah Banyumas menyebut bahasa Solo-Yogja dengan sebutan bahasa bandhek. Mereka para penutur dialek Banyumasan dengan mudah menangkap pembicaraan penutur bahasa baku karena struktur kalimat bahasa dialek Banyumasan sama dengan bahasa Jawa baku.

2.2.4.2.4 Daftar Kata Dialek Banyumasan

Kata dalam dialek Banyumasan sangat bervariasi dimana banyak kata yang jarang dimiliki oleh dialek lain terdapat dalam dialek Banyumasan. Misalnya akan agep [agәp] , garep [garәp]; singkong boled [bold], budin [budin]; galak, ladak [ladak], kereng [kәrәŋ].

Dari uraian di atas, dialek merupakan variasi bahasa yang penuturnya relatif banyak berada pada suatu daerah tertentu di mana terdapat kesamaan dalam pelafalan bunyi maupun kata-kata yang terdapat di dalamnya. Salah satu dialek yang ada di Jawa Tengah adalah dialek Banyumasan yang biasa disebut dengan


(29)

dialek ngapak-ngapak karena pelafalan sesuai tulisan. Dialek ini memiliki kata-kata tertentu yang jarang sekali ditemui dalam dialek lain pada umumnya.

2.3 Kerangka Berpikir

Latar belakang dalam permasalahan ini adalah dengan banyaknya tuturan dalam dialek Banyumasan yang diduga mengandung sinonim nomina dan adjektiva. Berkaitan dengan latar belakang tersebut memunculkan permasalahan yaitu bagaimanakah wujud sinonimi nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan beserta faktor-faktor penyebabnya.

Dengan menggunakan teori-teori yang meliputi teori sinonimi, nomina, adjektiva dan dialek Banyumasan sebagai kerangka acuhan diharapkan mampu memecahkan masalah yang meliputi bagaimanakah wujud sinonimi nomina dan adjektiva dialek Banyumasan beserta faktor penyebabnya. Pendekatan dalam penelitian ini meliputi pendekatan semantik, pendekatan dialektologi dan pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam metode pemerolehan data, peneliti menggunakan metode simak, rekam dan catat. Untuk menganalisis data, digunakan metode padan. Sedangkan pemaparan hasil analisis data menggunakan metode formal dan informal.

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memuat wujud sinonimi nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan beserta faktor-faktor penyebabnya. Dengan demikian penelitian ini dapat menambah daftar kosakata sinonim dialek Banyumasan yang jarang ditemui dalam dialek lain di Jawa, sehingga penelitian ini dapat memberi khasanah bagi penutur dialek lain.


(30)

Skema Kerangka Berp

Latar Belakang Masalah

Tuturan dalam dialek Banyumasan diduga banyak mengandung sinonim baik nomina atau adjektiva. Banyak kata benda atau sifat yang tidak ditemui di daerah lain. Hal ini menjadi daya tarik permasalahan untuk diteliti baik dari wujudnya maupun faktor penyebabnya.

Teori-Teori  Sinonim  Nomina  Adjektiva  Dialek Banyumasan Metodologi Penelitian  Pendekatan semantik, dan deskriptif kualitatif  Perolehan data

menggunakan teknik simak, rekam dan catat.  Analisis data

menggunakan metode padan  Penyajian hasil

analisis data menggunakan metode informal dan formal Hasil

 Wujud sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan

 Faktor penyebab sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan.

Permasalahan  Bagaimanakah wujud

sinonimi nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan?  Apa sajakah faktor

penyebab sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan?


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara teoretis dan metodologis. Fokus dalam penelitian ini adalah tentang penggambaran bagaimana bentuk sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan beserta faktor-faktor penyebabnya. Secara teoretis, penelitian ini menggunakan pendekatan semantik. Semantik yaitu studi tentang makna. Makna yang dimaksud adalah makna unsur bahasa baik dalam wujud morfem, kata atau kalimat (Pateda 2001:25). Pendekatan semantik digunakan untuk menjelaskan mengenai wujud dan faktor penyebab sinonim nomina dan adjektiva dialek Banyumasan.

Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian deskripsi ini adalah untuk membantu pembaca mengetahui apa yang terjadi di lingkungan pengamatan, seperti apa pandangan partisipan yang berada di latar penelitian, dan seperti apa peristiwa atau aktivitas yang terjadi di latar penelitian (Emzir 2008:174). Lebih lanjut dijelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang disebut juga pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka langsung dan berinteraksi di tempat-tempat penelitian (Syamsudin dan Damajanti 2006:23).


(32)

Pendekatan deskriptif kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan wujud dan faktor penyebab sinonimi nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan.

3.2 Data dan Sumber Data

Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta maupun angka (Arikunto 2010:161). Data dalam penelitian ini berupa tuturan masyarakat Desa Sirau Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas pengguna dialek Banyumasan yang diduga mengandung sinonim baik nomina maupun adjektiva.

Sumber data adalah subjek dimana data dapat diperoleh (Arikunto 2010:172). Sumber data dalam penelitian ini yaitu tuturan masyarakat desa Sirau. Data lisan diperoleh dari tuturan masyarakat Desa Sirau Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas.

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas yang difokuskan di Desa Sirau. Desa ini merupakan desa paling selatan di Kabupaten Banyumas yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap. Alasan terpilihnya desa tersebut adalah karena kosakata yang dimiliki lebih bervariasi dibanding yang lain.


(33)

3.4 Metode Pemerolehan Data

Metode pemerolehan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah simak, catat dan rekam.

Dalam penelitian ini peneliti dalam mengumpulkan data menggunakan metode simak dengan teknik dasar sadap. Teknik sadap merupakan teknik dasar yang digunakan karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan, dimana peneliti dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan (Mahsun 2005:92). Mula-mula peneliti menyalakan tape recorder atau alat perekam lain yang disembunyikan, kemudian peneliti menyadap pembicaraan masyarakat. Ketika teknik sadap dimulai, dilakukan pula teknik rekam sekaligus. Syamsudin dan Damajanti (2006:108) mengatakan teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non manusia. Sumber ini terdiri atas dokumen dan rekaman. Dalam merekam dapat dipastikan bahwa nara sumber tidak menyadari dengan proses perekaman.

Dalam proses penyadapan, peneliti menggunakan teknik simak libat cakap dan simak bebas libat cakap. Teknik simak libat cakap yaitu teknik dimana peneliti melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak pembicaraan (Mahsun 2005:93). Teknik simak bebas libat cakap merupakan teknik dimana peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh para informan (Mahsun 2005:93). Dalam proses itu, peneliti terkadang ikut dalam percakapan dan terkadang pula hanya menyimak atau mendengarkan percakapan dari tuturan


(34)

masyarakat. Setelah proses penyadapan selesai, data yang berupa tuturan masyarakat (data lisan) dialih bahasakan menjadi data tulis dan dicatat ke dalam kartu data.

Contoh kartu data yang digunakan adalah sebagai berikut:

No. Data: Sumber Data:

Konteks tuturan:

Data (tuturan dialek Banyumasan):

Tuturan yang diduga mengandung sinonim: Analisis:

Dalam proses pengambilan data, peneliti juga ikut menjadi nara sumber karena peneliti juga merupakan penutur asli masyarakat desa Sirau. Untuk kevalidan data, peneliti menanyakan data sinonim kepada orang tua atau yang dianggap mumpuni atau menguasai bahasa dialek Banyumasan di desa Sirau.

3.5 Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode padan. Metode padan merupakan metode dimana alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto 1993:13). Padan merupakan kata yang bersinonim dengan kata banding dan sesuatu yang dibandingkan mengandung makna adanya keterhubungan sehingga padan diartikan sebagai hal yang menghubung


(35)

bandingkan (Mahsun 2005:117). Penelitian ini menggunakan metode padan referensial karena penentunya adalah kenyataan yang ditunjukan oleh bahasa.

3.6 Metode Pemaparan Hasil Analisis Data

Metode pemaparan hasil analisis data merupakan alur terakhir yang akan ditempuh oleh peneliti setelah menganalisis data yang telah diperoleh. Dalam tahap ini peneliti akan menampilkan laporan tertulis dari hasil penelitiannya. Menurut Sudaryanto (1993:145) pemaparan hasil penelitian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan metode informal dan formal. Metode informal adalah pemaparan data-data yang berupa kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang bersifat teknis, sedangkan metode formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang.

Metode formal dan informal tersebut digunakan dalam penelitian ini. Metode formal digunakan untuk memaparkan hasil penelitian menggunakan lambang-lambang atau tanda-tanda. Hal tersebut disebabkan karena hasil penelitian ini berkaitan dengan tuturan masyarakat pengguna dialek Banyumasan sehingga diperlukan penjelasan tertentu terhadap tuturan yang dihasilkan terutama pada satuan fonetiknya. Metode informal digunakan untuk mendeskripsikan data yang sudah dianalisis dengan menggunakan kata-kata dan diberi penjelasan.


(36)

BAB IV

ANALISIS WUJUD DAN FAKTOR PENYEBAB SINONIM NOMINA DAN ADJEKTIVA

DIALEK BANYUMASAN

Dalam penelitian ini, dibahas analisis wujud dan faktor penyebab sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan. Analisis wujud sinonim merupakan identifikasi wujud sinonim, baik sinonim kata dan kata, kata dan frasa, frasa dan kata atau frasa dan frasa. Analisis faktor penyebab dalam penelitian ini yaitu dengan mengidentifikasi faktor yang menyebabkan sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan.

4.1 Wujud Sinonim Nomina dan Adjektiva Dialek Banyumasan

Dalam dialek Banyumasan, wujud sinonim nomina berupa leksem dengan leksem, leksem tunggal dengan leksem majemuk, leksem tunggal dengan frasa, leksem majemuk dengan leksem tunggal dan frasa dengan frasa.

4.1.1 Leksem dengan Leksem

Contoh data tuturan dalam dialek Banyumsan yang mengandung sinonim nomina yang berwujud leksem dengan leksem adalah:

Konteks: terjadi percakapan antara penjual dan pembeli di pasar Sirau. P1 :Grandhele piranan?”

[granḍԑle piranan]

„Genjer harganya berapa?‟ P2 :”Sewu limangatusan” [sewu limaŋatusan] „Seribu limaratusan‟

Tuturan lain yaitu terdapat pada percakapan berikut: 24


(37)

Konteks : berada di dapur

P1: “Bu, aja njangan gendhot bae ya lah.” [bu aja njaŋanan genḍɔt baԑ ya lah]

„Bu, jangan memasak sayur genjer terus ya‟

Dari tuturan tersebut yang terjadi di pasar Sirau terdapat kata grandhel [granḍԑl]. Kata tersebut menunjukkan nomina yang mempunyai makna jenis sayuran yang tumbuh di sawah atau pekarangan. Selain grendhel [granḍԑl], masyarakat desa Sirau juga menyebutnya dengan gendhot [genḍɔt]. Dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan genjer [gԑnjԑr]. Grandhel [granḍԑl] di desa Sirau bersinonim dengan gendhot [genḍɔt] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem. Grandhel [granḍԑl] di desa Sirau, selain mempunyai makna sayuran, juga mempunyai makna lain yaitu kunci yang bentuknya panjang terbuat dari besi.

Contoh lain juga terdapat dalam tuturan di bawah ini:

Konteks: seorang ibu yang akan membayar belanjaannya di pasar. P1:”Tuku kangkung, Cha eketane sing receh ora nana?”

[tuku kaŋkuŋ, cha ԑkәtanԑ siŋ rԑcԑh ora nana]

„Beli kangkung, Cha limapuluh ribuannya uang kecilnya tidak ada?‟ P2:”Apa maning?” (sambil bertanya)

[apa maning] „Apa lagi?‟

P1:”Ayuh muter!” (mengajak memutar lagi mengelilingi pasar) [ ayuh mutәr]

„Ayo keliling!‟

Konteks: sedang membeli di warung. P1: “Kowe duwe dhuwit kertas?” [kɔwԑ duwԑ ḍuwit kәrtas]

„Kamu mempunyai uang kertas?‟ P2:”Ora, aku duwene dhuwit kricik.” [ɔra, aku duwԑnԑ ḍuwit kricik]


(38)

Dari tuturan tersebut terdapat kata receh [rԑcԑh] yang mempunyai makna uang logam kecil. Dalam dialek Banyumasan sering disebut juga dengan kricik [krici?] atau krincing [krinciŋ]. Receh [rԑcԑh] bersinonim dengan kricik [krici?] dan krincing [krinciŋ] merupakan sinonim nomina yang menunjukkan benda di sekitar rumah. Receh [rԑcԑh] dan kricik [krici?] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem. Begitu pula dengan krincing [krinciŋ], merupakan sinonim nomina yang berwujud leksem dengan leksem. Kricik [krici?] dalam dialek Banyumasan selain bermakna uang logam juga juga mempunyai makna suara air kecil yang sedang mengalir. Selain itu, nomina bersinonim juga terlihat pada tuturan berikut:

Konteks tuturan: Seorang nenek sedang berbincang-bincang di dapur. P1: “Maring ngeneh tokna ngeneh!

[mariŋ ŋԑnԑh tɔkna ŋenԑh] „Ke sini keluarkan sini!‟

P2: “Kuwe berase disogna genuk!” [kuwԑ bәrasԑ disɔgna gәnuk] „Beras itu dimasukkan ke gentong!‟ Tuturan lainnya yaitu:

Konteks: Ketika akan memasak nasi.

P1:”Mbok, beras sing nang genthong wis enteng, enyong arep liwet karo

apa?”

[mbɔk, bәras siŋ naŋ gәnṭɔŋ wis әntԑŋ, әῆɔŋ arәp liwәt karɔ apa] „Ibu, beras yang berada di gentong sudah habis, saya akan masak apa?‟ Dari tuturan tersebut terdapat kata genuk [gәnu?] mempunyai makna tempat menyimpan beras. Selain genuk [gәnu?] masyarakat juga menyebutnya dengan genthong [gәnṭɔŋ]. Genuk [gәnu?] banyak dituturkan oleh orang-orang jaman


(39)

dahulu. Genuk [gәnu?] dengan genthong [gәnṭɔŋ] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem. Tuturan lainnya yang mengandung sinonim adalah:

Konteks: Menanyakan keadaan tanaman yang ada di sawah. P1:”Ketilem napa Dhe? Kenang sremet?

[kәtilәm napa ḍԑ? kәnaŋ srәmәt] „Tenggelam apa Dhe? Terkena tikus.‟

Tuturan lainnya terdapat pada percakapan berikut: Konteks: mendengar suara berisik di atas atap

P1:”Mas, kae deneng suarane pating gludhag banget. Suara tikus apa ya?”

[mas, kaԑ dԑnԑŋ suaranԑ patiŋ gluḍag baŋәt. Suara tikus apa ya] „Mas, itu kok suaranya berisik sekali. Apa suara tikus?‟

Dari tuturan tersebut terdapat kata sremet [srәmәt] yang mempunyai makna sama dengan tikus. Di desa Sirau banyak yang menuturkan tikus dengan istilah sremet [srәmәt]. Sremet [srәmәt] dan tikus merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem. Data lain terlihat pada tabel berikut:

NO DATA SINONIM

1. Konteks: bercerita tentang pertunjukan pasar malam.

P1: ”Kae nang pasar malem ana tong edan.”

[kaԑnaŋ pasar malәm ana tɔŋ ԑdan]

Konteks: sedang membicarakan barang bekas.

P1:”Kae drim sing wis ora kanggo disingkirna!”

[kaԑdrim siŋ wis ɔra kaŋgɔdi siŋkirna]

Tong [tɔŋ] : drim

[drim]

2. Konteks: membicarakan tamu yang berkunjung kemarin.

P1:”Wingi ya ngeneh karo biyunge ana rong minggu.”

[wiŋi ya ŋԑnԑh karɔbiyuŋԑ ana rɔŋ miŋgu]

Biyunge [biyuŋԑ] :

mamake [mama?e],

mboke [mbɔ?ԑ], ibune [ibunԑ]


(40)

Konteks: sedang bertanya di pinggir jalan.

P1:”Nah, mboke nang umah?”

[Nah, mbɔkԑnaŋ umah] 3. Konteks: berada di dapur

P1:”Nang pedangan kae akeh panganan.”

[naŋ pәdaŋan kaԑ akԑh paŋanan]

Konteks: bertanya siapa yang berada di dapur

P1:”Mbaeh agi ngapa kang?” [mbaԑh agi ŋapa kaŋ]

P2:”Kae nang pawon agi liwet.” [kaԑnaŋ pawɔn agi liwәt]

Pedangan [pәdaŋan]:

pawon [pawɔn]

4. Konteks: membicarakan orang besanan. P1:”Critane enyong wis mbesan ana gawa pring, klapa, beras.”

[critanԑ әῆɔŋ wis mbԑsan ana gawa priŋ, klapa, bәras]

Konteks: bercerita menjual kelapa

P1:” Aku be wingi adol krambil ulih rong puluh ewu.”

[aku bԑ wiŋi adɔl krambil ulih rɔŋ puluh ԑwu]

Klapa [klapa]: krambil [krambil]

5. Konteks: di tukang pijat membicarakan penyakit.

P1: “Anu udud ya, ya watuk.” [anu udud ya, ya watu?]

Konteks: Membicarakan rokok favorit. P1:”Yayan karemane rokok sriwedari.” [yayan karәmane rɔkɔk sriwәdari]

Udud [udud]: rokok

[rɔkɔ?]

6. Konteks: bercerita ketika bertemu saudara.

P1:”Pas wingi niko ketemu Kang Gito

jarene lagi pesen koci apa apem yah Dhe?” [pas wiŋi nikɔ kәtәmu kaŋ gitɔ jarԑnԑ lagi pәsәn kɔci apa apәm ḍԑ]

Konteks: makan jajanan pasar

P1:”kiye ibumu apa sing gawe mendut?” [kiyԑibumu apa siŋ gawԑmәndut]

Koci [kɔci]: mendut [mәndut]


(41)

7. Konteks : menyindir adik yang berbadan gemuk.

P1:”Kintel, yah Ndhut.” [kintәl yah nḍut]

Konteks: membicarakan musim hujan. P1:”Kiye nek udan terus blentunge padha

moni.”

[kiyԑ nԑk udan tәrus blәntuŋԑ paḍa mɔni]

Kintel [kintәl]:blentung [blәntuŋ]

8. Konteks: memetik sayur bunga turi.

P1:”Kiye ngeneh nyogrok, kiye ana gentere.

Kowe sing nitori ya!”

[kiyԑ ŋԑnԑh ῆɔgrɔ? kiyԑ ana gԑntԑrԑ. kowԑ siŋ nitɔri ya]

Konteks: membicarakan anak tetangga yang jatuh dari pohon.

P1:”Kae bisane tiba tulih di ogrok karo gantar.”

[kaԑ bisanԑ tiba tulih di ɔgrɔk karɔ gantar]

Genter [gԑntԑr]: sogrok

[sɔgrɔ?], gantar

[gantar]

9. Konteks: penjual di pasar menunjukkan dagangannya.

P1:”Kiye lumbu, kiye kethewel, sambele? [kiyԑ lumbu, kiyԑkәṭԑwԑl, sambәlԑ]

Konteks: bertanya kepada ibunya sedang masak.

P1:”Bu, agi njangan lompong ya?” [bu agi njaŋan lɔmpɔŋ ya]

Lumbu [lumbu]

:lompong [lɔmpɔŋ]

10. Konteks: Mengajak membuat sambal

P1:”Yuh nyambel, padha nyambel karo

cowek.

[yuh ῆambәl, paḍa ῆambәl karɔ cɔwԑ?] Konteks: Menyuruh memindahkan cobek.

P1:”Kuwe cirine aja nang kono gole

ngesogna.”

[kuwԑ cirinԑaja naŋ kɔnɔ gɔlԑŋesɔgna]

Cowek [cɔwԑ?]: ciri [ciri], layah [layah]

Contoh tuturan yang mengandung sinonim adjektiva berwujud leksem dengan leksem adalah:


(42)

Konteks: Seorang nenek bertanya kepada cucunya yang sedang memasak sayuran.

Mbah Jiber : ”Dah, deneng kiye rasane letek temen?” [dah, dԑnԑng kiyԑ rasanԑlәtԑ? tәmәn] „Dah, ini kenapa rasanya asin sekali?‟ Konteks: adik sedang mencicipi masakan kakaknya. Adik: “ Mba, deneng jangane asin temen.”

[mba dԑnԑng jaŋanԑasin tәmәn] „Mba, mengapa sayurnya asin sekali]

Dari tururan di atas terdapat kata letek [lәtԑ?] yang termasuk kata sifat atau adjektiva. Letek [lәtԑ?] mempunyai makna yang sama dengan asin. Letek [lәtԑ?] dan asin merupakan pasangan sinonim adjektiva yang berwujud leksem dengan leksem. Tuturan lain terlihat pada percakapan berikut.

Konteks tuturan: Jalan-jalan di pasar P1:”Ih enake mambune Nis, molen.”

[ih, ԑnakԑ mambunԑ nis, mɔlәn] „Enak baunya Nis, molen.‟ P2:”Pengin tapi ora duwe dhuwit.” [pԑŋin tapi ɔra duwԑ ḍuwit]

„Ingin tapi tidak mempunyai uang.‟

P1:”Lah jan sekeng banget yakin kere lah.” [lah jan sԑkԑŋ baŋәt yakin kԑrԑ lah] „Ya, tidak punya yakin miskin.‟

Tuturan lain terdapat pada percakapan berikut. Konteks: mengajak membeli makanan

P1:”Bebeh lah pet, aku lagi kere, aku bebeh tuku jajan.” [bәbәh lah pԑt, aku lagi kԑrԑ, aku bәbәh tuku jajan]

„Sungkan pet, saya sedang tidak mempunyai uang, saya sungkan membeli jajan.‟

Dari tururan di atas terdapat kata sekeng [sԑkԑŋ] mempunyai makna tidak punya apa-apa atau miskin. Nama lainnya adalah kere [kԑrԑ], mlarat [mlarat].


(43)

Penggunaan kata ini mempunyai nilai rasa yang berbeda yaitu mlarat [mlarat] lebih negatif maknanya yaitu tidak mempunyai apapun.

Data lain dapat dilihat pada tabel berikut:

NO DATA SINONIM

1. Konteks: membicarakan orang yang kehilangan anak.

P1:”Ya seprene kaya wong kenthir, wong anak siji-sijine thok.”

[ya sәprԑnԑ kaya wɔŋ kәnṭir, wɔŋ ana? siji -sijinԑ ṭɔ?]

Konteks: membicarakan tetangganya. P1:”Wong kae stres gara-gara kakehen utang ya kang?”

[wɔŋkaԑ stres gara-gara kakԑhәn utaŋ ya kaŋ]

Kenthir [kәnṭir] :

Gemblung [gәmbluŋ],

stres [strԑs], sinting [sintiŋ], edan [ԑdan],

gendheng [gәnḍәŋ],

kongslet [kɔŋslԑt], miring [miriŋ].

2. Konteks: membicarakan mesin cuci

P1:”Nek mesin kaya kae mayar ya gole

ngumbaih.”

[nԑ? Mәsin kaya kaԑ mayar ya gɔlԑ ŋumbaih]

Konteks: anak-anak membicarakan soal ulangan.

P1:”Soal ulangane gampang pisan mau,

aku tek garap kabeh.”

[soal ulaŋanԑ gampaŋ pisan mau aku tәk garap kabԑh]

Mayar [mayar] :

gampang [gampaŋ],

kepenak [kәpԑna?] Tingkatan makna: Kepenak-gampang-mayar.

3. Konteks: membicarakan sifat Riska

P1:”Kae nek duwe dhuwit kucir pisan ora ulih dijaluki sapa-sapa.”

[kaԑ nԑ? duwԑ ḍuwit kucir pisan ɔra ulih dijaluki sapa-sapa]

Konteks: membicrakan tetangganya P1:”Ndruni temen kae dadi wong.” [ndruni tәmәn kaԑ dadi wɔŋ]

Kucir [kucir] : medhit [mәḍit], mbethithil [ᵐbeṭiṭil], ndruni [ndruni], kumed [kumәd]

Tingkatan makna: medhit [mәḍit]- ndruni [ndruni]-kumed

[kumәd]- Kucir [kucir]- mbethithil [ᵐbeṭiṭil]


(44)

4.1.2 Leksem Tunggal dengan Leksem Majemuk

Contoh data dalam tuturan dialek Banyumasan yang mengandung sinonim berwujud leksem tunggal dengan leksem majemuk adalah:

Konteks: sedang membicarakan ayam peliharaan Bu Simar. P1: ”Jere wingi pitike nini Simar dipangan sero?”

[jԑrԑ wiŋi pitikԑ nini simar dipaŋan sԑro]

„Katanya kemarin ayam milik nenek Simar dimakan kucing hutan?‟ P2:”Pira?”

[pira] „Berapa?‟

Tuturan lain terlihat pada percakapan berikut: Konteks: melihat kucing hutan lewat

P1:”Wingi nang karanganmu ana nggarangan gedhe banget Lik.”

[wiŋi naŋ karaŋanmu ana nŋaraŋan gәḍԑ baŋәt lik]

„Kemarin di pekaranganmu ada kucing hutan besar sekali Lik.”

Dari data di atas terdapat istilah sero [sԑro] yang bermakna kucing hutan yang suka memakan ayam atau unggas. Di desa Sirau, selain menyebut denngan sero juga menyebutnya dengan nggarangan [ŋgaraŋan] dan kucing alas [kuciŋ alas]. Sero [sԑro] dan kucing alas [kuciŋ alas] merupakan wujud sinonim nomina leksem tunggal dengan leksem majemuk. Selain itu, nomina bersinonim juga terlihat pada tuturan berikut:

Konteks: Berada di tukang penjahit P1:” Kuwe anu levis apa?”

[kuwԑ anu lԑvis apa] „Itu celana levis apa?‟ P2:”Iya kiye.”

[iya kiyԑ] „Ya, ini.‟


(45)

Tuturan lain terdapat pada percakapan berikut: Konteks: membeli celana di pasar.

P1:”Kuwe kathok jin regane pira Bu?” [kuwԑ kaṭɔ? jin rәganԑ pira bu] „Celana jin itu harganya berapa?‟

Dari tuturan di atas terdapat kata levis [lԑvis] yang berarti celana jeans. Di desa Sirau mempunyai nama lain yaitu kathok jin [kaṭɔ? jin]. Levis [lԑvis] dan kathok jin [kaṭɔ? jin] merupakan wujud sinonim leksem tunggal dengan leksem majemuk. Tuturan lainnya yaitu:

Konteks: berbincang-bincang di ruang tamu.

P1: “Paling tuku ubluk kae sing ditarik kaya nggone Mijan.” [paliŋ tuku ublu? kaԑsiŋ ditari? Kaya ŋgɔnԑ mijan]

„Paling membeli sepeda motor yang bisa ditarik seperti milik Mijan.‟ Konteks: Pak yatin membeli sepeda motor.

P1:”Kang motore tuku kapan kuwe?” [kaŋ mɔtɔrԑ tuku kapan kuwԑ] „Mas, kapan membeli motor itu?‟

Dari tuturan di atas terdapat kata ubluk [ublu?] di desa Sirau berarti sepeda motor. Nama lain ubluk [ublu?] di desa Sirau yaitu ubluk [ublu?] dan pit motor [pit mɔtɔr]. Ubluk [ublu?] dan pit motor [pit mɔtɔr] merupakan wujud sinonim

leksem tunggal dengan leksem majemuk. Contoh data dalam tuturan dialek Banyumasan yang mengandung sinonim

adjektiva berwujud leksem tunggal dengan leksem majemuk lainnya adalah:

NO DATA SINONIM

1. Konteks: Pak Sudi bercerita ketika pulang dari Jogja.

Setriwel [sәtriwәl]: kaos kaki [kaɔs kaki]


(46)

P1:”Bali aku terus tuku setriwel, ngontal

antimo men ora mumet.”

[bali aku tәrus tuku sәtriwәl, ŋɔntal antimo mԑn ɔra mumәt]

Konteks: seorang adik sedang berbincang-bincang dengan kakaknya.

P1:”Mba, aku ora duwe kaos kaki abang

nggo ospek.”

[mba aku ɔra duwԑ kaɔs kaki abaŋ ŋgɔ ɔspԑ?]

Setriwel [sәtriwәl]: banyak dituturkan oleh orang tua jaman dahulu tahun 60an. Kaos kaki [kaɔs kaki] terkenal pada jaman sekarang

2. Konteks: Pak Sudi bercerita tentang cucunya.

P1:”Nek sekolah be nganggo pantalon.” [nԑ? sәkɔlah bԑŋaŋgɔ pantalɔn]

Konteks: sedang bercerita kepada temannya.

P1:”Aku nek kuliyah ora tau, nganggo kathok dawa, mesthi nganggo rok.”

[aku nԑ? Kuliyah ɔra tau ŋaŋgɔ kaṭɔ? dawa, mәsṭi ŋaŋgɔ rɔ?]

Pantalon [pantalɔn] :kathok dawa [kaṭɔ? dawa]

Pantalon dituturkan oleh orang-orang tua jaman dulu.

4.1.3 Leksem Tunggal dengan Frasa

Contoh data tuturan sinonim nomina yang berwujud leksem tunggal dengan leksem frasa adalah:

Konteks: Bu Dhe sedang berbincang-bincang tentang hasil panen dengan keponakannya di samping rumah.

P1:” Garing terus digawa nang Mijan ya?” [garŋ tәrus digawa naŋ mijan ya]

„Kering terus dibawa oleh Mijan ya?‟ P2: “Ora ngengeh sekandhi-kandhia.” [ɔra ŋәŋԑh sәkanḍi-kanḍia]

„Tidak menyisakan walaupun hanya sekarung?‟ Konteks: membicarakan hasil panen kopi.


(47)

[panԑn kɔpi kaŋ sumatra ulih piraŋ karuŋ baԑ kaԑ] „Panen kopi dari Sumatra dapat berapa karung itu.‟

Dari tuturan di atas terdapat kata kandhi [kanḍi]. Di desa Sirau, mempunyai makna sama dengan karung beras, karung goni. Kata itu termasuk ke dalam nomina. Kandhi [kanḍi] dengan karung beras merupakan wujud sinonim leksem tunggal dengan frasa.

Contoh data tuturan sinonim adjektiva yang berwujud leksem tunggal dengan frasa adalah:

Konteks: ketika sedang di warung ditanya oleh pembeli. P1: “Cara-carane koste yayan perek karo kowe apa?‟ [cara-caranԑ kɔstԑ yayan pԑrә? karɔ kɔwԑ apa] „Ceritanya, kostnya yayan dekat dengan kamu apa?‟ P2: “Ya ora, cedhek kaya kene Kroya.”

[ya ɔra, cәḍә? kaya kԑnԑ krɔya]

„Ya tidak, seperti dari sini dengan Kroya.‟

Dari tuturan di atas terdapat kata perek [pԑrә?] yang bermakna dekat, tidak jauh. Di desa Sirau mempunyai penyebutan lain yaitu ora adoh [ɔra adoh], cedhek [cәḍә?]. perek [pԑrә?] dan ora adoh [ɔra adoh] merupakan wujud sinonim adjektiva leksem tunggal dengan frasa. Tururan lainnya yaitu:

Konteks: Jalan-jalan di pasar P1:”Ih enake mambune Nis, molen.”

[ih, ԑnakԑ mambunԑ nis, mɔlәn] „Ih, baunya enak Nis, molen.‟

P2:”Pengin tapi ora duwe dhuwit.”

[pԑŋin tapi ɔra duwԑ ḍuwit]

„Ingin tetapi tidak mempunyai uang.‟ P1:”Lah jan sekeng banget yakin kere lah.” [lah jan sԑkԑŋ baŋәt yakin kԑrԑ lah] „Ya, miskin sekali ya.‟

Konteks: mengajak membeli makanan


(48)

[bәbәh lah pԑt, aku lagi kԑrԑ, aku bәbәh tuku jajan]

„Sungkan pet, saya sedang tidak mempunyai uang, saya sungkan membeli jajan.‟

Dari tuturan di atas terdapat kata sekeng [sԑkԑŋ] mempunyai makna tidak punya apa-apa atau miskin. Nama lainnya adalah kere [kԑrԑ], mlarat [mlarat], ora duwe [ɔra duwԑ]. Penggunaan kata ini mempunyai nilai rasa yang berbeda yaitu mlarat [mlarat] lebih negatif maknanya yaitu tidak mempunyai apapun. Sekeng [sԑkԑŋ] dan ora duwe [ɔra duwԑ] merupakan wujud sinonim leksem tunggal dengan frasa.

Sekeng [sԑkԑŋ]: miskin karena tidak mempunyai uang

Kere [kԑrԑ] : miskin tidak mempunyai harta benda, makna terkesan hina. Mlarat [mlarat]: untuk menyatakan orang miskin makna terkesan paling kasar untuk menyatakan orang miskin.

Data juga bisa dilihat pada tabel berikut.

NO DATA SINONIM Kategori

1. Konteks: menyuruh berjalan jangan cepat-cepat.

P1:”Gole mlaku aja

kebat-kebat.

[gɔlԑmlaku aja kәbat-kәbat] Konteks: seorang nenek sedang bercerita.

P1:”Aku siki ya mlakune ora kobet, wis tuwa angel.”

[aku siki ya mlakunԑ ɔra bisa kɔbԑt, wis tuwa aŋԑl]

Kebat [kәbat]:

Banter banget

[bantәr baŋәt],

kobet banget

[kɔbԑt baŋәt].


(49)

4.1.4 Leksem Majemuk dengan Leksem Tunggal

Contoh data tuturan sinonim nomina yang berwujud leksem majemuk dengan leksem tunggal adalah:

Konteks: membicarakan ketika dikasih makanan oleh orang lain yang akan hajatan.

P1:”Ulih sega brekat padha mangan iwak ya.” [ulih sәga brәkat paḍa maŋan iwa? Ya] „Dapat nasi pada makan ikan ya.‟ Konteks: Bertanya kepada Rian. P1: ”Yan ulih punjungan kang sapa?” [yan ulih punjuŋan kaŋ sapa]

„Yan dapat nasi syukuran dari siapa?‟

Dari tuturan di atas terdapat kata sega brekat [sәga brәkat] yang mempunyai makna sama dengan punjungan [punjuŋan]. Sega brekat [sәga brәkat] dan

punjungan [punjuŋan] merupakan wujud sinonim nomina leksem majemuk

dengan leksem tunggal. Tuturan lainnya terdapat pada percakapan berikut: Konteks: seorang ibu sedang memerintah anaknya.

P1:” Yul, petna godhong curing nang ngarepan!” [yul pԑtna gɔḍɔŋ curiŋ naŋ ŋarәpan]

„Yul, petikan daun kenikir di depan!‟ Konteks: anak bertanya kepada ibunya. P1:”Ngluban kenikir apa Bu?”

[ŋluban kәnikir apa bu] „Membuat sayur kenikir Bu?‟

Dari tuturan di atas terdapat kata godhong curing [gɔḍɔŋ curiŋ] yang mempunyai nama lain kenikir [kәnikir] di desa Sirau. Sebagian besar masyarakat Sirau menyebut dengan godhong curing [gɔḍɔŋ curiŋ]. Godhong curing [gɔḍɔŋ curiŋ]


(50)

dan kenikir [kәnikir] merupakan wujud sinonim leksem majemuk dengan leksem tunggal.

Data lain dapat dilihat pada tabel berikut:

NO DATA SINONIM Kategori

1. Konteks: sedang bercerita makan dengan lauk ikan asin.

P1:”Madhang lawuh iwak

asin.”

[maḍaŋ lawuh iwa? Asin]

Konteks: Menceritakan lauk kegemaran bapak Sumaedi.

P1:”Gemiyen ya bapaku

karemane sambel goreng

juwi.”

[gәmiyԑn ya bapaku karәmanԑ sambәl gorԑŋ juwi]

Iwak asin [iwa?

Asin]: juwi [juwi], gesek [gԑsԑ?]

Nomina

2. Konteks: bertanya kepada penjual tape singkong.

P1:”Kiye agi gawe tape budin pesenane Bu Sri.”

[kiyԑ agi gawԑ tapԑ budin pәsәnanԑ bu sri]

Konteks: Bercerita membuat makanan untuk lebaran.

P1:”Lik kepriwe gole gawe

kenyas?

[lik kәpriwԑ gɔlԑ gawԑkәῆas] P2:”Bager lah.”

[bagәr lah]

Tape budin [tapԑ budin] : kenyas [kәῆas]

Nomina

Contoh data tuturan sinonim adjektiva yang berwujud leksem majemuk dengan leksem tunggal adalah:


(51)

Konteks: percakapan antara penjual dan pembeli

P1: “ Jangan kiye mak pirang-pirang, kiye mak milih mak!” [jaŋan kiyԑ ma? piraŋ-piraŋ, kiyԑ ma? milɪh ma?]

„Sayur ini Bu, banyak, ini Bu pilih yang mana?‟ P2: “ Jangan apa bae?”

[jaŋan apa bae] „Sayur apa saja?‟

Konteks: membicarakan hajatan mantenan.

P1:”Ibumu dhuwite ngadhug yah, arep barang gawe gedhen.”

[ibumu ḍuwitԑ ŋaḍug yah, arәp baraŋ gawԑ gәḍԑn]

„Ibu kamu uangnya banyak ya, akan mengadakan hajatan besar.‟

Pirang-pirang di desa Sirau mempunyai makna banyak sekali terdapat dimana-mana. Kata tersebut termasuk ke dalam adjektiva atau kata sifat. Selain itu, di desa Sirau juga menyebutnya dengan akeh, ngadhug. Data lain terlihat pada tabel berikut:

NO DATA SINONIM Kategori

1. Konteks:

P1:”Dadi bocah koh klalar-kleler temen yah nek mlaku.” [dadi bɔcah kɔh klalar-klәlәr tәmәn yah nԑ? Mlaku]

Konteks: membicarakan lomba P1:”Kae gole mlayu be lindhik

ya ora kepilih lomba.”

[kaԑ gɔlԑ mlayu bԑ linḍi? Ya ɔra kәpilih lɔmba]

Klalar-kleler [klalar-klәlәr]: lindhik [linḍi?], lindhog [linḍɔg].

Adjektiva

2. Konteks:

P1:”Sawaeh mablak-mablak

nang ndi ora.”

[sawaԑh mabla?-mabla? naŋ ndi ɔra]

Konteks: ditukang jahit

P1:”Kiye kang, klambiku tulung

jahitna sowek amba banget.”

[kiyԑ kaŋ klambiku tuluŋ

Mablak-mablak [mabla?-mabla?]:

amba [amba],

jembar [jәmbar].


(52)

jahitna sɔwԑ? amba baŋәt]

4.1.5 Frasa dengan Frasa

Contoh data dalam tuturan masyarakat Sirau pengguna dialek Banyumasan yang mengandung sinonim berwujud frasa dengan frasa adalah:

Konteks: percakapan antar penjual dan pembeli di pasar Sirau.

P1:” Gawa godhong budin karo godhong gandhul malah nang kuwe wetan durung dibayar.”

[gawa gɔḍɔŋ budin karo gɔḍɔŋ ganḍul malah naŋ kuwe wetan duruŋ dibayar]

„Membawa daun singkong dan daun pepaya malah oleh orang sebelah timur belum dibayar.‟

P2:” Godhong gandhul bae.” [gɔḍɔŋ ganḍul bae] „Daun pepaya saja.‟ P1:” Kiye nambah 3 ya!” [kiyԑ nambah 3 ya] „Ini tambah tiga ya!”

Konteks: melihat mas Yatin (tetangga) di pekarangan. Mas Yatin tinggal di dekat daerah kanco yang merupakan daerah bagian dari kabupaten Cilacap. P1:”Kang lagi ngepeti apa kuwe?”

[kaŋ lagi ŋәpԑti apa kuwԑ] „Mas sedang memetik apa itu?‟

P2:”Godhong lobak kiye arep nggo mecel.” [gɔḍɔŋ lɔba? kiyԑarәp ŋgɔmәcәl kiyԑ] „Ini daun singkong untuk membuat pecel.‟

Dari data di atas terdapat kata godhong budin [gɔḍɔŋ budin] yang dalam dialek Banyumasan mempunyai makna daun ketela pohon. Selain itu, masyarakat juga ada yang menyebut dengan godhong boled [gɔḍɔŋ bɔlԑd], godhong lobak [gɔḍɔŋ lɔba?]. Godhong budin [gɔḍɔŋ budin] dengan godhong boled [gɔḍɔŋ bɔlԑd] merupakan wujud sinonim nomina frasa dengan frasa. Begitu pula dengan


(53)

Godhong budin [gɔḍɔŋ budin] dengan godhong lobak [gɔḍɔŋ lɔba?]. Tuturan lainnya terdapat pada percakapan berikut:

Konteks: sedang membicarakan ayam peliharaan Bu Simar. P1: ”Jere wingi pitike nini Simar dipangan sero?”

[jԑrԑ wiŋi pitikԑ nini simar dipaŋan sԑro]

„Katanya kemarin ayam milik nenek Simar dimakan kucing hutan?‟ P2:”Pira?”

[pira] „Berapa?‟

Konteks tuturan: berbincang-bincang di depan rumah

P1: “Ya ora nana, bar kuwe maring nggone nini Simar, wong anu mbah Muhdar arep umroh maning.”

[Ya ɔra nana, bar kuwԑ mariŋ ŋgɔnԑ nini Simar, wɔŋ anu mbah Muhdar arәp umroh maniŋ]

„Ya tidak ada, setelah itu pergi ke rumah nenek Simar, Kakek Muhdar akan pergi umroh lagi.‟

P2: “ Kur arep umroh thok ora kaji.” [kur arәp umrɔh ṭɔ? ɔra kaji]

„Hanya umroh saja? Tidak pergi haji.‟

Dari data di atas terdapat kata nini Simar [nini simar] yang mempunyai makna nenek Simar. Di desa Sirau mempunyai nama lain yaitu Mbah Simar, Eyang Simar. Nini mempunyai makna orang tua perempuan dari bapak atau ibu. Nini Simar dengan Mbah Simar dan Eyang Simar merupakan wujud sinonim frasa dengan frasa. Data lainnya terlihat pada tabel berikut:

NO DATA SINONIM Kategori

1. Konteks: bercerita ketika bertemu saudara.

P1:”Pas wingi lagi pas dina apa nggih ketemu Kang Gito jarene lagi pesen koci apa

apem yah Dhe?”

[pas wiŋi pas dina apa ŋgih kәtәmu kaŋ gitɔ jarԑnԑ lagi pәsәn kɔci apa apәm yah ḍԑ]

Kang Gito [kaŋ

gitɔ]: Mas Gito [mas gito],

Kakang Gito

[kakaŋ gitɔ]


(54)

Konteks: di depan rumah P1:”Mamase ora melu bali

ngeneh Cha?”

[mamasԑ ɔra mԑlu bali ŋԑnԑh cha]

2. Konteks: bercerita tentang cucunya.

P1:”Padha dolanan, tes

digered nang ramane Reihan karo adhine padha ngomonge saru-saru.”

[paḍa dɔlanan tәs digԑrԑd naŋ ramanԑ rԑihan karɔ aḍinԑ paḍa ŋɔmɔŋԑ saru-saru]

Konteks: menunjukkan foto bapaknya.

P1:”Kiye fotone bapakku karo aku. Aku be ora menangi pas

bapakku ninggal Yu.”

[kiyԑ fɔtɔnԑ bapakku karɔ aku. Aku bԑ ɔra mәnaŋi pas bapakku niŋgal yu]

Ramane Reihan

[ramanԑ rԑihan]:

Bapake Reihan

[bapakԑ reihan]

Nomina

Wujud sinonim adjektiva frasa dengan frasa juga dapat dilihat pada tuturan berikut:

Konteks: seorang ibu sedang menasehati anaknya.

P1: “Kuwe gole ngapa-ngapa aja pating slarah ya, ditatani maning.” [kuwԑ gɔlԑ ŋapa-ŋapa aja patiŋ slarah ya, ditatani maniŋ]

„Kalau sedang apa saja jangan berantakan ya, ditata kembali.‟ Konteks: Ibu sedang memarahi anaknya

P1:”Aja pating gempalang kuwe tek keplak mengko.” [aja patiŋ gәmpalaŋ kuwԑ tә? Kәpla? mәŋkɔ] „Jangan berantakan, nanti saya pukul.‟

Dari tuturan di atas terdapat kata pating slarah [patiŋ slarah] yang mana di desa Sirau mempunyai makna berantakan. Selain itu, masyarakat Sirau juga


(55)

menyebut berantakan dengan pating gempalang [patiŋ gәmpalaŋ]. Pating slarah [patiŋ slarah] dan pating gempalang [patiŋ gәmpalaŋ] merupakan wujud sinonim adjektiva frasa dengan frasa.

NO DATA SINONIM Kategori

1. Konteks: menunjukkan foto P1:”Zen, kae fotone Mba Lia thomlo-thomlo banget.

[zԑn kaԑ fɔtɔnԑ mba lia ṭɔmlɔ -ṭɔmlɔbaŋәt]

Konteks: heran melihat Riska P1:”Gumun aku, Riska bunder banget raine mangan apa

sih?”

[gumun aku riska bundәr baŋәt rainԑmaŋan apa sih]

Thomlo-thomlo banget [ṭɔmlɔ-ṭɔm lɔ baŋәt] : Bunder

banget [bundәr

baŋәt]

Adjektiva

2. Konteks: marah-marah

P1:”Aku nggo omeh-omehan,

aku ora budheg.

[aku ŋgɔ ɔmԑh- ɔmԑhan, aku ɔra buḍәg]

Konteks: membanding-bandingkan

P1:”Kae kaya nini Caplang dadi budhong, diundangi ora krungu-krungu.”

[kaԑ kaya nini caplaŋ dadi buḍɔŋ diundaŋi ɔra kruŋu kruŋu]

Ora budheg [ɔra buḍәg] : ora

budhong [ɔra

buḍɔŋ]

Adjektiva

4.2 Faktor Penyebab Sinonim

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesinoniman diantaranya faktor waktu, wilayah, penutur dan sosial, nuansa makna, dan bidang kegiatan atau pemakaina.


(56)

4.2.1 Faktor Waktu

Contoh data tuturan sinonim nomina dalam dialek Banyumasan: Konteks tuturan: seorang ibu sedang memerintah anaknya. P1: Pune diwadhaih kresek kuwe!”

[punԑ diwaḍaih krԑsԑ? kuwԑ]

„Toplesnya dimasukan ke dalam kantong plastik itu.‟ P2:”Lah endi.”

[lah әndi]. „Mana.‟

Konteks Tuturan: bertamu

P1:”Kuwe sing nang toples roti apa?” [kuwԑ siŋ naŋ tɔplԑs rɔti apa] „Yang di dalam toples itu kue apa?‟

Dari tuturan di atas terdapat kata pun [pun]. Kata itu di desa Sirau mempunyai makna toples yang terbuat dari bahan sejenis seng. Pun [pun] banyak disebut oleh orang-orang jaman dahulu, kemudian penyebutan dengan istilah lodhong [lɔḍɔŋ], dan sekarang penyebutan pun [pun] sudah jarang dan sebagian besar sekarang menyebut pun [pun] dengan istilah toples. Perbedaan waktu dan kemajuan jaman yang menyebabkan istilah pun [pun] jarang sekali digunakan bahkan hampir punah.

Urutan pemakaian kata: pun [pun] lodhong [lɔḍɔŋ] toples Selain itu, juga terlihat pada tuturan sinonim adjektiva di bawah ini: Konteks: Seorang ibu sedang membicarakan saudaranya di ruang tamu.

P1:”Umpamane diparingi struk ora teles ngapa-ngapa, mbok ya melu

anak.”

[umpamane diparingi struk ɔra tԑlԑs ŋapa-ŋapa mbɔ? Ya mԑlu ana?] „Seandainya diberi struk tidak bisa apa-apa, kan ikut anak.‟

Konteks tuturan: sedang bermain game P1: “Kiye sing pertama endi?”


(57)

„Ini yang pertama mana? P2:”Kaya teyeng?”

[kaya tԑyԑŋ] „Apa bisa?‟

P1: “Teyeng insyaalloh.” [tԑyԑŋ insyaallɔh] „Bisa insyaalloh.‟

Dari tuturan di atas terdapat istilah teles [tԑlԑs] yang mempunyai makna bisa. Di desa Sirau juga mempunyai istilah lain yaitu teyeng [tԑyԑŋ], jegos [jegɔs] dan bisa. Teles [tԑlԑs], istilah itu dipakai pada jaman dahulu oleh orang-orang tua jaman kuna. Urutan pemakaian kata:

teles [tԑlԑs] Mempunyai makna bisa dipakai oleh

orang-orang tua jaman dulu.

teyeng [tԑyԑŋ] Mempunyai makna bisa, masih banyak

digunakan oleh anak muda, dan masyarakat.

jegos [jegɔs] Untuk menyatakan bisa, mumpuni

dalam pekerjaan.

Bisa Untuk menyatakan mampu pada

umumnya.

Sekarang yang banyak dipakai adalah bisa. Faktor waktu yang menyebabkan istilah ini sudah jarang sekali dipakai. Teles [tԑlԑs] dapat juga bermakna basah teles [tәlәs]. Urutan pemakaian kata:

teles [tԑlԑs] teyeng [tԑyԑŋ] bisa Data lain juga terlihat pada tabel berikut:

No. Data Sinonim Kategori

1. Konteks: membicarakan oleh-oleh pergi haji.

P1:”Kakine malah ora ulih

apa-apa kang Arab.”

[kakinԑ malah ɔra ulih apa-apa kaŋ arab]

Konteks tuturan:

berbincang-Kaki [kaki]:

kakek [kakԑ?],

mbah kakung

[mbah kakuŋ],

eyang kakung

[ԑyaŋ kakuŋ]


(1)

No. Data: 21 Sumber Data: Sirau Konteks tuturan 1: Jalan-jalan di pasar

Konteks tuturan 2: : mengajak membeli makanan Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):

P1:”Ih enake mambune Nis, molen.” [ih, ԑnakԑ mambunԑ nis, mɔlәn] P2:”Pengin tapi ora duwe dhuwit.” [pԑŋin tapi ɔra duwԑ ḍuwit]

P1:”Lah jan sekeng banget yakin kere lah.” [lah jan sԑkԑŋ baŋәt yakin kԑrԑ lah] Data 2:

P1:”Bebeh lah pet, aku lagi kere, aku bebeh tuku jajan.” [bәbәh lah pԑt, aku lagi kԑrԑ, aku bәbәh tuku jajan] Tuturan yang diduga mengandung sinonim: sekeng [sԑkԑŋ] Analisis:

Sekeng [sԑkԑŋ] mempunyai makna tidak punya apa-apa atau miskin. Nama lainnya adalah kere [kԑrԑ], mlarat [mlarat]. Penggunaan kata ini mempunyai nilai rasa yang berbeda yaitu mlarat [mlarat] lebih negatif maknanya yaitu tidak mempunyai apapun.

Wujud:

Sekeng [sԑkԑŋ] dengan kere [kԑrԑ]: leksem dengan leksem Sekeng [sԑkԑŋ] dengan mlarat [mlarat]: leksem dengan leksem Faktor penyebab:


(2)

No. Data: 22 Sumber Data: Sirau Konteks tuturan 1: Di rumah Bu Dhe

Konteks tuturan 2: menunjukkan foto bapaknya.

Data 1 (tuturan dialek Banyumasan): P1:”Lagi padha ngapa sih niko Dhe?” [lagi paḍa ŋapa sih nikɔ ḍԑ]

P2:”Padha dolanan, tes digered nang ramane Reihan karo adhine padha ngomonge saru-saru.

[paḍa dɔlanan tәs digԑrԑd naŋ ramanԑ rԑihan karɔ aḍinԑ paḍa ŋɔmɔŋԑ saru-saru]

Data 2:

P1:”Kiye fotone bapakku karo aku. Aku be ora menangi pas bapakku ninggal Yu.”

[kiyԑ fɔtɔnԑ bapakku karɔ aku. Aku bԑɔra mәnaŋi pas bapakku niŋgal yu]

Tuturan yang diduga mengandung sinonim: ramane Reihan dan saru-saru Analisis:

1. Ramane Reihan [ramanԑ Reihan] mempunyai makna orang tua laki-lakinya Reihan. Nama lainnya adalah bapake Reihan. Penggunaan kata rama banyak dituturkan oleh masyarakat golongan menengah ke bawah.

Wujud:

Ramane Reihan [ramanԑ Reihan] dengan bapake Reihan: frasa dengan frasa

Faktor penyebab: Penutur dan sosial


(3)

2. Saru [saru] mempunyai makna kurang ajar, tidak sopan terhadap orang lain. Nama lainnya adalah mbejujag [mbәjujag], marajubel [marajubәl], ngradon [ŋradɔn]. Pemakaian kata itu berdasarkan makna. Bila sudah sangat tidak sopan masyarakat akan mengatakan mbejujag [mbәjujag].

Wujud:

Saru[saru] dengan mbejujag [mbәjujag]: leksem dengan leksem Saru[saru] dengan marajubel [marajubәl]: leksem dengan leksem Saru[saru] dengan ngradon [ŋradɔn]: leksem dengan leksem

Faktor penyebab: Nuansa makna

No. Data: 23 Sumber Data: Sirau

Konteks tuturan 1: bertemu saudara Konteks tuturan 2: makan jajanan pasar

Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):

P1:”Pas wingi lagi pas dina apa nggih ketemu Kang Gito jarene lagi pesen koci apa apem yah Dhe?

[pas wiŋi pas dina apa ŋgih kәtәmu kaŋ gitɔ jarԑnԑ lagi pәsәn kɔci apa apәm yah ḍԑ]

P2:” Koci, arep digawa Grujugan.” [kɔci arәp digawa grujugan] Data 2: makan jajanan pasar

P1:”kiye ibumu apa sing gawe mendut?” [kiyԑibumu apa siŋ gawԑmәndut]


(4)

Tuturan yang diduga mengandung sinonim: koci [kɔci] Analisis:

Koci [kɔci] mempunyai makna makanan kecil tebuat dari tepung ketan di dalamnya terdapat enten-enten dan dibungkus dengan daun pisang. Nama lainnya adalah mendut [mәndut]. Koci [kɔci] banyak dituturkan oleh sebagian besar masyarakat Sirau, mendut [mәndut] dituturkan oleh sebagian kecil masyarakat Sirau yaitu komplek pondok pesantren (Sirau sebelah utara).

Wujud:

Koci [kɔci] dengan mendut [mәndut]: leksem dengan leksem Faktor penyebab:

Wilayah

No. Data: 24 Sumber Data: Sirau

Konteks tuturan 1: Di tempat dukun pijet Konteks tuturan 2:

Data 1 (tuturan dialek Banyumasan): P1:”Anu udud ya watuk.”

[anu udud ya watuk] P2:”Kaya ramamu.” [kaya ramamu] Data 2:

Tuturan yang diduga mengandung sinonim: Udud [udud] Analisis:


(5)

Udud [udud] mempunyai makna sama dengan rokok. Udud [udud] banyak dituturkan oleh kakek-kakek jaman dulu dan tergolong sepuh. Wujud:

Udud [udud] dengan rokok: leksem dengan leksem Faktor penyebab:

Penutur dan sosial, waktu

No. Data: 25 Sumber Data:

Konteks tuturan 1: Ibu sedang memerintah anaknya. Konteks 2: Ibu sedang memarahi anaknya

Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):

P1:”Kuwe gole ngapa-ngapa aja pating slarah ya, ditatani maning.” [kuwԑ gɔlԑ ŋapa-ŋapa aja patiŋ slarah ya, ditatani maniŋ]

Data 2

P1:”Aja pating gempalang kuwe tek keplak mengko.” [aja patiŋ gәmpalaŋ kuwԑ tә? Kәpla? mәŋkɔ]

Tuturan yang diduga mengandung sinonim: pating slarah [patiŋ slarah] Analisis:

Pating slarah [patiŋ slarah] yang mana di desa Sirau mempunyai makna berantakan. Selain itu, masyarakat Sirau juga menyebut berantakan dengan pating gempalang [patiŋ gәmpalaŋ]. Penggunaan kata tersebut berdasarkan makna, keadaan. Jika sangat berantakan masyarakat akan mengatakan pating gempalang [patiŋ gәmpalaŋ]. Wujud:


(6)

Pating slarah [patiŋ slarah] dengan pating gempalang [patiŋ gәmpalaŋ]: frasa dengan frasa

Faktor penyebab: Nuansa makna