Nilai-Nilai Ideologi Tri Hita Karana dan Internalisasi dalam Inovasi dan
168 untuk perbaikan sesama dan pelestarian alam itu omong kosong. Pendidikan
membutuhkan lingkungan terkondisi. Seni bukan untuk seni, ilmu bukan untuk ilmu. Perlu sinergi bahwa keindahan harus diwujudkan untuk sesama. Ilmu
pengetahuan dan teknologi itu memudahkan hidup, seni itu menghaluskan hidup, dan agama mengarahkan hidup. Kebenaran menghasilkan kesucian, kesucian
menghasilkan kedamaian. Keindahan diwujudkan kepada kesucian dan kesucian membentuk keindahan. Untuk memajukan pendidikan kejuruan di Bali harus ada
wawasan dan pandangan budaya yang kuat sehingga majunya pergerakan masyarakat Bali tidak kehilangan akar kepribadiannya IKW, L.04, b. 506-512.
Pendidikan melahirkan manusia yang memiliki kemampuan mengelola hidup dengan baik dan benar. Tanpa membangun karakter yang luhur pendidikan
itu akan menimbulkan dosa sosial. Kalau sekolah menyelenggarakan pendidikan untuk mengajar peserta didik hanya untuk mencari nafkah, maka pendidikan itu
tidak akan membawa perbaikan hidup dalam masyarakat. Menyadari hal ini pendidikan harus diselenggarakan dengan nilai tambah moralitas dan kebudayaan
Bali. Penjabaran hakekat dan visi kerja bagi masyarakat Bali terkait dengan
pendidikan untuk dunia kerja dan kecakapan hidup life skill bentuknya ada di desa pakraman dan banjar IKW, L. 04, b.70. Dalam desa pakraman ada desa
dresta atau tradisi adat istiadat yang diyakini dan dijalankan. Desa pakraman
adalah organisasi setingkat desa yang memiliki anggota atau warga desa sebagai pawongan
, batas-batas wilayah sebagai palemahan, kahyangan tiga sebagai parhyangan
. Desa pakraman pada hakikatnya adalah sebagai lembaga sosial
169 religius Hinduistis. Dalam setiap desa pakraman terdapat kahyangan tiga yaitu
Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Ketiga pura ini mewadahi pemujaan kepada Brahma di Pura Desa sebagai pencipta utpati, Wisnu sebagai pemelihara
stiti di Pura Puseh, dan Siwa di Pura Dalem sebagai pelebur pralina. Brahma, Wisnu, Siwa disebut tri murti dan fungsinya yaitu utpati, stiti, pralina disebut tri
kona . Lalu apa kaitannya dengan pendidikan dunia kerja? Berikut data-data yang
ditemukan di lapangan. Tri kona
utpati, stiti, pralina mewadahi konsep inovasi, kreativitas, budaya preservatif, dan budaya progresif. Terbuka terhadap pengaruh global
tetapi tetap mengakar pada budaya dan identitas diri sendiri teori pohon. Inovasi, kreativitas, dan perubahan memungkinkan pada dua sisi berlawanan yaitu
membangun atau merusak. Agar perubahan itu memberi nilai positif dan membangun, Desa pakraman mengenal ajaran tri guna sattwam, rajas, tamas.
Tri guna yang terkendali akan memberikan perubahan itu kearah positif. Akan
terjadi proses penciptaan utpati apa-apa yang dibutuhkan, akan terjadi proses pemeliharaan stiti hal-hal yang masih relevan, berguna, memberi manfaat dan
peleburan pralina hal-hal yang sudah tidak relevan. Kalau manusia itu dikuasai oleh tri guna yang tepat dia akan ciptakan hal-hal yang beguna bukan sekedar
mencipta dan memelihara hal-hal yang edonis, yang penting nikmat “deen bedik” kenikmatankesenangan sesaat. Tepat dalam mencipta, memelihara, dan
meniadakan. Nah maka dari itulah pemujaan Brahma, Wisnu, dan Siwa mengamalkan dua hal yaitu tri kona dan tri guna. Jadi apapun yang kita lakukan
tidak mungkin tanpa ada perubahan. Nah oleh karena itulah perubahan itu harus
170 diprogramkan. Perubahan itu akan jalan apabila manusianya mengusai tri guna
dan tri kona. Nah kesana pandangan tiangsaya IKW, L.04, b. 73-93. Dalam Utara Mimamsa Bhagavad Purana ada tiga kelompok Maha Purana.
Satvika Purana dengan Ista Dewatanya Dewa Wisnu. Rajasika Purana dengan Dewa Brahma sebagai Ista Dewatanya dan Tamasika Purana dengan Dewa Siwa
sebagai Ista Dewatanya. Dewa Wisnu sebagai dewanya Satvika Purana untuk melindungi guna sattwam. Dewa Brahma untuk mengendalikan sifat atau guna
rajas , sedangkan Dewa Siwa untuk mengendalikan guna tamas. Untuk mencapai
kehidupan yang sukses hendaknya tiga sifat yang disebut Tri Guna itu harus dibuat menjadi kuat.
Tri guna itu akan kuat apabila guna sattwam dan guna rajas sama-sama kuat
mempengaruhi citta atau alam pikiran. Guna sattwam dan rajas yang sama-sama kuat itu menyebabkan orang selalu berniat baik dan berbuat baik. Karena itu,
dibangunnya Pura Desa dan Pura Puseh dalam satu areal atau satu palemahan sebagai simbol untuk menyatukan guna sattwam dan guna rajas agar sama-sama
kuat mempengaruhi citta atau alam pikiran manusia berniat baik berbuat baik. Karena itu, hendaknya Pura Desa dan Puseh tidak hanya dijadikan tempat
pemujaan. Pura tersebut harus dijadikan media untuk mengembangkan berbagai gagasan dan program untuk mendinamiskan upaya kreativitas dan perlindungan
pada hal-hal yang positif di desa pakraman. Lewat Pura Puseh umat dimotivasi untuk membangun niat baik dengan
menguatkan sifat-sifat sattwam dan berbuat baik membangun program-program aksi yang praktis dan realistis yang bermanfaat bagi krama di desa pakraman.
171 Dari Pura Desa dan Pura Puseh dikembangkan gagasan-gagasan untuk
menentukan berbagai langkah, apa yang wajib dipelihara dan dilindungi. Demikian juga menyangkut budaya aktivitas dan hasil budaya dalam wujud
material. Desa pakraman perlu melakukan berbagai pengkajian. Aktivitas budaya agama yang masih relevan patut dilanjutkan, dipelihara dan dilindungi. Lewat
pemujaan Batara Wisnu muncul kekuatan moral dan mental untuk melindungi hal-hal yang patut dilindungi. Melindungi sesuatu yang patut dilindungi adalah
wujud nyata dari aktivitas memuja Batara Wisnu di Pura Puseh. Untuk bisa membedakan antara yang patut dilindungi dan yang tidak patut
dilindungi itu perlu dibangun wiweka jnana. Wiweka jnana adalah suatu kecerdasan untuk membeda-bedakan yang patut dan yang tidak patut, yang baik
dan yang buruk dan seterusnya. Hal itu penting agar jangan semua yang sudah mentradisi terus kita lindungi. Setiap buatan manusia itu pasti kena hukum rwa
bhineda dualisme yaitu ada yang baik ada yang buruk. Dengan wiweka jnana
kita akan melindungi sesuatu yang patut dilindungi, memelihara sesuatu yang patut dipelihara.
Selanjutnya ada penjelasan dalam bahasa Jawa Kuno didalam Wrehaspati Tattwa dinyatakan “sakti ngarania ikang sarwa jnana lawan sarwa karya”.
Artinya: Sakti adalah mereka yang memiliki banyak ilmu jnana dan banyak berbuat nyata mewujudkan ilmu tersebut. Konsep sakti memunculkan konsep
cendikiawan yaitu kemampuan berbuat memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat melalui disiplin ilmu yang dimiliki. Untuk memiliki banyak ilmu
haruslah mengembangkan guna sattwam dan rajas secara seimbang. Mereka yang
172 guna sattwam dan rajas nya kuat akan terdorong untuk terus meningkatkan
kemauan belajar dan memiliki kecerdasan belajar learning intellegence, memiliki semangat kuat untuk terus bekerja mewujudkan ilmu yang didapatkan
dalam perbuatan nyata. Demikian juga keberadaan Pura Dalem untuk memuja Tuhan sebagai Dewa
Siwa Rudra. Pemujaan Tuhan di Pura Dalem diarahkan untuk menguatkan kemampuan untuk mengendalikan sifat-sifat tamas agar tidak eksis membuat
manusia malas, bebal tetapi rakus. Dalam wujud yang lebih nyata pembinaan guna tamas akan mendorong manusia melakukan langkah-langkah nyata
menghilangkan berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan hidup. Swadharma desa pakraman yang dijiwai oleh keberadaan kahyangan tiga ini
adalah mengembangkan ajaran tri kona dan tri guna dalam membangun warga desa pakraman pawongan yang jagathita bahagia di dunia. Kalau hal ini
benar-benar dibuatkan program yang matang maka desa pakraman dengan kahyangan tiga
sebagai hulunya akan eksis dalam membangun Bali yang ajeg. Dengan demikian pemujaan pada Tuhan di kahyangan tiga parhyangan akan
bermakna untuk membangun alam yang lestari bhutahita dan manusia Bali yang jagathita
. Membangun alam yang lestari dengan konsep Rta. Sedangkan membangun jagathita dengan konsep Dharma. Ini artinya memuja Tuhan bukan
berhenti pada memuja saja tetapi harus dapat berdaya guna menguatkan manusia untuk menjaga alam dan menjaga hidup bersama yang saling mengabdi. Itulah
tujuan pendirian
kahyangan tiga
di desa
pakraman Wiana,
http:www.balipost.co.idbalipostcetak2008116bd1.htm
173 Ciri hidup yang baik dan benar itu adalah melakukan kreativitas untuk
menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan utpati. Selanjutnya kreatif untuk memelihara sesuatu yang sepatutnya dipelihara stiti. Dalam kehidupan ini
ada hal-hal yang memang seyogianya ditiadakan pralina agar dinamika hidup ini melaju menuju kehidupan yang janahita dan jagathita. Janahita artinya
kebahagiaan secara individu dan jagathita adalah kebahagiaan secara bersama- sama. Inilah yang seyogianya yang dikembangkan oleh warga di desa pakraman.
Kearifan lokal masyarakat Bali terkait dengan janahita dan jagathita dalam pendidikan untuk dunia kerja adalah “ngalih gae pang meturu idup” bukan “mati
iba idup kai ” IKW, L.04 b. 405-406. Bagaimana masyarakat Bali mencari
pekerjaan, membangun pekerjaan untuk hidup dan menghidupi kebutuhan bersama. Bukan mengembangkan cara-cara untuk membunuh kehidupan orang
lain, menindas kehidupan orang untuk hidup bahagia diatas penderitaan orang lain. Bukan sekedar menyelamatkan diri masing-masing.
Dinamika hidup dengan landansan tri kona inilah yang dapat menciptakan suasana hidup yang dinamis, harmonis dan produktif dalam arti spiritual dan
material secara berkesinambungan. Dari konsep tri kona ini sesungguhnya dapat dikembangkan menjadi berbagai kebijakan di desa pakraman. Betapapun maju
suatu zaman yakinlah dapat dikendalikan dengan konsep tri kona. Wiana, http:www.balipost.co.idbalipostcetak2008116bd1.htm
. Dengan konsep tri kona
ini desa pakraman tidak akan pernah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga umat Hindu khas Bali. Kemajuan zaman justru akan menguatkan jati diri
kehidupan di desa pakraman. Ciptakan adat-istiadat yang dibutuhkan zaman, ada
174 adat-istiadat yang masih baik dan benar agar terus dipelihara dan dipertahankan.
Sedangkan adat-istiadat yang sudah usang ketinggalan zaman hendaknya ditinggalkan secara suka rela dengan cara-cara yang baik dan benar juga. Dewasa
ini, karena kurang kuatnya guna sattwam dan guna rajas, banyak tindakan melidungi sesuatu yang sudah sepatutnya dipralina, dan mengabaikan sesuatu
yang sepatutnya mendapatkan pemeliharaan dan perlindungan, bahkan pengembangan atau penciptaan.
Di desa pakraman, pesraman, dan Banjar juga sebagai tempat dan lembaga membuat orang agar mengerti dalam menggerakkan hidupnya secara vertikal dan
horizontal. Vertikal itu catur asrama yaitu: brahmacari, grihasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Brahmacari adalah masa menuntut ilmu, grihasta masa berumah
tangga, wanaprasta masa menjauhi kehidupan duniawi, dan bhiksuka masa menyerahkan diri kepada Tuhan. Secara horizontal catur warna brahmana,
ksatria, waisya, sudra . Makanya di Banjar, bhetara dipuja sebagai bhetara
Penyarikan agar masyarakat “nyarik-nyarik” atau setahap demi setahap selesai.
“brahmacari pang seken; grihasta pang seken; wanaprasta pang seken; bhiksuka pang seken
”. IKW, L.04, b.102-125. Dan memiliki keahlian dan keterampilan serta siap memasuki pilihan warna dan asrama. Gerak masyarakat melalui jalur
horizontal dengan catur warna dan secara vertikal menjalani pengasraman catur asrama
. Keluhuran kearifan lokal Bali adalah brahmana adalah pemelihara dan pengembangkan ilmu; kesatria perlindungan; waisya kemakmuran; sudra tenaga
kerja. Brahmana berkerja membangun kekuatan moral, kesejukan hati. Kesatria membangun kekuatan regulasi, memberi keamanan, dan keadilan. Waisya bekerja
175 membangun kekuatan ekonomi dan memberi kesejahteraan. Sudra membangun
kekuatan demokrasi memberi kerukunan me-nyame braya, kekeluargaan dan kebersamaan dalam hidup berdampingan INS, L.19, b.9-16.
Dalam lingkup keluarga THK dilembagakan dalam bentuk rumah adat keluarga Bali. Sama halnya dengan desa pakraman, penataan rumah adat
menggunakan konsep tri mandala dan tri angga. Sanggah sebagai parhyangan adalah otak, meten merupakan kepala pembungkus otak, bale dauh-bale dangin
tangan kiri-kanan, dapur adalah perut, dan tebe adalah kaki. Bangunan pokok dalam sanggah adalah kemulan, taksu, dan padmasana. Kemulan adalah modal
untuk membangun rumah tangga, taksu adalah kekuatan. Kalau tidak ada kekuatan taksu maka modal atau “kemulan” kita bisa tidak tumbuh berkembang.
Padmasana digunakan untuk memuja Tuhan Ida Sang Hyang Widhi WD, L,05, b. 867, 708.
5.
Praksis Ideologi Tri Hita Karana dalam Pembudayaan Kompetensi Kejuruan di SMK
Pembentukan kompetensi pada diri siswa SMK dapat berlangsung di tiga tempat yaitu: 1 di Sekolah; 2 di rumah; dan 3 di masyarakat luas desa
pakraman dan DU-DI. Pembudayaan kompetensi kejuruan SMK di Bali
merupakan perpaduan antara pola internasional, nasional, dan lokal Bali. Dengan diadopsinya standar kompetensi kejuruan dan kompetensi kunci dari negara-
negara OECD Organisation for Economic Co-operation and Development pada SMK RSBI berarti SMK di Bali telah mengalami globalisasi. Kerjasama
internasional yang dibentuk dengan DU-DI melalui MoU dan lingkungan
176 pariwisata Bali sangat mendukung globalisasi kompetensi di SMK. SKL SMK
yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan BNSP juga dijadikan acuan pengembangan kurikulum dan pembelajaran di
SMK. Pembangunan SMK yang sejak awal telah dikonsep menggunakan konsep
ideologi THK telah memberikan konsep pola pembudayaan yang berciri khusus di Bali yaitu adanya keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan
parhyangan, keseimbangan antar manusia pawongan, dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan palemahan. SMK sebagai bagian dari desa
pakraman telah dibangun dan dikembangkan dengan prinsip-prinsip dan nilai-
nilai THK. SMK di Bali terbuka terhadap pengaruh luar tetapi tetap kuat mengakar pada budaya Bali. Konsep tri angga nista, madya, utama yang
kemudian membentuk konsep tri mandala dan sanga mandala digunakan sebagai dasar penataan dan peruntukan wilayah areal palemahan SMK. Wilayah utama
mandala diperuntukkan sebagai wilayah parhyangan tempat suci dibangun Pura Sekolah. Posisi ini berada di sebelah Timur Kangin atau di Selatan Kaja untuk
daerah Buleleng atau Utara Kaja untuk daerah Bali Selatan seperti Denpasar, Gianyar, Badung. Bangunan Kantor dan tata usaha, ruang teori, laboratorium,
bengkelworkshop, studio, lapangan upacara, Aula, ruang pameran sebagai pusat layanan kegiatan siswa dan masyarakat dibangun di madya mandala. Madya
mandala mewadahi tempat aktivitas warga sekolah sebagai pawongan. Di nista
mandala dibangun lapangan olah raga, gudang, tempat pengolahan sampah lihat
Lampiran 20. Tujuan penataan wilayah SMK dengan konsep tri angga dan tri
177 mandala
adalah untuk mencapai keharmonisan dan keseimbangan nilai-nilai ideologi THK.
Parhyangan di SMK berupa bangunan Pura dilengkapi dengan perangkat
gamelan Bali sebagai sarana pengembagan kreativitas seni kerawitan dan tari Bali. Parhyangan secara intensif digunakan sebagai sarana membangun
keharmonisan warga sekolah yaitu siswa, guru, tenaga tata usaha, tenaga teknis dengan Tuhan Yang Mahaesa. Transkrip pemaknaan fungsi parhyangan bagi
siswa hasil interview Lampiran 17 ditunjukkan pada Tabel 12 berikut. Tabel 12.
Transkrip Data Pemanfaatan Parhyangan di SMK
baris Cuplikan Dialog Komentar {Terjemahan}
5 A
50 55
56 57
: 5
, 5-
5 ;
61 62
6 60
65 66
67 72
7 70
75 ,
76 7-
7 1
2
5 7
9
178 Keberadaan parhyangan di SMK sangat membantu ketenangan dan
kepercayaan diri siswa dalam belajar. Melalui instruksi gubernur semua sekolah di Bali diwajibkan melakukan kegiatan persembahyangan bersama dua kali
sebulan yaitu pada bulan Purnama dan bulan Tilem. Sedangkan untuk sehari-hari siswa memanfaatkan parhyangan sekolah secara sendiri-sendiri.
Masyarakat Bali mengharapkan SMK sebagai lembaga pendidikan formal dapat mendidik dan melatih siswa menjadi terampil dan ahli sesuai dengan
kompetensi keahlian yang dipilih dan ditekuni. Disamping terampil dan ahli, SMK juga diharapkan membangun siswanya agar memiliki moral dan mental
yang kuat. Penumbuhan sikap mental dan kreativitas memerlukan wahana ruang berekpresi secara bebas. Untuk memajukan pembangunan SMK diperlukan
wawasan dan pandangan budaya yang kuat. Membangun lulusan SMK yang terampil, ahli, bermoral dan kuat tidak ada yang tanpa gangguan. Parhyangan
dibangun di SMK digunakan untuk menguatkan diri siswa dan guru dalam mengembangkan profesi.
Internalisasi ideologi THK di SMK di Bali sangat kuat terlihat dalam penataan bangunan gedung, penataan lingkungan areal sekolah, dan adanya unsur
manusia atau warga sekolah. Semua SMK di Bali dilengkapi dengan parhyangan berupa pura sekolah yang dibangun di bagian utama mandala sebagai lokasi hulu
dari sekolah. Gambar 18 menunjukkan gambar foto parhyangan sekolah di beberapa SMK di Bali.
179 Gambar 18. Foto Parhyangan Sekolah di Beberapa SMK di Bali
Disamping pura sekolah, di masing-masing ruangan mulai dari ruangan kepala sekolah, staf manajemen, tata usaha, ruang kelas, ruang laboratorium, dan
bengkelstudio dilengkapi dengan pelangkiran sebagai bentuk parhyangan mikro. Pelangkiran
adalah benda berbentuk tempat duduk tanpa kaki yang dipasang menempel di dinding. Penempatan pelangkiran juga pada posisi utama mandala.
Gambar 19 menunjukkan bentuk pelangkiran sebagai parhyangan dalam ruang.
Gambar 19. Pelangkiran sebagai Parhyangan dalam Ruang
c. Pura SMK N 3 Denpasar a
Pura SMK N 3 Singaraja
b Pura SMK N 1 Sukawati
c
Pelangkiran dalam Ruang Kelas SMKN 3 Singaraja
b
Pelangkiran dalam Ruang Kepala SMKN 1
Denpasar a
Pelangkiran dalam Ruang Lab SMKN 1 Denpasar
180 Unsur palemahan sebagai unsur ketiga dalam konsep THK juga menjadi
bagian yang tidak terpisahkan di SMK. Penataan kerindangan, keindahan dan kenyamanan sekolah dengan berbagai tanaman sangat mendukung program
pemerintah yang disebut dengan green school. Penghijaun dan penanaman tanaman hias memiliki nilai fungsi yang sangat tinggi. Selain sebagai penghasil
oksigen segar tananam ternyata menjadi obyek belajar yang sangat bagus bagi siswa SMK. Tanaman yang rindang dan indah dapat membuat manusia warga
SMK menjadi sehat badannya dan tenang rohaninya. Tanaman sangat banyak digunakan sebagai obyek belajar. Karena digunakan sebagai obyek belajar maka
terikat perilaku memelihara dan merawat. Berikut Gambar 20 menunjukkan foto keadaan penghijauan dan taman SMK di Bali.
Gambar 20. Foto Taman dan Penghijauan di SMK di Bali Tanaman dan benda-benda seperti patung di SMK sering digunakan sebagai
objek belajar. Akibatnya siswa memiliki budaya konservasi untuk merawat dan melestarikan lingkungan alam sekolah. Gambar 21 menunjukkan foto kegiatan
c Penghijauan SMKN 1 Sukawati
b Penghijauan SMKN 3 Singaraja
a
Taman Sekolah SMKN 3
Denpasar
181 siswa sedang membuat sket lukisan dengan tanaman pohon kamboja jepang
sebagai objek lukisan. Foto ini diambil di SMK N 1 Sukawati.
a Pohon Kamboja sebagai Objek Sket
b Siswa Melukis Sket Pohon Gambar 21. Kegiatan Belajar Sambil Melakukan Konservasi Lingkungan di SMK