1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Properti dan real estat merupakan salah satu sektor yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari, manusia
tidaklah dapat terlepas dari sektor ini, misalnya kantor atau pabrik tempat ia bekerja, pusat perbelanjaan tempat ia membeli keperluannya sehari-hari, rumah
sakit tempat ia, keluarga, maupun kerabatnya dirawat ketika sakit, taman hiburan tempat ia mengisi waktu liburnya, sekolah atau universitas tempat ia mengajar
maupun menimba ilmu, serta properti dan real estat lainnya yang selalu berhubungan dengan aktivitas manusia sehari-hari, dan yang paling penting
adalah rumah atau apartemen tempat ia tinggal. Properti dan real estat khususnya perumahan merupakan kebutuhan papan
yang merupakan salah satu kebutuhan dasar primer manusia, disamping kebutuhan akan pangan dan sandang, sehingga setiap orang harus berhubungan
dengan bagian dari properti dan real estat yang satu ini. Bagaimanapun kondisi perekonomian yang sedang terjadi, semua orang harus lah memiliki rumah
tempat ia tinggal untuk memenuhi salah satu kebutuhan utamanya. Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan
harga tanah dan bangunan yang lebih tinggi dari laju inflasi setiap tahunnya menyebabkan semakin banyak investor yang tertarik untuk melakukan investasi di
sektor ini. Properti dan real estat merupakan aset yang memiliki nilai investasi yang tinggi, dan dinilai cukup aman dan stabil. Harga properti dan real estat
2 khususnya rumah mengalami kenaikan sekitar 10 setiap tahunnya. Sebab itu,
sebuah rumah memiliki potensi mengalami kenaikan harga dua kali lipat dalam 5-10 tahun ke depan.
Kenaikan harga ini disebabkan oleh ketersediaan tanah bersifat tetap, sementara permintaannya cenderung meningkat setiap tahunnya, sejalan dengan
pertambahan jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal, perkantoran, pusat perbelanjaan, taman hiburan,
dan kebutuhan akan sektor properti dan real estat lainnya juga mengalami kenaikan. Selain itu, harga tanah tidaklah ditentukan oleh pasar, tetapi oleh orang
yang memiliki tanah. Akhir-akhir ini properti dan real estat tumbuh dengan pesat. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya pembangunan rumah dan toko ruko, apartemen, pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, kondominium, dan perumahan. Maraknya
pembangunan ini menandakan bahwa terdapat pasar yang cukup besar bagi sektor properti dan real estat di Indonesia. Hal ini merupakan informasi yang positif
bagi para investor, yang kemudian meresponnya dengan membeli saham perusahaan properti dan real estat di pasar modal.
Berikut ini disajikan data mengenai perkembangan harga saham perusahaan properti dan real estat yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2006-
2012.
3
Tabel 1.1 Harga Saham Perusahaan Properti dan Real Estat di BEI Tahun 2006-2012
dalam Rupiah No.
Kode Emiten
Tahun Keterangan
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 CTRS
717 1045
463 452
629 757
1710 Berfluktuasi 2
ADHI 735
1128 559
380 667
686 1089 Berfluktuasi
3 LPCK
271 492
400 197
304 1101 3109 Berfluktuasi
Sumber : finance.yahoo.com data diolah
Sesuai dengan data yang disajikan dalam Tabel 1.1, harga saham properti dan real estat mengalami fluktuasi. Terjadinya fluktuasi ini dapat disebabkan oleh
respon dan reaksi yang berbeda-beda dari setiap investor terhadap informasi- informasi yang terdapat di pasar. Informasi-informasi ini dapat bersumber dari
kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, yang dapat dilihat dari pertumbuhan indikator makro ekonomi, seperti tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai
tukar rupiah. Selain kondisi perekonomian dalam negeri, pergerakan saham juga
dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global. Krisis global yang berasal dari Amerika akibat macetnya kredit properti suprime mortage ini juga membawa
dampak negatif bagi pergerakan saham di Indonesia. Tampak pada Tabel 1.1, pada tahun 2008 harga saham beberapa perusahaan properti dan real estat
mengalami penurunan. IHSG mengalami pertumbuhan negatif selama tahun 2008. Sehingga pada 8 Oktober 2008, perdagangan saham di BEI dihentikan
sementara. Kondisi pertumbuhan makro ekonomi yang terjadi dalam enam tahun
terakhir ini dapat dilihat dari Tabel 1.2 berikut ini.
4
Tabel 1.2 Indikator Makro Ekonomi Indonesia
Tahun 2006 – 2012 No.
Indikator Makro
Tahun 2006
2007 2008
2009 2010
2011 2012
1 Inflasi
6,60 6,40 10,30 4,89 5,12 5,38 4,27 2
Suku Bunga 11,83 8,60 8,60 7,10 6,50 6,58 5,75
3 Nilai Tukar
USD-IDR 9.164
9.139 9.692
10.407 9.086 8.819
9.385
Sumber : www.bi.go.id
Seperti yang terlihat pada Tabel 1.2, inflasi di Indonesia mengalami fluktuasi. Dari tahun 2006 sampai 2007 inflasi mengalami penurunan 0,20.
Namun pada tahun 2008, terjadi kenaikan yang cukup besar hingga mencapai angka 10,30. Dorongan pada laju inflasi ini merupakan salah satu dampak
terjadinya krisis global pada tahun 2008. Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga komoditi terutama minyak dan pangan. Lonjakan harga tersebut berdampak
pada kenaikan harga barang yang ditentukan pemerintah administered prices seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi
www.setneg.go.id Kemudian pada tahun 2009, inflasi mengalami penurunan yang cukup
drastis, yaitu sebesar 5,41. Hal ini merupakan penurunan persentase terbesar sepanjang tahun 2006-2012. Pada bulan November tahun 2009 tingkat inflasi
Indonesia terlalu rendah mencapai 2,41. Tingkat inflasi yang terlalu rendah pada dasarnya tidaklah terlalu baik bagi pertumbuhan perekonomian di Indonesia,
karena dapat menyebabkan lambannya pergerakan perekonomian Indonesia. Lambannya pergerakan perekonomian juga menyebabkan harga saham bergerak
lamban. Pada tahun 2010, inflasi meningkat kembali. Pada tahun 2011 dan 2012
5 menurun setiap tahunnya, hingga pada tahun 2012 mencapai angka 4,30.
Rendahnya tingkat inflasi ini didukung oleh faktor musim, harga komoditas pangan yang sedang turun, dan penundaan kenaikan tarif listrik serta harga BBM
bersubsidi. Pada indikator suku bunga, juga terjadi penurunan setiap tahunnya. Tingkat
suku bunga terendah terdapat pada tahun 2012. Bank Indonesia memutuskan mempertahankan BI Rate sebesar 5,75 karena dipandang masih konsisten
dengan tekanan inflasi yang rendah dan terkendali yang sesuai dengan sasaran inflasi tahun 2012-2013, yaitu 4,5 ± 1
http:www.bi.go.idwebidRuang+MediaSiaran+Perssp 142412.htm. Terjadinya krisis global pada tahun 2008 menyebabkan nilai tukar rupiah
melemah terhadap dolar AS. Hal ini ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga mencapai Rp 11.711 per dolar AS pada bulan
November 2008. Pada masa krisis ini terjadi keketatan likuiditas global. Para investor dari Amerika menarik kembali dananya untuk menangani keuangan di
negaranya, sehingga terjadi aliran keluar modal asing yang menyebabkan supply dolar relatif sangat menurun. Hal ini lah yang menyebabkan efek depresiasi
terhadap rupiah. Berikut ini disajikan grafik tingkat inflasi, suku bunga, nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika, dan harga saham sektor properti dan real estat yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia data tahun 2006-2012 .
6
Sumber : Hasil Pengolahan Data Microsoft Excel Gambar 1.1
Tingkat Inflasi dan Suku Bunga di Indonesia Tahun 2006 – 2012 dalam Persen
Sumber : Hasil Pengolahan Microsoft Excel Gambar 1.2
Harga Saham dan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Tahun 2006-2012 dalam Rupiah
Dari Gambar 1.2 dan Gambar 1.3 dapat dilihat keterkaitan antara harga saham dengan indikator-indikator makro di Indonesia. Samsul 2006 : 200
mengatakan bahwa harga saham dapat dipengaruhi oleh faktor makro di suatu
negara, seperti tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar.
0,00 2,00
4,00 6,00
8,00 10,00
12,00 14,00
2006 2007 2008 2009 2010 2011
2012 Inflasi
Suku Bunga
2000 4000
6000 8000
10000 12000
2006 2007
2008 2009
2010 2011
2012 Nilai Tukar
DUTI LPCK
RDTX
7 Pada tahun 2006-2007, dimana kondisi inflasi berada pada tingkat stabil,
suku bunga menurun, dan nilai rupiah menguat, tampak bahwa harga saham perusahaan properti dan real estat rata-rata mengalami kenaikan. Menurut
Tandelilin 2010 : 103 perubahan suku bunga akan mempengaruhi harga saham secara terbalik, cateris paribus. Hal ini berarti, apabila suku bunga meningkat,
maka harga saham akan turun. Demikian pula sebaliknya, jika suku bunga turun, maaka harga saham naik.
Pada tahun 2007-2008, terjadi krisis ekonomi global, sehingga menyebabkan buruknya kondisi indikator makro Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari tingkat inflasi mengalami kenaikan 3,9, suku bunga menurun, dan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar. Hal ini diikuiti dengan harga saham
perusahaan sektor properti dan real estat yang rata-rata mengalami penurunan. Pada rentang waktu ini, inflasi berada pada tingkat yang sangat tinggi. Inflasi
yang tinggi akan menyebabkan kejatuhan harga saham di pasar. Inflasi yang tinggi menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi, sementara daya beli
masyarakat menjadi lemah. Hal ini menyebabkan menurunnya pendapatan perusahaan, dan pada akhirnya akan menurunkan harga saham perusahaan
tersebut Zubir, 2011 : 21. Pada tahun 2008-2009, kondisi indikator makro Indonesia masih dalam
keadaan buruk, yang merupakan dampak dari krisis ekonomi global. Pada periode ini inflasi menurun drastis, suku bunga menurun, dan nilai tukar rupiah masih
melemah tehadap dolar. Harga saham perusahaan sektor properti dan real estat juga rata-rata mengalami penurunan. Pada rentang waktu ini, tingkat inflasi
8 sangat rendah. Tinggi rendahnya tingkat inflasi dinilai memberi pengaruh positif
maupun negatif terhadap pergerakan harga saham sesuai dengan tingkat inflasi itu sendiri. Tingkat inflasi yang tinggi akan menurunkan harga saham, sementara
tingkat inflasi yang sangat rendah akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat lamban sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap lambannya
pergerakan harga saham Samsul, 2006 : 201. Pada tahun 2009-2012, kondisi indikator makro Indonesia berangsur-angsur
membaik, dimana inflasi meningkat kembali kepada tingkat yang stabil pada tahun 2010, dan kemudian terus mengalami penurunan pada tahun 2011 dan 2012,
indikator suku bunga tetap mengalami penurunan hingga tahun 2012, dan nilai tukar rupiah menguat dari tahun 2009-2011.
Pada rentang waktu ini, rata-rata harga saham perusahaan properti dan real estat yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia mengalami peningkatan. Namun,
pada tahun 2012, rupiah kembali melemah terhadap dolar. Terdapat beberapa perusahaan yang harga sahamnya menurun pada rentang waktu ini mengikuti
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Namun, kebanyakan perusahaan justru harga sahamnya meningkat cukup besar, dengan melemahnya
nilai tukar rupiah ini. Nilai tukar rupiah akan membawa pengaruh positif ataupun negatif terhadap
harga saham perusahaan, tergantung pada kegiatan operasional perusahaan Samsul, 2006 : 202. Saham perusahaan yang bergerak di bidang ekspor akan
mengalami kenaikan dengan menguatnya mata uang asing, atau melemahnya mata uang domestik. Hanya pada saham-saham perusahaan tertentu atau perusahaan
9 importir yang akan mengalami penurunan. Jika perusahaan mempunyai utang
yang besar dalam mata uang asing, maka melemahnya rupiah terhadap mata uang asing tersebut mengakibatkan beban operasional perusahaan menjadi tinggi. Hal
ini lah yang dapat menyebabkan penurunan pada harga saham perusahaan Simatupang, 2010 : 77.
Fenomena ini menimbulkan suatu dugaan bagi peneliti, bahwa kondisi indikator makro ekonomi di Indonesia, yaitu tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai
tukar memiliki pengaruh terhadap harga saham perusahaan properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia. Kodrat dan Herdinata 2009 mengatakan bahwa
investasi di sektor sektor properti dan real estat merupakan investasi jangka panjang dan akan bertumbuh sejalan dengan perekonomian. Selain itu,
berdasarkan Pusat Studi Properti Indonesia, kondisi makro ekonomi merupakan faktor penting yang mempengaruhi bisnis sektor properti dan real estat.
Hal ini lah yang melatarbelakangi peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh makro ekonomi, dalam hal ini peneliti mengambil 3 indikator,
yaitu tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar, terhadap harga saham perusahaan properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah