Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga, Dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Properti Dan Real Estat Di Bursa Efek Indonesia

(1)

SKRIPSI

PENGARUH TINGKAT INFLASI, SUKU BUNGA, DAN NILAI TUKAR TERHADAP HARGA SAHAM PERUSAHAAN

PROPERTI DAN REAL ESTAT DI BURSA EFEK INDONESIA

OLEH

DOSMARIA A. R. SIMAMORA M. 090502105

PROGRAM STUDI STRATA-1 MANAJEMEN DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

PENGARUH TINGKAT INFLASI, SUKU BUNGA, DAN NILAI TUKAR TERHADAP HARGA SAHAM PERUSAHAAN

PROPERTI DAN REAL ESTAT DI BURSA EFEK INDONESIA

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris tentang pengaruh tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar terhadap harga saham perusahaan properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia selama periode pengamatan 2006-2012.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari publikasi Bursa Efek Indonesia dan Bank Indonesia yang tersedia di media internet, buku referensi, majalah, artikel yang tersedia di media internet dan bahan literatur ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis statistika deskriptif dan metode analisis linear berganda.

Hipotesis dari penelitian ini diuji dengan menggunakan uji signifikan simultan (uji F) dan uji signifikansi parsial (uji t) pada tingkat signifikansi 5% (Sig. 0,05). Hasil uji F mengindikasikan bahwa tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar (rupiah terhadap dolar AS) secara simultan berpengaruh terhadap harga saham perusahaan properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia. Hasil uji t mengindikasikan bahwa tingkat inflasi memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap harga saham, sementara suku bunga dan nilai tukar memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap harga saham.

Implikasi dari penelitian ini adalah para investor harus mempertimbangkan tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar sebelum membuat keputusan investasi pada saham perusahaan guna meminimalkan kerugian yang mungkin timbul dan memaksimalkan keuntungan. Selain itu, para investor juga sebaiknya mempertimbangkan indikator makro ekonomi lainnya, seperti peraturan perpajakan, kondisi perekonomian internasional, perputaran uang, siklus ekonomi, dan kondisi ekonomi lainnya yang juga dapat mempengaruhi harga saham properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia.

.


(3)

ABSTRACT

THE EFFECT OF INFLATION RATES, INTEREST RATES, AND EXCHANGE RATES ON THE STOCK PRICE OF

REAL ESTATE AND PROPERTY COMPANIES IN INDONESIA STOCK EXCHANGE

This research aims to obtain empirical evidence about the effect of inflation rates, interest rates, and exchange rates on the stock price of real estate and property companies in Indonesia Stock Exchange during period 2006-2012.

This research is quantitative research. Data used for this research is secondary data that collected from Indonesia Stocks Exchange’s and Bank Indonesia’s publication that available in internet, reference books, magazines, articles from internet, and the other science literatures related to the research. The method applied in this research is descriptive analysis and multiple regression analysis. Hypothesis of this research is tested by simultaneous significance test (F test) and partial significance test (t test) at 5% level of significance.

The result of F test indicates that inflation rates, interest rates, and exchange rates (rupiah to U.S. dollar) simultaneously effect on the stock prices of real estat dan property companies in the Indonesia Stock Exchange. The result of t test, indicates that partially, inflation rates have positive and not significant effect on the stock price, while interest rates and exchange rates have negative and significant effect on the stock price.

The implication of this research is investors have to consider the inflation rates, interest rates, and exchange rates before making a stock investment in real estate and property companies in order to minimize possible losses in the investment and for maximize profits. In addition, investors also should consider other macroeconomic indicators such as tax rules, international economics condition, money circulation, economic cycle, and other economic conditions, which can also affect the stock prices of real estate and property companies listed in Indonesia Stock Exchange.


(4)

Puji dan syukur yang tidak terkira penulis sampaikan kepada Yesus Kristus atas segala berkat dan anugerahNya yang penulis rasakan dalam hidup penulis sehari-hari, terlebih dalam proses penyusunan skripsi ini.

KATA PENGANTAR

Penulis juga sangat berterimakasih kepada orangtua tercinta, ayahanda H. P. Simamora M., ibunda R. br. Sagala, dan adik-adik tersayang Frandi Simamora M., Pernando Simamora M., dan Piter Simamora M., yang telah mendoakan, membimbing, dan mendukung saya selama ini. Skripsi ini penulis persembahkan buat mereka.

Selama masa perkuliahan hingga skripsi ini selesai, penulis banyak mendapatkan bimbingan, nasehat, dan motivasi dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan banyak terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec, Ac., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Isfenti Sadalia, SE., ME., dan Dra. Marhayanie, SE, M.Si., selaku Ketua Departemen Manajemen dan Sekretaris Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Sumatera Utara.

3. Dr. Endang Sulistya Rini, SE., M.Si., selaku Ketua Program Studi S-1 Manajemen Fakultas Ekonomi Sumatera Utara.

4. Dr. Khaira Amalia F., SE., MBA., Ak., selaku Dosen Pembimbing penulis, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.


(5)

5. Dr. Muslich Lufti, MBA., selaku Dosen Pembaca Penilai penulis, yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

6. Dr. Arlina Nurbaity lubis, SE., MBA., selaku Dosen Penasehat Akademik.

7. Dosen dan pegawai Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera seluruhnya. 8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Desmon M. Manik, S.Si., Simon S.

Napitupulu, dan Harrys Girsang.

9. Teman-teman di Manajemen stambuk 2009, terlebih Hody-Hody; Anggi Pardede, Ani Manihuruk, Inggrid Lumban Tobing, Naomi Siahaan, dan Novia Sihombing, juga kepada The Best; Citra Napitupulu, Julia Sidauruk, Metha Simangunsong, Nenny Parhusip, dan Yunike Simanjorang.

10. Tio Debora Harahap, Martina Hutahaean, Parna brothers; Leosanro, Putra, Rony, Ronal, dan pihak lain yang tidak dapat disebut satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, April 2013 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Pasar Modal ... 11

2.1.1 Pengertian Pasar Modal ... 11

2.1.2 Manfaat Pasar Modal ... 12

2.2 Saham ... 14

2.2.1 Pengertian Saham ... 14

2.2.2 Nilai Saham ... 15

2.2.3 Resiko Investasi Saham ... 17

2.2.4 Return Saham ... 20

2.2.5 Sumber Resiko yang Mempengaruhi Return Saham ... 21

2.2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Saham ... 23

2.3 Inflasi ... 26

2.3.1 Pengertian Inflasi ... 26

2.3.2 Indeks Harga ... 27

2.3.3 Jenis-jenis Inflasi ... 28

2.3.4 Hubungan Inflasi Dengan Harga Saham ... 33

2.4 Suku Bunga ... 33

2.4.1 Pengertian Suku Bunga ... 33

2.4.2 Hubungan Tingkat Suku Bunga Dengan Harga Saham ... 33

2.5 Nilai Tukar ... 34

2.5.1 Pengertian Nilai Tukar ... 34

2.5.2 Jenis Nilai Tukar ... 34

2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar ... 35

2.5.4 Sistem Nilai Tukar ... 35


(7)

2.6 Penelitian Terdahulu ... 37

2.7 Kerangka Konseptual ... 39

2.8 Hipotesis ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 42

3.1 Jenis Penelitian ... 42

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

3.3 Batasan Operasional ... 42

3.4 Definisi Operasional Variabel ... 43

3.5 Populasi dan Sampel ... 45

3.6 Jenis Data ... 45

3.7 Metode Pengumpulan Data ... 45

3.8 Teknik Analisis Data ... 45

3.8.1 Metode Analisis Statistika Deskriftif ... 46

3.8.2 Metode Analisis Linear Berganda ... 46

3.8.3 Pengujian Hipotesis ... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1 Gambaran Umum Perusahaan ... 55

4.1.1 Gambaran umum pasar modal di Indonesia ... 55

4.1.2 Gambaran Umum Perusahaan Properti dan Real Estat di Bursa Efek Indonesia ... 57

4.2 Hasil Penelitian ... 88

4.2.1 Metode Analisis Statistika Deskriftif ... 88

4.2.2 Metode Analisis Linear Berganda ... 93

4.2.2.1 Uji Asumsi Klasik ... 93

4.2.2.2 Analisis Regresi Linier Berganda ... 101

4.2.2.3 Pengujian Hipotesis ... 103

4.3 Pembahasan ... 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 114

5.1 Kesimpulan ... 114

5.2 Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 118

LAMPIRAN ... 120


(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 Harga Saham Perusahaan Properti dan Real Estatdi BEI

Tahun 2006 – 2012 ... 3

1.2 Indikator Makro Ekonomi Indonesia Tahun 2006 – 2012 ... 4

3.1 Hubungan antarvariabel ... 54

4.1 Tingkat Inflasi Tahun 2006-2012 ... 88

4.2 Tingkat Suku Bunga Tahun 2006-2012 ... 89

4.3 Nilai Tukar Tahun 2006-2012 ... 90

4.4 Harga Saham Perusahaan Properti dan Real Estat di BEI Tahun 2006-2012 (Dalam Rupiah) ... 91

4.5 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ... 96

4.6 Hasil Uji Park ... 98

4.7 Hasil Uji Statistik Q : Box-Pierce dan Ljung Box ... 99

4.8 Coefficientsa 4.9 Coefficients ... 100

a... 4.10 ANOVA 101 b ... 4.11 Coefficients 104 a... 4.12 Variables Entered/Removed 105 b... 4.13 Hubungan Antar Variabel 107 ... 4.14 Model Summary 107 b ... 108


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

1.1 Tingkat Inflasi dan Suku Bunga

Tahun 2006 – 2012 ... 6

1.2 Harga Saham dan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS Tahun 2006 – 2012 ... 6

2.1 Pedoman Waktu Membeli dan Menjual Saham ... 17

3.1 Kerangka Pemikiran ... 40

4.1 Histogram Dependent Variabel (Harga Saham) ... 94

4.2 Normal P-Plot of Regression Standardized Residual ... 95


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

1 Daftar Emiten Sektor Properti dan Real Estat

di Bursa Efek Indonesia ... 121 2 Data Tingkat Inflasi, Suku Bunga, Nilai Tukar, dan Harga

Saham Perusahaan Properti dan Real Estat di BEI

Tahun 2006-2012 ... 122 3 Hasil Pengolahan SPSS ... 125 .


(11)

ABSTRAK

PENGARUH TINGKAT INFLASI, SUKU BUNGA, DAN NILAI TUKAR TERHADAP HARGA SAHAM PERUSAHAAN

PROPERTI DAN REAL ESTAT DI BURSA EFEK INDONESIA

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris tentang pengaruh tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar terhadap harga saham perusahaan properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia selama periode pengamatan 2006-2012.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari publikasi Bursa Efek Indonesia dan Bank Indonesia yang tersedia di media internet, buku referensi, majalah, artikel yang tersedia di media internet dan bahan literatur ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis statistika deskriptif dan metode analisis linear berganda.

Hipotesis dari penelitian ini diuji dengan menggunakan uji signifikan simultan (uji F) dan uji signifikansi parsial (uji t) pada tingkat signifikansi 5% (Sig. 0,05). Hasil uji F mengindikasikan bahwa tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar (rupiah terhadap dolar AS) secara simultan berpengaruh terhadap harga saham perusahaan properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia. Hasil uji t mengindikasikan bahwa tingkat inflasi memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap harga saham, sementara suku bunga dan nilai tukar memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap harga saham.

Implikasi dari penelitian ini adalah para investor harus mempertimbangkan tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar sebelum membuat keputusan investasi pada saham perusahaan guna meminimalkan kerugian yang mungkin timbul dan memaksimalkan keuntungan. Selain itu, para investor juga sebaiknya mempertimbangkan indikator makro ekonomi lainnya, seperti peraturan perpajakan, kondisi perekonomian internasional, perputaran uang, siklus ekonomi, dan kondisi ekonomi lainnya yang juga dapat mempengaruhi harga saham properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia.

.


(12)

ABSTRACT

THE EFFECT OF INFLATION RATES, INTEREST RATES, AND EXCHANGE RATES ON THE STOCK PRICE OF

REAL ESTATE AND PROPERTY COMPANIES IN INDONESIA STOCK EXCHANGE

This research aims to obtain empirical evidence about the effect of inflation rates, interest rates, and exchange rates on the stock price of real estate and property companies in Indonesia Stock Exchange during period 2006-2012.

This research is quantitative research. Data used for this research is secondary data that collected from Indonesia Stocks Exchange’s and Bank Indonesia’s publication that available in internet, reference books, magazines, articles from internet, and the other science literatures related to the research. The method applied in this research is descriptive analysis and multiple regression analysis. Hypothesis of this research is tested by simultaneous significance test (F test) and partial significance test (t test) at 5% level of significance.

The result of F test indicates that inflation rates, interest rates, and exchange rates (rupiah to U.S. dollar) simultaneously effect on the stock prices of real estat dan property companies in the Indonesia Stock Exchange. The result of t test, indicates that partially, inflation rates have positive and not significant effect on the stock price, while interest rates and exchange rates have negative and significant effect on the stock price.

The implication of this research is investors have to consider the inflation rates, interest rates, and exchange rates before making a stock investment in real estate and property companies in order to minimize possible losses in the investment and for maximize profits. In addition, investors also should consider other macroeconomic indicators such as tax rules, international economics condition, money circulation, economic cycle, and other economic conditions, which can also affect the stock prices of real estate and property companies listed in Indonesia Stock Exchange.


(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Properti dan real estat merupakan salah satu sektor yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari, manusia tidaklah dapat terlepas dari sektor ini, misalnya kantor atau pabrik tempat ia bekerja, pusat perbelanjaan tempat ia membeli keperluannya sehari-hari, rumah sakit tempat ia, keluarga, maupun kerabatnya dirawat ketika sakit, taman hiburan tempat ia mengisi waktu liburnya, sekolah atau universitas tempat ia mengajar maupun menimba ilmu, serta properti dan real estat lainnya yang selalu berhubungan dengan aktivitas manusia sehari-hari, dan yang paling penting adalah rumah atau apartemen tempat ia tinggal.

Properti dan real estat khususnya perumahan merupakan kebutuhan papan yang merupakan salah satu kebutuhan dasar (primer) manusia, disamping kebutuhan akan pangan dan sandang, sehingga setiap orang harus berhubungan dengan bagian dari properti dan real estat yang satu ini. Bagaimanapun kondisi perekonomian yang sedang terjadi, semua orang harus lah memiliki rumah tempat ia tinggal untuk memenuhi salah satu kebutuhan utamanya.

Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan harga tanah dan bangunan yang lebih tinggi dari laju inflasi setiap tahunnya menyebabkan semakin banyak investor yang tertarik untuk melakukan investasi di sektor ini. Properti dan real estat merupakan aset yang memiliki nilai investasi yang tinggi, dan dinilai cukup aman dan stabil. Harga properti dan real estat


(14)

(khususnya rumah) mengalami kenaikan sekitar 10% setiap tahunnya. Sebab itu, sebuah rumah memiliki potensi mengalami kenaikan harga dua kali lipat dalam 5-10 tahun ke depan.

Kenaikan harga ini disebabkan oleh ketersediaan tanah bersifat tetap, sementara permintaannya cenderung meningkat setiap tahunnya, sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal, perkantoran, pusat perbelanjaan, taman hiburan, dan kebutuhan akan sektor properti dan real estat lainnya juga mengalami kenaikan. Selain itu, harga tanah tidaklah ditentukan oleh pasar, tetapi oleh orang yang memiliki tanah.

Akhir-akhir ini properti dan real estat tumbuh dengan pesat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pembangunan rumah dan toko (ruko), apartemen, pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, kondominium, dan perumahan. Maraknya pembangunan ini menandakan bahwa terdapat pasar yang cukup besar bagi sektor properti dan real estat di Indonesia. Hal ini merupakan informasi yang positif bagi para investor, yang kemudian meresponnya dengan membeli saham perusahaan properti dan real estat di pasar modal.

Berikut ini disajikan data mengenai perkembangan harga saham perusahaan properti dan real estat yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2006-2012.


(15)

Tabel 1.1

Harga Saham Perusahaan Properti dan Real Estat di BEI Tahun 2006-2012 (dalam Rupiah)

No. Kode Emiten

Tahun

Keterangan 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

1 CTRS 717 1045 463 452 629 757 1710 Berfluktuasi 2 ADHI 735 1128 559 380 667 686 1089 Berfluktuasi 3 LPCK 271 492 400 197 304 1101 3109 Berfluktuasi Sumber : finance

Sesuai dengan data yang disajikan dalam Tabel 1.1, harga saham properti dan real estat mengalami fluktuasi. Terjadinya fluktuasi ini dapat disebabkan oleh respon dan reaksi yang berbeda-beda dari setiap investor terhadap informasi-informasi yang terdapat di pasar. Informasi-informasi-informasi ini dapat bersumber dari kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, yang dapat dilihat dari pertumbuhan indikator makro ekonomi, seperti tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar rupiah.

Selain kondisi perekonomian dalam negeri, pergerakan saham juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global. Krisis global yang berasal dari Amerika akibat macetnya kredit properti (suprime mortage) ini juga membawa dampak negatif bagi pergerakan saham di Indonesia. Tampak pada Tabel 1.1, pada tahun 2008 harga saham beberapa perusahaan properti dan real estat mengalami penurunan. IHSG mengalami pertumbuhan negatif selama tahun 2008. Sehingga pada 8 Oktober 2008, perdagangan saham di BEI dihentikan sementara.

Kondisi pertumbuhan makro ekonomi yang terjadi dalam enam tahun terakhir ini dapat dilihat dari Tabel 1.2 berikut ini.


(16)

Tabel 1.2

Indikator Makro Ekonomi Indonesia Tahun 2006 – 2012

No. Indikator Makro

Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1 Inflasi 6,60% 6,40% 10,30% 4,89% 5,12% 5,38% 4,27% 2 Suku Bunga 11,83% 8,60% 8,60% 7,10% 6,50% 6,58% 5,75% 3 Nilai Tukar

(USD-IDR) 9.164 9.139 9.692 10.407 9.086 8.819 9.385 Sumber :

Seperti yang terlihat pada Tabel 1.2, inflasi di Indonesia mengalami fluktuasi. Dari tahun 2006 sampai 2007 inflasi mengalami penurunan 0,20%. Namun pada tahun 2008, terjadi kenaikan yang cukup besar hingga mencapai angka 10,30%. Dorongan pada laju inflasi ini merupakan salah satu dampak terjadinya krisis global pada tahun 2008. Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga komoditi terutama minyak dan pangan. Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga barang yang ditentukan pemerintah (administered prices) seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi

Kemudian pada tahun 2009, inflasi mengalami penurunan yang cukup drastis, yaitu sebesar 5,41%. Hal ini merupakan penurunan persentase terbesar sepanjang tahun 2006-2012. Pada bulan November tahun 2009 tingkat inflasi Indonesia terlalu rendah mencapai 2,41%. Tingkat inflasi yang terlalu rendah pada dasarnya tidaklah terlalu baik bagi pertumbuhan perekonomian di Indonesia, karena dapat menyebabkan lambannya pergerakan perekonomian Indonesia. Lambannya pergerakan perekonomian juga menyebabkan harga saham bergerak lamban. Pada tahun 2010, inflasi meningkat kembali. Pada tahun 2011 dan 2012


(17)

menurun setiap tahunnya, hingga pada tahun 2012 mencapai angka 4,30%. Rendahnya tingkat inflasi ini didukung oleh faktor musim, harga komoditas pangan yang sedang turun, dan penundaan kenaikan tarif listrik serta harga BBM bersubsidi.

Pada indikator suku bunga, juga terjadi penurunan setiap tahunnya. Tingkat suku bunga terendah terdapat pada tahun 2012. Bank Indonesia memutuskan mempertahankan BI Rate sebesar 5,75 % karena dipandang masih konsisten dengan tekanan inflasi yang rendah dan terkendali yang sesuai dengan sasaran inflasi tahun 2012-2013, yaitu 4,5% ± 1%

Terjadinya krisis global pada tahun 2008 menyebabkan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS. Hal ini ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga mencapai Rp 11.711 per dolar AS pada bulan November 2008. Pada masa krisis ini terjadi keketatan likuiditas global. Para investor dari Amerika menarik kembali dananya untuk menangani keuangan di negaranya, sehingga terjadi aliran keluar modal asing yang menyebabkan supply

dolar relatif sangat menurun. Hal ini lah yang menyebabkan efek depresiasi terhadap rupiah.

Berikut ini disajikan grafik tingkat inflasi, suku bunga, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dan harga saham sektor properti dan real estat yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (data tahun 2006-2012 ).


(18)

Sumber : Hasil Pengolahan Data (Microsoft Excel) Gambar 1.1

Tingkat Inflasi dan Suku Bunga di Indonesia Tahun 2006 – 2012 (dalam Persen)

Sumber : Hasil Pengolahan Microsoft Excel Gambar 1.2

Harga Saham dan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Tahun 2006-2012 (dalam Rupiah)

Dari Gambar 1.2 dan Gambar 1.3 dapat dilihat keterkaitan antara harga saham dengan indikator-indikator makro di Indonesia. Samsul (2006 : 200) mengatakan bahwa harga saham dapat dipengaruhi oleh faktor makro di suatu negara, seperti tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar.

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Inflasi Suku Bunga

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Nilai Tukar DUTI LPCK RDTX


(19)

Pada tahun 2006-2007, dimana kondisi inflasi berada pada tingkat stabil, suku bunga menurun, dan nilai rupiah menguat, tampak bahwa harga saham perusahaan properti dan real estat rata-rata mengalami kenaikan. Menurut Tandelilin (2010 : 103) perubahan suku bunga akan mempengaruhi harga saham secara terbalik, cateris paribus. Hal ini berarti, apabila suku bunga meningkat, maka harga saham akan turun. Demikian pula sebaliknya, jika suku bunga turun, maaka harga saham naik.

Pada tahun 2007-2008, terjadi krisis ekonomi global, sehingga menyebabkan buruknya kondisi indikator makro Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tingkat inflasi mengalami kenaikan 3,9%, suku bunga menurun, dan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar. Hal ini diikuiti dengan harga saham perusahaan sektor properti dan real estat yang rata-rata mengalami penurunan. Pada rentang waktu ini, inflasi berada pada tingkat yang sangat tinggi. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan kejatuhan harga saham di pasar. Inflasi yang tinggi menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi, sementara daya beli masyarakat menjadi lemah. Hal ini menyebabkan menurunnya pendapatan perusahaan, dan pada akhirnya akan menurunkan harga saham perusahaan tersebut (Zubir, 2011 : 21).

Pada tahun 2008-2009, kondisi indikator makro Indonesia masih dalam keadaan buruk, yang merupakan dampak dari krisis ekonomi global. Pada periode ini inflasi menurun drastis, suku bunga menurun, dan nilai tukar rupiah masih melemah tehadap dolar. Harga saham perusahaan sektor properti dan real estat juga rata-rata mengalami penurunan. Pada rentang waktu ini, tingkat inflasi


(20)

sangat rendah. Tinggi rendahnya tingkat inflasi dinilai memberi pengaruh positif maupun negatif terhadap pergerakan harga saham sesuai dengan tingkat inflasi itu sendiri. Tingkat inflasi yang tinggi akan menurunkan harga saham, sementara tingkat inflasi yang sangat rendah akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat lamban sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap lambannya pergerakan harga saham (Samsul, 2006 : 201).

Pada tahun 2009-2012, kondisi indikator makro Indonesia berangsur-angsur membaik, dimana inflasi meningkat kembali kepada tingkat yang stabil pada tahun 2010, dan kemudian terus mengalami penurunan pada tahun 2011 dan 2012, indikator suku bunga tetap mengalami penurunan hingga tahun 2012, dan nilai tukar rupiah menguat dari tahun 2009-2011.

Pada rentang waktu ini, rata-rata harga saham perusahaan properti dan real estat yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia mengalami peningkatan. Namun, pada tahun 2012, rupiah kembali melemah terhadap dolar. Terdapat beberapa perusahaan yang harga sahamnya menurun pada rentang waktu ini mengikuti melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Namun, kebanyakan perusahaan justru harga sahamnya meningkat cukup besar, dengan melemahnya nilai tukar rupiah ini.

Nilai tukar rupiah akan membawa pengaruh positif ataupun negatif terhadap harga saham perusahaan, tergantung pada kegiatan operasional perusahaan (Samsul, 2006 : 202). Saham perusahaan yang bergerak di bidang ekspor akan mengalami kenaikan dengan menguatnya mata uang asing, atau melemahnya mata uang domestik. Hanya pada saham-saham perusahaan tertentu atau perusahaan


(21)

importir yang akan mengalami penurunan. Jika perusahaan mempunyai utang yang besar dalam mata uang asing, maka melemahnya rupiah terhadap mata uang asing tersebut mengakibatkan beban operasional perusahaan menjadi tinggi. Hal ini lah yang dapat menyebabkan penurunan pada harga saham perusahaan (Simatupang, 2010 : 77).

Fenomena ini menimbulkan suatu dugaan bagi peneliti, bahwa kondisi indikator makro ekonomi di Indonesia, yaitu tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar memiliki pengaruh terhadap harga saham perusahaan properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia. Kodrat dan Herdinata (2009) mengatakan bahwa investasi di sektor sektor properti dan real estat merupakan investasi jangka panjang dan akan bertumbuh sejalan dengan perekonomian. Selain itu, berdasarkan Pusat Studi Properti Indonesia, kondisi makro ekonomi merupakan faktor penting yang mempengaruhi bisnis sektor properti dan real estat.

Hal ini lah yang melatarbelakangi peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh makro ekonomi, dalam hal ini peneliti mengambil 3 indikator, yaitu tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar, terhadap harga saham perusahaan properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar berpengaruh signifikan terhadap harga saham perusahaan sektor properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia ?”.


(22)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar terhadap harga saham perusahaan sektor properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia, baik secara bersama-sama maupun parsial.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi investor dan praktisi keuangan, hasil penelitian ini dapat menambah

informasi dan menjadi bahan pertimbangan guna pengambilan keputusan investasi pada saham perusahaan properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia.

2. Bagi pengembang (developer), hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan menjadi bahan pertimbangan guna pengambilan keputusan dalam ekspansi bisnis yang berkaitan dengan sektor properti dan real estat. 3. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan bahan referensi

dan informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya.

4. Bagi peneliti, hasil penelitian dapat memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai pengaruh tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar terhadap harga saham perusahaan sektor properti dan real estat yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pasar Modal

2.1.1 Pengertian Pasar Modal

Pasar modal pada dasarnya adalah pasar untuk memperjualbelikan berbagai instrumen keuangan jangka panjang. Pasar modal merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah) dan sarana bagi kegiatan berinvestasi (Darmadji dan Fakhruddin, 2006 : 1).

Menurut Kamus Pasar Uang dan Modal, pasar modal adalah pasar konkret atau abstrak yang mempertemukan pihak yang menawarkan dana dan yang memerlukan dana jangka panjang, yaitu jangka satu tahun ke atas (Triandaru dan Budisantoso, 2008 : 279).

Pasar modal disebut sebagai lembaga perantara (intermediaries). Fungsi ini merupakan peran penting dari pasar modal dalam menunjang perekonomian karena pasar modal dapat menghubungkan pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang mempunyi kelebihan dana.

Selain itu, pasar modal dapat mendorong terciptanya alokasi dana yang efisien, sebab dengan adanya pasar modal, pihak yang kelebihan dana (investor) dapat memilih alternatif investasi yang memberikan return yang paling optimal. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa investasi yang memberikan return yang relatif besar adalah sektor-sektor yang paling produktif yang terdapat di pasar. Dengan


(24)

demikian, dana yang berasal dari investor dapat digunakan secara produktif oleh perusahaan-perusahaan tersebut (Tandelilin, 2010 : 26)

Instrumen yang diperdagangkan dipasar modal merupakan instrumen jangka panjang (memiliki umur lebih dari 1 tahun), seperti obligasi (bonds), waran

(warrant), reksa dana (mutual fund), saham (stock), dan berbagai instrumen

derivatif seperti opsi (option), kontrak berjangka (futures), dan lain-lain (Triandaru dan Budisantoso, 2008 : 279) .

Tempat dimana instrumen (sekuritas) tersebut diperdagangkan disebut dengan bursa efek. Undang-Undang No. 8 tahun 1995 tentang pasar modal mendefenisikan bursa efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek antara mereka (Tandelilin, 2010 : 67)

Bursa Efek merupakan arti dari pasar modal secara fisik. Di Indonesia terdapat satu bursa efek, yaitu Bursa Efek Indonesia. Sejak tahun 2007, Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES) bergabung dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) (Tandelilin, 2010 : 26).

2.1.2Manfaat Pasar Modal

Manfaat pasar modal dapat dilihat dari 3 sudut pandang, yaitu dari sudut pandang negara, sudut pandang emiten, dan sudut pandang masyarakat.

1. Sudut Pandang Negara

Berdasarkan sudut pandang negara, pasar modal dibangun dengantujuan menggerakkan perekonomian negara melalui kekuatan swasta dan mengurangi


(25)

beban negara. Tanpa harus memiliki perusahaan sendiri, negara memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mengatur bidang perekonomiannya.Negara tidak perlu membiayai pembangunan ekonominya dengan cara meminjam dana dari pihak asing, sepanjang pasar modal dapat difungsikan dengan baik. Pinjaman yang diperoleh dari pihak asing hanya akan selalu membebani APBN, yang pada akhirnya dibebankan kepada rakyat melalui pungutan pajak (Samsul, 2006 : 43). 2. Sudut Pandang Emiten

Bagi emiten, kehadiran pasar modal merupakan sarana untuk mencari tambahan modal. Perusahaan berkepentingan untuk mendapatkan dana dengan biaya yang lebih murah dan hal itu hanya bisa diperoleh di pasar modal. Modal pinjaman dalam bentuk obligasi jauh lebih murah daripada kredit jangka panjang perbankan. Bagi perusahaan, dalam menghadapi persaingan yang semakin tajam di era globalisasi ini, meningkatkan modal sendiri jauh lebih baik daripada meningkatkan modal pinjaman. Pasar modal juga merupakan sarana untuk memperbaiki struktur permodalan perusahaan (Samsul, 2006 : 44).

3. Sudut Pandang Masyarakat

Masyarakat memiliki sarana baru untuk menginvestasikan uangnya dengan adanya pasar modal. Investasi yang semula dilakukan dalam bentuk deposito, emas, tanah, atau rumah, sekarang dapat dilakukan dalam bentuk saham, dan obligasi. Investasi dalam bentuk efek dapat dilakukan dengan dana di bawah Rp 5 juta, sehingga pasar modal dapat menjadi sarana yang baik untuk melakukan investasi dalam jumlah yang tidak terlalu besar bagi kebanyakan masyarakat. Jika pasar modal itu berjalan dengan baik, jujur, pertumbuhannya stabil, dan


(26)

harganya tidak terlalu bergejolak, maka sarana itu akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat (Samsul, 2006 : 44).

2.2 Saham

2.2.1 Pengertian Saham

Saham (stock atau share) dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Saham berwujud selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut. Porsi kepemilikan ditentukan oleh seberapa besar penyertaan yang ditanamkan di perusahaan tersebut ( Darmadji dan Fakhruddin, 2006 : 6)

Saham dibedakan menjadi dua, yaitu saham biasa dan saham preferen. Saham biasa (common stock) adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan (Tandelilin, 2010 : 33). Saham biasa memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah (Darmadji dan Fakhruddin, 2006 : 10) : 1. Pemilik saham biasa akan mendapatkan dividen sepanjang perusahaan

memperoleh laba.

2. Dalam rapat umum pemegang saham, pemilik saham biasa memiliki hak suara (satu saham satu suara )

3. Disaat perusahaan dilikuidasi, maka pemilik saham biasa memiliki hak terakhir (junior) dalam hal pembagian kekayaan perusahaan.

4. Pemilik saham biasa memiliki tanggung jawab terbatas terhadap klaim pihak lain sebesar proporsi sahamnya.


(27)

5. Pemilik saham biasa memiliki hak terlebih dahulu untuk memiliki saham baru yang diterbitkan oleh perusahaan (preemtive right).

Saham preferen (prefered stock) merupakan satu jenis sekuritas ekuitas yang berbeda dalam beberapa hal dengan saham biasa (Tandelilin, 2010 : 36). Saham preferen (prefered stock) memiliki beberapa karakteristik, seperti berikut ini (Darmadji dan Fakhruddin, 2006 : 10) :

1. Pemilik saham preferen mempunyai hak untuk menerima terlebih dahulu dividen dibandingkan dengan pemegang saham biasa.

2. Apabila perusahaan tersebut dilikuidasi, maka pemilik saham preferen memiliki hak pembayaran maksimum sebesar nilai nominal saham lebih dahulu setelah kreditor.

3. Pemegang saham preferen berkemungkinan dapat memperoleh tambahan dari pembagian laba perusahaan disamping penghasilan yang diterima secara tetap. 4. Pemilik saham preferen memiliki hak memperoleh pembagian kekayaan

perusahaan di atas pemegang saham biasa stelah semua kewajiban perusahaan dilunasi jika perusahaan dilikuidasi.

2.2.2 Nilai Saham

Suatu saham perusahaan go-public mengandung 3 jenis nilai. Nilai dari saham tersebut membantu para investor dalam mempertimbangkan melakukan investasi saham di pasar modal. Adapun nilai dari saham tersebut yaitu :

1. Nilai Buku

Nilai buku saham (book value) per lembar saham menunjukkan aktiva bersih (net


(28)

(Jogiyanto, 2003 : 82). Menurut Halim (2005 : 20), nilai buku mencerminkan nilai perusahaan, dan nilai perusahaan tercermin pada nilai kekayaan bersih ekonomis yang dimilikinya. Nilai buku bersifat dinamis, tergantung pada perubahan nilai kekayaan bersih ekonomis pada suatu saat.

2. Nilai Instrinsik

Nilai instrinsik (intrinsic value) saham merupakan nilai yang seharusnya terjadi (Halim, 2005 : 20). Nilai intrinsik atau nilai wajar merupakan nilai yang diberikan oleh para investor atau analisis pasar modal terhadap setiap saham yang diperdagangkan di bursa efek dengan berpedoman kepada masing-masing industri dari setiap perusahaan tersebut. Nilai wajar saham menjadi dasar bagi para investor untuk melakukan keputusan membeli, menahan atau menjual saham (Simatupang, 2010 : 20).

3. Nilai Pasar

Nilai pasar (market value) atau harga pasar saham suatu perusahaan go-public

adalah nilai yang diperdagangkan di bursa efek. Nilai pasar merupakan harga dari saham di pasar bursa pada saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar. Nilai ini ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham bersangkutan di bursa (Jogiyanto, 2003 : 88). Nilai intrinsik dan nilai pasar saham merupakan informasi yang penting bagi investor. Investor menggunakannya sebagai dasar pengambilan keputusan membeli atau menjual saham. Jika suatu saham memiliki nilai pasar yang lebih besar dari nilai intrinsiknya, berarti saham tersebut tergolong mahal

(overvalued). Saat saham dinilai overvalued maka investor mengambil keputusan


(29)

nilai intrinsiknya, saham tersebut dikatakan murah (overvalued). Saat kondisi seperti ini, investor disarankan untuk membeli saham tersebut (Tandelilin, 2010 : 302).

Sumber : Abdul Halim (Analisis Investasi) Gambar 2.1

Pedoman Waktu Membeli dan Menjual Saham

2.2.3 Risiko Investasi Saham

Disamping return, dalam investasi juga dikenal istilah risiko. Risiko didefinisikan sebagai perbedaan antara hasil yang diharapkan (expected return) dan realisasinya (Zubir, 2010 : 19). Semakin besar perbedaannya, berarti semakin tinggi resikonya. Return dan risiko berjalan searah. Makin besar hasil yang diinginkan makin besar pula risikonya, dan demikian sebaliknya.

Terdapat beberapa resiko yang dapat dialami oleh investor yang memiliki saham, diantaranya adalah :

Berdasarkan Estimasi harga pasar terakhir :

1. Tingkat Pengembalian 2. Resiko

Estimasi Nilai Sekarang

Tekanan Pembelian bersih di pasar mendorong harga naik

Tekanan Penjualan bersih di pasar mendorong harga turun

Jika harga < nilai intrinsik  beli

Jika harga = nilai intrinsik jangan bertransaksi Jika harga > nilai intrinsik jual


(30)

1. Tidak Mendapatkan Dividen

Dalam menjalankan kegiatannya, tidak selamanya perusahaan mendapatkan keuntungan. Perusahaan yang mengalami kerugian, menyebabkan timbulnya risiko bagi para investor, karena perusahaan tidak dapat membagikan laba atau dividen kepada para pemegang sahamnya, padahal salah satu tujuan investor berinvestasi pada saham adalah untuk mendapatkan dividen (Simatupang, 2010 : 47).

2. Capital Loss

Dalam aktivitas perdagangan saham, ada kalanya pemodal harus menjual saham dengan harga jual lebih rendah dari harga beli (capital loss). Dalam perdagangan saham, terkadang untuk menghindari potensi kerugian yang semakin besar seiring terus menurunnya harga saham, maka investor rela menjual sahamnyadengan harga rendah. Hal ini dikenal dengan istilah cut loss (Darmadji & Fakhruddin, 2006 : 14). 3. Saham Perusahaan Dilikuidasi (Bangkrut)

Pada saat perusahaan dilikuidasi, maka pemegang saham akan menempati posisi lebih rendah dibanding kreditor atau pemegang obligasi. Hal ini berarti setelah semua aset perusahaan tersebut dijual, hasil penjualan terlebih dahulu dibagikan kepada kreditor atau pemegang obigasi, dan jika terdapat sisa, baru dibagikan kepada pemegang saham (Darmadji & Fakhruddin, 2006 : 14).


(31)

4. Saham Perusahaan Di-delisting

Delisting berarti perusahaan dikeluarkan dari pencatatan di bursa efek.

Risiko atau kerugian bagi investor yang memiliki saham di-delist yaitu harga saham umumnya akan turun secara drastis, dan saham sulit ditransaksikan (tidak likuid). Sesuai dengan ketentuan pasar modal, bahwa suatu saham perusahaan di-delist di bursa dapat terjadi karena permintaan sendiri atau karena kinerja perusahaan yang buruk (Simatupang, 2010 : 48 ).

5. Saham Di-Suspend

Saham di-suspend artinya aktivitas perdagangan suatu saham dihentikan perdagangannya oleh otoritas bursa. Suspend menyebabkan investor tidak dapat memperdagangkan saham yang dimilikinya sampai suspend tersebut dicabut. Hal ini tentu merugikan investor. Suspend pada umumnya terjadi karena adanya lonjakan harga yang naik atau turun secara drastis serta bersifat sementara yaitu satu atau dua sesi perdagangan. Selanjutnya suspend akan dicabut oleh otoritas bursa dan saham dapat diperdagangkan kembali seperti semula pada umumnya setelah pihak manajemen perusahaan telah memberikan informasi yang jelas terhadap berita atau rumor yang terjadi yang

menyebabkan kepanikan bagi masyarakat investor (Simatupang, 2010 : 48).


(32)

2.2.4 Return Saham

Saham merupakan bukti kepemilikan suatu perusahaan. Dengan bukti kepemilikan tersebut, maka para pemegang saham memiliki hak atas bagian laba yang dibagikan sesuai dengan proporsi kepemilikannya (Zubir, 2010 : 4). Investor melakukan investasi dengan harapan mendapatkan tingkat pengembalian (return) yang besar dari investasi yang dilakukannya. Tandelilin (2010 : 102) mengatakan bahwa salah satu faktor yang memotivasi investor berinvestasi adalah return, dan return merupakan imbalan atas keberanian investor menanggung resiko akan investasi yang dilakukannya. Terdapat dua bentuk return yang diterima oleh investor dari kegiatan investasi saham, yaitu :

1. Dividen

Dividen adalah keutungan bersih setelah dikurangi pajak yang diberikan

perusahaan penerbit saham kepada para pemegang saham (Simatupang, 2010 : 39). Sering dijumpai perusahaan tidak membagikan dividen

kepada para pemegang sahamnya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan kebutuhan dana untuk pengembangan usaha, memprioritaskan pembayaran utang perusahaan, dan pertimbangan lainnya. Oleh sebab itu, investor harus dapat

mengamati dan mempertimbangkannya sebelum melakukan investasi (Simatupang, 2010 : 40) .

2. Capital Gain

Capital gain merupakan keutungan yang diperoleh oleh para investor di pasar

modal, yang berasal dari selisih antara harga beli dan harga jual Data-data transaksi di Bursa Efek menunjukkan bahwa banyak para investor di pasar modal


(33)

melakukan investasi saham lebih memprioritaskan mendapatkan kapital gain daripada dividen. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya investor melakukan investasi bersifat jangka pendek dengan membeli saham pada pagi hari dan kemudian akan menjualnya lagi pada sore hari atau satu dua hari kemudian setelah harganya naik (Simatupang, 2010 : 42).

2.2.5Sumber Risiko yang Mempengaruhi Return Saham

Dalam melakukan investasi, para investor selalu mempertimbangkan risiko dan return yang diperoleh dari kegiatan investasi tersebut. Risiko dan return merupakan dua hal yang berhubungan. Menurut Harry Markowitz (dalam Zubir, 2011 : 19), expected return dan varian dari return (sebagai ukuran resiko) merupakan dasar bagi investor untuk membuat keputusan investasi. Investor bersedia menanamkan modalnya pada investasi yang berisiko lebih besar tetapi dengan kompensasi memiliki peluang mendapatkan return yang lebih besar juga. Hal ini sering disebut dengan istilah “high risk, high return” (Zubir, 2011 : 19). Terdapat beberapa sumber risiko yang dapat mempengaruhi return, yaitu (Zubir, 2011 : 20) :

1. Market risk merupakan risiko yang diakibatkan oleh gejolak (variability)

return suatu investasi sebagai akibat terjadinya dari fluktuasi transaksi di pasar

secara keseluruhan. Market risk disebabkan oleh peristiwa-peristiwa yang bersifat menyeluruh yang mempengaruhi kegiatan pasar secara umum

(aggregate), misalnya peperangan, resesi, perubahan struktur perekonomian,

dan perubahan selera konsumen. Hal ini menyebabkan, return saham-saham yang terkait dengan perubahan kegiatan pasar tersebut juga akan terpengaruh.


(34)

2. Interest rate risk

Interest rate risk merupakan risiko yang ditimbulkan oleh adanya perubahan

tingkat bunga tabungan,dan tingkat bunga pinjaman. Tingkat bunga yang tinggi dapat meyebabkan return yang diperoleh dari investasi berisiko rendah (deposito) lebih tinggi daripada return investasi yang berisiko tinggi (saham), sehingga investor akan lebih tertarik untuk menempatkan dananya dalam bentuk investasi beresiko rendah (deposito) daripada investasi beresiko tinggi (saham).

3. Inflation risk

Inflation risk adalah risiko yang timbul akibat terjadinya kenaikan harga

barang-barang secara umum, sehingga mengakibatkan penurunan pada daya beli masyarakat sebagai akibat dari kenaikan harga barang-barang secara umum. Permintaaan terhadap barang meningkat, namun masyarakatnya tidak lagi mampu membelinya, akhirnya penjualan akan turun. Hal ini kemudian mengakibatkan menurunnya laba perusahaan. Penurunan laba ini pada akhirnya menyebabkan harga saham perusahaan tersebut melemah.

4. Financial risk, yaitu risiko keuangan yang berkaitan dengan struktur modal

yang digunakan untuk mendanai kegiatan perusahaan. Perusahaan yang mempunyai hutang yang besar, mempunyai risiko yang besar juga di mata para pemegang sahamnya. Saham perusahaan menjadi tidak menarik untuk dijadikan instrumen investasi. Hal ini menyebabkan harga saham perusahaan jatuh.


(35)

5. Business risk

Business risk, merupakan risiko yang disebabkan oleh semakin beratnya

tantangan bisnis yang dihadapi perusahaan, baik akibat tingkat persaingan yang semakin ketat, perubahan peraturan pemerintah, maupun claim dari masyarakat terhadap perusahaan karena merusak lingkungan.

6. Liquidity risk adalah risiko yang berkaitan dengan kesulitan untuk mencairkan

portofolio atau menjual saham karena tidak ada yang membeli saham tersebut. Hal ini dapat disebakan oleh beberapa hal, misalnya perusahaan dinilai terlalu kecil, atau akibat dihentikannya transaksi perdagangan saham perusahaan karena melanggar peraturan pasar modal.

7. Country Risk

Risiko ini berhubungan dengan investasi lintas negara yang disebabkan oleh kondisi politik, keamanan, dan stabilitas perekonomian negara tersebut. Jika keamanan, politik, dan perekonomian suatu negara, semakin tidak stabil, maka semakin tinggi pulalah risiko investasi di negara tersebut karena return investasi menjadi semakin tidak pasti

8. Exchange risk atau currency risk

Bagi investor yang melakukan investasi di berbagai negara dengan berbagai mata uang, perubahan nilai tukar mata uang akan menjadi faktor penyebab real

return lebih kecil dari pada expected return.

2.2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Saham

Harga saham dipengaruhi oleh kinerja perusahaan dan kemungkinan risiko yang dihadapi perusahaan. Kinerja perusahaan dan resiko yang dihadapi


(36)

perusahaan dipengaruhi oleh faktor makro dan mikro ekonomi (Samsul, 2006 : 200).

1. Faktor Makro

Faktor makro merupakan faktor yang berada di luar perusahaan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan kinerja perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor makro terdiri dari makro ekonomi dan makro nonekonomi. Faktor makro ekonomi yang secara langsung dapat mempengaruhi kinerja saham maupun kinerja perusahaan antara lain (Samsul, 2006 : 200) :

1. Tingkat bunga umum domestic 2. Tingkat inflasi

3. Peraturan perpajakan

4. Kebijakan khusus pemerintah yang terkait dengan perusahaan tertentu 5. Kurs valuta asing

6. Tingkat bunga pinjaman luar negeri 7. Kondisi perekonomian internasional 8. Siklus ekonomi

9. Faham ekonomi 10. Peredaran uang

Perubahan pada faktor makro ekonomi ini terjadi perlahan dan akan mempengaruhi kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Namun, akan mempengaruhi harga saham dengan seketika karena para investor lebih cepat bereaksi. Faktor makro mempengaruhi kinerja perusahaan dan perubahan kinerja


(37)

perusahaan secara fundamental mempengaruhi harga saham di pasar. Investor fundamentalis akan menilai saham sesuai dengan kinerja perusahaan saat ini dan prospek kinerja perusahaan di masa yang akan datang (Samsul, 2006 : 200).

Jika kerjanya meningkat, maka harga saham akan meningkat dan jika kinerja menurun, maka harga saham akan menurun. Jika salah satu variabel makro berubah, maka investor akan bereaksi positif atau negatif, tergantung pada apakah perubahan variabel makro itu bersifat positif atau negatif di mata investor (Samsul, 2006 : 201). Investor memiliki respon yang berbeda-beda terhadap perubahan variabel makro. Ada yang memberikan reaksi positif atau negatif yang kesemuanya tergantung pada kekuatan investor yang paling dominan. Kualitas reaksi positif ataupun reaksi negatif investor tidak sama satu sama lain, ada yang lemah, ada yang normal, dan ada pula yang berlebihan (overreaction).

Reaksi berlebihan (overreaction) terlihat dari gejolak harga saham (naik secara tajam), kemudian terkoreksi lagi oleh pasar sehingga tercapai keseimbangan harga yang normal. Overreaction juga tercermin dari gejolak harga yang tajam kemudian terkoreksi berlawanan sampai pada tingkat harga yang normal. Faktor makro berubah secara mendadak dan sukar diprediksi serta bisa datang setiap saat (Samsul, 2006 : 201).

2. Faktor Mikro

Faktor mikro ekonomi adalah faktor yang berada dalam perusahaan itu sendiri dan dapat mempengaruhi harga saham perusahaan. Faktor-faktor tersebut seperti (Samsul, 2006 : 204) :


(38)

1. Laba bersih per saham 2. Laba usaha per saham 3. Nilai buku per saham 4. Rasio ekuitas terhadap utang 5. Rasio laba bersih terhadap ekuitas 6. Cash Flow per saham

2.3 Inflasi

2.3.1 Pengertian Inflasi

Inflasi merupakan masalah utama di banyak negara berkembang. Defenisi inflasi menurut Nanga (2005 : 237) adalah “suatu gejala dimana tingkat harga mengalami kenaikan secara terus menerus”. Venieris dan Sebold (1978 : 603) dalam Nanga (2005 : 237), mendefenisikan inflasi sebagai suatu kecenderungan meningkatnya tingkat harga umum secara terus-menerus sepanjang waktu (a

sustained tendency for the general level prices to rise over time). Kenaikan

tingkat harga umum pada saat tertentu dan hanya “sementara”, belum tentu menimbulkan inflasi (Waluyo, 2003 : 119).

Laju inflasi adalah tingkat perubahan tingkat harga umum. Sementara lawan dari inflasi adalah deflasi, yang timbul pada saat tingkat harga umum menurun. Inflasi di ukur sebagai berikut:

����������� (��ℎ���)

= ������� ℎ���� (��ℎ���)−������� ℎ���� (��ℎ���−1)

������� ℎ���� (��ℎ���−1) × 100%

Secara konseptual, tingkat harga diukur sebagai rata-rata tertimbang dari barang-barang dan jasa-jasa dalam perekonomian. Dalam prakteknya, kita


(39)

mengukur tingkat harga keseluruhan dengan membuat indeks harga, yang merupakan rata-rata harga konsumen dan produsen (Mankiw, 2000 : 306).

2.3.2 Indeks Harga

Indeks harga (price index) adalah rata–rata tertimbang dari harga sejumlah barang-barang dan jasa-jasa. Dalam membuat indeks harga, para ekonom menimbang harga individual dengan memperhatikan arti penting setiap barang secara ekonomis (Mankiw, 2000 : 308). Menurut Mankiw (2000 : 308), indeks-indeks harga yang paling penting adalah indeks-indeks harga konsumen-IHK (consumer

price index-CPI), deflator GNP, dan indeks harga produsen-IHP (producer price

index-PPI).

1. Indeks Harga Konsumen (IHK)

Pengukuran inflasi yang paling banyak digunakan adalah indeks harga konsumen, yang dikenal juga sebagai IHK. IHK mengukur biaya sekelompok barang-barang dan jasa di pasar, termasuk harga-harga makanan, pakaian, pemukiman, bahan bakar, transportasi, perawatan kesehatan, pendidikan, dan komoditi lain yang dibeli untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari. Indeks harga dibuat dengan menimbang setiap harga sesuai dengan arti penting secara ekonomis dari komoditi yang bersangkutan (Mankiw, 2000 : 308).

2. Deflator GNP

Deflator GNP adalah rasio GNP nominal terhadap GNP riil, dan dengan demikian dapat diinterpretasikan sebagai harga dari seluruh komponen GNP (konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor neto) daripada sebagai harga pada sektor tunggal. Indeks harga ini berbeda dari IHK juga karena ia adalah indeks


(40)

timbangan variabel, yang menimbang harga-harga dan kuantitas periode berjalan. Sebagai tambahan, terdapat deflator untuk komponen-komponen GNP, seperti untuk barang-barang investasi, konsumsi perseorangan dan sebagainya, dan kadang-kadang semuanya digunakan sebagai suplemen IHK (Mankiw, 2000 : 309).

3. Indeks Harga Produsen (IHP)

Indeks ini mengukur tingkat harga pada tingkat produsen atau pedagang besar. Timbangan tetap yang digunakan untuk mengitung IHP adalah penjualan bersih komoditi. Karena begitu rincinya, indeks ini banyak digunakan oleh dunia usaha (Mankiw, 2000 : 309). Terdapat beberapa perbedaan antara IHK (Indeks Harga

Konsumen dengan Deflator PDB, diantaranya adalah (Dornbusch, Stanley Fischer, Richard Startz, 2008 : 41) :

1. Deflator mengukur harga barang yang lebih luas dibanding IHK

2. IHK mengukur harga kelompok barang yang tetap dari tahun ke tahun, sedangkan kelompok barang yang terdapat dalam deflator PDB berbeda-beda tiap tahun, tergantung apa yang diproduksi tiap tahun.

3. IHK secara langsung memasukkan harga impor sedangkan deflator hanya memasukkan harga barang-barang yang di produksi di dalam negeri.

2.3.3Jenis-jenis Inflasi

Ada beberapa macam inflasi yang dapat terjadi dalam perekonomian.

Berdasarkan asal inflasi, inflasi dapat dikelompokkan menjadi (Waluyo, 2003 : 125) :


(41)

1. Domestic Inflation

Inflasi ini terjadi karena kenaikan harga akibat adanya kondisi “shock” (kejutan) dari dalam negeri baik karena perilaku masyarakat maupun pemerintah yang mengakibatkan kenaikan harga.

2. Imported Inflation

Kenaikan harga-harga umum saja tidak dipengaruhi oleh harga dalam negeri, tetapi juga oleh harga-harga luar negeri yang tercermin pada harga barang-barang import. Dengan demikian kenaikan indeks harga luar negeri akan mengakibatkan kenaikan indeks harga umum, dan dengan sendirinya akan mempengaruhi laju inflasi.

Inflasi juga dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu Inflasi Moderat (Moderat Inflation), Inflasi Ganas (Galloping Inflation), dan Hiperinflasi.

1. Inflasi Moderat

Inflasi moderat ditandai dengan harga-harga yang meningkat secara lambat. Dapat disebut sebagai laju inflasi satu digit pertahun. Apabila harga-harga relatif stabil, masyarakat percaya pada uang. Masyarakat bersedia memegang uang karena uang akan hampir sama nilainya pada bulan atau tahun mendatang sebagaimana nilainya hari ini. Masyarakat tidak akan menghabiskan waktu atau sumber daya mereka untuk mencoba menyimpan kekayaan mereka dalam bentuk aktiva “riil” dibandingkan dengan aktiva “uang” atau “kertas berharga” karena

mereka percaya aktiva uang mereka akan tetap sama nilainya (Mankiw, 2000 : 312).


(42)

2. Inflasi Ganas (Galloping Inflation)

Inflasi dalam dua digit atau tiga digit seperti 20, 100, atau 200 persen per tahun, disebut “inflasi ganas”. Jika inflasi ganas timbul, maka timbullah gangguan-gangguan serius terhadap perekonomian. Umumnya sebagian besar kontrak disusun dalam indeks harga atau mata uang asing, seperti dolar. Dalam kondisi ini, uang kehilangan nilainya dengan sangat cepat; tingkat bunga riil dapat menjadi minus 50 atau 100 persen per tahun.

Sebagai konsekuensinya, masyarakat hanya memegang jumlah uang yang minimum yang diperlukan hanya untuk transaksi harian, pasar keuangan menjadi tidak bergairah, dan dana-dana umumnya dialokasikan berdasarkan rasio daripada berdasarkan tingkat bunga. Masyarakat menimbun barang, membeli rumah, dan tidak akan pernah meminjamkan uangnya pada tingkat bunga nominal rendah. Perekonomian seperti ini cenderung menimbulkan distorsi-distorsi besar dalam perekonomian karena masyarakat melakukan investasi dana di luar negeri, sedangkan investasi domestik menjadi lesu (Mankiw, 2000 : 312). 3. Hiperinflasi

Perekonomian bisa saja tidak dapat bertahan jika wabah hiperinflasi menyerang. Tidak ada segi baik perekonomian pasar, apabila harga-harga meningkat jutaan atau triliunan persen per tahun. Berbagai penelitian telah menemukan beberapa gambaran umum mengenai hiperinflasi. Pertama, permintaan uang riil (diukur dengan stok uang dibagi dengan tingkat harga) menurun secara drastis. Kedua, harga-harga relatif menjadi sangat tidak stabil (Mankiw, 2000 : 313).


(43)

Nanga (2005 : 215) menyatakan bahwa ditinjau dari faktor-faktor penyebab timbulnya, inflasi dapat dibagi menjadi :

1. Inflasi tarikan permintaan (Demand-pull inflation)

Inflasi tarikan permintaan ini juga disebut inflasi sisi permintaan (

demand-sideinflation) atau inflasi karena guncangan permintaan (demand shock inflation)

adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya kenaikan permintaan agregat (AD) yang terlalu besar atau pesat dibandingkan dengan penawaran atau produksi agregat. Barang-barang (output) menjadi berkurang dikarenakan pemanfaatan sumberdaya yang telah mencapai tingkat maksimum atau karena produksi tidak dapat ditingkatkan secepatnya untuk mengimbangi permintaan yang semakin meningkat atau bertambah.

2. Inflasi dorongan biaya (cost-push inflation)

Inflasi dorongan biaya atau juga sering disebut inflasi sisi penawaran (supply-side

inflation) atau inflasi karena guncangan penawaran (supply-shock inflation)

adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya kenaikan biaya produksi yang pesat dibandingkan dengan produktivitas dan efisiensi, yang menyebabkan perusahaan mengurangi supply barang dan jasa mereka ke pasar.

3. Inflasi struktural (structural inflation)

Inflasi yang terjadi sebagai akibat adanya berbagai kendala atau kekakuan struktural (structural rigidities) yang menyebabkan penawaran di dalam perekonomian menjadi kurang atau tidak responsif terhadap permintaan yang meningkat.


(44)

2.3.4 Hubungan Inflasi dengan Harga Saham

Inflasi cenderung memperendah tingkat bunga riil, sehingga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan di pasar modal, sehingga menyebabkan penurunan pada pertumbuhan investasi (McKinnon, dikutip dalam Nanga, 2005 : 248). Inflasi yang berlebihan dapat merugikan perekonomian secara keseluruhan, yaitu dapat membuat banyak perusahaan mengalami kebangkrutan.

Tinggi rendahnya tingkat inflasi dinilai memberi pengaruh positif maupun negatif terhadap pergerakan harga saham sesuai dengan tingkat inflasi itu sendiri. Tingkat inflasi yang tinggi akan menurunkan harga saham, sementara tingkat inflasi yang sangat rendah akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat lamban sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap lambannya pergerakan harga saham (Samsul, 2006 : 201).

2.4 Suku Bunga

2.4.1 Pengertian Suku Bunga

Bunga adalah pembayaran yang dilakukan untuk penggunaan uang. Suku bunga adalah jumlah bunga yang dibayarkan per unit waktu yang disebut sebagai persentase dari jumlah yang dipinjamkan. Dengan kata lain, orang harus membayar kesempatan untuk meminjam uang (Samuelson dan Nordhaus, 2004 : 190). Tingkat Suku bunga menyatakan tingkat pembayaran atas pinjaman atau investasi lain, di atas perjanjian pembayaran kembali, yang dinyatakan dalam persentase tahunan (Dornbusch, Stanley Fischer, dan Richard Startz, 2008 : 43). Bunga diukur dalam satuan uang, bukan dalam satuan ukuran rumah, mobil,


(45)

atau barang-barang secara umum. Samuelson dan Nordhaus (2004) membagi suku bunga menjadi :

1. Suku Bunga Nominal

Suku bunga nominal (kadang juga disebut dengan suku bunga uang) adalah suku bunga atas uang dalam ukuran uang. Suku bunga nominal mengukur pendapatan dalam uang per tahun per uang yang diinvestasikan. Suku bunga dalam uang tidak mengukur berapa banyak yang sebenarnya didapatkan oleh seorang pemberi pinjaman dalam satuan barang dan jasa.

2. Suku Bunga Riil

Suku bunga riil mengukur jumlah barang yang kita dapat nanti untuk barang yang kita korbankan sekarang. Suku bunga nyata didapat dengan mengoreksi suku bunga nominal dengan tingkat inflasi. Suku bunga riil dikoreksi karena inflasi dan dihitung sebagai suku bunga nominal dikurangi tingkat inflasi.

2.4.2 Hubungan Tingkat Suku Bunga Dengan Harga Saham

Perubahan suku bunga akan mempengaruhi harga saham secara terbalik,

cateris paribus. Artinya, jika suku bunga meningkat, maka harga saham akan

turun. Demikian sebaliknya, jika suku bunga turun, maka harga saham akan naik ( Tandelilin, 2010 : 103).

Kenaikan tingkat bunga menyebabkan return yang diperoleh dari investasi beresiko rendah (deposito) lebih tinggi daripada return investasi yang beresiko tinggi (saham), sehingga investor akan lebih tertarik untuk menempatkan dananya dalam bentuk deposito daripada membeli saham. Hal ini dapat menyebabkan harga saham mengalami penurunan (Zubir, 2011 : 20).


(46)

Setiap emiten akan merasakan pengaruh negatif akibat terjadinya kenaikan tingkat bunga pinjaman, karena hal itu akan meningkatkan beban bunga kredit dan menurunkan laba bersih. Penurunan laba bersih akan mengakibatkan laba per saham juga menurun dan akhirnya akan berakibat pada turunnya harga saham di pasar. Disisi lain, kenaikan suku bunga deposito akan mendorong investor menjual saham, dan menabung uangnya dalam deposito. Penjualan saham secara besar-besaran akan menjatuhkan harga saham di pasar.

Sebaliknya, penurunan tingkat bunga pinjaman atau tingkat bunga deposito akan menaikkan laba bersih per saham, dan mendorong para investor mengalihkan investasinya dari perbankan ke pasar modal. Hal ini menyebabkan permintaan saham di pasar modal, sehingga harga saham terdorong naik (Samsul, 2006 : 201).

2.5 Nilai Tukar

2.5.1 Pengertian Nilai Tukar atau Kurs (Exchange Rate)

Nilai tukar atau kurs valuta asing menunjukkan harga atau nilai mata uang

suatu negara yang dinyatakan dalam nilai mata uang negara lain (Supriana, 2008 : 201). Kurs (exchange rate) antara dua negara merupakan

tingkat harga yang telah disepakati oleh penduduk kedua negara tersebut, dan akan digunakan dalam melakukan perdagangan (Mankiw, 2006 : 128).

2.5.2Jenis Nilai Tukar atau Kurs (Exchange Rate)

Kurs dibedakan menjadi dua jenis (Mankiw, 2006 : 128) , yaitu : 1. Kurs Nominal (Nominal Exchange Rate)


(47)

2. Kurs Riil (Real Exchange Rate)

Kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang kedua negara, yaitu kurs riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari negara lain. Kurs riil kadang-kadang disebut terms of trade.

2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar

Perubahan dalam permintaan dan penawaran valuta asing menyebabkan perubahan dalam nilai tukar valuta asing. Berikut ini adalah faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi penawaran dan permintaan valuta asing (Supriana, 2008 : 205) :

1. Perubahan dalam permintaan dan penawaran valuta asing 2. Perubahan prefensi masyarakat

3. Perubahan harga barang ekspor dan impor 4. Kenaikan harga umum (inflasi)

5. Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi 6. Pertumbuhan ekonomi

2.5.4 Sistem Nilai Tukar

Sistem nilai tukar dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan seberapa kuat pengawasan pemerintah pada nilai tukar. Secara umum nilai tukar dapat dibagi menjadi :

1. Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate System)

Dalam sistem ini, nilai tukar mata uang dibuat konstan ataupun hanya diperbolehkan berfluktuasi dalam kisaran yang sempit. Bila nilai tukar mulai berfluktuasi terlalu besar, maka pemerintah akan melakukan intervensi untuk


(48)

menjaga agar fluktuasi tetap berada dalam kisaran yang diinginkan. Pada kondisi tertentu bila diperlukan pemerintah akan melakukan pemotongan nilai mata uang-nya (devalue) terhadap mata uang negara lain. Pada kondisi lain, pemerintah dapat mengembalikan nilai mata uang (revalue) atau meningkatkan nilai mata uangnya terhadap mata uang lain (Madura, 2006 : 220).

2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas (Freely Floating Exchange Rate

System)

Pada sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar ditentukan sepenuhnya oleh pasar tanpa intervensi dari pemerintah. Pada kondisi nilai tukar yang mengambang, nilai tukar akan disesuaikan secara terus-menerus, sesuai dengan kondisi penawaran dan permintaan dari mata uang tersebut (Madura, 2006 : 222).

3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (Managed Float Exchange Rate System)

Pada sistem nilai tukar mengambang, fluktuasi nilai tukar dibiarkan mengambang dari hari ke hari dan tidak ada batasan-batasan resmi. Hal ini sama dengan sistem tetap, dalam hal pemerintah sewaktu-waktu dapat melakukan intervensi untuk menghindarkan fluktuasi yang terlalu jauh dari mata uangnya (Madura, 2006 : 224).

4. Sistem Nilai Tukar Terikat (Pegged Exchange Rate System)

Dengan menggunakan sistem nilai tukar terikat, negara akan mengaitkan mata uangnya kepada sebuah valuta asing atau pada mata uang tertentu. Nilai


(49)

mata uang lokal akan mengikuti fluktuasi dari nilai mata uang yang dijadikan ikatan tersebut (Madura, 2006 : 224).

2.5.5 Hubungan Nilai Tukar Dengan Harga Saham

Data-data transaksi perdagangan di bursa efek, menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara pergerakan fluktuasi nilai mata uang dengan fluktuasi harga-harga saham yang diperdagangkan di bursa (Simatupang, 2010 : 76). Kenaikan kurs dolar Amerika yang tajam terhadap rupiah akan berdampak negatif terhadap emiten yang memiliki utang dalam dolar, sementara produknya dijual secara lokal. Di lain pihak, emiten yang berorientasi ekspor akan menerima dampak positif dari kenaikan dolar tersebut. Hal ini berarti harga saham emiten yang terkena dampak negatif akan mengalami penurunan di Bursa Efek, sementara emiten yang terkena dampak positif akan meningkat harga sahamnya (Samsul, 2006 : 202).

2.6Penelitian Terdahulu

Penelitian dilakukan oleh Kewal pada tahun 2012. Penelitian ini berjudul “Pengaruh Inflasi, Suku Bunga, Kurs, dan Pertumbuhan PDB terhadap Indeks Harga Saham Gabungan”. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis berganda, dan memberikan hasil bahwa hanya kurs yang berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Hal ini berarti semakin kuat rupiah terhadap USD (rupiah terapresiasi) maka akan meningkatkan harga saham, dan sebaliknya. Sedangkan tingkat inflasi, suku bunga SBI, dan pertumbuhan PDB tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG.


(50)

Penelitian dilakukan oleh Sitepu pada tahun 2011 dengan judul “Pengaruh Nilai Tukar dan Suku Bunga Terhadap Harga Saham pada Industri Tekstil di Bursa Efek Indonesia”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel nilai tukar berpengaruh negatif signifikan terhadap harga saham industri tekstil di Bursa efek Indonesia, sementara suku bunga mempunyai pengaruh negatif tidak signifikan terhadap harga saham industri tekstil di Bursa efek Indonesia.

Penelitian oleh Tarigan (2009) dengan judul “Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga, dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Perbankan yang Listing Di Bursa Efek Indonesia”. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan regresi linear berganda. Adapun hasil pengujian hipotesis secara parsial (uji t) adalah variabel suku bunga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga saham, sedangkan variabel tingkat inflasi dan nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Hasil pengujian secara serempak (uji F) menunjukkan bahwa tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar secara bersama-sama memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap harga saham. Koefisien determinasi (R2

Penelitian yang dilakukan oleh Thobarry pada tahun 2009.Judul penelitian ini adalah “Analisis Pengaruh Nilai Tukar, Suku Bunga, Laju Inflasi dan Pertumbuhan GDP Terhadap Indeks Harga Saham Sektor Properti (Kajian Empiris pada Bursa Efek Indonesia Periode Pengamatan Tahun 2000-2008). Penelitian ini memberikan hasil bahwa variabel nilai tukar memiliki pengaruh ) dari hasil penelitian menunjukkan 18,7% variasi dari harga saham dijelaskan oleh ketiga variabel bebas. Sedangkan sisanya 81,3% dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model.


(51)

positif signifikan dan variabel inflasi berpengaruh negatif signifikan terhadap indeks harga saham sektor properti, sedangkan variabel suku bunga dan pertumbuhan GDP hanya signifikan bila diuji secara bersamaan dan tidak berpengaruh signifikan bila diuji secara parsial.

2.7 Kerangka Konseptual

Adapun kerangka konseptual dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Kinerja perusahaan akan mempengaruhi harga saham di pasar. Kinerja perusahaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor makro ekonomi. Pada penelitian ini, faktor makro ekonomi yang akan diteliti adalah inflasi, suku bunga, dan nilai tukar.

Tingkat inflasi dinilai memberi pengaruh positif maupun negatif, tergantung pada tingkat inflasi itu sendiri. Inflasi yang tinggi akan menjatuhkan harga saham di pasar, sementara inflasi yang sangat rendah akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat lamban, sehingga pada akhirnya menyebabkan lambannya pergerakan harga saham (Samsul, 2006 : 201).

Perubahan suku bunga akan mempengaruhi harga saham secara terbalik,

cateris paribus. Artinya, jika suku bunga meningkat, maka harga saham akan

turun, cateris paribus. Demikian sebaliknya, jika suku bunga turun, maka harga saham akan naik ( Tandelilin, 2010 : 103).

Kenaikan tingkat bunga pinjaman, akan meningkatkan beban bunga kredit dan menurunkan laba bersih. Penurunan laba bersih akan mengakibatkan laba per saham juga menurun dan akhirnya akan berakibat pada turunnya harga saham di pasar. Disisi lain, kenaikan suku bunga deposito akan mendorong investor


(52)

menjual saham, dan menabung uangnya dalam deposito. Penjualan saham secara besar-besaran akan menjatuhkan harga saham di pasar (Samsul, 2006 : 201).

Sebaliknya, penurunan tingkat bunga pinjaman atau tingkat bunga deposito akan menaikkan laba bersih per saham, dan mendorong para investor mengalihkan investasinya dari perbankan ke pasar modal. Hal ini akan meningkatkan permintaan saham di pasar modal, sehingga harga saham terdorong naik (Samsul, 2006 : 201). Tingkat suku bunga diukur dengan menggunakan suku bunga yang ditentukan oleh Bank Indonesia melalui Sertifikat bank Indonesia (SBI).

Kenaikan kurs dolar Amerika yang tajam terhadap rupiah akan berdampak negatif terhadap emiten yang memiliki utang dalam dolar, sementara produknya dijual secara lokal. Di lain pihak, emiten yang berorientasi ekspor akan menerima dampak positif dari kenaikan dolar tersebut. Hal ini berarti harga saham emiten yang terkena dampak negatif akan mengalami penurunan di Bursa Efek, sementara emiten yang terkena dampak positif akan meningkat harga sahamnya (Samsul, 2006 : 202).

Sumber : Samsul (2006) (Data Dimodifikasi)

Gambar 2.2. : Kerangka Pemikiran Tingkat Inflasi

(X1)

Harga Saham (Y) Suku Bunga

(X2)

Nilai Tukar (X3)


(53)

2.8 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun oleh peneliti, yang

akan diuji kebenarannya melalui penelitian yang akan dilakukan (Kuncoro, 2009 : 59). Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseptual

yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah “Tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga saham Perusahaan Properti dan Real Estat di Bursa Efek Indonesia ”.


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kuantitatif. Pendekatan ini bertujuan untuk menguji teori, menunjukkan hubungan antarvariabel, memberikan deskripsi statistik, membangun fakta, menaksir dan meramalkan hasilnya.Penelitian menggunakan angka-angka statistik ataupun kode yang dapat dikuantifikasi. Data tersebut berbentuk variabel-variabel dan operasionalisasinya dengan skala ukuran tertentu, misalnya skala nominal, ordinal, interval, dan rasio. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

1) Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bursa Efek Indonesia melalui media internet dengan menggunakan situs menggunaka

2) Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai dari bulan Oktober 2012 sampai bulan Maret 2013.

3.3 Batasan Operasional

Adapun yang menjadi batasan operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


(55)

1. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Variabel bebas (independent variable), yang terdiri dari tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar.

b. Variabel terikat (dependent variable), yaitu harga saham perusahaan properti dan real estatyang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

2. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari :

a. Data tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukarpada tahun 2006 - 2012 yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia.

b. Data harga saham perusahaan properti dan real estatdi Bursa Efek Indonesia pada tahun 2006-2012.

3.4 Defenisi Operasional Variabel

Defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1.Variabel independen(X) adalah variabel yang dapat mempengaruhi perubahan dalam variabel dependen dan mempunyai hubungan yang positif ataupun yang negatif bagi variabel dependen nantinya (Kuncoro, 2009 : 50). Adapun yang menjadi variabel bebas (independent variable) dari penelitian ini adalah :

a. Inflasi (X1

Inflasi adalah kecenderungan kenaikan harga-harga umum secara terus-menerus (sustained) yang berarti bukan terjadi pada satu waktu saja, akan tetapi bisa beberapa waktu lamanya. Kenaikan tingkat harga umum

(general price level) yang terjadi sekali waktu saja, tidaklah dapat

dikatakan sebagai inflasi (Nanga, 2005 : 237).Indeks Harga Konsumen )


(56)

(IHK) merupakan indeks harga yang sering digunakan dalam mengukur tingkat inflasi. Data inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data inflasi mulai tahun 2006 sampai 2012 secara tahunan.

b. Suku Bunga (X2

Surat berharga Bank Indonesia yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan utang jangka pendek dengan sistem diskonto. Data yang digunakan adalah rata-rata SBI tahunan. Data diambil dari tahun 2006-2012.

)

c. Nilai Tukar (X3

Merupakan nilai tengah antara kurs jual dan kurs beli yang digunakan oleh Bank Indonesia yang diterbitkan secara bulanan. Nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika secara tahunan. Data yang diambil adalah data nilai tukar mulai tahun 2006– 2012 secara tahunan.

)

2. Variabel dependen (Y) adalah variabel yang menjadi perhatian utama dalam sebuah pengamatan (Kuncoro, 2009 : 50). Variabel terikat (dependent variable) yang digunakan adalah harga saham masing-masing perusahaan. Harga saham dihitung dari harga saham penutupan (closing price) pada setiap akhir hari transaksi yang dikalkulasikan menjadi rata-rata harga bulanan dan dirata-ratakan menjadi harga tahunan dengan menggunakan rumus :

Rata-rata harga saham

Rata-rata harga saham

bulanan = ���� −���� ����� ��ℎ�������� ∑ �������������

tahunan = ���� −���� ����� ��ℎ���������


(57)

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah perusahaan properti dan real estat yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, selama kurun waktu 2006 - 2012, yaitu sebanyak 41 perusahaan (emiten). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel jenuh dimana semua populasi digunakan sebagai sampel.

3.6 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder kuantitatif yang bersumber dari hasil publikasi berbagai instansi terkait seperti Bursa Efek Indonesia (BEI), Bank Indonesia (BI), dan beberapa bahan pustaka lainnya seperti buku-buku referensi, koran, artikel yang diterbitkan di internet, serta literatur ilmiah lainnya yang sesuai dengan topik bahasan penelitian.

3.7 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi dengan mengumpulkan data pendukung dari literatur, jurnal, koran, artikel, dan buku-buku referensi untuk mendapatkan gambaran masalah yang diteliti serta mengumpulkan data sekunder yang relevan dari laporan yang dipublikasikan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI), dan Bank Indonesia (BI).

3.8 Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul dibersihkan dari data yang outliear.Data outliear

adalah data yang secara nyata berbeda dengan data-data lain. Data outlinear bisa terjadi karena kesalahan dalam pemasukan data, atau kesalahan pada pengambilan sampel. Keberadaan data-data ekstrim tidak bisa dihindarkan. Data


(58)

sesungguhnya. Jika sebuah data outliear, maka nilai Z yang di dapat lebih besar dari angka + 2,5 atau lebih kecil dari angka – 2,5 (Santoso, 2005 : 112). Data yang telah dibersihkan kemudian dianalisisis melalui metode analisis statistika deskriptif dan metode analisis statistika inferensial.

3.8.1 Metode Analisis Statistika Deskriptif

Metode analisis statistika deskriptif merupakan suatu metode analisis dimana data yang dikumpulkan, diklasifikasikan,dianalisis, dan diinterpretasikan secara objektif sehingga memberikan informasi dan gambaran mengenai topik yang dibahas.

3.8.2 Metode Analisis Linear Berganda

Penelitian ini menggunakan analisis statistika yaitu analisis regresi linear berganda, digunakan untuk mengetahui pengaruh tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar, terhadap harga saham properti dan real estat di Bursa Efek Indonesia. Adapun persamaan regresi yang digunakan adalah :

Yi,t = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 Keterangan :

+ e

Yi,,t

a = Konstanta

= Harga saham perusahaan i pada tahun t

X1 X

= Tingkat Inflasi 2

X

= Suku Bunga 3

b

= Nilai Tukar

1 = Koefisien regresi variabel X b

1 2 = Koefisien regresi variabel X2


(59)

b 3 = Koefisien regresi variabel X

e = Standard error

3

Penulis menggunakan bantuan program software SPSS 16.00 for Windows

(Statistic Product & Service Solution) dalam penelitian ini. Sebelum melakukan

analisis regresi, dilakukan pengujian asumsi klasik untuk mendapatkan perkiraan yang efisien atau tidak. Situmorang dan Lufti (2012 : 100) menyatakan bahwa jika hasil regresi telah memenuhi asumsi-asumsi regresi maka nilai estimasi yang diperoleh akan bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased, Estimator). Adapun syarat asumsi klasik yang harus dipenuhi model regresi berganda sebelum data tersebut dianalisis adalah sebagai berikut :

1. Uji Normalitas

Tujuan uji normalitas adalah ingin mengetahui apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Pengujian ini diperlukan karena untuk melakukan uji t dan uji F diasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar atau tidak dipenuhi maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil (Erlina, 2011 : 100).Data yang baik adalah data yang mempunyai pola seperti distribusi normal, yakni distribusi data tersebut tidak menceng ke kiri atau menceng ke kanan (Situmorang dan Lufti, 2012). Uji dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan Histogram

Untuk menguji normalitas data dapat dilihat dengan kurva normal, yaitu kurva yang memiliki ciri khusus, salah satu diantaranya adalah bahwa : mean, mode,


(60)

dan median pada tempat yang sama. Jika ketiga tendensi sentral tersebut tidak terletak pada satu tempat, berarti kurva tersebut miring ke kiri atau ke kanan. Ukuran kemiringan puncak kurva ke kiri atau ke kanan tersebut dikenal dengan nama “kemiringan kurva” atau “kemencengan kurva” (skewness). Kemencengan suatu kurva distribusi data dapat bertandapositif (ke arah kanan) atau bertanda negatif (kearah kiri) (Situmorang dan Lufti, 2012 : 101).

b. Pendekatan Grafik

PP plot akan membentuk plot antara nilai teoritis (sumbu x) melawan nilai-nilai yang didapat dari sampel (sumbu y). Apabila plot dari keduanya berbentuk linier (dapat didekati oleh garis lurus), maka hal ini merupakan indikasi bahwa residual menyebar normal. Bila pola-pola titik yang terletak selain di ujung-ujung plot masih berbentuk linier, meskipun ujung-ujung plot agak menyimpang dari garis lurus, kita dapat mengatakan bahwa sebaran data (dalam hal ini residual), adalah normal (Situmorang & Lufti, 2012 : 103).

c. Pendekatan Kolmogorov-Smirnov

Alat uji ini digunakan untuk memastikan apakah data sepanjang garis diagonal berdistribusi normal. Hipotesisnya sebagai berikut :

H0 H

= data residual berdistribusi normal a

Dengan menggunakan tingkat signifikan (α) 5%. Jika nilai Asymp.Sig (2 tailed) > taraf nyata (α), maka H

= data residual tidak berdistribusi normal

0 diterima artinya data residual berdistribui normal. Sebaliknya, jika nilai Asym.Sig (2 tailed) < taraf nyata (α), maka H0 diterima, artinya data residual tidak berdistribusi normal.


(1)

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 288

Normal Parametersa Mean .0000000

Std. Deviation .90301625

Most Extreme Differences Absolute .054

Positive .047

Negative -.054

Kolmogorov-Smirnov Z .918

Asymp. Sig. (2-tailed) .368


(2)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) -34.553 32.764 -1.055 .295

Ln_Inflasi -.749 .894 -.123 -.838 .404

Ln_SukuBunga .829 1.004 .121 .825 .412

Ln_NilaiTukar 3.677 3.563 .113 1.032 .305


(3)

Autocorrelations Series:Unstandardized Residual

Lag Autocorrelation Std. Errora

Box-Ljung Statistic

Value df Sig.b

1 .033 .059 .318 1 .573

2 .017 .059 .401 2 .818

3 -.009 .059 .425 3 .935

4 -.021 .058 .552 4 .968

5 -.075 .058 2.204 5 .820

6 -.066 .058 3.484 6 .746

7 -.159 .058 11.007 7 .138

8 -.027 .058 11.223 8 .189

9 .031 .058 11.501 9 .243

10 -.052 .058 12.319 10 .264

11 -.069 .058 13.770 11 .246

12 .035 .058 14.149 12 .291

13 -.022 .057 14.291 13 .354

14 .118 .057 18.495 14 .185

15 -.035 .057 18.858 15 .220

16 -.002 .057 18.859 16 .276

a. The underlying process assumed is independence (white noise).


(4)

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 25.437 9.668 2.631 .009

Ln_Inflasi .145 .259 .042 .561 .576 .604 1.655

Ln_SukuBunga -.682 .307 -.167 -2.222 .027 .604 1.655

Ln_NilaiTukar -2.318 1.055 -.129 -2.197 .029 .991 1.009

a. Dependent Variable: Ln_HargaSaham

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 25.437 9.668 2.631 .009

Ln_Inflasi .145 .259 .042 .561 .576 .604 1.655

Ln_SukuBunga -.682 .307 -.167 -2.222 .027 .604 1.655

Ln_NilaiTukar -2.318 1.055 -.129 -2.197 .029 .991 1.009


(5)

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 8.526 3 2.842 3.449 .017a

Residual 234.031 284 .824

Total 242.557 287

a. Predictors: (Constant), Ln_NilaiTukar, Ln_SukuBunga, Ln_Inflasi

b. Dependent Variable: Ln_HargaSaham

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 25.437 9.668 2.631 .009

Ln_Inflasi .145 .259 .042 .561 .576

Ln_SukuBunga -.682 .307 -.167 -2.222 .027

Ln_NilaiTukar -2.318 1.055 -.129 -2.197 .029

a. Dependent Variable: Ln_HargaSaham

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables Removed Method

1 Ln_NilaiTukar,

Ln_SukuBunga, Ln_Inflasia . Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Ln_HargaSaham


(6)

Hubungan Antarvariabel

Nilai

Interpretasi

0,0 – 0,19

Sangat Tidak Erat

0,2 – 0,39

Tidak Erat

0,4 – 0,59

Cukup Erat

0,6 – 0,79

Erat

0,8 – 0,99

Sangat Erat

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 .187a .035 .025 .90777

a. Predictors: (Constant), Ln_NilaiTukar, Ln_SukuBunga, Ln_Inflasi


Dokumen yang terkait

Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga, dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Bank BUMN Di Bursa Efek Indonesia

9 84 98

Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga,Dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Perbankan Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia

0 42 84

PENGARUH INFLASI, SUKU BUNGADAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP HARGA SAHAM PERUSAHAAN SEKTOR PROPERTI DAN REAL ESTATE YANG TERCATAT DI BURSA EFEK INDONESIA

1 6 27

PENGARUH INFLASI, TINGKAT SUKU BUNGA SBI DAN NILAI TUKAR DOLLAR TERHADAP HARGA SAHAM PROPERTI YANG Pengaruh Inflasi, Tingkat Suku Bunga SBI Dan Nilai Tukar Dollar Terhadap Harga Saham Properti Yang Terdaftar Dalam LQ 45 Di Bursa Efek Indonesia.

0 1 13

ANALISIS PENGARUH INFLASI, NILAI TUKAR, DAN TINGKAT SUKU BUNGA TERHADAP HARGA SAHAM ANALISIS PENGARUH INFLASI, NILAI TUKAR, DAN TINGKAT SUKU BUNGA TERHADAP HARGA SAHAM PERBANKAN.

0 1 8

Pengaruh Inflasi, Suku Bunga Bi Rate Dan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Harga Saham Perusahaan Sektor Properti Dan Real Estate Di Bursa Efek Indonesia.

0 0 14

Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga, Dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Properti Dan Real Estat Di Bursa Efek Indonesia

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pasar Modal 2.1.1 Pengertian Pasar Modal - Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga, Dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Properti Dan Real Estat Di Bursa Efek Indonesia

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga, Dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Properti Dan Real Estat Di Bursa Efek Indonesia

0 0 10

Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga, Dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Properti Dan Real Estat Di Bursa Efek Indonesia

1 7 10