Perompakan dalam Hubungannya dengan Kedaulatan Negara Kesatuan

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009 B AB II PEMBAHASAN

D. Perompakan dalam Hubungannya dengan Kedaulatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia Jika kita membicarakan perompakan, tentu kita tidak dapat mengenyampingkan pembahasan mengenai tempat kejadian tindak pidana tersebut, yaitu wilayah perairan. Dan mengingatbahwa wilayah perairan di dunia ini adalah satu kesatuan, maka kita juga tidak boleh lupa untuk membicarakan daerah teritorial negara sebagai batas kedaulatan untuk melaksanakan hukum negara. Sebagimana kita ketahui bahwa negara kita terdiri dari wilayah darat dan wilayah perairan yang juga biasa kita sebut dengan wilayah teritorial. Sedangkan yang dimaksud dengan wilayah perairan itu sendiri adalah kedaulatan negara tertentu atas sebagian wilayah tertentu dari laut. Ada pendapat yang menyatakan bahwa wilayah laut adalah kepunyaan bersama dan negara pantai hanya memiliki kekuasaan tertentu saja, yang berarti negara pantai tidak memiliki kedaullatan penuh atas wilayah perairannya sendiri. Pendapat ini kurng mendapat dukungan dari banyak pihak karena dinilai merugikan negara pantai di dunia. Pendapat selanjutnya mengatakan bahwa laut teritorial merupakan kedaulatan penuh dari negara pantai tertentu dan negara pantai tersebut memiliki hak untuk menegakkan hukum negaranya di wilayah laut teritorialnya. Pendapat inilah yang umumya kita gunakan sekarang. Dan sebagai wilayah yang memiliki Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009 kedaulatan penuh, maka negara pantai yang memiliki wilayah teritorialnya mempunyai wewenang untuk mengatur segla sesuatu di wilayah laut teritorialnya tersebut yang wajib dihormati dan dipatuhi semua pihak yng berada di atasnya. Batasan dari wilayah teritorial ini ditentukan oleh Hukum Internasional yang kemudian dimuat dalam Pasal 2 – 5 dan 7 – 9 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang bunyinya antara lain : Pasal 2 : “Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang dalam Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum peristiwa pidana.” Pasal 3 : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.” Pasal 4 : “Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang melakukan di luar Indonesia : 1e. salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis pada 1e. 127 dan 131; 2e. suatu kejahatan tentang mata uang, uang kertas negeri atau uang kertas bank atau tentang materai atau merek yang dikeluarkan atau disuruhkan oleh pemerintah Indonesia; Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009 3e. pemalsuan tentang surat-surat hutang atau sertifikat-sertifikat hutang yang ditanggung Indonesia, daerah gewest atau sebahagian daerah, talon-talon, surat-surat hutang sero atau surat-surat bunga hutang yang masuk surat-suarat itu, serta surat-surat keterangan ganti surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan demikian itu seakan-akan surat itu benar dn tidak dipalsukan; 4e. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan pasal 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.” Pasal 5 : “1 Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesi : 1e. salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua, dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451; 2e. suatu perbuatan yang dipandang sebagai suatu kejahatan menurut ketentuan hukum pidana dalam undang-undang Indonesia dan boleh dihukum menurut undang-undang negeri, tempt perbuatan itu dilakukan. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009 2 Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada ke-2e boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi Warga Negara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu.” Pasal 7 : “ Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi Pegawai Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Bab XXVIII Buku II.” Pasal 8 : “ Ketentuan pidana dalam undang-undang Inonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang-penumpang alat-alat pelayar kapal, perahu Indonesia, yang ada di luar Indonesia, juga waktu mereka tidak ada di atas alat-alat pelayar, melakukan salah satu peristiw pidana, yang diterangkan dalam Bab XXIX Buku II dan Bab IX Buku III, demikian juga dalam undang-undang umum tentang surat-surat laut dan pas kapal di Indonesia dan dalam Ordonansi Kapal 1927.” Pasal 9 : “ Berlakunya pasal 2 – 5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum antar negara”. Dengan demikian, jelas pembatasan atas laut teritorial Indonesia dibatasi oleh Hukum Internasional. Pengaturan laut teritorial Indonesia diatur pada : • Peraturan Pelayaran Indonesia Tahun 1936, Stbl No. 700 Tahun 1936 • Peraturan Pelayaran Tahun 1936, Stbl No. 703 Tahun 1936 Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009 • Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, Stbl No. 442 Tahun 1939 Berdasarkan Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, Stbl No. 442 Tahun 1939 pada Pasal 1 ayat 1 butir 2 dirumuskan “daerah laut Indonesia perairan teritorial” sebagai berikut : “Daerah laut Indonesia termasuk bagian laut teritorial yang terletak pada bagian sisi darat dari : a. Laut pantai; b. Daerah air teluk-teluk, ceruk-ceruk laut, muara-muara sungai dan terusan.” Pada Pasal 1 ayat 1 butir 3 memuat ketentuan tentang “perairan pedalaman Indonesia” yang bunyinya sebagai berikut : 3. Perairan pedalaman Indonesia : Semua perairan yang terletak pada bagian sisi darat laut teritorial Indonesia, termasuk sungai-sungai, terusan-terusan dan danau-danau dan rawa-rawa di Indonesia.” 5 5 Laden Marpaung, Tindak Pidana Perairan Laut Indonesia,Jakarta : Sinar Grafika, 1993, hal. 9 Pada tahun 1939, Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim menentukan bahwa luas wilayah laut teritorial negara pantai adalah 3 mil laut 1 mil laut = 1852 m diukur dari garis pantai pada saat air surut along low water mark. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009 Ketentuan ini dilaksanakan di sebagian besar negara dunia antara lain : Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Belanda dan telah disetujui dalam “International Law Association” pada tahun 1924. Tetapi ada juga negara-negara lain yang menentukan batas wilayah teritorialnya secara berbeda, antara lain : • Negara-negara Skandinavia Finlandia, Swedia, Norwegia = 4 mil laut. • Meksiko = 9 mil laut. • Saudi Arabia, Republik Persatuan Arab, Indonesia = 12 mil laut. Hingga sat ini belum ada kesepakatan mengenai jarak wilayah teritorial di dunia dan mengenai hal ini pula Wirjono Prodjodikoro, SH teks Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia berkata : . . . . soal ini dibahas lagi oleh International Law Commissions dari Perserikatan Bangsa-bangsa United Nations, yang dalam sidang ke-8 yang berlangsung tanggal 23 April – 4 Juli 1956 hanya sampai mengusulkan mengadakan suatu peraturan tentang territorial sea . . . 2 Panitia menganggap, bahwa hukum internasional tidak memperbolehkan memperluas jarak laut wilayah itu sampai lebih dari 12 mil. 3 . . . “ 6 Indonesia sendiri pada tanggal 13 Desember 1957, dengan Pengumuman Pemerintah mengubah jarak 3 mil menjadi 12 mil. Pengumuman Pemerintah tersebut antara lain berbunyi sebagai berikut : KEDAULATAN ATAS LAUT KABINET PERDANA MENTERI REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 6 Ibid, hal. 10 Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009 PENGUMUMAN PEMERINTAH MENGENAI WILAYAH PERAIRAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Dewan Menteri, dalam sidangnya pada hari Jumat tanggal 13 Desember 1957 membicarakan soal wilayah perairan Negara Republik Indonesia. Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri. Bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan Negara Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat. Penentuan batas lautan teritorial seperti termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939” Stbl.1939 No.442 artikel ayat 1 tidak lagi sesuai dengan pertimbngan – pertimbangan tersebut di atas karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian – bagian terpisah dengan territorialnya sendiri – sendiri. Berdasarkan pertimbangan – pertimbangan itu maka Pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau – pulau yang termasuk Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan luas atau lebarnya adalah bagian – bagian yang wajar daripada wilayah pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal – kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penetuan batas lautan territorial yang lebarnya 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik – titik ujung terluar pada pulau – pulau Negara Indonesia. Ketentuan – ketentuan tersebut di atas akan diatur selekas – lekasnya dengan Undang – Undang. Pendirian Pemerintah tersebut akan diperhatikan dalam konferensi internasional mengenai hak – hak atas lautan yang akan diadakan dalam bulan Februari 1958 di Jenewa. Jakarta, 13 Desember 1957 PERDANA MENTERI Ttd H. JUANDA 7 7 Ibid, hal. 10-11 Kemudian Pengumuman Pemerintah tersebut dikuatkan dengan Undang- undang No. 4 Prp1960 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Februari 1960. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009 Dahulu sebelum era industrialisasi, maka hubungan antar pulau atau antar bangsa yang dipisahkan dengan lautan, dilakukan dengan perahu, perahu layar yang berkembang menjadi kapal motor dan terakhir dengan kapal terbang. Oleh karena itu merupakan suatu kebutuhan untuk mampu mengatur keamnan dan ketertiban di lautan, termasuk di dalamnya isi kapal, awak kapal maupun penumpang kapal. Dengan kebutuhan akan keamanan dan ketertiban tersebut maka dibuat aturan-aturan dalam hukum pidana yang di Indonesia dimuat pada Bab XXIX tentang kejahatan pelayaran. Ramainya lalu lintas pengangkutan di laut juga memerlukan suatu peraturan untuk mengatur lalu lintas di laut, baik itu di laut teritorial maupun di laut leps. Pengangkutan di laut itu tentu saja tidak terlepas dari urusan dagang, oleh karena itu pulalah dapat dipahami jika ketentuan pengangkutan itu turut pula dicantumkan dalam hukum dagang. Berlakunya Undang-undang No. 4Prp1960 yang menentukan lebar laut wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut maka perairan yang dulunya merupakan laut bebas menjadi perairan teritorial Indonesia sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan dengan negara tetangga, misalnya : • Republik Singapura yang menganut lebar laut wilayah 3 mil laut. Dilihat dari Indonesia yang menganut lebar wilayah laut 12 mil, maka diperlukan luas wilayah laut diantara Indonesia dan Singapura selebar 15 mil untuk dapat membagi secara adil menurut ketentuan negara masing-masing.. namun pada kenyatannya lebar laut diantara kedua negara ini adalah Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009 kurang dari 15 mil sehingga hal ini menimbulkan permasalahan dalam pembagian kewenangan. • Kerajaan Malaysia, pada bulan Agustus 1969 membuat pengumuman yang menyatakan bahwa lebar laut teritorialnya adalah 12 mil juga. Hal inipun menimbulkan permasalahan karena jarak lebar laut kedua negara kurang dari 24 mil untuk bisa dilakukan pembagian secara merata. Untuk mencegah perselisihan-perselisihan antar negara tersebut, maka pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara tetangga yang menghasilkan persetujuan-persetujuan sebagai berikut : • Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka. Perjanjian tersebut dibuat pada tanggal 17 Maret 1970 yang ditandatangani oleh Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dan Tuan Haji Abdul Rajak Timbalan Perdana Menteri Malaysia. Perjanjian ini pada tanggal 10 Maret 1971 telah menjadi Undang-undang No. 2 Tahun 1971. • Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka. Perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1973 oleh Adam Malik untuk Indonesia dan S. Rajaratman untuk Republik Singapura. Perjanjian ini telah menjadi Undang-undang No. 7 Tahun 1973. • Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas tertentu, yang ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1973. Perjanjian ini telah menjadi Undang-undang No. 6 Tahun 1973. • Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang penetapan garis batas dasar laut antara kedua negara di Laut Andaman. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1975. kemudian perjanjian tersebut dikuatkan dengan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan Thailand yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1978. Seyogyanya persetujuan ini diratifikasi DPR agar menjadi undang- undang karena dasar hukum batas laut teritorial sesuatu negara tidak cukup hanya dengan Keputusan Presiden atau persetujuan. Dengan perjanjian persetujuan, maka kekuatan hukumnya hanya berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjianpersetujuan tersebut. 8 8 Ibid, hal. 14-15 Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

B. Konvensi tentang Laut Lepas dalam Hal Pengamanan di Wilayah