Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka

(1)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

TINDAK PIDANA PEROMPAKAN DI

WILAYAH PERAIRAN SELAT MALAKA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Nama : Eka Krisnawati NIM : 030200044

Departemen : Hukum Pidana Program : Reguler (Pagi)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

TINDAK PIDANA PEROMPAKAN DI

WILAYAH PERAIRAN SELAT MALAKA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Nama : Eka Krisnawati NIM : 030200044

Departemen : Hukum Pidana Program : Reguler (Pagi)

Disetujui oleh : Ketua Departemen

Abul Khair, SH.MHum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Madiasa Ablisar, SH. MS M. Ekaputra, SH.MHum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia dari-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara ini.

Adapun yang menjadi judul dari skripsi ini adalah “Tindak Pidana Perompakan di Wilayah Perairan Selat Malaka”

Terwujudnya skripsi ini bukanlah semata-mata merupakan jerih payah penulis sendiri, tetapi juga berkat bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu penulis sampai terselesaikannya skripsi ini.

Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr. Runtung, SH.MHum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Abul Khair, SH.MHum selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana.

3. Bapak Madiasa Ablisar, SH.MS dan Bapak M. Ekaputra, SH.MHum selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah sangat membantu dan telah sudi meluangkan waktunya untuk membaca dan memeriksa serta memberikan petunjuk dan pengarahan hingga selesainya skripsi ini.


(4)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

5. Seluruh staf pengajar dan staf pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Kepada orang tua tersayang, Bapak Eko Laksono Putro (Pak uban) yang baik hati, jujur dan pekerja keras dan Ibu Iswati yang imut-imut, karena telah rela membesarkan dan mendidik anak-anaknya yang nakal-nakal ini, termasuk Mbak Ina, sehingga menjadi manusia yang lumayan beradab. Makasih tak terhingga ya, untuk Romo dan Ibu sayang, walaupun Mbak Ina bandel, nakal dan susah dikasih tahu tapi Mbak Ina sayaaaaaang banget sama Romo dan Ibu. Swear !!

7. Kepada adik-adik mbak yang bandel-bandel, Donik Dwi Noviany, adik kakak yang cerewet dan gampang marah, yang udah membantu mengetik skripsi waktu tangan kakak sudah pegel, untuk Nurul Bashiroh, adik mbak yang cerewet dan gampang ngambek, makasih juga udah membantu mbak mengetik sedikit waktu mata mbak sudah berat. Juga untuk Jala Sena Putra, adik laki-laki mbak satu-satunya yang super aktif dan bandel, makasih udah meramaikan rumah kita yang udah ramai ini.

Makasih ya, adik-adik mbak yang manis, imut, ganteng, dan ngegemesin. 8. Untuk para lek (Lek Probo yang selalu bantu Mbak Ina ngerjain tugas

sekolah, Lek Catur yang luar biasa gosong, Lek Tanto yang selalu ngasih uang jajan extra), matur nuwon, yo, lek.

9. Untuk sahabat dan teman-temanku semasa sekolah hingga saat ini, Mariance (makasih atas pinjaman komik-komiknya, dan udah jadi pendengar keluhan dan omelanku selama 10 tahun ini), Dewi Fatimah


(5)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

(makasih udah menunjukkan semangat kerja kerasmu padaku), Narsih yang imut-imut kaya’ marmut, Firman Syahputra (makasih udah dengerin curhatku, semoga kamu jadi perwira yang jujur dan berani), Dwi Kurniawan yang menjadi motivator untuk skripsiku karena selalu nanya, kapan lulus? Kapan lulus? Kapan lulus?

10.Untuk teman-teman baikku, Besti R.A. Sitompul yang udah mau nyimpan curhat-curhatku baik-baik (Bes, cobalah untuk setia…..;) ), Esnita N. Simbolon yang mau nemenin aku kesana kemari (makasih ya, Bolon!), Erlan Banjarnahor yang selalu kasih aku masukan (kembalilah ke jalan yang benar yach, Lan), Ahmad Azhary (itulah pilihanmu, hehe….), Nuridayati (yang semangat kuliahnya, Nur,ok?!), Mona J. Harvey (jangan terlalu sering ke kamar mandi, Mon), Meirini yang selalu meiyong-meiyong, Ayu Andanaly, dan teman-teman stambuk 2003 lain yang tidak dapat kusebutkan namanya satu per satu, makasih udah mo jadi temanku, yach….

11.Untuk pihak-pihak pendukung, Amelia Claudy yang selalu sakaw kalo minta susu, dan M. Zulfadly Hakim yang cerewet dan beliin kakak komik tanggung (cuma dibeliin jilid 1 doank, sich), Oka (makasih ya coklatnya), Susan, Masrah, Lidya, Yessi, Devi dan Rudi yang udah bantuin Donik untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang udah ngerusakin hp kakak.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari semua pihak, maka penulis tidak akan mengkin mampu


(6)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dan kekurangan selama ini. Semoga Allah SWT mengkaruniakan kebahagiaan dunia akhirat kepada kita semua. Amin.

Hormat saya, Penulis


(7)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Abstraksi ... vi

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Keaslian Penulisan ... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

1. Pengertian Perompakan ... 7

2. Pengaturan Tindak Pidana Perompakan dam KUHP …… 10 3. Pola Umum Pelaksanaan Perompakan ... 13

4. Aspek Sosial-Ekonomi Kejahatan Perompakan ... 17

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II PEROMPAKAN DI SELAT MALAKA ... 22

A. Perompakan dalam Hubungannya dengan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia ... 22

B. Konvensi tentang Laut Lepas dalam hal Pengamanan di Wilayah Perairan Indonesia ... 31

C. Tindak Pidana yang Menyertai Tindak Pidana Perompakan di Selat Malaka ... 33

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PEROMPAKAN ………... 49

A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perompakan ... 49


(8)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

B. Dampak terhadap Materi dan Psikologis atas Terjadinya

Tindak Pidana Perompakan ... 55

BAB IV UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEROMPAKAN DI PERAIRAN SELAT MALAKA ... 61

A. Peranan TNI AL sebagai Aparatur Negara dalam Menangani Tindak Pidana Perompakan ... 61

B. Upaya Penanggulangan dalam Menghadapi Tindak Pidana Perompakan ... 70

C. Analisa Kasus ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 90 Daftar Pustaka


(9)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

ABSTRAKSI

Perompakan mungkin adalah tindak pidana yang paling jarang kita dengar. Kejahatan ini tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus sebagaimana ketentuan tindak pidana lain. Perompakan ini hanya dicantumkan dalam ketentuan umum dalam KUHP. Padahal, pada kenyataannya, perompakan bukanlah suatu kejahatan yang dapat dipandang sebelah mata. Kejahatan ini sering kali menimbulkan rasa kekhawatiran dari pihak asing untuk berlayar di perairan Indonesia karena merasa keamanannya tidak dapat dijamin. Hal ini tentu saja menjadi nilai kurang bagi bangsa Indonesia di mata dunia karena dianggap tidak mampu menjaga keamanan wilayahnya yang berdaulat. Selain itu, perompakan inipun memberikan suatu rasa takut kepada para nelayan Indonesia untuk berlayar karena tindak kekerasan yang biasa mengikuti perompakan ini. Topik perompakan ini sendiri penulis ambil karena penulis merasa bahwa pembahasan mengenai perompakan ini sangat minim dan agar penulis maupun pihak lain dapat menambah pengetahuan mengenai perompakan itu sendiri yang ketentuannya tercantum dalam Pasal 439 KUHP.

Adapun metode penelitian yang penulis lakukan adalah library research, yaitu pencarian data-data yang diperlukan melalui bacaan-bacaan yang mempunyai hubungan atau kaitan dengan topik yang dibahas yang bersifat teoritis sebagai dasar penulisan skripsi. Selain itu, penulis juga melakukan penelitian lapangan (field research) dimana penulis melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Medan untuk memperoleh data yang dibutuhkan dan juga melakukan wawancara dengan pihak aparat TNI AL yang menangani secara lansung tindak pidana perompakan ini.

Dari pembahasan-pembahasan yang diuraikan di dalam skripsi ini dpat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemerintah masih belum memperhatikan dan belum dapat menangani secara maksimum mengenai tindak pidana perompakan ini mengingat akibat-akibatnya yang begitu luas. Untuk itu, seyogyanya pemerintah dapat melakukan suatu usaha yang konkret dalam pemberantasan tindak pidana yang sangat meresahkan ini.


(10)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sebagai sebuah Negara Maritim yang kaya sumber daya alam, tentu kita menyadari begitu besar potensi alam yang dimiliki oleh negara kita, begitu juga kesadaran kita akan sulitnya mempertahankan kedaulatan atas wilayahnya tersebut. Hal ini disebabkan mengingat bahwa negara kita tidak hanya terdiri atas daratan saja, tetapi juga memiliki lautan yang luas.

Kita tentu tidak asing lagi dengan kata “perompakan” yang juga dapat disebut dengan istilah pembajakan di laut. Perompakan dapat diidentikkan dengan kejahatan perampokan yang terjadi di wilayah daratan. Bedanya adalah bahwa untuk mengatasi tindak perompakan jauh lebih sulit mengingat daya negara kita yang terbatas untuk mengambil tindakan atas perompakan itu.

Maksud dari arti kata perompakan itu sendiri, tidak semua orang memahaminya dengan baik. Di dalam tayangan-tayangan film di televisi, kita tentu telah sering melihat kejadian perompakan itu sebagaimana di dalam film Pirates of Carabian, Sinbad, ataupun film terkenal Peterpan yang di dalamnya terdapat tokoh Captain Hook, si perompak bertangan kait.

Namun di kehidupan nyata, perompakan ini menjadi suatu tindak pidana yang kurang diperhatikan oleh masyarakat umum, bahkan oleh kalangan hukum itu sendiri. Dibandingkan tindak pidana lain seperti korupsi, pembunuhan atau pencurian, tindak pidana perompakan ini memang kurang “populer” dibandingkan tindak pidana tersebut di atas. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan disini


(11)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

adalah bahwa dengan adanya perompakan ini, negara akan mengalami krisis kpercayaan dari masyarakat internasional menyangkut kekuasaan negara atas wilayah lautnya. Masyarakat internasional akan menganggap negara, dalam hal ini Negara Indonesia, tidak dapat menjaga otoritasnya atas wilayah lautnya sendiri sehingga warga asing yang berniat untuk melewati perairan Indonesia akan mengurungkan niatnya dan tentu saja hal ini akan sangat merugikan Negara Indonesia sendiri.

Di samping itu, di dalam tindak pidana perompakan ini tidak hanya terjadi tindak perampasan barang muatan kapal saja, melainkan tidak jarang tindak pidana perompakan ini juga disertai tindak pidana, seperti pembunuhan, pernculikan, ataupun penganiayaan.

Pada kenyataannya, perompak tidak akan berhenti setelah merampas barang muatan. Mereka tidak akan langsung meninggalkan kapal sasarannya, akan tetapi tidak jarang para perompak akan melakukan hal-hal yang akan meningkatkan hasil kejahatan mereka. Mereka tak segan-segan membunuh untuk menunjukkan kekuasaan dan kekejaman mereka agar para awak kapal dan pemilik kapal takut untuk melakukan tindakan macam-macam untuk menghindarkan diri dari pembajak.

Setelah merampas muatan, tidak sedikit tindak pidana perompakan itu juga disertai penculikan Nahkoda Kapal, Ketua Kamar Mesin, Anak Buah Kapal bahkan kapal itu sendiri yang bertujuan untuk memeras pemilik kapal untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu yang demikian para perompak itu akan


(12)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

memperoleh hasil yang lebih besar. Ancaman bagi yang menolak membayar uang tebusan ini adalah kematian bagi awaknya dan kehilangan kapalnya.

Yang menjadi penyebab dari terjadinya tindak pidana perompakan ini antara lain adalah disebabkan karena faktor kebutuhan ekonomi maupun karena faktor psikologis para pelaku sendiri. Selain kedua faktor ini, diketahui bahwa perompkan ini diketahui memiliki unsur politis melihat bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak TNI AL bahwasannya kebanyakkan pelaku adalah mantan anggota kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikhawatirkan bertujuan untuk menggalang dana guna menyusun kekuatan dalam usahanya melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun apabila kita lihat lebih jauh lagi, dari segi pengamanannya, Negara Indonesia memiliki kelemahan dalam usahanya untuk menjaga keamanan di wilayah lautnya. Luasnya wilayah lautan Indonesia tidak diimbangi dengan peralatan yang mampu untuk melakukan kegiatan pengamanan. Kapal-kapal patroli yang terbatas dan kemampuannya yang minim dijadikan celah bagi pihak-pihak yang merasa memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan dari kelemahan pengamanan tersebut. Kita memiliki sistem pengamanan yang baik di daratan dengan banyaknya aparat yang menjaga wilayah tersebut dan peralatannya pun sangat mendukung, akan tetapi pengamanan di laut agaknya kurang menjadi perhatian di sini.

Di dalam penerapan hukum itu sendiri, tindak pidana perompakan kurang diperhatikan oleh para pembuat undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak adanya pengaturan mengenai perompakan ini di dalam suatu peraturan khusus


(13)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

sebagaimana halnya tindak pidana korupsi. Ketentuan mengenai tindak pidana ini hanya diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saja, tepatnya di dalam Pasal 439 KUHP. Dan bagi pihak Angkatan Laut juga dibuat suatu peraturan khusus tentang kejahatan perairan. Hanya itu sajalah peraturan mengenai tindak perompakan. Akibatnya, banyak pelaku dapat lolos dengan mudah ataupun dihukum namun dengan pidana yang ringan (das sein).

Di masa mendatang, hendaknya pemerintah mampu memikirkan suatu cara yang efektif untuk meningkatkan keamanan masyarakat yang berada di wilayah perairan dari gangguan para perompak. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa perompakan ini bukan saja berkaitan dengan masalah keamanan internalNegara Indonesia sendiri, melainkan juga berkaitan dengan nama baik Negara Indonesia di mata dunia (das sollen).

Hal-hal di atas inilah yang luput dari mata masyarakat tentang efek dari perompakan itu sendiri yang kadang acuh dalam menerima pemberitaannya. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat topik tindak pidana perompakan ini dalam tugas akhirnya. Penulis ingin mengungkapkan kebenaran atau realita di balik perompakan ini dan hal-hal yang tejadi setelahnya.

B. Permasalahan

Sebagaimana telah diuraikan di atas mengenai perkembangan perompakan yang menjadi sesuatu yang diacuhkan masyarakat umum tersebut, penulis ingin membuka mata masyarakat atas apa yang terjadi sebenarnya di dalam kehidupan nyata yang mana menjadi sebuah resiko dengan taruhan nyawa bagi para nelayan


(14)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

yang ingin mencari penghsilan yang layak dengan adanya tindak pidana perompakan ini.

Dengan adanya topik ini, penulis berharap suatu saat nanti masyarakat lebih memahami makna dari perompakan itu sendiri dan menjadi sesuatu yang layak dibahas dalam pembicaraan ilmiah.

Sehubungan dengan hal ini, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan penulis bahas di bab selanjutnya adalah :

1. Tindak pidana apa sajakah yang menyertai sebuah peristiwa perompakan ? 2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana

perompakan ?

3. Bagaimanakah upaya penanggulangan dalam menghadapi tindak pidana perompakan ini ?

C. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul Tindak Pidana Perompakan di Wilayah Perairan Selat Malaka ( Studi Kasus : Pengadilan Negeri Medan ).

Dalam penulisan skripsi ini, penulis selain melakukan studi kepustakaan, penulis juga melakukan riset di Pengadilan Negeri Medan guna memperoleh data-data yang dapat mendukung penulisan skripsi ini.

Sehubungan dengan pemeriksaan yang penulis lakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu dalam rangka membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka telah terbukti bahwa skripsi


(15)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

ini benar-benar merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan berasal dari karya tulis orang lain.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Setiap penulisan karya tulis yang disusun dalam bentuk skripsi selalu mempunyai tujuan dan manfaat tertentu yang ingin dicapai dengan pembahasan karya tulis tersebut. Demikian juga halnya dengan pembahasan skripsi ini yng memiliki tujuan dan manfaat tertentu yang ingin penulis capai.

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui tindak pidana-tindak pidana lain yang terjadi di dalam suatu tindak pidana perompakan;

2. Untuk mengeetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perompakan;

3. Untuk mengetahui upaya penanggulangan yang dilakukan dalam mengatasi tindak pidana perompakan;

4. Untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sedangkan manfaat dari skripsi ini antara lain :

1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dan pihak lain yang turut membaca karya tulis ini tentang kejahatan perompakan di wilayah perairan Selat Malaka khususnya yang terjadi di sekitar perairan Belawan; 2. Agar pemerintah membentuk suatu rencana dan usaha nyata untuk dapat


(16)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

meresahkan masyarakat dan menurunkan nama baik Negara Indonesia di mata dunia internasional dalam hal keamanan di laut.

E. Tinjauan Kepustakaan

Menurut Sir Charles Hedges, seorang hakim (tahun 1600) pada Mahakamah Pelayaran Inggris mengemukakan bahwa “perompak (pirates) adalah perampok yang merampas kapal dan/atau muatannya melalui cara yang keras di lautan.”

1. Pengertian Perompakan

Perompakan secara gamblang dapat diartikan sebagai perampokan yang terjadi di wilayah lautan. Namun dalam pengertian secara ilmiah, istilah perompakan ini memiliki beberapa pengertian yang antara lain akan dikemukakan dalam paragraf berikut.

1

Di dalam Bab III Protap yang berjudul “Peranan TNI AL dalam Pengawasan dan Penegakkan Hukum di Laut”, disebutkan dengan tegas defenisi dari perompakan/pembajakan ini yaitu adalah setiap tindakan

Konvensi Genewa tahun 1958 juga memuat arti dari “pembajakan. Pembajakan diatur dalam pasal 15 konvensi laut lepas yang antara lain mencantumkan sebagai berikut :

“Pembajakan di laut meliputi salah satu perbuatan sebagai berikut : (1) setiap

perbuatan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum, menyetop/menahan, atau

perbuatan merampok . . . .”

1

M. Arif Nasution, dkk, Isu-isu Kelautan “dari Kemiskinan hingga Bajak Laut”, (Yogyakarata : Pustaka Pelajar, 2005), hal. 118


(17)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

kekerasan/perampasan atau penahan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan terhadap orang atau barang, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal.

Defenisi perompak (pirates) ini kemudian diatur dalam Pasal 101 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982; dimana

pengertian perompak mengandung makna :

(a)Any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation

commited for private ends by crew or passengers of a private ship or a

private aircraft, and directed :

(i) On the high seas, against another ship or aircraft, or against persons

or property on board such ship or aircraft;

(ii)Against a ship, aircraft, persons or property in aplace outside the

jurisdiction of any State;

(b)Any act of voluntary participation in the operation of ship or of an

aircraft with knowledge of facts making it a pirate ship or aircraft;

(c)Any act inciting of intentionally facilitating an act described in

sub-paragraph (a) or (b).

Secara bebas defenisis tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut :

(a) Setiap perbuatan illegal atas kekerasan atau penahanan, atau setiap perbuatan pembinasaan yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh Anak Buah Kapal (ABK) atau penumpang dari sebuah kapal pribadi atau pesawat pribadi, dan ditujukan :


(18)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

(i) Di wilayah laut lepas, terhadap kapal atau pesawat lain, atau terhadap orang atau benda-benda di atas kapal atau pesawat tersebut;

(ii) Terhadap sebuah kapal, pesawat, orang atau benda-benda di suatu wilayah di luar yurisdiksi negara manapun;

(b) Setiap perbuatan ikut serta secara sukarela di dalam penyelenggaraan suatu kapal atau sebuah pesawat sedang diketahuinya secara nyata bahwa kapal atau pesawat tersebut digunakan sebagai kapal atau pesawat perompak; (c) Setiap perbuatan menghasut secara sengaja dengan memberi fasilitas

untuk suatu perbuatan sebagaimana dimaksud dalam sub-paragraf (a) atau (b).

Pada perkembangan selanjutnya, defenisi tersebut dirasa tidak cocok lagi dengan kenyataan di lapangan. Hal ini dikarenakan perompakan tidak lagi terbatas dilkukan pada harta benda saja melainkan juga mengancam nyawa manusia yang berada di atas kapal tersebut. Selain itu, perompakan tidak hanya terjadi di wilayah internasional saja sebagaimana disebutkan dalam sub-paragraf (a) pada butir (i), tetapi juga terjadi di wilayah laut teritorial, bahkan sampai ke anak sungai seperti yang terjadi di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

Oleh karena itulah, beberapa negara di dunia menyatakan bahwa perlu didirikan suatu badan internasional untuk mengatasi masalah keamanan di laut secara lebih efektif. Untuk itu pada tahun 1948, sebuah konferensi internasional yang diadakan di Genewa mengadopsi sebuah konvensi yang selanjutnya secara resmi mendirikan Inter Governmental Maritime Consultative Organization atau IMCO. Selanjutnya pada tahun 1982. IMCO ini berubah nama menjadi IMO.


(19)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Adapun tujuan dari didirikannya organisasi ini adalah untuk menyediakan sarana kerja sama antar negara untuk membantu pemerintah dalam bidang keamanan di laut. Pada pertemuan IMO pada tahun 1991, organisasi ini menyetujui Resolusi A 682 (17) dalam rangka pencegahan dan penindsan tindakan dari perompak bersenjata yang menyerang kapal-kapal di lautan.

Berikutnya, Swedia pada tahun 1983 mengjukan kertas kerja untuk mendirikan Maritime Safety Committee (MSC). Dan pada tahun 1999 International Chamber of Commerce mendirikan pula International Maritime

Bureau (IMB) untuk menangani kasus kriminal di lautan dengan lebih serius

karena perompakan yang terjadi terhadap kapal-kapal yang sedang berlayar di seluruh dunia telah mencapai angka lebih kurang 1.587 serangan pada tahun 1984 sampai akhir November 1999.

Berbicara tentang Kitab Undng-undang Hukum Pidana (KUHP) tentu tidak terlepas dari penggolongan tindak pidana-tindak pidana yang harus dimuli dengan mencari persamaan sifat semua tindak pidana. Dari persamaan sifat ini kemudian dapat dicari ukuran-ukuran atau kriteria untuk membedakan suatu golongan tindak pidana dari golongan lain; dan dari setiap golongan ini mungkin bisa dipecah lagi ke dalam dua atau lebih subgolongan.

2. Pengaturan Tindak Pidana Perompakan di dalam KUHP

Ini adalah ciri khas dari ilmu pengetahuan yang secara sistematis memungkinkan para peminat untuk mendapat pandangan yang jelas tentang


(20)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

berbagai gejala khusus di bidang ilmu pengetahuan tertentu , kini di bidang hukum pidana.

Di dalam buku Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro yang berjudul “Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia”, beliau mengemukakan bahwa suatu tindak pidana

adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana.

Maka sifat-sifat yang ada dalam setiap tindak pidana adalah sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid, onrechtmatigheid). Tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.

Beberapa pasal ketentuan hukum pidana (strafbepaling) menyebutkan salah satu unsur khusus dari suatu tindak pidana tertentu adalah wederrechtelijkheid atau sifat melanggar hukum. Adakalanya dengan penyebutan

ini ditekankan bahwa sifat melanggar hukum ini terutama mengenai satu bagian dari suatu tindak pidana. Misalnya, dalam tindak pidana pencurian oleh Pasal 362 KUHP disebutkan bahwa pengambilan barang milik orang lain ini harus dengan tujuan (oogmerk) untuk memiliki barang itu dengan melanggar hukum.

Dalam tindak pidana penggelapan barang dari Pasal 372 KUHP perbuatannya dirumuskan sebagai “memiliki barang dengan melanggar hukum” (wederrechtelijkheid zich toe-eigenen).

Tindak pidana Pasal 522 KUHP dirumuskan sebagai “dengan melanggar hukum tidak memenuhi panggilan sah untuk datang selaku saksi”.


(21)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Penyebutan “sifat melanggar hukum” dalam pasal-pasal tertentu ini menimbulkan tiga pendapat tentang arti dari “melanggar hukum” ini, yaitu diartikan :

Ke-1 : bertentangan dengan hukum (objektif);

Ke-2 : bertentangan dengan hak (subjektif) orang lain; Ke-3 : tanpa hak.

Menurut Mr. T.J. Noyon dalam bukunya Het Wetboek van Straftrecht cetakan V yang dikerjakan oleh Prof. Mr. G.E. Langemeyer, jilid I halaman 7 noot ke-2, pendapat ke-1 dianut oleh Simons, Zevenbergen, dan Pompe; pendapat ke-2 oleh Noyon dalm cetkan IV; pendapat ke-3 dikatakan dianut oleh HogeRaad Belanda, tetapi menurut Langemeyer sebenarnya tidak.

Langemeyer dalam noot tersebut juga menceritakan bahwa menurut van Hamel, praktis tidak ada perbedaan antara ketiga pendapat itu, dan bahwa menurut Mr. J. Riphangen perkatan wederrechtelijk tidak perlu diartikan sama, tetapi dalam suatu pasal tertentu harus diartikan lain daripada dalam pasal lain tertentu.

Menurut Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro sendiri, perbedaan antara ketiga pendapat tersebut jelas da. Apabila suatu perbuatan bertentangan dengan suatu peraturan hukum tertentu (objektif), belum tentu dengan perbuatan itu terlanggar suatu hak (subjektif) orang lain, misalnya apabila suatu peraturan hukum terlanggar itu melulu mengenai tata tertib, tanpa menyinggung hak orang-orang.

Mengenai arti tanpa hak dari sifat melanggar hukum dapat dikatakan bahwa mungkin seseorang tidak mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan yang sama sekali tidak dilarang oleh suatu peraturan hukum.


(22)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Bahwa istilah melanggar hukum dalam suatu pasal harus diartikan lain daripada pasal lain, seperti dikemukakan oleh Riphangen, menurut hemat Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro sendiri hal itu mungkin saja. Ini praktis bergantung pada :

kepada apa yang dibayangkan oleh pembentuk undang-undang; dan

kepada apa yang dirasakan oleh para pelasana hukum sebagai hal yang terbaik dalam situasi tertentu.2

A. Karena membajak di pantai dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun, barangsiapa dengan memakai sebuah kapal (perahu) melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal (perahu) yang ada di dalam daerah laut Negara Indonesia.

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri mengenai tindak pidana perompakan diatur dalam Bab XXIX, tepatnya tercantum dalam Pasal 439 KUHP.

Isinya antara lain :

B. Yang dikatakan “Daerah Laut Negara Indonesia” ialah daerah laut sebagai yang diterangkan dalam pasal 1 dari “Territoriale zee en maritime kringen ordonnantie” (L.N. 1939 No. 442).3 Mengenai daerah laut Negara Indonesia seperti tercantum dalam pasal 1 dari “Territoriale zee en maritime kringen ordonnantie” telah diterangkan sebelumnya di dalam Bab II karya tulis ini.

Berbeda dengan tindak pidana lain, yang termuat dalam pasal-pasal 439 KUHP, 440 KUHP, dan 441 KUHP yang ketiganya dirumuskan sebagai

2

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2003), hal.1-3.

3

R. Soesilo Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) : Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor : Penerbit Politea, 1994), hal. 295.


(23)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

perbuatan kekerasan dan ketiganya masing-masing diancam dengan hukuman maksimum lima belas tahun penjara.

Tindak pidana dari pasal 439 KUHP dinamakan pembajakan pantai (kustroof) dan dirumuskan sebagai : dengan mempergunakan kapal dalam laut teritorial Indonesia (laut wilayah Indonesia), melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang-orang atau barang-barang di atas kapal itu. Jadi, sebenarnya kini ada pembajakan di laut dekat pantai.4

a. Afrika Barat

3. Pola Umum Pelaksanaan Perompakan

Berdasarkan laporan dari badan-badan resmi, seperti Buletin IMO pada Bulan Januari tahun 2000, tindak pidana perompakan telah tumbuh sebagai tindak pidana internasional yang bersifat global dan terorganisir.

Adapun informasi yang diperoleh pada Buletin IMO tersebut antara lain adlah mengenai pola-pola umum pelaksanaan perompakan yang diuraikan sebagai berikut :

Pada periode 1986 – 1992 di Afrika Barat, khususnya di Negeria telah terjadi aktivitas kejahatan perompakan dan perampokan bersenjata lebih kurang 25 kasus per tahunnya. Dan pada tahun 1998 saja telah terjadi perompakan sebanyak 25 kasus, khususnya terhadap kapal yang sedang berlabuh.

b. Selat Malaka

4


(24)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Sebelum tahun 1989 Selat Malaka dipandang sebagai wilayah lautan yang relatif aman. Namun pada masa-masa berikutnya menjadi kawasan yang cukup rawan. Setiap tahunnya dilaporkan telah terjadi sekitar 28 kali penyerangan dan sejak tahun 1991 jumlahnya terus bertambah hingga 50 kali serangan per tahun. Kebanyakan penyerangan tersebut adalah terhadap kapal-kapal dagang yang sedang berlayar.

Perlu juga diketahui bahwa kejahatan perompakan yang terjadi di Selat Malaka mungkin tidak murni bersifat mencari keuntungan semata-mata tetapi mengandung tujuan politis sebagaimana dilaporkan oleh beberapa ICC Commercial Crimes Services tanggal 23 September 2003. Dalam laporan tersebut dinyatakan :

. . . .There was evidence to suggest Aceh rebels are responsible for

the growing piracy in the area. Their principal motivation … Is to

fund their political cause by holding hostages for ransum.

Yang secara bebas dapat diartikan sebagai berikut :

……….terdapat bukti yang mengarahkan bahwa pemberontak di Aceh bertanggung jawab atas pertumbuhan perompakan di wilayah ini. Tujuan utama mereka……… adalah untuk mendanai usaha politik mereka dengan melakukan penyanderaan untuk persediaan.

c. Laut Cina Selatan

Dalam waktu tujuh bulan (Mei hingga Desember), telah terjadi 42 kasus perompakan terhadap kapal besar dan kecil.


(25)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

d. Amerika Selatan

Penyerangan perompak di Colombia, Venezuela tahun 1998 terjadi 38 kasus.

Adapun pola modus operasi yang dipergunakan perompak adalah naik dan menyerang kapal pada malam hari.

Berikut adalah peristiwa perompakan dan modus operandinya secara garis besarnya.

Tabel 1

No.

Perompakan yang terjadi dalam kurun tahun 1999 - 2003 Waktu Kejadian Lokasi Kejadian Keterangan

1 13 November 1999 Pelabuhan Surabaya Ketika sedang berlabuh, perompak naik kapal dan mencuri peralatan kapal. 2 19 November 1999 15 : 32 U dan 041 :

53 T dekat Jazirat Ta’ir (Laut Merah)

Kapal yang sedang berlayar dinaiki 7 perompak bersenjata canggih.

3 21 November 1999 Karang Channing Shoal, P. batu Gelasa

Perompak berusaha menaiki kapal dan awak

kapal berusaha membunyikan sinyal dan

memukul balik serangan peompak.

4 23 November 1999 Tanjung Priok Kapal ditumpangi 10 perompak bersenjata dengan pisau panjang, namun mereka melarikan diri setelah awak kapal menghidupkan alarm.


(26)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

5 26 November 1999 025 : 63 S dan 106 : 58 T di Leplia Str

5 perompak bersenjata dengan pisau panjang menaiki kapal, menahan nahkoda, pegawai dan menyandera kepala pegawai. Perompak melompat ke air ketika ada perlawanan dari tawanan.

6 26 November 1999 03 : 01 S dan 106 : 58 T di Gelasa Str

7 perompak dengan senjata panjang menaiki kapal, menahan nahkoda, pegawai, menyandera serta mencuri uangmilik awak kapal dan perlengkapan kapal.

7 1 Oktober 2002 _ Perompak menyerang

kapal tanker

8 2 September 2003 Selat Malaka Perompak mengancam kapal tanker minyak

Sumber : Buku Isu-isu Kelautan “dari kemiskinan hingga bajak laut”

Sebagai suatu negara maritim, wilayah laut Indonesia memiliki peran yang sangat vital dan strategis dalam aspek kedaulatan, keamanan, transportasi, industri, perekonomian, sosial, sebagai sumber penghidupan masyarakat, dan hubungan luar negeri.


(27)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Namun demikian, akhir-akhir ini kondisi keamanan laut sangat membutuhkan perhatian serius. Berbagai masalah keamanan laut saat ini meliputi ancaman kekerasan, ancaman navigasi, ancaman sumber daya, dan ancaman kedaulatan dan hukum. Masalah keamanan laut ini apabila dilirik dari sudut hubungan internasional antara lain berupa sea piracy (perompakan), illegal entry (masuk wilayah Indonesia secara illegal), smuggling (penyelundupan), illegal fishing (penangkapan ikan secara illegal), maritime disaster (bencana laut),

hostages (penyanderaan), tererism (terorisme) di laut dan kejahatan-kejahatan

umum di perairan Indonesia serta pengrusakan ekosistem laut.

Berdasarkan laporan FAO pada tahun 2001, jumlah ikan yang ditangkap secara illegal di Indonesia mencapai angka 1 juta ton per tahun dengan kerugian senilai US$ 4 milyar (38 trilyun rupiah), pasir laut senilai US$ 8 milyar (72 trilyun rupiah), BBM senilai US$ 5,6 milyar (50 trilyun rupiah) kayu senilai US$ 40 milyar (30 trilyun rupiah).

Keadaan keamanan laut yang rawan tersebut pada akhirnya mengakibatkan keterpurukan yang semakin dalam pada kekuatan ekonomi rakyat, sebagaimana terlihat pada pengusaha tambak yang meninggalkan tambaknya, dan ada pengusaha yang diculik dan diperas, nelayan tidak mau lagi pergi ke laut mencari ikan dan sebagainya. Untuk mengatasi hal ini maka konsep keamanan dan menegakkan hukum di laut perlu dibahas secara komprehensif dan terpadu.


(28)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

F. Metode Penelitian

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis memerlukan data-data yang berhubungan dengan pokok masalah yang ada. Dan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah mengadakan usaha pengumpulan data dengan mempergunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Penelitian Lapangan (Library Research)

Yaitu melakukan penelitian melalui sumber-sumber bacaan yang mempunyai hubungan atau kaitan dengan masalah yang dihadapi guna memperoleh bahan-bahan yang diperlukan yang bersifat teori-teori ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar penulisan skripsi ini, baik itu berupa buku-buku bacaan maupun ketentuan perundang-undangan yang penulis lakukan dengan membaca dan mengutip kalimat-kalimat dalam bacaan-bacaan tersebut.

2. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penulis melakukan penelitian lapangan di Pengadilan Negeri Medan guna memperoleh data-data yang diperlukan.

Selain itu, penulis juga melakukan metode wawancara dengan anggota TNI AL yang menangani secara langsung masalah perompakan di Selat Malaka, khususnya sekitar perairan Belawan dalam kurun waktu antara tahun 2005 sampai tahun 2006.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menjaga agar pembahasan skripsi ini dapat dilakukan secara sistematis, maka pembahasannya diuraikan dalam beberapa bab, dan setiap bab


(29)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

dibagi lagi dalam beberapa sub-bab, dimana gambaran skripsi ini dapat penulis uraikan sebagai berkut :

Bab I : PENDAHULUAN

Dalam Bab I tentang Pendahuluan ini, diuraikan gambaran umum sebagai pendahuluan untuk pembahasan dalam bab-bab berikutnya. Di dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta sistematika penulisan.

Bab II : PEROMPAKAN DI SELAT MALAKA

Dalam bab ini diuraikan mengenai hubungan perompakan dengan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Konvensi tentang Laut Lepas dalam hal pengamanan di wilayah perairan Indonesia, serta tindak pidana lain yang menyertai tindak pidana perompakan itu sendiri.

Bab III : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PEROMPAKAN

Bab ini membahas mengenai faktor penyebab yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perompakan itu sendiri dan akibat-akibat yang harus diterima oleh korban perompakan, baik itu dari segi materi maupun psikologis.


(30)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Bab IV : UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEROMPAKAN DI PERAIRAN SELAT MALAKA

Bab IV ini menguraikan peranan TNI AL dalam mengatasi tindak pidana perompakan, dan upaya penanggulangan yang dilakukan untuk menghadapi perompakan tersebut, serta analisis kasus perompakan yang data-datanya diperoleh dari Pengadilan Negeri Medan.

Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan tentang kesimpulan yang penulis dapatkan dari keseluruhan pembahasan yang ada, kemudian dari kesimpulan tersebut penulis juga memberikan beberapa saran yang penulis harap dapat berguna bagi penyelesaian permasalahan di masa yang akan datang.


(31)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

BAB II

PEMBAHASAN

D. Perompakan dalam Hubungannya dengan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Jika kita membicarakan perompakan, tentu kita tidak dapat mengenyampingkan pembahasan mengenai tempat kejadian tindak pidana tersebut, yaitu wilayah perairan. Dan mengingatbahwa wilayah perairan di dunia ini adalah satu kesatuan, maka kita juga tidak boleh lupa untuk membicarakan daerah teritorial negara sebagai batas kedaulatan untuk melaksanakan hukum negara.

Sebagimana kita ketahui bahwa negara kita terdiri dari wilayah darat dan wilayah perairan yang juga biasa kita sebut dengan wilayah teritorial. Sedangkan yang dimaksud dengan wilayah perairan itu sendiri adalah kedaulatan negara tertentu atas sebagian wilayah tertentu dari laut.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa wilayah laut adalah kepunyaan bersama dan negara pantai hanya memiliki kekuasaan tertentu saja, yang berarti negara pantai tidak memiliki kedaullatan penuh atas wilayah perairannya sendiri. Pendapat ini kurng mendapat dukungan dari banyak pihak karena dinilai merugikan negara pantai di dunia.

Pendapat selanjutnya mengatakan bahwa laut teritorial merupakan kedaulatan penuh dari negara pantai tertentu dan negara pantai tersebut memiliki hak untuk menegakkan hukum negaranya di wilayah laut teritorialnya. Pendapat inilah yang umumya kita gunakan sekarang. Dan sebagai wilayah yang memiliki


(32)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

kedaulatan penuh, maka negara pantai yang memiliki wilayah teritorialnya mempunyai wewenang untuk mengatur segla sesuatu di wilayah laut teritorialnya tersebut yang wajib dihormati dan dipatuhi semua pihak yng berada di atasnya.

Batasan dari wilayah teritorial ini ditentukan oleh Hukum Internasional yang kemudian dimuat dalam Pasal 2 – 5 dan 7 – 9 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang bunyinya antara lain :

Pasal 2 :

“Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap

orang yang dalam Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh

dihukum (peristiwa pidana).”

Pasal 3 :

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi

setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di

dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.”

Pasal 4 :

“Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap

orang yang melakukan di luar Indonesia :

1e. salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal 104, 106,

107, 108, 110, 111 bis pada 1e. 127 dan 131;

2e. suatu kejahatan tentang mata uang, uang kertas negeri atau uang

kertas bank atau tentang materai atau merek yang dikeluarkan atau


(33)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

3e. pemalsuan tentang surat-surat hutang atau sertifikat-sertifikat hutang

yang ditanggung Indonesia, daerah (gewest) atau sebahagian

daerah, talon-talon, surat-surat hutang sero atau surat-surat bunga

hutang yang masuk surat-suarat itu, serta surat-surat keterangan

ganti surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu

atau yang dipalsukan demikian itu seakan-akan surat itu benar dn

tidak dipalsukan;

4e. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai

dengan pasal 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang

penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal

479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan

hukum, pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang

mengancam keselamatan penerbangan sipil.”

Pasal 5 :

“(1) Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi

Warga Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesi :

1e. salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku

Kedua, dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451;

2e. suatu perbuatan yang dipandang sebagai suatu kejahatan

menurut ketentuan hukum pidana dalam undang-undang

Indonesia dan boleh dihukum menurut undang-undang negeri,


(34)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

(2) Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada ke-2e

boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi Warga Negara

Indonesia setelah melakukan perbuatan itu.”

Pasal 7 :

“ Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi

Pegawai Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia salah satu

kejahatan yang diterangkan dalam Bab XXVIII Buku II.”

Pasal 8 :

“ Ketentuan pidana dalam undang-undang Inonesia berlaku bagi

nahkoda dan penumpang-penumpang alat-alat pelayar (kapal, perahu)

Indonesia, yang ada di luar Indonesia, juga waktu mereka tidak ada di

atas alat-alat pelayar, melakukan salah satu peristiw pidana, yang

diterangkan dalam Bab XXIX Buku II dan Bab IX Buku III, demikian

juga dalam undang-undang umum tentang surat-surat laut dan pas

kapal di Indonesia dan dalam Ordonansi Kapal 1927.”

Pasal 9 :

“ Berlakunya pasal 2 – 5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan,

yang diakui dalam hukum antar negara”.

Dengan demikian, jelas pembatasan atas laut teritorial Indonesia dibatasi oleh Hukum Internasional.

Pengaturan laut teritorial Indonesia diatur pada :

• Peraturan Pelayaran Indonesia Tahun 1936, Stbl No. 700 Tahun 1936 • Peraturan Pelayaran Tahun 1936, Stbl No. 703 Tahun 1936


(35)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

• Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, Stbl No. 442 Tahun 1939

Berdasarkan Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, Stbl No. 442 Tahun 1939 pada Pasal 1 ayat (1) butir 2 dirumuskan “daerah laut Indonesia (perairan teritorial)” sebagai berikut :

“Daerah laut Indonesia termasuk bagian laut teritorial yang terletak pada bagian sisi darat dari :

a. Laut pantai;

b. Daerah air teluk-teluk, ceruk-ceruk laut, muara-muara sungai dan

terusan.”

Pada Pasal 1 ayat (1) butir 3 memuat ketentuan tentang “perairan pedalaman Indonesia” yang bunyinya sebagai berikut :

3. Perairan pedalaman Indonesia :

Semua perairan yang terletak pada bagian sisi darat laut teritorial

Indonesia, termasuk sungai-sungai, terusan-terusan dan danau-danau dan

rawa-rawa di Indonesia.”5

5

Laden Marpaung, Tindak Pidana Perairan (Laut) Indonesia,(Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hal. 9

Pada tahun 1939, Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim menentukan bahwa luas wilayah laut teritorial negara pantai adalah 3 mil laut (1 mil laut = 1852 m) diukur dari garis pantai pada saat air surut (along low water mark).


(36)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Ketentuan ini dilaksanakan di sebagian besar negara dunia antara lain : Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Belanda dan telah disetujui dalam “International Law Association” pada tahun 1924. Tetapi ada juga negara-negara

lain yang menentukan batas wilayah teritorialnya secara berbeda, antara lain : • Negara-negara Skandinavia (Finlandia, Swedia, Norwegia) = 4 mil laut.

• Meksiko = 9 mil laut.

• Saudi Arabia, Republik Persatuan Arab, Indonesia = 12 mil laut. Hingga sat ini belum ada kesepakatan mengenai jarak wilayah teritorial di dunia dan mengenai hal ini pula Wirjono Prodjodikoro, SH (teks Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia) berkata :

. . . . soal ini dibahas lagi oleh International Law Commissions dari Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations), yang dalam sidang ke-8 yang berlangsung tanggal 23 April – 4 Juli 1956 hanya sampai mengusulkan mengadakan suatu peraturan tentang territorial sea . . .

(2) Panitia menganggap, bahwa hukum internasional tidak memperbolehkan memperluas jarak laut wilayah itu sampai lebih dari 12 mil.

(3) . . . “6

Indonesia sendiri pada tanggal 13 Desember 1957, dengan Pengumuman Pemerintah mengubah jarak 3 mil menjadi 12 mil. Pengumuman Pemerintah tersebut antara lain berbunyi sebagai berikut :

KEDAULATAN ATAS LAUT KABINET PERDANA MENTERI

REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

6


(37)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

PENGUMUMAN PEMERINTAH MENGENAI

WILAYAH PERAIRAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Dewan Menteri, dalam sidangnya pada hari Jumat tanggal 13 Desember 1957 membicarakan soal wilayah perairan Negara Republik Indonesia.

Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri.

Bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan Negara Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat.

Penentuan batas lautan teritorial seperti termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939”( Stbl.1939 No.442 ) artikel ayat (1) tidak lagi sesuai dengan pertimbngan – pertimbangan tersebut di atas karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian – bagian terpisah dengan territorialnya sendiri – sendiri.

Berdasarkan pertimbangan – pertimbangan itu maka Pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau – pulau yang termasuk Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan luas atau lebarnya adalah bagian – bagian yang wajar daripada wilayah pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal – kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan / mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.

Penetuan batas lautan territorial ( yang lebarnya 12 mil ) diukur dari garis yang menghubungkan titik – titik ujung terluar pada pulau – pulau Negara Indonesia.

Ketentuan – ketentuan tersebut di atas akan diatur selekas – lekasnya dengan Undang – Undang.

Pendirian Pemerintah tersebut akan diperhatikan dalam konferensi internasional mengenai hak – hak atas lautan yang akan diadakan dalam bulan Februari 1958 di Jenewa.

Jakarta, 13 Desember 1957 PERDANA MENTERI

Ttd H. JUANDA7

7

Ibid, hal. 10-11

Kemudian Pengumuman Pemerintah tersebut dikuatkan dengan Undang-undang No. 4 /Prp/1960 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Februari 1960.


(38)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Dahulu sebelum era industrialisasi, maka hubungan antar pulau atau antar bangsa yang dipisahkan dengan lautan, dilakukan dengan perahu, perahu layar yang berkembang menjadi kapal motor dan terakhir dengan kapal terbang. Oleh karena itu merupakan suatu kebutuhan untuk mampu mengatur keamnan dan ketertiban di lautan, termasuk di dalamnya isi kapal, awak kapal maupun penumpang kapal. Dengan kebutuhan akan keamanan dan ketertiban tersebut maka dibuat aturan-aturan dalam hukum pidana yang di Indonesia dimuat pada Bab XXIX tentang kejahatan pelayaran.

Ramainya lalu lintas pengangkutan di laut juga memerlukan suatu peraturan untuk mengatur lalu lintas di laut, baik itu di laut teritorial maupun di laut leps. Pengangkutan di laut itu tentu saja tidak terlepas dari urusan dagang, oleh karena itu pulalah dapat dipahami jika ketentuan pengangkutan itu turut pula dicantumkan dalam hukum dagang.

Berlakunya Undang-undang No. 4/Prp/1960 yang menentukan lebar laut wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut maka perairan yang dulunya merupakan laut bebas menjadi perairan teritorial Indonesia sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan dengan negara tetangga, misalnya :

• Republik Singapura yang menganut lebar laut wilayah 3 mil laut. Dilihat dari Indonesia yang menganut lebar wilayah laut 12 mil, maka diperlukan luas wilayah laut diantara Indonesia dan Singapura selebar 15 mil untuk dapat membagi secara adil menurut ketentuan negara masing-masing.. namun pada kenyatannya lebar laut diantara kedua negara ini adalah


(39)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

kurang dari 15 mil sehingga hal ini menimbulkan permasalahan dalam pembagian kewenangan.

• Kerajaan Malaysia, pada bulan Agustus 1969 membuat pengumuman yang menyatakan bahwa lebar laut teritorialnya adalah 12 mil juga. Hal inipun menimbulkan permasalahan karena jarak lebar laut kedua negara kurang dari 24 mil untuk bisa dilakukan pembagian secara merata.

Untuk mencegah perselisihan-perselisihan antar negara tersebut, maka pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara tetangga yang menghasilkan persetujuan-persetujuan sebagai berikut :

• Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka. Perjanjian tersebut dibuat pada tanggal 17 Maret 1970 yang ditandatangani oleh Adam Malik (sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia) dan Tuan Haji Abdul Rajak (Timbalan Perdana Menteri Malaysia).

Perjanjian ini pada tanggal 10 Maret 1971 telah menjadi Undang-undang No. 2 Tahun 1971.

• Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka. Perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1973 oleh Adam Malik (untuk Indonesia) dan S. Rajaratman (untuk Republik Singapura). Perjanjian ini telah menjadi Undang-undang No. 7 Tahun 1973.

• Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas tertentu, yang ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1973. Perjanjian ini telah menjadi Undang-undang No. 6 Tahun 1973.

• Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang penetapan garis batas dasar laut antara kedua negara di Laut Andaman. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1975. kemudian perjanjian tersebut dikuatkan dengan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan Thailand yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1978. Seyogyanya persetujuan ini diratifikasi DPR agar menjadi undang-undang karena dasar hukum batas laut teritorial sesuatu negara tidak cukup hanya dengan Keputusan Presiden atau persetujuan. Dengan perjanjian/ persetujuan, maka kekuatan hukumnya hanya berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian/persetujuan tersebut.8

8


(40)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

B. Konvensi tentang Laut Lepas dalam Hal Pengamanan di Wilayah Perairan Indonesia

Laut lepas atau laut bebas ini sendiri Pasal 1 Konvensi diartikan sebagai “semua bagian laut yang tidak termasuk laut teritorial atau periran pedalaman sesuatu negara”

Konvensi tentang laut lepas (bebas) ini pada dasarnya mengatur antara lain sebagai berikut :

1. Laut lepas (bebas) terbuka untuk semua bangsa. Semua bangsa memiliki kebebasan atas laut lepas dalam hal :

a. melakukan navigasi; b. melakukan perikanan;

c. memasang kabel atau pipa saluran; d. melakukan penerbangan.

2. Kebebasan tersebut diatur dalam hukum internasional.

3. Tiap negara berhak melakukan pelayaran dengan benderanya masing-masing di laut lepas.

4. Kapal-kapal harus mengibarkan bendera satu negara saja tidak diperkenankan berganti-ganti kecuali berpindah pemilik (owner).

5. Jika satu kapal mengibarkan dua bendera kapal maka kapal tersebut dianggap tidak berkebangsaan.

6. Tiap negara bekerjasama untuk memberantas pembajakan di laut.

7. Kapal atau pesawat terbang yang melakukan pembajakan akan diadili negara yang benderanya dipergunakan.

8. Tiap negara harus mengatur untuk mencegah pengotoran laut. Membuang minyak, membuang sisa radio aktif serta mengatur eksploitasi dan eksplorasi.9

Adapun hak sebuah negara untuk melakukan pengejaran terhadap kapal yang dicurigai melakukan tindak pidana ditentukan sebagai berikut ;

• Pengejaran hanya dilakuakan kapal perang, pesawat terbang militer atau kapal/pesawat yang sedang menjalankan tugas pemerintahan.

9


(41)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

• Pengejaran dilakukan terhadap kapal yang diduga keras melanggar undang-undang/peraturanperaturan negara yang mengejar.

• Pengejaran yang dilakukan secara tidak terputus dapat dilakukan sampai batas laut teritorial negara lain. Jika telah sampai di laut teritorial negara lain maka pengejaran harus dihentikan.

• Perintah harus dilakukan dari laut teritorial dan hanya boleh dimulai setelah diberikan semboyan yang dapat dilihat/didengar kapal asing tersebut.

• Kapal yang dikejar dikawal menuju suatu pelabuhan untuk diperiksa/disidik.

• Jika kecurigaan ternyata tidak terbukti maka diberikan ganti rugi.

Dalam buku Wirjono Prodjodikoro, SH “Hukum Laut bagi Indonesia” membicarakan tentang International Law Comission PBB, yang antara lain memuat :

Tentang hal ini hanya diusulkan satu pasal, yaitu pasal 66 yang berbunyi sebagai berikut :

1. Dalam suatu bagian samudera raya yang merupakan lanjutan dari suatu laut teritorial dari negara pesisir, maka negara ini dapat melakukan pengawasan yang perlu untuk :

a. menghindrkan pelanggaran peraturan-peraturan undang-undangnya yang berlaku di perairan itu tentang bea masuk atau pajak lain atau tentang kesehatan;

b. menghukum perbuatan-perbuatan melanggar peraturan undang-undang itu yang dilakukan dalam laut wilayah itu.

2. Wilayah lanjutan itu tidak boleh lebih luas dari 12 mil terhitung dari titik dari mana dihitung jarak luas dari laut wilayah.10

10

Wirjono Prodjodikoro, “Hukum Laut bagi Indonesia”, (Bandung : Penerbit Sumur, 1963), hal. 49


(42)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

C. Tindak Pidana yang Menyertai Tindak Pidana Perompakan di Selat Malaka

Sebelum kita mulai membahas tindak pidana lain yang menyertai terjadinya tindak pidana perompakan, ada baiknya kita melihat kepada pasal utama yang disertai tindak pidana lain tersebut, yaitu Pasal 439 KUHP.

Pasal 439 KUHP itu berbunyi sebagai berikut :

“(1) Karena membajak di pantai dihukum penjara selama-lamanya lima

belas tahun, barang siapa dengan memakai sebuah kapal (perahu)

melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal (perahu) itu yang ada

dalam daerah laut Negara Indonesia.

(2) Yang dikatakan “Daerah Laut Negara Indonesia” ialah daerah laut

sebagai Pasal 1 dari “Territoriale zee en maritieme kringen

ordonnantie”(LN. 1939 No. 442).”

Dari ayat (1) pasal ini dapat kita ambil unsur-unsurnya, yaitu antara lain : 1. Membajak di pantai.

Yang dimaksud dengan “pantai” disini adalah pembajakan (perompakan) yang dilakukan di dalam laut teritorial yang luasnya yaitu sejauh 12 mil dari garis pantai pada saat air laut surut, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya dalam sub-bab sebelumnya.

Pembajakan yang terjadi di luar laut teritorial (laut bebas) akan dikenai Pasal 438 KUHP, sedangkan pembajakan di sungai dikenai Pasal 441 KUHP.


(43)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Kapal atau perahu disini dipergunakan pihak perompak sebagai sarana untuk melakukan perompakan.

Tidak jarang perompak, menyandera sebuah kapal untuk melakukan perompakan di kapal lain dan kemudian meninggalkan kapal tersebut dengan membawa pergi kapal yang dirompaknya.

Jadi, tidak menjadi suatu keharusan perompak menggunakan kapal pribadinya untuk melakukan perompakan.

3. Melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal (perahu)

Perbuatan kekerasan disini dimaksudkan pada kapal atau perahu yang dibajak (dirompak) untuk menimbulkan kerugian pada pihak lawan, bukan kepada orang-orang yang ada di dalam kapal yang dibajak/dirompak tersebut.

Sedangkan ayat (2) dari pasal ini memuat batas berlakunya pasal ini terhadap kapal yang melakukan perompakan, yaitu selebar 12 mil dihitung dari garis pantai ketika air laut surut dari pulau terluar Negara Indonesia, termasuk disini Selat Malaka khususnya bagian perairan Belawan yang kejadian perompakannya penulis bahas di dalam karya tulis ini.

Pada kenyataannya, perompakan yang sekarang ini terjadi tidak hanya melanggar Pasal 439 KUHP saja, melainkan juga melanggar beberapa ketentuan lain dalam KUHP. Adapun tindak pidana yang menyertai perompakan ini antara lain :

1.

Mengenai hal ini, KUHP mengaturnya dalam Pasal 198 KUHP, yang isinya antara lain :


(44)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak menenggelamkan

(mengaramkan) atau mendamparkan, membinasakan, membuat sehingga

tidak dapat dipergunakan lagi atau merusakkan sesuatu kapal (perahu)

dihukum :

1e. penjara selama-lamanya lima belas tahun kalau hal itu dapat

mendatangkan bahaya maut kepada orang lain;

2e. penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh

tahun, kalau perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya maut kepada orang

lain dan ada orang mati lantaran itu.”

Berbeda dengan Pasal 199 KUHP, pasal ini dilakukan dengan sengaja (delik dollus), dan bukan karena kesalahannya (delik culpa).

Penenggelaman kapal ini dilakukan oleh perompak apabila pemilik kapal tidak memberikan sejumlah uang tebusan yang diminta perompak atas kapal tersebut, atau apabila si pemilik kapal tidak memberikan nominal uang setoran yang diminta oleh perompak.

2.

Dalam melakukan kejahatannya, perompak juga tidak jarang melakukan penculikan terhadap kapal dan/atau nahkoda kapal dan/atau Kepala Kamar Mesin (KKM).

Penculikan dan Penahanan

Penculikan sendiri diatur dalam Pasal 328 KUHP yang isinya sebagai berikut : “Barangsiapa melarikan orang dari tempat kediamannya atau tempat

tinggalnya sementara, denganmaksud melawan hak akan membawa orang itu


(45)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

menjadikan ia jatuh terlantar, dihukum karena melarikan (menculik) orang,

dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”

Untuk dapat dihukum dengan pasal ini, harus dibuktikan bahwa pelaku memiliki maksud akan membawa orang itu pada saat itu dengan melawan hak di bawah kekuasaan sendiri atau orang lain.

Perbuatan ini melawan hukum karena menyerang hak kemerdekaan orang sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 UUDS Republik Indonesia.

Perompak terkadang melakukan penculikan terhadap anggota kapal dengan tujuan untuk mempermudah aksinya dengan menahan sandera agar aparat tidak melakukan pengejaran. Tidak jarang korban kemudian ditinggalkan begitu saja di kapal berikutnya yang dirompak oleh pelaku.

Sedangkan tindak penahanan yang dilakukan perompak tercantum secara jelas dalam Pasal 333 KUHP yang isinya adalah sebagai berikut :

“(1) Barangsiapa dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang

atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak, dihukum penjara

selama-lamanya delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat sitersalah dihukum penjara

selama-lamanya sembilan tahun.

(3) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, ia dihukum penjara

selama-lamanya dua belas tahun.

(4) Hukuman yang dikenakan pada pasal ini dikenakan juga kepada orang

yang sengaja memberi tempat untuk menahan (merampas kemerdekaan)


(46)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Istilah penahanan disini adalah perbuatan mengurung atau menutup korban di dalam kamar, rumah, dengan mengikat, ataupun disuruh tinggal dalam suatu ruangan yang luas tetapi dijaga dan dibatasi kebebasannya.

Penahanan ini ditujukan untuk memperoleh uang tebusan dari pengusaha kapal tersebut, yang mana hal ini disebut juga sebagai tindak pidana pemerasan yang akan penulis bahas di paragraf berikutnya.

3.

Pengancaman sebagaimana dimaksud diatur dalam Pasal 336 ayat (1) KUHP yang isinya sebagai berikut :

Pengancaman

“(1) Dihukum selama-lamanya dua tahun delapan bulan, barangsiapa yang

mengancam :

Dengan kekerasan di muka umum dengan memakai kekuatan bersama-sama,

kepada orang atau barang;

Dengan sesuatu kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum

dari orangatau barang;

Dengan memaksa atau dengan perbuatan yang melanggar kesopanan;

Dengan sesuatu kejahatan terhadap jiwa orang;

Dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran.”

Yang dihukum menurut pasal ini adalah mengancam dengan :

a. kekerasan di muka umum dengan memakai kekuatan bersama kepada orang atau barang;


(47)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Disini perompak melakukan pengancaman secara beramai-ramai umumnya dengan menggunakan senjata tajam atau senjata api agar awak kapal mau menuruti permintaannya.

b. suatu kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum dari orang atau barang;

Ancaman ini dapat membahayakan awak kapal yang ketakutan sehingaa mereka mungkin saja melakukan hal-hal di luar kesadaran yang membahayakan jiwa mereka, sebagaimana yang terurau dalam kasus yang penulis analisa dalam bab berikutnya.

c. memaksa atau perbuatan melanggar kesopanan;

Dalam kasus perompakan ancaman jenis ini jarang ditemui. d. suatu kejahatan terhadap jiwa orang;

Ancaman yang digunakan pelaku biasanya berupa ancaman pembunuhan apabila awak kapal tidak mematuhi perintah para perompak, yang man hal ini merupakan suatu kejahatan terhadap jiwa orang.

e. penganiayaan berat dan pembakaran.

Ancaman pembakaran terhadap kapal yang dirompak adalah salah satu cara yang dilakukan perompak agar pemilik kapal mau memberikan sejumlah uang sebagai tebusan.

4.

Tindak pembunuhan sebagaimana dimaksud tercantum secara jelas di dalam Pasal 339 KUHP, yang isinya sebagai berikut :


(48)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

“Makar mati diikuti, disertai atau didahului dengan perbuatan yang dapat

dihukum dan yang dilakukan dengan maksud untuk menyiapkan atau

mempermudah perbuatan itu atau jika tertangkap tangan akan melindungi

dirinya atau kawan-kawannya dar pada hukuman atau akan mempertahankan

barang yang didapatnya dengan melawan hak, dihukum penjara seumur

hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”

Pembunuhan yang dilakukan oleh para perompak ini umumnya dikarenakan pihak lawan tidak mau memberikan sejumlah uang yang diminta oleh perompak, sehingga pembunuhan ini dilakukan untuk mempermudah pemerasan yang dilakukannya karena hal ini memberikan rasa takut bagi pemilik kapal untuk tidak menolak permintaan perompak lain waktu.

5.

Selain melakukan perompakan, tidak jarang dalam melakukan aksinya pelaku juga menganiaya korban yang umumnya adalah Anak Buah Kapal (ABK). Di dalam bab berikutnya, penulis akan menganalisis kasus perompakan yang dilakukan dengan kekerasan terhadap kapal/perahu sehingga pelaku dikenai Pasal 439 tentang pembajakan di pantai. Yang dimaksud dengan pantai disini adalah wilayah laut teritorial Indonesia. Penganiayaan ini pada akhirnya menjadi hal yang memberatkan pelaku dalam tuntutannya.

Penganiayaan

Di dalam KUHP, penganiayaan sendiri diatur dalam Pasal 351 KUHP, yang isinya antara lain :

“(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua


(49)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara

selama-lamuanya lima tahun.

(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara

selama-lamanya tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan

sengaja.

(5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.”

Yang dimaksud dengan penganiayaan sendiri di dalam KUHP diartikan sebagai sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka.

Penganiayaan ini harus dilakukan dengan sengaja dan tidak melewati hal yang patut atas batas yang diizinkan (misalnya rasa sakit yang disebabkan karena dicabut giginya oleh dokter gigi).

Menurut Jonkers, sudah memadai jika pembuat dengan sengaja melakukan perbuatan atau pengabaian (nalaten) mengenai apa yang oleh undang-undang dapat ditentukan sebagai pidana.11

11

Andi Hamzah, “Azas-azas Hukum Pidana”, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal. 106 Penganiayaan yang dilakukan oleh perompak dalam hal ini bertujuan untuk memberikan rasa takut kepada para ABK untuk tidak menghalangi perbuatan perompak, dengan kata lain hal ini mereka lakukan untuk mempermudah niat mereka merompak kapal dimaksud.


(50)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

6.

Pasal pencurian ini sebagaimana kita ketahui telah diatur dalam Pasal 362 KUHP yang isinya sebagai berikut :

Pencurian

“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian

termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu

dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara

selama-lamanya lima tahun penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp.

900,-“

Elemen-elemen dari pasal ini aagaknya perlu kita bahas, antara lain ; a. perbuatan mengambil;

Yang dimaksud perbuatan mengambil disini menurut undang-undang adalah mengambil untuk dikuasainya.

Perompak mengambil barang-barang berharga di atas kapal tersebut tanpa izin pemiliknya dengan tujuan untuk menguasainya dan membawa barang-barang tersebut bersama perompak, maka dapat dilihat deisini bahwa tindakan perompak memenuhi unsur ini.

b. yang diambil itu harus sesuatu barang;

Barang berharga yang diambil oleh perompak umumnya berupa radar kapal, telepon satelit, uang yang ada di kapal/milik ABK, bahkan dokumen-dokumen kapal.

Diambilnya dokumen kapal ini bertujuan agar pemilik kapal tersebut mau memberikan uang tebusan, karena tanpa dokumen tersebut kapal tidak akan bisa berlayar.


(51)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

c. barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;

Agaknya elemen yang satu ini tidak perlu banyak dibahas karena barang yang diambil oleh perompak nyata-nyata bukan milik/hak perompak. d. pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu

dengan melawan hukum.

Barang yang diambil untuk dikuasai oleh perompak ini biasanya dijua, dipakai sendiri, ataupun sebagai barang tebusan seperti halnya dokumen kapal tersebut.

7,

Pemerasan yang dilakukan oleh pihak perompak dalam hal ini adalah merupakan kelanjutan dari tindak penahanan secara melawan hak yang mereka lakukan.

Pemerasan

Di dalam KUHP, perbuatan ini diatur dalam Pasal 368 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

“(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasanatau

ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan barang, yang sama sekali

atau sebagiannya termasuk kepunyaan orangitu sendiri atau kepunyaan orang

lain atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan piutang,

dihukum karena memeras, dengan hukuman penjara selama-lamanya

sembilan tahun.

(2) ketentuan dalam ayat kedua, ketiga dan keempatdari Pasal 365 berlaku


(52)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Unsur-unsur dari Pasal 368 KUHP ini adalah : b. memaksa orang lain;

Dalam hal ini perompak memaksa pengusaha atau pemilik kapal agar mau menuruti permintaan mereka dengan menggunakan anggota kapal yang mereka culik sebagai sandera.

c. untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang;

Kebanyakan perompak meminta pemilik untuk memberikan sejumlah uang untuk ditukarkan dengan anggota anggota kapal yang mereka tahan. Tidak jarang diantara perompak dan pemilik kapal melakukan tawar menawar dalam hal penentuan jumlah uang tebusan sampai ada kesepakatan mengenai angka yang disetujui keduanya.

Perompak biasanya menghubungi pemilik melalui nomor telepon berkali-kali demi kesepakatan harga ini berikut ancaman yang selalu mereka katakan di akhir pembicaraan jika si pemilik kapal tidak menuruti permintaan perompak. d. dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan

melawan hak;

Tujuan dari perompak melakukan penahanan ini adalah tentu saja untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar selain keuntungan yang mereka peroleh dari hasil merompak.


(53)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Objek yang dikenai kekerasan atau ancaman kekerasan disini bukanlah pemilik kapal yang diperas, melainkan anggota kapal yang ditahan oleh perompak.

Selain pemerasan yang dilakukan dengan tindak penahanan yang dilakukan oleh perompak, ancaman pemerasan itu juga dapat berupa setoran berupa uang ataupun pulsa telepon seluler yang telah ditentukan jumlahnya oleh pelaku yang harus dibayar kepada si perompak tiap bulannya demi keselamatan kapal yang berlayar di perairannya.

Ancaman bagi pihak yang tidak memenuhi setoran bulanan ini adalah ditahannya kapal yang sedang berlayar.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Polairud Belawan, berikut adalah perompakan yang terjadi dari tahun 2005 sampai tahun 2006 di sekitar wilayah perairan Selat Malaka.

Tabel 2

No.

Perompakan yang terjadi pada tahun 2005

Bulan Jumlah Keterangan

1 Januari - -

2 Februari 5 1. sebanyak satu kali perompakan

dilakukan oleh OTK bersenjata tajam, kerugian berupa terlukanya pemilik kapal dan kerugian materiil berupa sejumlah uang yang diambil oleh pelaku.

2. sebanyak 4 kali perompakan terjadi yang dilakukan oleh OTK


(54)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

bersenjata api, kerugian berupa diambilnya sejumlah uang. 2 kapal diantaranya hanya digunakan perompak hanya sebagai sarana.

3 Maret - -

4 April - -

5 Mei - -

6 Juni - -

7 Juli - -

8 Agustus 2 1. pelaku menyandera 2 korban,

sandera melarikan diri setelah ditinggalkan pelaku di hutan tak dikenal di daerah Tamiang.

2. pelaku menembak 1 orang korban hingga tewas dan membuang mayatnya di Selat Malaka.

9 September - -

10 Oktober 3 1. pelaku menyandera 5 ABK,

sandera bebas setelah terjadi kontak senjata antara pelaku dengan Patkamla.

2. pelaku menyandera 2 ABK, sandera bebas setelah ditebus. 3. pelaku menyandera 3 ABK,

sandera bebas bersama sandera sebelumnya.

11 November - -

12 Desember 1 Pelaku menyandera 2 ABK, sandera dibebaskan oleh aparat.


(55)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa para perompak tidak segan-segan melakukan usaha pembunuhan terhadap para sandera. Hal ini tentu saja menjadi hal yang sangat meresahkan bagi para awak kapal dan pemilik kapal sendiri serta bagi keluarga awak kapal yang berlayar di sekitar perairan tersebut.

Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan seorang aparat TNI AL berpangkat Sersan Mayor yang enggan disebutkan namanya, pelaku umumnya adalah warga Aceh bagian Timur dan Utara, namun pada perompakan yang terjadi pada Bulan Februari, satu pelaku bukan warga Aceh. Pelaku pada kelima perompakan tersebut berhasil lolos dari kejaran aparat.12

Sedangkan pada tahun 2006, daftar perompakan sebagai berikut: Tabel 3

No.

Perompakan yang terjadi pada tahun 2006

Bulan Jumlah Keterangan

1 Januari 1 1. pelaku menyandera 5 orang yang kemudian dibebaskan setelah ada tebusan.

2 Februari - -

3 Maret - -

4 April - -

5 Mei - -

6 Juni 1 1. pelaku menyandera nahkoda yang

kemudian dibebaskan setelah ditebus.

7 Juli 1 1. pelaku menyandera ABK, 2 pelaku

ditangkap saat mengambil tebusan.

12


(56)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

8 Agustus - -

9 September - -

10 Oktober 6 1. pelaku menyandera 2 orang,

sandera bebas setelah ditebus. 2. pelaku menyandera 1 orang,

sandera bebas setelah ditebus. 3. pelaku menyandera 2 orang,

sandera bebas setelah ditebus. 4. pelaku menyandera 2 orang,

sandera bebas setelah ditebus. 5. pelaku menyandera 3 orang, 2

sandera dibebaskan oleh aparat, 1 sandera bebas karena sakit selama penyanderaan.

6. pelaku menyandera 4 orang, sandera bebas tanpa tebusan, tapi kapal disita pelaku.

11 November 6 1. pelaku menyandera 2 orang,

sandera bebas tanpa tebusan, namun kapal disita pelaku.

2. pelaku menyandera 2 orang, sandera bebas setelah ditebus. 3. pelaku menyandera 7 orang,

sandera bebas tanpa tebusan,namun barang kapal disita pelaku.

4. pelaku menyandera 2 orang, sandera bebastanpa tebusan, namun diancam kapal mereka akan ditenggelamkan jika


(57)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

bertemu.

5. pelaku menyandera 2 orang, sandera bebas setelah ditebus. 6. pelaku menyandera 4 orang,

sandera bebas setelah ditebus.

12 Desember - -

Sumber : Polair Belawan Dari informasi yang penulis peroleh, peningkatan kejadian perompakan umumnya terjadi mendekati bulan puasa, maka biasanya aparat menyarankan kepada para pemilik dan awak kapal untuk meningkatkan kewaspadaan pada bulan-bilan tersebut.

Pada tabel di atas, dapat kita lihat bahwa motif perompakan pada tahun 2006 ini kebanyakan bertujuan untuk meminta tebusan atas sandera yang pelaku tahan pada saat melakukan perompakan.

Jumlah uang tebusan yang diberikan kepada perompakpun bervariasi, tergantung dari kesepakatan pihak perompak dan pemilik kapal yang bisanya diantara keduanya terjadi proses tawar menawar.


(1)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah tersebut dalam bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan dsebagai berikut :

1. Bahwasannya selain melakukan perompakan, umumnya pelaku juga melakukan satu atau lebih tindak pidana lainnya, seperti penculikan/penyenderaan untuk meminta tebusan kepada pemilik kapal, atau melakukan penganiayaan terhadap awak kapal untuk member rasa takut kepada awak kapal sehingga pelaku dapat dengan bebas melakukan aksinya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memperoleh hasil yang lebih besar dari perbuatan mereka yang diperoleh dari hasil tebusan bagi sandera atau setoran bulanan yang mereka peroleh dari pemilik kapal yang diancam keselamatan kapal dan awaknya oleh perompak.

2. Adapun faktor-faktor penyebab dari perompakan itu adalah : 1. keadaan ekonomi

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh pihak TNI AL, motif perompakan lebih didasari faktor keterdesakan ekonomi. Beberapa perompak juga mempergunakan alasan yang sama untuk memungut pajak Nanggroe, yang biasa disebut uang setoran dari para pemilik kapal.

2. alasan politis

Dari hasil penyelidikan sementara staff intelejen di lapangan, pelaku perompakan adalah mantan anggota GAM sehingga timbul kecurigaan


(2)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

bahwa perompakan ini ditujukan untuk menggalang dana untuk membeli persenjataan atau tujuan politis lainnya. Kecurigaan ini semakin kuat dengan dideklarasikanya partai lokal baru yang disebut sebagai Partai GAM baru-baru ini, dimana lambang yang dipergunakan adalah lambang pemberontakan GAM beberapa waktu lalu, sedangkan partai ini dipimpin dan sebagian besar dianggotai oleh mantan anggota dan simpatisan GAM. 3. Pemerintah sendiri belum mampu menetapkan suatu peraturan

perundang-undangan yang dapat menjerat pelaku dengan pidana yang setimpal mengingat dampak perompakan ini bagi masyarakat.

Mengenai upaya penanggulangan dalam menghadapi tindak pidana perompakan ini dilakukan seperlunya saja berkaitan dengan kejahatan pada umumnya, yaitu antara lain :

Sebagai tindakan preventif atau pencegahan, dapat dibangun 2 strategi, yaitu : 1. Strategi tidak langsung

a. peningkatan kualitas hidup

b. menyediakan pendidikan yang baik

c. menyediakan kegiatan mengisi waktu luang yang konstruktif d. menyediakan kesempatan kerja

2. Strategi langsung

Strategi langsung dimaksud adalah dengan adanya patroli gabungan trilateral anatara pasukan militer Indonesia, Malaysia dan Singapura yang bertujuan untuk mengatasi terjadinya tindak pidana perompakan di sekitar wilayah perairan Selat Malaka.


(3)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

Sebagai tindakan represif, karena Indonesia belum memiliki ketentuan khusus yang mengatur mengenai perompakan ini maka pihak aparat membuat suatu peraturan intern untuk mengambil tindakan jika telah ada bukti yang kuat kejahatan telah terjadi, maka oleh pihak aparat dilakukan :

a. Perwira pemeriksa setelah mendapat pengarahan dari komandan kapal menyatakan kepada nahkoda kapal yang diperiksa bahwa nahkoda, ABK bersama kapalnya tidak diizinkan melanjutkan pelayaran dan akan dibawa ke pangkalan / pelabuhan yang ditentukan serta dijelaskan secara singkat tentang jenis pelanggaran hukum yang dilakukan.

b. Meminta pernyataan kepada nahkoda pada peta posisi atau gambar situasi pengejaran dan penghentian

c. Komandan mengeluarkan Surat Perintah kepada Tim Kawal untuk membawa kapal dan awak kapal ke pelabuhan yang telah ditentukan.

d. Komandan mengeluarkan Surat Perintah Penahanan Kapal.

B. Saran

Setelah melihat uraian kesimpulan di atas, maka penulis berusaha memberikan saran yang semoga dapat diperhatikan di kemudian hari, yaitu :

1. Setelah melihat uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka sebaiknya pihak pemerintah dapat memberikan suatu perhatian ekstra terhadap adanya tindak pidana perompakan yang bahkan sudah dipandang sebagai sesuatu yang serius dari dunia internasional mengingat Selat Malaka adalah jalur pelayaran tersibuk di dunia.


(4)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

2. Hendaknya pihak aparat lebih meningkatkan pengaman di sekitar perairan Selat Malaka dan terus mempertahankan patroli gabungan dengan pihak Malaysia dan Singapura secara bersama-sama karena usaha ini terbukti mampu menekan angka perompakan.

3. Agar pemerintah lebih memperhatikan sarana tempur pihak aparat karena kapal TNI AL saat ini sudah sangat ketinggalan dan bahkan kurang mampu bersaing ketika terjadi pengejaran dengan kapal perompak sehingga perompak seringkali dapat meloloskan diri dari kejaran aparat. 4. Hendaknya sosialisasi kepada masyarakat mengenai tindak pidana

perompakan ini lebih ditingkatkan, mengingat masyarakat memiliki peran penting sebagai pemberi informasi.


(5)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

1. Hamzah, Andi, Dr., SH, Asas-asas Hukum Pidana, 1994, Jakarta : Rineka Cipta.

2. Kunarto, Jend.Pol. (Purn) Drs., Tren Kejahatan dan Peradilan Pidana, 1996, Jakarta : Cipta Manunggal.

3. Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Barat Pangkalan Utama TNI AL, 2004, Peranan TNI AL dalam Pengawasan Hukum di Laut, Medan.

4. Marapaung, Laden, SH, Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia, 1993, Jakarta : Sinar Grafika.

5. Nasution, M. Arif, dkk, Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut, 2005, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

6. Noach, dkk, Kriminologi, 1984, Bandung ; Penerbit Tarsito.

7. Prins, W.P, dkk, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, 1996, Jakarta : Aksara Baru.

8. Prodjodikoro, Wirjono, Prof.Dr., Hukum Laut bagi Indonesia, 1963, Bandung : Penerbit Sumur.

9. Prodjodikoro, Wirjono, Prof.Dr., Tindak-tindak PidanaTertentu di Indonesia, 2003, Bandung : Refika Aditama.

10. Ridwan, H.M, SH., dkk, Azas-azas Kriminologi, USU Press, Medan,1994. 11. Saleh, Roeslan, Beberapa Asas-asas Hukum Pidana dalam Perspektif,

1981, Jakarta : Aksara Baru.

12. Sunggono, Bambang, SH.,MS., 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

B. Peraturan Perundang-undangan

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)


(6)

Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009

C. Media Elektronik

1.

WIB dan tanggal 28 Agustus 2007 pukul 19.07 WIB

2.

WIB

3.

WIB

4.

D. Putusan Pengadilan