26
BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM
PERKAWINAN DAN WALI ADHAL
A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya
Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat
perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.
27
Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang
telah dewasa menurut ketentuan perUndang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.
Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami isteri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang
hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat
dilihat karena dibentuk menurut Undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin, yaitu hubungan
tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.
Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja. “Suami isteri adalah fungsi
27
Rien G. Kartaapoetra, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 97.
26
Universitas Sumatera Utara
27
masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”.
28
R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan
Melis, yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersamabersekutu yang
kekal”.
29
Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.
30
Dalam konsepsi hukum Perdata Barat, menurut Vollmar yang dikutip dalam Sudikno Mertokusumo bahwa :
Perkawinan itu dipandang dari segi keperdataan saja. Maksudnya bahwa Undang-undang tidak ikut campur dalam upacara-upacara yang diadakan oleh
Gereja, melainkan Undang-undang hanya mengenal “perkawinan perdata”, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang Pegawai Catatan
Sipil”.
31
Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan
kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara
laki-laki dan perempuan bersuami isteri.
32
28
Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005,hal 74.
29
R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW. Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61.
30
Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW. Sinar Grafika, Jakarta, 2001. hal 61.
31
Ibid., hal 61.
32
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 453.
Universitas Sumatera Utara
28
Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.
33
Al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-
dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.
34
Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah
mempunyai dua makna, yaitu perjanjianakad dan bersetubuhberkumpul. Hal ini tidak jauh berbeda dengan perkawinan menurut hukum perdata yang
mengartikan perkawinan merupakan perjanjian yang saling setia, dan sama-sama bertanggung
jawab dalam
menunaikan tugasnya
sebagai suami-isteri
atas keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan
syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang- undang Hukum Perdata KUH Perdata.
Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari :
1. Kesepakatan Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara
pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak ada kesepakatan apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.
2. Kecakapan Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hukum
dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap dewasa. Tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang-orang dewasa
yang ditempatkan dalam pengawasan curatele, dan orang sakit jiwa. Mereka
33
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468.
34
Amiur Nuruddin Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 11974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
29
yang belum dewasa menurut UU Perkawinan adalah anak-anak karena belum berumur 18 delapan belas tahun. Meskipun belum berumur 18 delapan
belas tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
3. Hal tertentu Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini penting
untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa.
4. Sebab yang dibolehkan Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perUndang-undangan yang
bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya paksaan dalam menikah.
35
Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga
rumah tangga yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
36
Bermacam-macam pendapat
yang dikemukakan
mengenai pengertian
perkawinan. Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat
yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus, mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian
perkawinan itu disatu pihak, sedangkan dipihak lain dibatasi pemasukan unsur-unsur tersebut dalam perumusan pengertian perkawinan.
Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan
35
Soedaryono Soemin. Hukum Orang dan Keluarga. Sinar Grafika, 1992, hal 6.
36
Ibid., hal 6.
Universitas Sumatera Utara
30
kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu, perkawinan dilakukan secara beradab pula, sesuai dangan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia”.
37
Untuk sahnya suatu perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam
agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti
”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.
Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama,
agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau
keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu
maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya”.
38
Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 tersebut, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan, yang menyatakan ”Dengan perumusan
pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Adapun yang
dimaksud dengan
hukum masing-masing
agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perUndang-undangan yang berlaku bagi
37
Achmad Samsudin, Op. Cit, hal. 74.
38
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, 1990, hal.26-27.
Universitas Sumatera Utara
31
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.
Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah
diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang- orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan
perkawinan, kecuali
apabila dilakukan
menurut hukum
agamanya dan
kepercayaannya itu. Untuk mencapai syarat-syarat perkawinan tersebut, maka harus memenuhi
syarat-syarat perkawinan. Menurut Pasal 6 Undang-undang Perkawinan, adapun syarat-syarat Syarat Materil adalah sebagai berikut :
1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
manyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut yang memberikan izin.
6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Universitas Sumatera Utara
32
Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga
harus memenuhi
syarat formil,
adapun syarat-syarat
formil tersebut
adalah : 1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai
Pencatat Perkawinan; 2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;
3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing- masing;
4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus
dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang
memuat nama, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isterisuami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu :
Pasal 3 1Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
2Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10 sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala
Daerah. 4
Universitas Sumatera Utara
33
Pasal 4 Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau
oleh orang tua atau wakilnya. Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau
keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suaminya terdahulu.
Kemudian menurut Pasal 8 Jo Pasal 6, 7 dan 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyatakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah
dilakukan oleh Pegawai Pencatat NikahPerkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan
perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum
dan ditandatangani oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai serta hari, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan.
Adapun yang menjadi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan
melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel.
39
Oleh karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang
menganut prinsip untuk mempersukar terjadi perceraian.
40
Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa
39
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 5.
40
Ibid, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
34
perkawinan itu: 1 berlangsung seumur hidup, 2 cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan 3 suami-isteri membantu untuk
mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.
“Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan,
sedangkan esensi
kebutuhan rohaniah,
seperti: adanya
seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”.
41
“Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
42
Artinya tujuan perkawinan itu adalah: a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.
b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan. c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara
kaum kerabat laki-laki suami dengan kaum kerabat perempuan isteri, yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada
bertolongtolongan, antara satu kaum golongan dengan yang lain.
43
Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa :
Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwa kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi
isterinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik
menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.
44
41
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 62.
42
Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama.2000, hal 14.
43
Sulaiman Rasjid. H. Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004,
44
Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
35
Selanjutnya untuk sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang
berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing
bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.
Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa : Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila
perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang
dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut
hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau
Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya.
45
Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 tersebut, dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perUndang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perUndang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.
45
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 26-27.
Universitas Sumatera Utara
36
Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah
diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang- orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan
perkawinan, kecuali
apabila dilakukan
menurut hukum
agamanya dan
kepercayaannya itu. Ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam,
diantaranya adalah:
46
a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah agar dapat melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat Q.S. an-Nisaa ayat 1.
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin
kelangsungan hidup dapat saja ditempuh melalui jalur luar perkawinan, namun dalam mendapatkan ketenangan hidup bersama suami isteri tidak
mungkin didapatkan kecuali melalui jalur perkawinan. Selain yang disebutkan di atas, perkawinan juga bertujuan untuk:
47
a. Menenteramkan jiwa. Bila telah terjadi akad nikah, isteri merasa jiwanya tenteram karena ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab
dalam rumah
tangga. Suami
pun merasa
tenteram karena
ada
46
Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 46-47.
47
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Prenada Media, Jakarta, 2003, hal. 13-21.
Universitas Sumatera Utara
37
pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka serta teman bermusyawarah dalam menghadapi
berbagai persoalan. b. Memenuhi kebutuhan biologis. Kecenderungan cinta lawan jenis dan
hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan biologis harus diatur melalui
lembaga perkawinan agar tidak terjadi penyimpangan sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar.
c. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala
kewajiban yang timbul dari pertanggung jawaban tersebut. Maksud dan tujuan akad nikah adalah untuk membentuk kehidupan keluarga yang penuh kasih
sayang dan saling menyantuni satu sama lain keluarga sakinah. Maksud pernikahan adalah mewujudkan rumah tangga yang bertujuan untuk
menciptakan keluarga sakinah yang ditandai dengan adanya kebajikan sebagaimana diajarkan dalam Al-Quran Surat an-Nisaa ayat 19, serta diliputi dengan suasana
“mawaddah warahmah” yang ditentukan dalam al-Quran Surat ar-Ruum ayat 21.
48
Sedangkan menurut Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
48
Sudarsono, Op.Cit., hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
38
Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa
perkawinan itu: 1 berlangsung seumur hidup, 2 cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan 3 suami-isteri membantu untuk
mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.
“Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan
kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”.
49
“Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah”.
50
Artinya tujuan perkawinan itu adalah: a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.
b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan. c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara
kaum kerabat laki-laki suami dengan kaum kerabat perempuan isteri, yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada
bertolongtolongan, antara satu kaum golongan dengan yang lain.
51
Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa :
Al-Qur’an sebagaimana
sumber pokok tidak
memberikan pedoman
bahwa kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi isterinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi
sifat responsive
dalam membina
rumah tangga
yang bahagia.
49
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 62.
50
Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama, Jakarta, 2000, hal 14.
51
Sulaiman Rasjid. Op.Cit., hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
39
Kehidupan rumah tangga yang baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.
52
Jadi, dengan
perkataan ikatan
lahir batin
tersebut dimaksudkan
bahwa hubungan suami isteri tidak boleh semata-mata hanya berupa ikatan lahiriah saja dalam makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami isteri dalam
ikatan formal, tetapi juga kedua-duanya harus membina ikatan batin. Tanpa ikatan batin, ikatan lahir mudah sekali terlepas. Jalinan ikatan lahir dan ikatan batin itulah
yang menjadi pondasi yang kokoh dalam membangun dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
53
Rumah tangga yang dibentuk haruslah didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa norma-norma hukum agama harus menjiwai
perkawinan dan pembentukan keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu, jelaslah bahwa perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak semata-mata
hubungan hukum saja antara seorang pria dan seorang wanita, tetapi juga mengandung aspek-aspek lainnya seperti agama, biologis, sosial, dan adat-istiadat.
54
Agar tujuan tercapai, maka setelah terjadinya perkawinan harus ada keseimbangan kedudukan antara suami isteri. Dengan demikian, segala sesuatu yang terjadi dalam
keluarga merupakan hasil putusan bersama antara suami isteri berdasarkan hasil perundingan yang didasari oleh sifat musyawarah.
55
B. Pengertian Wali dan Macam-macam Wali dalam Perkawinan