Kerangka Teori Dan Konsepsi

15 dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 13 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 14 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 15 Apabila dikaitkan dengan judul penelitian dan permasalah yang diteliti dalam penelitian ini, maka kerangka teori yang dipilih sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori wali hakim. Dalam agama Islam wali adalah rukun dalam perkawinan. Perkawinan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri. Sebab, perwalian merupakan syarat yang harus terpenuhi demi keabsahan akad nikah. Dan yang mengakadkan haruslah seorang Wali yang berhak. Dasarnya Firman Allah dalam Surat An-Nur 24 yang artinya “…dan kawinkanlah orang- orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. 13 M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 14 Ibid., hal. 203 15 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80 Universitas Sumatera Utara 16 jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui”. 16 Wali dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan dibedakan menjadi tiga 3: a. Wali Nasab, ialah laki-laki yang beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah. b. Wali Hakim, ialah pejabat yang di tunjuk oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai perempuan yang punya wali. c. Wali Muhakam, ialah seorang yang beragama Islam di angkat oleh kedua calon suami-isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah. 17 Kedudukan wali sangat penting sebagaimana diketahui bahwa yang berhak menjadi wali nikah terhadap seorang wanita adalah hak bagi wali nasab apabila wali nasab tidak ada dan wali ghaib juga tidak ada maka perwalian pindah ke tangan wali hakim. Dalam hal seorang wanita tidak mempunyai wali sama sekali, para fuqaha telah sepakat tentang kebolehanya menggunakan wali hakim, tetapi hal perkawinan dengan wali hakim yang disebabkan oleh faktor yang lain, ternyata masih terdapat perbedaan pendapat. 18 Berdasarkan teori di atas, jelaslah bahwa hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum. 16 Muhammad bagir, Fiqih Praktis Menurut Al-Quran As-Sunah Pendapat Para Ulama, Mizan Media Utama, Bandung, 2002, hal.57. 17 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta, Liberty, 1982, hal. 46. 18 Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian BP4, Buku Pintar Keluarga Muslim, Semarang, 1993, hal.8 Universitas Sumatera Utara 17 Anak dilahirkan karena adanya perkawinan orang tuanya oleh karena itu dalam pelaksanaan perkawinan seorang anak juga membutuhkan adanya orang tua yang bertindak sebagai walinya. Di dalam masyarakat adat, perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang merubah status laki-laki menjadi suami dan dari seorang perempuan menjadi isteri. Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan ikatan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Di samping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau retak, atau merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kerabat. 19 Suatu perkawinan dapat dilaksanakan jika memenuhi beberapa persyaratan yang berupa syarat material dan formal. Syarat materilsubyektif yaitu syarat-syarat yang melekat pada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU Perkawinan, terdiri dari : 1. Harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Harus mendapat ijin orang tua, apabila calon pengantin belum berumur 21 tahun. 3. Harus sudah mencapai umur 19 sembilanbelas tahun bagi pria dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enambelas tahun. 4. Tidak ada larangan perkawinan. 5. Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan kecuali bagi mereka yang agamanya mengijinkan untuk berpoligami. 6. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang hendak dikawini. 7. Harus telah lewat waktu tunggumasa iddah bagi janda. 19 Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 187. Universitas Sumatera Utara 18 Syarat-syarat formalobyektif adalah syarat tentang tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan Undang-undang. Tata cara melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Ketentuan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan dilakukan setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan. Kemudian keinginan tersebut didaftarkan dan diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan jika tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan. Ada tidaknya keberatan dari para pihak terkait keberadaan wali dalam suatu pernikahan ditunjukkan dengan adanya wali nikah yang hadir guna menikahkan pasangan dalam suatu perkawinan. Wali dalam pernikahan merupakan unsur penting dalam suatu perkawinan khususnya bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Hal ini disebabkan karena wali nikah adalah pihak yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya. Suatu perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak ada wali yang menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria dalam proses ijab qabul. 20 Jadi ijab dalam perkawinan menurut Hukum Islam adalah wewenang wali semata-mata, sehingga karena peranan wali yang sangat penting dan apabila wanita itu tidak mempunyai wali nasab atau wali nasab enggan untuk menikahkan adhal 20 Abdullah Kelib, Hukum Islam, Tugu Muda Indonesia, Semarang, 1990, hal 11 Universitas Sumatera Utara 19 dapat digantikan kedudukannya oleh wali hakim. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 Kompilasi hukum Islam yang menentukan bahwa: 1 Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakin muslim,aqil dan baligh. 2 Wali nikah terdiri dari: a. Wali nasab b. Wali hakim Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. 1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. 2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. 3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. 4. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. Pelaksanaan perkawinan mengikuti ketentuan dan tata caranya diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut : 1 Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat. 2 Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Universitas Sumatera Utara 20 3 Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilangsungkan di hadapan Pengawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang tua. Apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukannya. Hal ini merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 12 UU Perkawinan, yaitu : 1 Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan. 2 Perkawinan dilangsungkan sepuluh hari sejak pengumuman kehendak perkawinan tersebut. 3 Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaannya. 4 Perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. 5 Sesaat setelah perkawinan dilangsungkan kedua mempelai menandatangani akta perkawinan. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh kedua mempelai kemudian ditandatangani oleh dua orang saksi dan pegawai pencatat. Lebih lanjut ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akta nikah atau akta perkawinan memuat hal-hal sebagai berikut : 1 Nama, tanggal, tempat lahir, agamakepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami tedahulu. 2 Nama, agamakepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka. 3 Izin kawin. 4 Dispensasi. 5 Izin Pengadilan. 6 Persetujuan 7 Izin pejabat yang ditunjuk oleh MenhankamPangab bagi angkatan bersenjata. 8 Perjanjian perkawinan apabila ada 9 Nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam. 10 Nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. Universitas Sumatera Utara 21 Dengan demikian, Akta Nikah menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau isteri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibaca dan disetujuinya pada saat melangsukan pernikahan, maka pihak isteri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama. Demikian pula halnya dalam hal pelaksanaan perkawinan tidak dapat dilaksanakan akibat keenggaan dari wali pihak yang berkepentingan dapat dapat mengajukannya ke Pengadilan Agama.

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut : 1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 21 2. Wali nikah adalah wali yang dalam hal pelaksanaan nikah bertindak sebagai wali yang menikahkan mempelai wanita. 3. Wali Adhal adalah wali yang enggan mengawinkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya. 22 Yaitu mereka yang mempunyai wewenang yang sangat jelas menjadi wali tidak mau melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah. 21 Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Universitas Sumatera Utara 22 4. Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. 23 5. Pegawai Pencatat Akta Nikah adalah pegawai pemerintah yang diwajibkan mencatat akta nikah dengan memenuhi ketentuan batasan umur dan kedewasaan dalam melakukan perkawinan. 6. Keabsahan Perkawinan adalah suatu keadaan dimana pelaksanaan suatu perkawinan sah oleh hukum dengan memenuhi segala ketentuan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974. 7. Sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 ialah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 8. Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan atau pemecahan. 24 9. Pengadilan Agama adalah badan peradilan khusus untuk orang yang beragama Islam yang memeriksa dan memutus perkara perdata tertentu sesuai dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku. 25

G. Metode Penelitian 1

. Sifat Penelitian Penelitian ini dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal 22 Marahalim Harahap, Pernikahan dengan Menggunakan Wali Hakim, hal. 70 23 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, hal. 6 24 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN : Balai Pustaka, Jakarta, 1976 hal. 75 25 A.Basiq, Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 7 Universitas Sumatera Utara 23 yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu”. 26 Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum diarahkan untuk mengetahui secara lebih mendalam serta menganalisa penyelesaian sengketa wali adhal dan kaitannya dengan keabsahan perkawinan.

2. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif penelitian hukum normatif, yang dilengkapi pula dengan yuridis empiris guna melihat penerapan ketentuan yang diteliti di lapangan yaitu dengan menganalisis salah satu penetapan pengadilan tentang wali adhal. Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perUndang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.

3. Sumber data

Sumber data primer berasal dari penelitian kepustakaan library research yang diperoleh dari : 1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. Peraturan perUndang-undangan b. Teori hukum perkawinan dan hukum keluarga 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, 26 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 42. Universitas Sumatera Utara 24 tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan peneltian ini. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia. Sebagai data sekunder juga dilakukan penelitian lapangan field research dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan. Data sekunder tersebut diperoleh dari register perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

4. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut : a. Penelitian kepustakaan library research Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perUndang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan pembatalan perkawinan. b. Metode penelitian lapangan Universitas Sumatera Utara 25 Metode yang digunakan dalam penelitian lapangan yaitu dengan menganalisis kasusperkara dalam penetapan pengadilan, di samping melakukan wawancara dengan narasumber yang berkompeten dengan objek penelitian.

5. Analisis Data

Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar. Universitas Sumatera Utara 26

BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM

Dokumen yang terkait

Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jakarta Selatan)

0 77 123

Itsbat Nikah Dan Kaitannya Dengan Status Anak Yang Lahir Sebelum Perkawinan Disahkan (Studi Pada Pengadilan Agama Klas IA Medan)

9 103 146

Hadiah Undian Yang Diperoleh Dalam Perkawinan Dan Kaitannya Dengan Harta Bersama Di Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

8 97 95

Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam

3 34 94

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Produsen

0 46 132

Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Dan Anak (Studi Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/Pa.Js)

1 9 98

Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Dan Anak (Studi Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/Pa.Js)

1 4 98

Pembagian Waris Dalam Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Perkawinan Poligami di Kelurahan Cipete Selatan)

2 38 84

BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM PERKAWINAN DAN WALI ADHAL A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jaka

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jakarta Selatan)

0 0 25