50
yang diucapkan seorang dalam kedudukannya sebagai wali, yang memegang peranan di dalam perkawinan yang dilangsungkan.
Sebab ijab akad nikah hanya sah jika dilakukan oleh wali mempelai wanita, kedudukan wali sangat penting ini dapat dipahami karena sejak anak dalam
kandungan hingga dilahirkan dan dibesarkan sampai ia menjadi dewasa, adalah menjadi tugas dan tanggungjawab bagi orang tua dan seorang anak banyak
memerlukan pengorbanan dari orang tuanya karena anak adalah merupakan amanah dan titipan dari Allah. Sehingga sudah sepatutnyalah apabila seorang anak yang
sudah dewasa dan hendak memasuki pintu gerbang kehidupan berumah tangga haruslah mendapatkan ijin dan restu dari orang tuanya dan tidak begitu saja
meninggalkan orang tuanya, oleh karena itu pernyataan penyerahan mempelai wanita kepada mempelai pria, yang diucapkan oleh ayah dalam kedudukannya sebagai wali
nikah didalam pelaksanaan acara ijab qabul dapat dilambangkan sebagai akhir tugas yang berhasil dari orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan materiil dan spirituil
anak gadisnya hingga menjadi dewasa dan siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga sendiri. Kemudian dengan selesainya ijab qabul tersebut maka saat itu jugalah
tugas orang tua sudah beralih kepada suaminya.
D. Wali Adhal dan Ketentuan Hukumnya
Dalam pelaksanaan perkawinan juga dikenal adanya Wali Adhal. Wali Adhal ialah wali yang enggan untuk mengawinkan perempuan yang dibawah perwaliannya.
Universitas Sumatera Utara
51
Yaitu mereka yang mempunyai wewenang yang sangat jelas untuk menjadi wali tidak mau melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah.
70
Masalah yang diperbincangkan tentang wewenang para ayah atas putri mereka ialah apakah izin ayah itu diperlukan
untuk perkawinan putrinya yang belum pernah kawin.
71
Dalam Islam, ada hal-hal yang benar-benar pasti sehubungan dengan perkawinan. Anak laki-laki, apabila ia telah mencapai usia akil baliq, telah
sepenuhnya matang, dan berakal sehat, adalah bebas untuk menentukan pilihannya, dan tak seorangpun yang berhak campur tangan. Namun dalam hal anak perempuan,
ada sedikit perbedaan, apabila seorang anak perempuan sudah pernah kawin dan dalam keadaan menjanda, tidak ada seorangpun yang berhak mencampuri urusannya,
dan kedudukannya dalam hal ini sama dengan anak laki-laki. Tetapi apabila anak perempuan itu seorang perawan dan hendak memasuki ikatan perkawinan dengan
seorang pria untuk pertama kalinya maka ada ketentuan yang membatasinya. Bahwa si ayah tidak berwenang mutlak atas putrinya dalam hal ini, dan tidak
dapat mengawinkannya dengan siapa saja yang dikehendakinya tanpa kehendak dan persetujuan si putri, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Kita telah melihat
bahwa Nabi, dalam jawaban beliau kepada gadis yang dikawinkan ayahnya tanpa sepengetahuan dan persetujuannya itu, dengan jelas menegaskan bahwa apabila si
gadis tidak menyetujuinya, ia boleh kawin dengan pria lain. Terdapat perbedaan
70
Marahalim Harahap, Op. Cit. hal. 88
71
Murtadha Muthahhari, Wanita Dalam Islam, Penerbit Lentera, Jakarta. 1991, hal .41
Universitas Sumatera Utara
52
pendapat di kalangan para fakih ahli fikih Islam tentang apakah seorang gadis yang belum pernah kawin tidak mempunyai hak untuk kawin tanpa persetujuan ayahnya,
atau apakah persetujuan si ayah bukan prasyarat bagi keabsahan perkawinannya. Akan tetapi, ada hal lain yang sudah pasti dan tidak diperselisihkan
lagi, yaitu apabila si ayah tidak mau memberikan persetujuannya tanpa suatu sebab yang beralasan maka haknya dicabut, dan terdapat kesepakatan bulat diantara semua
fakih Islam bahwa dalam keadaan demikian maka si putri sepenuhnya bebas memilih suaminya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, ada perbedaan pendapat tentang
masalah apakah persetujuannya si ayah merupakan syarat yang perlu dalam perkawinan seorang anak perempuan. Mayoritas fakih, terutama para fakih di masa
yang akhir ini, berpendapat bahwa persetujuan si ayah bukan syarat yang dimestikan.
72
Selanjutnya mengenai wali Adhal juga diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim. Dalam Pasal 2
Peraturan Menteri Agama tersebut ditentukan bahwa : 1 Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau
luar negeriwilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud
atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.
72
Ibid., Hal. 42
Universitas Sumatera Utara
53
2 Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat 1 Pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal calon mempelai wanita. 3 Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan acara
singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan Wali calon mempelai wanita.
Selanjutnya dalam Pasal 3 ditentukan bahwa Pemeriksaan dan penetapan adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita warganegara Indonesia yang bertempat
tinggal di luar negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita. Di dalam Pasal 6 juga ditentukan bahwa :
1 Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali Hakim meminta kembali kepada Wali Nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah
ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali. 2 Apabila Wali Nasabnya tetap adhal , maka akad nikah dilangsungkan dengan
Wali Hakim. Para ulama sependapat bahwa wali tidak berhak merintangi perempuan yang
diwali dan berarti berbuat zhalim kepadanya kalau ia mencegah kelangsungan pernikahan tersebut, jika ia mau dikawinkan dengan laki-laki yang sepadan dan
mahar mitsl. Ulama Hanafiyah secara spesifik memberi batasan mahar mitsl itu
dengan mahar yang pernah diterima oleh saudaranya,bibinya dan anak saudara pamannya yang sama dan sepadan umurnya, kecantikannya, kekayaannya, tingkat
kecerdasannya, tingkat keberagamaannya, negeri tempat tinggalnya, dan masanya dengan isteri yang akan menerima mahar tersebut. Ibnu al-Humuam: 368; al-
Thusiy,299.
73
Jika wali menghalangi pernikahan tersebut, maka calon pengantin
73
Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
54
wanita berhak mengadukan perkaranya melalui Pengadilan Agama agar perkawinan tersebut dapat dilangsungkan.
Wali dikatakan adhal apabila telah diputuskan oleh Pengadilan Agama bahwa wali tersebut adhal kemudian pengadilan agama menunjuk wali hakim sebagai wali
nikah. Dalam keadaan seperti ini, perwalian tidak pindah dari wali yang zhalim ke wali lainnya, tetapi langsung ditangani oleh Hakim sendiri. Sebab menghalangi hal
tersebut adalah satu perbuatan yang zhalim, sedangkan untuk mengadukan wali zhalim itu hanya kepada hakim. Adapun jika wali menghalangi karena alasan-alasan
yang sehat, seperti laki-lakinya tidak sepadan, atau maharnya kurang dari mahar mitsl, atau ada peminang lain yang lebih sesuai derajatnya, maka dalam keadaan
seperti ini perwalian tidak pindah ketangan orang lain, karena ia tidaklah dianggap menghalangi.
74
E. Faktor Penyebab Terjadinya Wali Adhal dalam Perkawinan