66
Menurut UU Nomor 1 tahun 1974 syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak melangsungkan perkawinan adalah:
a. Syarat materiil
Dalam hal mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak-pihak ketiga, maka menurut Pasal 6 UU Perkawinan,
adapun syarat-syarat Syarat Materil adalah sebagai berikut : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang
Universitas Sumatera Utara
67
tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang- orang tersebut yang memberikan izin.
6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 dua macam, yaitu: 1
Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin
serta syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka orang tidak dapat melangsungkan perkawinan.
Syarat materiil mutlak terdiri dari: a
kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan yang lain; b
persetujuan bebas dari kedua pihak; c
setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh UU; d
izin dari pihak ketiga; e
waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan ingin kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian,
masa iddahnya 90 sembilan puluh hari dan karena kematian 130 seratus tiga puluh hari.
90
2 Syarat materiil relatif, yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini.
Jadi, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak syarat untuk dirinya sendiri tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan orang
yang tidak memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya: mengawini orang yang masih ada hubungan dengan keluarga terlalu dekat.
91
90
Wahyuni Setiyowati, Hukum Perdata I Hukum Keluarga. F.H. Universitas 17 Agustus UNTAG. Semarang 1997, hal 28.
91
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
68
Syarat materiil relatif ini diatur dalam Pasal 8 dan 10 UU Perkawinan. Pasal 8 mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 dua orang yang:
a Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas. b Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu bapak tiri. d Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi
paman susuan. e Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. Sedangkan Pasal 10 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mengatur
mengenai larangan kawin kepada mereka yang telah putus perkawinannya karena cerai 2 dua kali dengan pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya
mereka tidak dapat kawin lagi untuk yang ketiga kalinya pada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka
suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk
mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar- benar saling menghargai satu sama lain.
Universitas Sumatera Utara
69
b .
Syarat formil
Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;
2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-
masing; 4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan
nama isterisuami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Syarat untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3, 4, 8, dan 10
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu tentang :
92
1 Pemberitahuan Tentang pemberitahuan diatur dalam Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun
1975 yang mengatur:
92
Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
70
a Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
b Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10
sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. c
Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 dua disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama
Bupati Kepala Daerah. d
Pasal 4 mengatur bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada
pegawai pencatat perkawinan. 2 Pengumuman
Setelah semua
persyaratan terpenuhi
maka pegawai
pencatat menyelenggarakan pengumuman yang ditempel dipapan pengumuman kantor
pencatat perkawinan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975.
3 Pelaksanaan Setelah hari ke-10 sepuluh tidak ada yang mengajukan keberatan atas
rencana perkawinan tersebut maka perkawinan dapat dilangsungkan oleh
Universitas Sumatera Utara
71
pegawai pencatat perkawinan. Khusus yang beragama Islam pegawai pencatat perkawinan hanya sebagai pengawas saja.
93
Di samping itu, perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu Pasal 2 ayat 1 UU
Perkawinan. Ahmad Djumairi mengatakan bahwa : Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perUndang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
oleh Undang-undang itu. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang
Kristen dan bagi Hindu maupun Budha.
94
Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: a
Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Kesepakatan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari
pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk
keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b Bagi seorang yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk melangsungkan
perkawinan harus ada izin dari kedua orang tua. Menurut ketentuan Pasal 7 UUP, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini
93
Setiyowati Wahyuni, Op.Cit., hal 39.
94
Achmad Djumairi. Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Semarang, 1990. hal 24.
Universitas Sumatera Utara
72
ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunannya, yang berarti bahwa seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka dianggap belum dewasa.
c Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
d Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu
menyatakan kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali. e
Bila ayat 2, 3, dan 4 Pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon mempelai dapat mengajukan izin pada Pengadilan setempat.
f Penyimpangan tentang Pasal 7 ayat 1 dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan. Dalam Islam juga dikenal syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum
Islam. Syarat sah perkawinanpernikahan harus memenuhi rukun nikah, yaitu: a. Calon suami
b. Calon isteri c. Wali nikah
d. Dua orang saksi e. Ijab dan Kabul
Syarat calon suami:
Universitas Sumatera Utara
73
1 Harus beragama Islam 2 Harus laki-laki bukan banci
3 Harus lelaki yang tertentu 4 Tidak ada halangan untuk menikah
5 Harus suka dan ridla 6 Tidak sedang mengerjakan Haji Umrah
7 Harus perempuan yang halal dikawini 8 Dan jika sudah beristeri, belum ada empat orang isteri.
Syarat calon isteri: 1 Harus beragama Islam
2 Harus wanita bukan banci 3 Harus perempuan yang tertentu
4 Tidak ada halangan untuk menikah 5 Harus sudah luar iddah
6 Harus suka dan ridla 7 Tidak sedang mengerjakan Haji Umrah.
Syarat wali nikah: 1 Laki-laki muslim
2 Aqil baligh Syarat saksi:
1 Laki-laki muslim 2 Adil
Universitas Sumatera Utara
74
3 Akil baligh 4 Tidak terganggu ingatan
5 Tidak tuna rungu atau tuli Syarat ijab dan Kabul:
Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
Perkawinan tanpa wali, tidak dapat diawasi oleh Pejabat Pencatat Nikah PPN dan tidak dapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, wali adalah masalah pokok
dalam perkawinan. Ijab yaitu ucapan dari waliorang tua atau wakilnya pihak perempuan sebagai penyerahan kepada pihak laki-laki. Sedangkan Kabul yaitu
ucapan dari pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan. Upacara Ijab dan Kabul ini, dilakukan dimuka PPN pejabat pencatat nikah yaitu di
Masjid, boleh di rumah dengan memanggil PPN harus ada di bawah pengawasan PPN.
Berdasarkan uraian di atas, perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara suami isteri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Tuhan
tetapi untuk mewujudkan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membina
rumah tangga yang penuh dengan sakinah, mawaddah dan rahmah. Akibat hukum lain adalah terjaminnya hak-hak dan kewajiban suami isteri serta anak-
anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum. Sedangkan rukun
Universitas Sumatera Utara
75
perkawinan adalah adanya calon suami, adanya calon isteri, adanya wali, adanya saksi dan ijab kabul.
Dalam setiap perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum, antara lain timbulnya hak dan kewajiban suami dan isteri, hak dan kewajiban orang tua serta
kekuasaannya dan di samping itu timbulnya hak perwalian. Seorang anak yang dilahirkan sebagai akibat dari suatu perkawinan, disebut dengan anak sah. Anak sah
sampai dia berusia dewasa, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kedua orang tuanya itu masih terikat tali perkawinan.
C. Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dalam Perkawinan