Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jakarta Selatan)

(1)

TESIS

Oleh

SYLVANA AMELIA FAUZI

107011033/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYLVANA AMELIA FAUZI

107011033/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : SYLVANA AMELIA FAUZI

Nomor Pokok : 107011033

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Abdullah Syah, MA)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Dr. Idha Aprilyana, SH, MHum


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : SYLVANA AMELIA FAUZI

Nim : 107011033

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PENYELESAIAN SENGKETA WALI ADHAL DAN

KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN PERKAWINAN

(STUDI TERHADAP PENETAPAN NO.

215/PDT.P/2011/P.A.JAKARTA SELATAN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : SYLVANA AMELIA FAUZI Nim :107011033


(6)

kompilasi hukum Islam. Rasulullah SAW bersabda “tidak sah nikah tanpa adanya wali”, artinya akad pernikahan tidak sah tanpa adanya wali. Pada umumnya yang menjadi wali nikah adalah wali nasab. Apabila wali nasab berlaku adhal maka perwalian dapat berpindah ke wali hakim. Perpindahan kewalian dari wali nasab ke ke wali hakim diatur dalam Pasal 23 (1) dan (2) kompilasi hukum Islam.

Penulisan bertujuan untuk menjelaskan faktor penyebab terjadinya wali

Adhal, keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan penetapan Nomor 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan status perkawinan yang timbul dari perkawinan waliadhal.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya dengan keabsahan Perkawinan dalam Penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Hasil penelitian menunjukkan akibat timbul dari wali adhal adalah terhambatnya pelaksanaan perkawinan akibat pihak pegawai pencatatan nikah mengeluarkan surat adanya halangan nikah dan penolakan pernikahan. Terhadap adanya halangan dan penolakan tersebut kemudian pemohon mengajukan permohonan wali adhal ke pengadilan Agama Jakarta Selatan dan dikeluarkanlah penetapan Pengadilan Agama Nomor 215/Pdt.P/2011/PA.JS. Alasan wali nasab tidak bersedia menjadi wali nikah karena tidak suka dengan calon pemohon dan ingin memberi pelajaran kepada pemohon yang tidak mengikuti nasehat mereka untuk tidak melanjutkan niat mereka untuk melaksanakan pernikahan. Keabsahan perkawinan menurut penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah sah karena sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Pasal 14 kompilasi hukum Islam.

Disarankan agar para pihak sebelum menyampaikan kehendak menikah agar lebih dahulu mempersiapkan persyaratan yang diperlukan termasuk izin dan kesediaan wali nikah. Disarankan kepada wali agar tidak menyalahgunakan kewenangannya dengan memaksakan kehendak pribadi dalam mengambil keputusan untuk tidak menikahkan. Kepada Pegawai Pencatat Nikah dan instansi terkait agar dapat memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya wali nikah dalam pelaksanaan perkawinan.


(7)

marriage of a girl or woman) is one of the pillars of marriage, and it is written in Article 14 of the Compilation of Islamic Law. Rasulullah SAW said that “the marriage is not valid without the (present of ) wali” meaning that the marriage agreement is not valid without the present of guardian. In general, the one who becomes the wali for the marriage is wali nasab. If the wali nasab is adhal (fair), the guardianship can be represented by wali hakim. The transfer of guardianship from wali nasab to wali hakimis regulated in Article 23 (1) and (2) of the Compilation of Islamic Law.

The purpose of this study was to describe the factors causing the incident of wali adhal, the validity of marriage if the wali adhal occured based on the decision No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan, and the status of marriage resulted from the wali adhal marriage.

This analytical descriptive study with normative juridical approach explained and at the same time analyzed the Wali Adhal Dispuite Settlement and Its relation to the Validity of Marriage in the Decision No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

The result of this study showed that the consequence resulted from the wali adhal was the delay s the implementation of marriage because the marriage registering official issued a letter stating the existence of obstacle and refusal of marriage. To respond the existing obstacle and refusal of marriage, the applicant applied for wali adhal to the Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Jakarta Selatan Religious Court) and then the decision of Religious Court No. 215/Pdt.P/2011/PA.JS was issued. The reason was that wali nasab was willing to be a wali nikah (a guardian of marriage) because he did not like the applicant and he wanted to give lessons to the applicant who did not obey his advice telling them to discontinue the applicant’s intention to carry out the wedding. The validity of a marriage according to the Decision No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan was legitimate because it is in accordance with the existing provision in Article 14 of the Compilation of Islamic Law.

The parties are suggested to prepare the requirements needed including the permission and willingness of wali nikah (a guardian of marriage) before conveying their will to marry. The wali (guardian) is suggested not to abuse his authority by imposing his personal decision not to marry them. The marriage registering official and related agencies should socialize the importance of wali nikah (a guardian of marriage) in the implemntation of a marriage to the community members.


(8)

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “PENYELESAIAN SENGKETA WALI ADHAL DAN KAITANNYA

DENGAN KEABSAHAN PERKAWINAN (Studi Terhadap Penetapan No.

215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan BapakProf. Dr. H. Abdullah Syah, MA,BapakProf. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD. dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H, M.Hum., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya di dalam penelitian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rassa terima kasih yang


(9)

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku penguji dalam penelitian tesis ini, atas segala dedikasi dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku penguji dalam penelitian tesis ini, yang telah membimbing dan membina penulis dalam penyelesaian studi selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

6. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda DR. H. Fauzi Usman, MBA dan Ibunda Hj. Mursida, BA atas segala rasa sayang dan cinta yang tidak terbatas dan doa yang tak pernah putus kepada penulis serta dukungan sehingga menjadi motivasi terbesar untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Abang saya M. Rommy Fauzi, BSBA., M. Rizky Fauzi, SE dan M. Irfan Fauzi, SE atas segala rasa sayang dan cinta sehingga menjadi dukungan untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

8. T. Syah Muhammad Parunggit, SH, M.Kn atas segala dukungan dan kesabaran tanpa batas yang menjadi semangat bagi penulis dalam kehidupan dan juga dalam penyelesaian tesis ini. I love you,Git.

9. Para sahabat, Almay, Tika, Stephanie, Vembra, Dodon, Mick, Sesil, Maya, Jeff, Mimi, Rahmi, Fandy, Henny dan seluruh teman-teman Magister Kenotariatan Group A atas segala dukungan dan kenangan indah yang terjalin dari persahabatan yang kita bina sekarang dan selamanya.

10. Para narasumber atas segala informasi yang telah diberikan untuk melengkapi isi penulisan tesis ini.

11. Seluruh staf pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ibu Fatimah, Kak Lisa, Kak Winda, Kak Sari, kak Afni, Bang Iken, Bang Aldi, Bang Rizal dan Bang Hendri yang telah


(11)

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang berlimpah kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Januari 2013 Penulis,


(12)

I. DATA PRIBADI

Nama : SYLVANA AMELIA FAUZI

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 9 Nopember 1988

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jln. Babura No.3, Medan

Telepon/Hp : 08126404440

II. KELUARGA

Nama Ayah : DR. H. Fauzi Usman, MBA

Nama Ibu : Hj. Mursida, BA

III. PENDIDIKAN FORMAL

SD HARAPAN 1 MEDAN lulus tahun 2000 SLTP HARAPAN 1 MEDAN lulus tahun 2003 SMA NEGERI 1 MEDAN lulus tahun 2006

S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan lulus tahun 2010 S-2 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU lulus tahun 2013


(13)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 15

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM PERKAWINAN DAN WALI ADHAL 26 A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya ... 26

B. Pengertian Wali dan Macam-macam Wali dalam Perkawinan... 39

C. Peranan Wali dalam Perkawinan ... 48

D. WaliAdhaldan Ketentuan Hukumnya ... 50

E. Faktor Penyebab Terjadinya WaliAdhaldalam Perkawinan .. 54

BAB III KEABSAHAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 59 A. Perkawinan dalam Pandangan Hukum Islam ... 59

B. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ... 65 C. Penyelesaian Sengketa Wali Adhaldalam Perkawinan 75


(14)

BAB IV STATUS PERKAWINAN DENGAN WALI ADHAL

MENURUT KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU ... 87

A. Peranan Pegawai Pencatat Nikah dalam Perkawinan dengan WaliAdhal ... 87

B. Perkawinan dengan Wali Hakim Akibat WaliAdhal ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. KESIMPULAN ... 102

B. SARAN ... 103


(15)

kompilasi hukum Islam. Rasulullah SAW bersabda “tidak sah nikah tanpa adanya wali”, artinya akad pernikahan tidak sah tanpa adanya wali. Pada umumnya yang menjadi wali nikah adalah wali nasab. Apabila wali nasab berlaku adhal maka perwalian dapat berpindah ke wali hakim. Perpindahan kewalian dari wali nasab ke ke wali hakim diatur dalam Pasal 23 (1) dan (2) kompilasi hukum Islam.

Penulisan bertujuan untuk menjelaskan faktor penyebab terjadinya wali

Adhal, keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan penetapan Nomor 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan status perkawinan yang timbul dari perkawinan waliadhal.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya dengan keabsahan Perkawinan dalam Penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Hasil penelitian menunjukkan akibat timbul dari wali adhal adalah terhambatnya pelaksanaan perkawinan akibat pihak pegawai pencatatan nikah mengeluarkan surat adanya halangan nikah dan penolakan pernikahan. Terhadap adanya halangan dan penolakan tersebut kemudian pemohon mengajukan permohonan wali adhal ke pengadilan Agama Jakarta Selatan dan dikeluarkanlah penetapan Pengadilan Agama Nomor 215/Pdt.P/2011/PA.JS. Alasan wali nasab tidak bersedia menjadi wali nikah karena tidak suka dengan calon pemohon dan ingin memberi pelajaran kepada pemohon yang tidak mengikuti nasehat mereka untuk tidak melanjutkan niat mereka untuk melaksanakan pernikahan. Keabsahan perkawinan menurut penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah sah karena sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Pasal 14 kompilasi hukum Islam.

Disarankan agar para pihak sebelum menyampaikan kehendak menikah agar lebih dahulu mempersiapkan persyaratan yang diperlukan termasuk izin dan kesediaan wali nikah. Disarankan kepada wali agar tidak menyalahgunakan kewenangannya dengan memaksakan kehendak pribadi dalam mengambil keputusan untuk tidak menikahkan. Kepada Pegawai Pencatat Nikah dan instansi terkait agar dapat memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya wali nikah dalam pelaksanaan perkawinan.


(16)

marriage of a girl or woman) is one of the pillars of marriage, and it is written in Article 14 of the Compilation of Islamic Law. Rasulullah SAW said that “the marriage is not valid without the (present of ) wali” meaning that the marriage agreement is not valid without the present of guardian. In general, the one who becomes the wali for the marriage is wali nasab. If the wali nasab is adhal (fair), the guardianship can be represented by wali hakim. The transfer of guardianship from wali nasab to wali hakimis regulated in Article 23 (1) and (2) of the Compilation of Islamic Law.

The purpose of this study was to describe the factors causing the incident of wali adhal, the validity of marriage if the wali adhal occured based on the decision No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan, and the status of marriage resulted from the wali adhal marriage.

This analytical descriptive study with normative juridical approach explained and at the same time analyzed the Wali Adhal Dispuite Settlement and Its relation to the Validity of Marriage in the Decision No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

The result of this study showed that the consequence resulted from the wali adhal was the delay s the implementation of marriage because the marriage registering official issued a letter stating the existence of obstacle and refusal of marriage. To respond the existing obstacle and refusal of marriage, the applicant applied for wali adhal to the Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Jakarta Selatan Religious Court) and then the decision of Religious Court No. 215/Pdt.P/2011/PA.JS was issued. The reason was that wali nasab was willing to be a wali nikah (a guardian of marriage) because he did not like the applicant and he wanted to give lessons to the applicant who did not obey his advice telling them to discontinue the applicant’s intention to carry out the wedding. The validity of a marriage according to the Decision No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan was legitimate because it is in accordance with the existing provision in Article 14 of the Compilation of Islamic Law.

The parties are suggested to prepare the requirements needed including the permission and willingness of wali nikah (a guardian of marriage) before conveying their will to marry. The wali (guardian) is suggested not to abuse his authority by imposing his personal decision not to marry them. The marriage registering official and related agencies should socialize the importance of wali nikah (a guardian of marriage) in the implemntation of a marriage to the community members.


(17)

A. Latar Belakang

Manusia yang hidup di dunia ini tidak ada seorangpun yang sempurna, karena kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT semata. Oleh karena ketidaksempurnaannya tersebut membuat manusia membutuhkan manusia lainnya untuk saling melengkapi dalam menjalankan hidup ini. Dalam menjalankan hidupnya manusia membutuhkan pergaulan dan hidup bersama sebagai sarana dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya tersebut. Kebutuhan hidup manusia itu sangat banyak dan tidak akan ada habisnya, apabila satu kebutuhan telah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lainnya.

Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengikatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Naluri untuk hidup bersama ini dapat diwujudkan dengan perkawinan, di mana perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu yang umumnya terkait dengan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan. Perkawinan sebagai aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya merekapun juga mempunyai suatu tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan itu harus dibulatkan agar terdapat satu kesatuan dalam tujuan tersebut.


(18)

Gatot Supramono mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, ini artinya kedua orang yang berlainan jenis selain terikat secara lahir, atau secara fisik, tetapi juga batinnya terikat. Oleh karena dalam perkawinan mereka sebagai pasangan suami isteri.1 Dengan demikian, dalam perkawinan adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Dengan ini jelas bahwa yang diikat dalam perkawinan sebagai suami isteri adalah seorang wanita dan seorang pria. Ini berarti kalau ada seorang wanita ataupun seorang pria yang ingin diikat sebagai suami isteri haruslah melalui perkawinan.

Berdasarkan hal di atas, dapat dikemukakan bahwa maksud dilaksanakannya perkawinan adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat isteri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong antara satu kaum dengan yang lain dan akhirnya rumah tangga tersebut menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Peraturan mengenai perkawinan telah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota masyarakat dan pemuka agama. Peraturan ini mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat, diantaranya dipengaruhi oleh pengetahuan,kepercayaan dan keagamaan yang dianut dalam


(19)

masyarakat yang bersangkutan. Peraturan hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia sebelum Tahun 1974 bersifat pluralistik karena didasarkan pembedaan penduduk Indonesia, yaitu :2

1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi kedalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam.

2. Bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat.

3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie ChristenIndonesia (HOCI) S.1933 Nomor 74.

4. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata 5. Bagi orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan asing

lainnya berlaku hukum adat mereka.

6. Bagi orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Peraturan dan budaya dalam perkawinan yang berlaku dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada. Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa dan agama membutuhkan suatu aturan sebagai realisasi cita-cita bangsa untuk memiliki Undang-undang yang bersifat nasional dan sesuai dengan falsafah Pancasila.

Unifikasi hukum perkawinan telah ada dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1974). Undang-undang Perkawinan dibentuk dengan tujuan agar terdapat keseragaman dalam penyelenggaraan perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu dengan tetap menampung kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

2Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,Mandar Maju, Bandung, 1992, ha1. 5.


(20)

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah.3Oleh karena itu, suami isteri dalam suatu perkawinan mempunyai pertanggungjawaban secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik suami dan isteri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan.

Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur bahwa perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqaan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.4

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi untuk seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur. Dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila. Maksudnya adalah bahwa


(21)

perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.5

Iman Jauhari mengemukakan bahwa :

Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin antara suami isteri. Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak.6

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu.

2. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan. 3. Perkawinan berasas monogami.

4. Calon suami isteri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan.

5. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun. 6. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka pengadilan.

7. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang.7

5K Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 15. 6Imam Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Penerbit

Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.hal. 3


(22)

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut lahir anak-anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

Perkawinan amat penting bagi kehidupan manusia, baik perseorangan ataupun kelompok dengan jalinan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai akhluk yang berkehormatan di antara makhluk tuhan lainya. Allah SWT telah menetapkan cara-cara tersendiri dalam menjalani hidup dengan berpasang-pasangan. cara-cara-cara-cara tersebut diatur dalam lembaga perkawinan. Hal ini sesuai dengan keberadaan Islam sebagai Agama fitrah yang datang bukan untuk membunuh kecenderungan-kecenderungan manusia, melainkan untuk membimbing dan mengarahkan sesuai kehendak sang pencipta.8

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan maka suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, hal ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakunya hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan khusus di samping peraturan umum yang di atur dalam Undang-undang perkawinan untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam, yang kebanyakan menganut ajaran dari mazhab Syafi'i.


(23)

Dalam pelaksanaan perkawinan tentunya tidak terlepas dari adanya berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terkait di dalamnya. Pasal 6 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa :

1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) Pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam Pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Berdasarkan ketentuan tersebut tersirat adanya persyaratan untuk melakukan perkawinan dengan adanya izin wali baik orang tua maupun izin pengadilan untuk dapat melaksanakan suatu perkawinan.

Menurut hukum Islam, perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab kabul. Ijab diucapkan oleh pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya atau wakilnya, sedang


(24)

kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki. Hal ini tergambar dari adanya rukun perkawinan,untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

1. Calon suami 2. Calon isteri 3. Wali nikah

4. Dua orang saksi dan 5. Ijab dan kabul9

Wali nikah adalah merupakan salah satu rukun nikah, Rasulullah Saw mengatakan “Tidak ada nikah tanpa wali” artinya perkawinan tidak sah apabila tidak disetujui oleh walinya (WaliAkrobatau WaliAb’ad). Keharusan adanya seorang wali dalam pernikahan menjadi rukun dalam perkawinan Islam, meskipun ada pendapat yang tidak mengharuskannya. Kedudukan wali dalam perkawinan menurut sebagian ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian lagi menyebutkannya sebagai syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga laki-laki dari pengantin wanita.

Ada beberapa pendapat mengenai pentingnya wali sebagai syarat untuk sahnya nikah menurut Hukum Islam. Hal ini sudah lama menjadi bahan diskusi para ahli ilmu fiqh sejak lahirnya mazhab Syafi`i dan mazhab Hanafi. Mazhab Syafi`i mengatakan bahwa wali adalah salah satu syarat untuk sahnya nikah, sedangkan mazhab Hanafi mengatakan bahwa wali adalah sunnah hukumnya, seperti yang terdapat dalam Firman Allah SWT Surat Al Baqarah ayat 234, dikatakan bahwa akad nikah yang dilakukan oleh wanita dan segala sesuatu yang dikerjakannya tanpa


(25)

menggantungkannya kepada wali atau izinnya adalah sah. Berdasarkan ayat tersebut Hanafi memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dengan meniadakan campur tangan orang lain dalam hal ini adalah campur tangan seorang wali berkenaan dengan masalah perkawinan. Pertimbangan rasional logis inilah yang membuat Hanafi mengatakan tidak wajibnya wali nikah bagi wanita yang hendak menikah.10

Namun pada umumnya umat Islam di Indonesia menganut paham mazhab Syafi`i. Menurut mazhab Syafi`i wali merupakan masalah penting sekali dalam pembahasan nikah karena tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi rukun bagi sahnya suatu nikah. Alasan pendapat ini diantaranya yaitu hadist Nabi riwayat Turmudzi dari Aisyah yang menyatakan bahwa “Perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal (sampai tiga kali Nabi mengatakan nikahnya batal)”. Selain itu, ijab menurut lazimya dalam suatu akad nikah diucapkan oleh wanita, jadi mempelai wanitalah yang menawarkan dirinya untuk dinikahkan dengan seorang pria. Oleh karena wanita fitrahnya adalah pemalu, maka ia harus diwakili oleh orang tuanya atau wakilnya yang bertindak sebagai wali nikahnya.

Menurut Abdullah Kelib, wali di dalam perkawinan adalah orang yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya, sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak terdapat wali yang menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria.11Jadi wali nikah dalam suatu

10Mohd. Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal. 218-220. 11Abdullah Kelib,Hukum Islam, Tugu Muda Indonesia, Semarang, 1990, hal 11


(26)

perkawinan merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Dengan kata lain, wali nikah merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Adapun yang menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat menurut hukum Islam, yakni muslim, aqil, dan baligh.

Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali nasab artinya pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin perempuan dari pihak ayah. Sedangkan wali hakim ialah wali yang ditauliah oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah. Pejabat negara yang ditunjuk, dalam kaitan ini biasanya dilakukan oleh kepala kantor departemen agama sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dapat menjadi wali pengganti atau wali hakim, jika wali nasabnya berhalangan, wali nasabnya berlaku adhal atau tidak ada wali nasabnya.

Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya perkawinan yang berhasil. Di samping itu, perwalian termasuk wali nikah merupakan hak alamiah (natural) dari orang tua dan keluarga dekat, dan dalam keadaan tertentu dapat melompat kepadauli ''l-amr(pemegang kekuasaan sosial atau konstitusional) seperti wali hakim dalam masalah pernikahan yang wali nasabnya


(27)

berlaku adhal (menolak untuk menjadi wali dalam perkawinan yang dibenarkan menurut hukum dan wajar dilangsungkan).12

Selanjutnya Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di tingkat Kecamatan di samping mempunyai tugas untuk melakukan pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat meyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai perkara-perkara yang berhubungan dengan keabsahan pernikahan, baik itu menyangkut permasalahan wali, calon pengantin maupun syarat-syarat lain. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pegawai pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. PPN juga yang harus segera menyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan sahnya pernikahan seperti adanya sengketa waliAdhal. Wali Adhal adalah wali calon pengantin wanita, (ayah, kakek, saudara laki-laki atau kelompok wali akrob) yang tidak berkenan untuk menikahkan calon pengantin perempuan karena alasan-alasan tertentu seperti, tidak setuju dengan calon mempelai, tidak sekufu, beda agama dan lain sebagainya. Adakalanya perkawinan yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipaham, yaitu wali nikah.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka ditelaah lebih lanjut penyelesaian perselisihan akibat adanya wali nasab yang menolak untuk menjadi wali dalam perkawinan dikaitankan dengan keabsahan perkawinan. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Penyelesaian

12Nasrul Azwar,Pengertian Wali Al-Amr dan Problematika, http://id.shvoong.com/, diakses


(28)

Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan Nomor 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”. B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya waliAdhal ?

2. Bagaimana keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan ?

3. Bagaimana status perkawinan yang timbul dari perkawinan waliadhal ? C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui yang menjadi faktor penyebab terjadinya waliAdhal

2. Untuk mengetahui keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

3. Untuk mengetahui status perkawinan yang timbul dari perkawinan waliadhal. D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:


(29)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan khususnya hukum perkawinan , terutama mengenai masalah penyelesaian sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan perkawinan.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, khususnya kepada pasangan yang akan melaksanakan perkawinan, agar lebih mengetahui tentang persyaratan yang hasrus dipenuhi, hak dan kewajibannya dalam perkawinan dan penyelesaian sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan perkawinan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, ditemukan dua judul penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu :

1. Penelitian oleh Parimpunan Matondang, Nim 992105060/Ilmu Hukum Tahun 2002 dengan judul “Kedudukan Wali Hakim Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1972 dan Penerapannya di Kota Medan, dengan permasalahan antara lain :

a. Bagaimana kedudukan wali hakim menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam serta Penerapannya di Kota Medan ?


(30)

b. Bagaimana kewenangan wali hakim dalam kewaliannya sebagai wali nikah dalam hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ?

c. Bagaimana peralihan perwalian ke tangan wali hakim menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ?

2. Penelitian yang dilakukan oleh Marahalim, Nim 057005037/MH/Tahun 2007 dengan judul “Pernikahan dengan Menggunakan Wali Hakim Tinjau dari Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia”, dengan permasalahan antara lain :

a. Bagaimana pengangkatan wali hakim dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam ?

b. Bagaimana fungsi wali hakim dalam perwaliann ?

c. Bagaimana pertimbangan wali hakim dalam menikahkan seorang yang memiliki wali nasab serta keabsahan wali hakim dalam pernikahan tersebut ?

Dari kedua penelitian di atas dilihat dari judul dan permasalahan yang dibahas maupun kasus yang dibahas tidak ada kesamaan dengan penelitian ini. Dengan demikian penelitian tentang “Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini


(31)

dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,13 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.15 Apabila dikaitkan dengan judul penelitian dan permasalah yang diteliti dalam penelitian ini, maka kerangka teori yang dipilih sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori wali hakim. Dalam agama Islam wali adalah rukun dalam perkawinan.

Perkawinan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri. Sebab, perwalian merupakan syarat yang harus terpenuhi demi keabsahan akad nikah. Dan yang mengakadkan haruslah seorang Wali yang berhak. Dasarnya Firman Allah dalam Surat An-Nur (24) yang artinya “…dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang-orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.

13M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 14Ibid.,hal. 203


(32)

jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.16

Wali dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan dibedakan menjadi tiga (3):

a. Wali Nasab, ialah laki-laki yang beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah.

b. Wali Hakim, ialah pejabat yang di tunjuk oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai perempuan yang punya wali.

c. Wali Muhakam, ialah seorang yang beragama Islam di angkat oleh kedua calon suami-isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah.17

Kedudukan wali sangat penting sebagaimana diketahui bahwa yang berhak menjadi wali nikah terhadap seorang wanita adalah hak bagi wali nasab apabila wali nasab tidak ada dan wali ghaib juga tidak ada maka perwalian pindah ke tangan wali hakim. Dalam hal seorang wanita tidak mempunyai wali sama sekali, para fuqaha telah sepakat tentang kebolehanya menggunakan wali hakim, tetapi hal perkawinan dengan wali hakim yang disebabkan oleh faktor yang lain, ternyata masih terdapat perbedaan pendapat.18

Berdasarkan teori di atas, jelaslah bahwa hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum.

16Muhammad bagir,Fiqih Praktis Menurut Al-Quran As-Sunah Pendapat Para Ulama,Mizan

Media Utama, Bandung, 2002, hal.57.

17Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta,

Liberty, 1982, hal. 46.


(33)

Anak dilahirkan karena adanya perkawinan orang tuanya oleh karena itu dalam pelaksanaan perkawinan seorang anak juga membutuhkan adanya orang tua yang bertindak sebagai walinya.

Di dalam masyarakat adat, perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang merubah status laki-laki menjadi suami dan dari seorang perempuan menjadi isteri. Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan ikatan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Di samping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau retak, atau merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kerabat.19

Suatu perkawinan dapat dilaksanakan jika memenuhi beberapa persyaratan yang berupa syarat material dan formal. Syarat materil/subyektif yaitu syarat-syarat yang melekat pada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU Perkawinan, terdiri dari :

1. Harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Harus mendapat ijin orang tua, apabila calon pengantin belum berumur 21 tahun.

3. Harus sudah mencapai umur 19 (sembilanbelas) tahun bagi pria dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.

4. Tidak ada larangan perkawinan.

5. Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan kecuali bagi mereka yang agamanya mengijinkan untuk berpoligami.

6. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang hendak dikawini.

7. Harus telah lewat waktu tunggu/masaiddahbagi janda.

19Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,


(34)

Syarat-syarat formal/obyektif adalah syarat tentang tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan Undang-undang. Tata cara melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Ketentuan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan dilakukan setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan. Kemudian keinginan tersebut didaftarkan dan diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan jika tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan. Ada tidaknya keberatan dari para pihak terkait keberadaan wali dalam suatu pernikahan ditunjukkan dengan adanya wali nikah yang hadir guna menikahkan pasangan dalam suatu perkawinan. Wali dalam pernikahan merupakan unsur penting dalam suatu perkawinan khususnya bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Hal ini disebabkan karena wali nikah adalah pihak yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya. Suatu perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak ada wali yang menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria dalam proses ijab qabul.20

Jadi ijab dalam perkawinan menurut Hukum Islam adalah wewenang wali semata-mata, sehingga karena peranan wali yang sangat penting dan apabila wanita itu tidak mempunyai wali nasab atau wali nasab enggan untuk menikahkan (adhal)


(35)

dapat digantikan kedudukannya oleh wali hakim. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 Kompilasi hukum Islam yang menentukan bahwa:

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakin muslim,aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari: a. Wali nasab

b. Wali hakim

Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

4. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Pelaksanaan perkawinan mengikuti ketentuan dan tata caranya diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut :

1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat.

2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.


(36)

3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilangsungkan di hadapan Pengawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang tua.

Apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukannya. Hal ini merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 12 UU Perkawinan, yaitu :

1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan. 2) Perkawinan dilangsungkan sepuluh hari sejak pengumuman kehendak

perkawinan tersebut.

3) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaannya. 4) Perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua

orang saksi.

5) Sesaat setelah perkawinan dilangsungkan kedua mempelai menandatangani akta perkawinan. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh kedua mempelai kemudian ditandatangani oleh dua orang saksi dan pegawai pencatat.

Lebih lanjut ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akta nikah atau akta perkawinan memuat hal-hal sebagai berikut :

1) Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami tedahulu.

2) Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka. 3) Izin kawin.

4) Dispensasi. 5) Izin Pengadilan. 6) Persetujuan

7) Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/Pangab bagi angkatan bersenjata. 8) Perjanjian perkawinan apabila ada

9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam.

10) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.


(37)

Dengan demikian, Akta Nikah menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau isteri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibaca dan disetujuinya pada saat melangsukan pernikahan, maka pihak isteri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama. Demikian pula halnya dalam hal pelaksanaan perkawinan tidak dapat dilaksanakan akibat keenggaan dari wali pihak yang berkepentingan dapat dapat mengajukannya ke Pengadilan Agama.

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut :

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21

2. Wali nikah adalah wali yang dalam hal pelaksanaan nikah bertindak sebagai wali yang menikahkan mempelai wanita.

3. WaliAdhaladalah wali yang enggan mengawinkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya.22Yaitu mereka yang mempunyai wewenang yang sangat jelas menjadi wali tidak mau melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah.


(38)

4. Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.23

5. Pegawai Pencatat Akta Nikah adalah pegawai pemerintah yang diwajibkan mencatat akta nikah dengan memenuhi ketentuan batasan umur dan kedewasaan dalam melakukan perkawinan.

6. Keabsahan Perkawinan adalah suatu keadaan dimana pelaksanaan suatu perkawinan sah oleh hukum dengan memenuhi segala ketentuan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

7. Sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 ialah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

8. Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan atau pemecahan.24 9. Pengadilan Agama adalah badan peradilan khusus untuk orang yang beragama Islam yang memeriksa dan memutus perkara perdata tertentu sesuai dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.25

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal

22

Marahalim Harahap,Pernikahan dengan Menggunakan Wali Hakim,hal. 70 23

Departemen Agama,Kompilasi Hukum Islam, hal. 6 24


(39)

yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu”.26Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum diarahkan untuk mengetahui secara lebih mendalam serta menganalisa penyelesaian sengketa waliadhaldan kaitannya dengan keabsahan perkawinan.

2. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yang dilengkapi pula dengan yuridis empiris guna melihat penerapan ketentuan yang diteliti di lapangan yaitu dengan menganalisis salah satu penetapan pengadilan tentang waliadhal. Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perUndang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.

3. Sumber data

Sumber data primer berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :

1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. Peraturan perUndang-undangan

b. Teori hukum perkawinan dan hukum keluarga

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan,


(40)

tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan peneltian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.

Sebagai data sekunder juga dilakukan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan. Data sekunder tersebut diperoleh dari register perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

4. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Penelitian kepustakaan (library research)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perUndang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan pembatalan perkawinan. b. Metode penelitian lapangan


(41)

Metode yang digunakan dalam penelitian lapangan yaitu dengan menganalisis kasus/perkara dalam penetapan pengadilan, di samping melakukan wawancara dengan narasumber yang berkompeten dengan objek penelitian.

5. Analisis Data

Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.


(42)

BAB II

PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM PERKAWINAN DAN WALI ADHAL

A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya

Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.27Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang telah dewasa menurut ketentuan perUndang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami isteri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan.

Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut Undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin, yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.

Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja. “Suami isteri adalah fungsi


(43)

masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”.28 R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”.29 Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.30

Dalam konsepsi hukum Perdata Barat, menurut Vollmar yang dikutip dalam Sudikno Mertokusumo bahwa :

Perkawinan itu dipandang dari segi keperdataan saja. Maksudnya bahwa Undang-undang tidak ikut campur dalam upacara-upacara yang diadakan oleh Gereja, melainkan Undang-undang hanya mengenal “perkawinan perdata”, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang Pegawai Catatan Sipil”.31

Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.32

28Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS,

Semarang, 2005,hal 74.

29R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61.

30Sudikno Mertokusumo,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta,

2001. hal 61.

31Ibid.,hal 61. 32


(44)

Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.33 Al-nikah yang bermaknaal-wathi’ danal-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul danakad.34Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akaddan bersetubuh/berkumpul.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan perkawinan menurut hukum perdata yang mengartikan perkawinan merupakan perjanjian yang saling setia, dan sama-sama bertanggung jawab dalam menunaikan tugasnya sebagai suami-isteri atas keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari :

1. Kesepakatan

Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak ada kesepakatan apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.

2. Kecakapan

Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap (dewasa). Tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang-orang dewasa yang ditempatkan dalam pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Mereka

33Mahmud Yunus,Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468.


(45)

yang belum dewasa menurut UU Perkawinan adalah anak-anak karena belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

3. Hal tertentu

Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa.

4. Sebab yang dibolehkan

Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perUndang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya paksaan dalam menikah.35

Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.36 Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan mengenai pengertian perkawinan. Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus, mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu disatu pihak, sedangkan dipihak lain dibatasi pemasukan unsur-unsur tersebut dalam perumusan pengertian perkawinan.

Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan

35Soedaryono Soemin. Hukum Orang dan Keluarga. Sinar Grafika, 1992, hal 6. 36Ibid., hal 6.


(46)

kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu, perkawinan dilakukan secara beradab pula, sesuai dangan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia”.37 Untuk sahnya suatu perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya”.38

Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan, yang menyatakan ”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Adapun yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perUndang-undangan yang berlaku bagi


(47)

golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.

Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

Untuk mencapai syarat-syarat perkawinan tersebut, maka harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Menurut Pasal 6 Undang-undang Perkawinan, adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut yang memberikan izin.

6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.


(48)

Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;

2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing;

4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu :

Pasal 3

(1)Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

(2)Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3)Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.


(49)

Pasal 4

Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.

Pasal 5

Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suaminya terdahulu.

Kemudian menurut Pasal 8 Jo Pasal 6, 7 dan 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyatakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai serta hari, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan.

Adapun yang menjadi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel.39 Oleh karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang menganut prinsip untuk mempersukar terjadi perceraian.40

Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa

39Soerjono Soekanto,Intisari Hukum Keluarga,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 5. 40Ibid, hal. 6.


(50)

perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. “Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”.41 “Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.42Artinya tujuan perkawinan itu adalah:

a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.

c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.43

Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa :

Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwa kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi isterinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.44

41Sudikno Mertokusumo,Op.Cit., hal 62.

42Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama.2000, hal 14.


(51)

Selanjutnya untuk sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa :

Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya.45 Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perUndang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perUndang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.

45Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 26-27.


(52)

Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

Ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam, diantaranya adalah:46

a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah agar dapat melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat Q.S. an-Nisaa ayat (1).

b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup dapat saja ditempuh melalui jalur luar perkawinan, namun dalam mendapatkan ketenangan hidup bersama suami isteri tidak mungkin didapatkan kecuali melalui jalur perkawinan.

Selain yang disebutkan di atas, perkawinan juga bertujuan untuk:47

a. Menenteramkan jiwa. Bila telah terjadi akad nikah, isteri merasa jiwanya tenteram karena ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga. Suami pun merasa tenteram karena ada

46Amir Syarifuddin,Op.Cit., hal. 46-47.


(53)

pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka serta teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan.

b. Memenuhi kebutuhan biologis. Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan biologis harus diatur melalui lembaga perkawinan agar tidak terjadi penyimpangan sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar.

c. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggung jawaban tersebut. Maksud dan tujuan akad nikah adalah untuk membentuk kehidupan keluarga yang penuh kasih sayang dan saling menyantuni satu sama lain (keluarga sakinah).

Maksud pernikahan adalah mewujudkan rumah tangga yang bertujuan untuk menciptakan keluarga sakinah yang ditandai dengan adanya kebajikan sebagaimana diajarkan dalam Al-Quran Surat an-Nisaa ayat (19), serta diliputi dengan suasana “mawaddah warahmah” yang ditentukan dalam al-Quran Surat ar-Ruum ayat (21).48 Sedangkan menurut Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.


(54)

Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.

“Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”.49 “Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.50Artinya tujuan perkawinan itu adalah:

a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.

c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.51

Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa :

Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwa kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi isterinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia.

49Sudikno Mertokusumo,Op.Cit., hal 62.

50Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama, Jakarta, 2000, hal 14.


(55)

Kehidupan rumah tangga yang baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.52

Jadi, dengan perkataan ikatan lahir batin tersebut dimaksudkan bahwa hubungan suami isteri tidak boleh semata-mata hanya berupa ikatan lahiriah saja dalam makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami isteri dalam ikatan formal, tetapi juga kedua-duanya harus membina ikatan batin. Tanpa ikatan batin, ikatan lahir mudah sekali terlepas. Jalinan ikatan lahir dan ikatan batin itulah yang menjadi pondasi yang kokoh dalam membangun dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.53

Rumah tangga yang dibentuk haruslah didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa norma-norma (hukum) agama harus menjiwai perkawinan dan pembentukan keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu, jelaslah bahwa perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak semata-mata hubungan hukum saja antara seorang pria dan seorang wanita, tetapi juga mengandung aspek-aspek lainnya seperti agama, biologis, sosial, dan adat-istiadat.54 Agar tujuan tercapai, maka setelah terjadinya perkawinan harus ada keseimbangan kedudukan antara suami isteri. Dengan demikian, segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga merupakan hasil putusan bersama antara suami isteri berdasarkan hasil perundingan yang didasari oleh sifat musyawarah.55

B. Pengertian Wali dan Macam-macam Wali dalam Perkawinan

Wali nikah dalam suatu perkawinan merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Menurut Abdullah

52Yani Trizakia,Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 29. 53Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Radja

Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 27.

54Ibid.

55Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang tentang Perkawinan serta Peraturaan Pelaksanaannya, Tarsito, Bandung , 1992, hal. 16.


(56)

Kelib, wali di dalam perkawinan adalah orang yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya, sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak terdapat wali yang menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria.56

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ijab di dalam perkawinan menurut Hukum Islam adalah wewenang wali semata-mata. Sehingga karena peranan wali yang mempunyai arti penting akan tetap dipertahankan apabila wanita itu tidak mempunyai wali nasab bisa digantikan kedudukannya oleh wali hakim.

Mengenai masalah wali menurut hukum Islam hanya pihak wanita sajalah yang memerlukan wali dalam melakukan perkawinan dimana wali itu selalu laki-laki orangnya. Adapun berbagai macam wali itu antara lain disebutkan dalam Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan bahwa :

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari 2 : a. Wali nasab

b. Wali hakim

Wali nasab adalah pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah. Adapun yang termasuk ke dalam wali nasab ini, menurut Mazhab Syafi`i memberikan urutan :

1. Bapak, kakek (orang tua bapak) dan seterusnya ke atas 2. Saudara laki-laki kandung sebapak seibu

3. Saudara laki-laki sebapak lain ibu

4. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung

5. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya 6. Paman, yaitu saudara dari bapak sekandung


(57)

8. Anak-anak paman kandung (saudara sepupu) 9. Anak laki-laki paman sebapak

Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. Pejabat yang dimaksud adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, dan atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam (Kasie URAIS) kabupaten/kota di wilayah Indonesia atas nama Menteri Agama menunjuknya menjadi wali hakim untuk sementara apablia ternyata ka KUA berhalangan atau tidak ada dan pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.57

Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 macam: 1. Wali Nasab

2. Wali Hakim 3. Wali Tahkim

Wali tahkim yaitu wali yang diminta oleh perempuan untuk menjadi wali/menikahkannya. Wali tahkim terjadi ketika wali nasab dan wali hakim tidak ada. Macam-macam wali termasuk dalam hal ini untuk melakukan perkawinan dapat digolongkan berdasarkan sudut pandang yang dipakai untuk itu, antara lain: a. Dilihat Objek Perwaliannya

Para ulama fiqih sependapat bahawa wali dalam perkawinan (wilayah Tazwij) ditinjau dari segi objek perwaliannya dapat digolongkan menjadi wali mujbir dan


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya serta analisis kualitatif terhadap hasil penelitian lapangan, maka berikut ini dikemukakan beberapa kesimpulan dan disertai dengan saran.

A. Kesimpulan

1. Pada umumnya faktor penyebab terjadinya wali adhal dalam perkawinan adalah karena faktor perbedaan suku bangsa, berbeda agama, tidak sederajat/ tidak kufu dalam kehidupan sosial ekonomi dan mempelai laki-laki tidak diketahui dengan jelas mengenai asal usulnya. Namun pada sengketa yang diajukan ke Pengadilan Agama Nomor 215/Pdt.P/2011/PA.JS yang menjadi alasan wali nasab tidak bersedia menjadi wali nikah karena wali nikah tidak suka dengan pemohon dan calon suami pemohon dan ingin memberi pelajaran kepada pemohon yang tidak mengikuti nasehat mereka untuk tidak melanjutkan niatnya untuk melaksanakan pernikahan.

2. Keabsahan Perkawinan Menurut Penetapan Nomor 215/Pdt.P/2011/ Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga dapat dinyatakan sah, di mana perkawinan selanjutnya dilakukan dengan bantuan wali hakim dan kedua mempelai tidak ada halangan untuk menikah. Jadi dengan kata lain keabsahan perkawinan yang dilakukan dengan wali hakim sama halnya dengan perkawinan yang dilangsungkan dengan wali nasab.


(2)

3. Akibat hukum yang timbul dari waliadhaladalah berpindahnya kewalian dari wali nasab kepada wali hakim. Setelah dilaksanakan akad nikah oleh wali hakim maka perkawinannya sah.

B. Saran

1. Disarankan agar para pihak sebelum menyampaikan kehendak menikah agar lebih dahulu mempersiapkan persyaratan yang diperlukan termasuk izin dan kesedian wali nikah serta mengikuti prosedur pelaksanaan perkawinan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Disarankan kepada para wali agar tidak menyalahgunakan kewenangannya dengan memaksakan kehendak pribadi dalam mengambil keputusan untuk tidak bersedia menikahkan karena dapat merugikan bagi dirinya sendiri maupun kedua calon mempelai.

3. Kepada Pegawai Pencatat Nikah agar dapat memberikan sosialisasi tentang pentingnya wali dalam pelaksanaan perkawinan dan dalam melaksanakan perkawinan perlu memenuhi semua persyaratan yang berlaku, demikian juga kepada instansi terkait disarankan agar dapat meningkatkan penyuluhan hukum terhadap masyarakat tentang pentingnya wali nikah dalam melancarkan prosedur pernikahan, agar masyarakat mengetahui fungsi dari wali nikah dalam pelaksanaan dan keabsahan perkawinan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali,Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

---, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Al-Kahlani, Muhammad bin Ismail,Subulussalam, Bandung, 1976.

Ayyub, Hasan.Fikih Keluarga. Terjemahan M. Abdul Ghaffar E.M, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001.

Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4), Buku Pintar Keluarga Muslim, Semarang, 1993.

Badan Kesejahteraan Masjid Pusat, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah, Jakarta, 1992

Badrulzaman, Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1996.

Darajat, Zakiah, Ilmu Fiqih, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995.

Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama, Jakarta, 2000.

Djalil, A. Basiq,Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006.

Hadikusuma, Hilman,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1992.

Haerudin, Ahrum,Pengadilan Agama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Harahap, Marahalim, Pernikahan dengan Menggunakan Wali Hakim, Penerbit


(4)

Hartono, C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.

Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Prenada Media, Jakarta, 2003.

Hisyam, M.,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

Jauhari, Imam, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Penerbit Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.

Kartaapoetra, Rien G.,Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1988.. Kelib, Abdullah,Hukum Islam, Tugu Muda Indonesia, Semarang, 1990.

Lubis, M. Soly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Mertokusumo, Sudikno, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

Muchtar, Kamal, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1998.

Mudhor, A. Zuhdi,Memahami Hukum Perkawinan, Al-Bayan, Bandung, 1994. Mugniyah, Muhammad Jawwad. Fiqih Lima Mazhab, Terj. Maskur AB, Jakarta :

Lentera 2001.

Muthahhari, Murtadha,Wanita Dalam Islam, Penerbit Lentera, Jakarta. 1991.

Nuruddin, Amiur, & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004.

Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

Poesponoto, Soebakti, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983

Rahardjo, Satjipto,Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986. ---,Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984.


(5)

Rasyid, H. Sulaiman,Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004.

Rasyidi, Lili dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, 2001.

Rasyidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Rofiq, Ahmad,Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998 Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah,Terj Mahyuddin Shf., PT. Al-Maarif, Bandung, 1998. Saleh, K. Wantjik,Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996. Samsudin, Achmad dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian,

UNS, Semarang, 2005.

Saragih, Djaren,Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang tentang Perkawinan serta Peraturaan Pelaksanaannya, Tarsito, Bandung, 1992.

Soedaryono, Soemin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, 1992. Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Supramono, Gatot, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998

Syarifudin, Amir,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007. Thaib, Hasballah, Hukum Keluarga dalam Syari’at Islam, Universitas

Dharmawangsa, Medan, 1983.

Thalib, Sayuti,Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI, Press, Jakarta, 1998

Trizakia, Yani,Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005. Warsito, Herman, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Yunus, Mahmud, Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1994. ---, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/


(6)

B. Peraturan PerUndang-undangan Kompilasi Hukum Islam

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974tentang Perkawinan

C. Makalah/Internet

Farid Ma'ruf, Wali Tidak Mau Menikahkan, Bolehkah Nikah Dengan Wali Hakim, http://konsultasi.wordpress.com, Diakses Maret 2012.

Nasrul Azwar, Pengertian Wali Al-Amr dan Problematika, http://id.shvoong.com/, Diakses 25 Maret 2012.


Dokumen yang terkait

Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jakarta Selatan)

0 77 123

Itsbat Nikah Dan Kaitannya Dengan Status Anak Yang Lahir Sebelum Perkawinan Disahkan (Studi Pada Pengadilan Agama Klas IA Medan)

9 103 146

Hadiah Undian Yang Diperoleh Dalam Perkawinan Dan Kaitannya Dengan Harta Bersama Di Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

8 97 95

Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kaitannya Dengan Hukum Islam

3 34 94

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Produsen

0 46 132

Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Dan Anak (Studi Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/Pa.Js)

1 9 98

Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Dan Anak (Studi Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/Pa.Js)

1 4 98

Pembagian Waris Dalam Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Perkawinan Poligami di Kelurahan Cipete Selatan)

2 38 84

BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM PERKAWINAN DAN WALI ADHAL A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jaka

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jakarta Selatan)

0 0 25