Karakterisasi Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Alginat Dari Talus Turbinaria decurrens Bory

(1)

KARAKTERISASI DAN SKRINING FITOKIMIA SERTA

ISOLASI ALGINAT DARI TALUS

Turbinaria decurrens

Bory

SKRIPSI

OLEH:

BUSTAMI

NIM 111524097

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KARAKTERISASI DAN SKRINING FITOKIMIA SERTA

ISOLASI ALGINAT DARI TALUS

Turbinaria decurrens

Bor

y

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk

memperoleh

gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

BUSTAMI

NIM 111524097

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

KARAKTERISASI DAN SKRINING FITOKIMIA SERTA

ISOLASI ALGINAT DARI TALUS

Turbinaria decurens

Bory

OLEH:

BUSTAMI

NIM 111524097

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 13 Juni 2014

Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt. Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. NIP 195304031983032001 NIP 195112231980032002

Pembimbing II, Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt. NIP 195304031983032001

Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. Drs. Panal Sitorus, M.Si., Apt. NIP 195107231982032001 NIP 195310301980031002

Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt. NIP 195006121980032001

Medan, Juli 2014 Disahkan Oleh: Dekan,


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini, serta Shalawat dan Salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam kehidupan.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, yang berjudul: Karakterisasi dan Skrining Fitokimia serta Isolasi Alginat dari Talus

Turbinaria decurrens Bory”

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan, kepada Ibu Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt., dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku penasehat akademik yang memberikan bimbingan kepada penulis selama ini. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan. Ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt., Bapak Drs. Panal Sitorus, M.Si., Apt., dan Bapak Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt., selaku dosen penguji


(5)

yang memberikan masukan, kritikan, arahan, dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada orang tua, Ayahanda Syarifuddin Abdullah dan Ibunda Nurhayati Muhammad serta istri tercinta Restia Suwandini, S.E., atas doa dan dukungan baik moril maupun materil, adik tersayang, serta teman-teman seperjuangan khususnya Farmasi Ekstensi 2011 serta teman-teman Merak Kost 77 atas doa, dorongan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.

Medan, Juni 2014 Penulis,

Bustami


(6)

KARAKTERISASI DAN SKRINING FITOKIMIA SERTA ISOLASI ALGINAT DARI TALUS Turbinaria decurrens Bory

ABSTRAK

Alga coklat merupakan sumber produksi alginat yang cukup potensial, salah satu jenisnya adalah Turbinaria decurrens Bory yang belum banyak dimanfaatkan dan terdapat diperairan pantai Indonesia, khususnya di Aceh.

Tujuan penelitian ini untuk melakukan karakterisasi simplisia Turbinaria decurrens Bory, isolasi natrium alginat dan karakterisasi hasil isolasi. Identifikasi natrium alginat hasil isolasi secara kualitatif, penetapan rendemen, penetapan susut pengeringan, penetapan kadar abu total, skrining fitokimia, penetapan pH, penetapan viskositas dan analisis gugus fungsi secara spektrofotometri inframerah.

Alginat diisolasi dengan merendam simplisia dalam larutan asam klorida 5% selama 2 jam, kemudian diekstraksi dengan natrium bikarbonat 5%. Filtrat ditambahkan kalsium klorida 1%, kemudian ditambahkan asam klorida 5% untuk memperoleh asam alginate. Selanjutnya diputihkan dengan larutan hidrogen peroksida selama 6 jam, selanjutnya dilarutkan dalam larutan natrium bikarbonat 5%. Endapan natrium alginat kemudian dimurnikan dengan isopropanol 95%, kemudian dikeringkan, diidentifikasi dan dikaraterisasi

Hasil pemeriksaan organoleptis simplisia adalah berwarna coklat kehitaman, tidak berasa dan tidak berbau. Hasil mikroskopik serbuk simplisia terlihat adanya sel-sel parenkim yang berisi pigmen berwarna coklat dan terdapat sel propagule yang memiliki dua sel. Simplisia mengandung kadar air 9,986%, kadar sari larut air 12,91%, kadar sari larut etanol 2,09%, kadar abu total 14,96%, kadar abu tidak larut asam 0,74%. Hasil skrining fitokimia simplisia mengandung senyawa golongan glikosida, saponin, tanin dan triterpenoid/ steroid. Identifikasi natrium alginat secara kualitatif memberikan hasil yang positif, rendemen natrium alginat tertingi adalah 34,94% tanpa pemutih dan rendemen natrium alginat terendah adalah 6,20% dengan konsentrasi pemutih 5,0%. Penetapan susut pengeringan natrium alginat 6,45%, kadar abu total 14,96%, kadar abu tidak larut asam 0,74%. Penetapan viskositas adalah 29,16 cps yang diperoleh tanpa pemutih dan warna serbuk coklat kehitaman, sedangkan natrium alginat yang menggunakan konsentrasi pemutih 5,0% diperoleh viskositas 15,33 cps dan serbuknya berwarna putih kekuningan. Hasil spektrofotometri inframerah menunjukkan adanya gugus O-H (3425 cm-1), gugus C-H alifatik (2924 cm-1) gugus C=O (1604 cm-1), ikatan C-O-H (1411 cm-1) dan ikatan C-O-C (1033 cm-1), spektrum natrium alginat hasil isolasi sesuai dengan spektrum natrium alginat pembanding.


(7)

CHARACTERIZATION SCREENING OF PHYTOCHEMICAL AND ISOLATION OF ALGINATE FROM Turbinaria decurensBory

THALLUS

ABSTRACT

Brown alga is one of alginate source which is quite potential, one of the species is Turbinaria decurrens Bory which had not been used widely and avaible in the coastal region of Indonesia, especially in Aceh.

The purpose of this study was to determinate the simplex characterization of Turbinaria decurrens Bory, isolation of sodium alginate and characterization of the isolate. The identification of sodium alginate from isolate qualitatively, yield determination, phytochemical screening, ph determination, viscocity and fuctional group analysisis by infra red spectrophotometer.

The alginate was isolated by soaked simplex in 5% chloride acid solution for 2 hours and then extracted with 5% sodium bicarbonat solution. The filtrate was added 1% calcium chloride solution, and then was added with 5% chloride acid solution to form alginic acid. Then was bleached with hydrogen perokside for 6 hours, redissolved in 5% sodium bicarbonat solution. The precipitate was cleaned by 95% isopropanol, was dried, identification and isolation.

The result of simplex organoleptic identification is brownish black, tasteless and odourless. The microscopic result of simplex powder is seen by presence of parenchymal cells which contain brown pigmen and propagule cells which have two cells. The simplex contain the water content 9.986 %, water soluble exctract content 12.91 %, ethanol solubleextract content 2.09 %, total ash content 14.96 %, acid insoluble extract content 0.74 %. The result of phytochemical screening of simplex contain glycoside, saponin, tannin and triterpenoid/steroid. the identification of sodium alginate qualitatively give positive result, the highest yield of sodium alginate is 34,94 % without bleach and the lowest yield of sodium alginate is 6.20 % with bleach consentration 5.0%. The drying shrinkage value of sodium alginate is 6.45 %. The viscocity is 29.16 cps which is obtained without bleach and brownish black powder, white sodium alginate with bleach consentration 5.0 % is 15.33 cps and yellowish white powder. The result of infra red spectrophotometry indicate the presence of O-H group (3425 cm-1), aliphatic C-H (2924 cm-1) group C=O (1604 cm-1), C-O-H bond (1411 cm1) and C-O-C bond (1033 cm-1), the spectrum of isolate is suitable with the spectrum of marker sodium alginate. Keywords: Turbinaria decurensBory, sodium alginate isolation, identification.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tumbuhan ... 6

2.1.1 Habitat dan sebaran rumput laut ... 6


(9)

2.1.3 Sistematika tumbuhan ... 7

2.1.4 Nama daerah ... 7

2.1.5 Kandungan kimia Turbinaria decurrens Bory ... 7

2.1.6 Budidaya rumput laut ... 8

2.1.7 Manfaat Turbinaria decurrens Bory ... 9

2.2 Alginat ... 9

2.2.1 Struktur alginat ... 10

2.2.2 Sifat fisikokimia alginat ... 12

2.2.3 Pembentukan gel alginat ... 13

2.3 Rumput Laut Penghasil Alginat ... 14

2.4 Penggunaan Alginat ... 15

2.5 Viskositas ... 18

2.5.1 Metode pengukuran dengan viskometer brookfield ... 18

2.6 Spektrofotometri Infra Red ... 19

2.6.1 Spektrofotometri FTIR ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Alat ... 23

3.2 Bahan ... 23

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Tumbuhan ... 24

3.3.1 Pengumpulan bahan tumbuhan ... 24

3.3.2 Identifikasi bahan tumbuhan ... 24

3.3.3 Pemeriksaan makroskopik tumbuhan segar ... 24


(10)

3.4 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 25

3.4.1 Pereaksi asam klorida 5,0% ... 25

3.4.2 Pereaksi Bouchardat ... 25

3.4.3 Pereaksi Dragendorff ... 25

3.4.4 Pereaksi Mayer ... 25

3.4.5 Pereaksi Molish ... 26

3.4.6 Pereaksi timbale (II) asetat 0,4 ... 26

3.4.7 Pereaksi asam sulfat 2 N ... 26

3.4.8 Pereaksi asam nitrat 0,5 N ... 26

3.4.9 Pereaksi kloralhidrat ... 26

3.4.10 Pereaksi asam klorida 2 N ... 26

3.4.11 Pereaksi besi(III) klorida 1% ... 26

3.4.12 Pereaksi Lieberman-Bouchard ... 27

3.4.13 Pereaksi asam klorida 5% ... 27

3.4.14 Pereaksi kalsium klorida 1,0% ... 27

3.4.15 Pereaksi natrium karbonat 5,0% ... 27

3.4.16 Pereaksi hydrogen peroksida 1% ... 27

3.4.17 Pereaksi hydrogen peroksida 2% ... 27

3.4.18 Pereaksi hydrogen peroksida 3% ... 27

3.4.19 Pereaksi hydrogen peroksida 4% ... 28

3.4.20 Pereaksi hydrogen peroksida 5% ... 28

3.4.21 Pereaksi natrium klorida 0,1N ... 28


(11)

3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 28

3.5.1 Pemeriksaan makroskopik ... 28

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 28

3.5.3 Penetapan kadar air ... 29

3.5.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam air ... 29

3.5.5 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol ... 30

3.5.6 Penetapan kadar abu total ... 30

3.5.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam ... 30

3.6 Skrining Fitokimia ... 31

3.6.1 Alkaloid ... 31

3.6.2 Flavonoid ... 32

3.6.3 Glikosida ... 32

3.6.4 Glikosida sianogenik ... 33

3.6.5 Glikosida atrakinon ... 33

3.6.6 Saponin ... 34

3.6.7 Tanin ... 34

3.6.7 Triterpenoid/Steroid ... 34

3.7 Isolasi Natrium Alginat ... 34

3.7.1 Tahap praekstraksi ... 35

3.7.2 Tahap ekstraksi ... 35

3.7.3 Tahap pembuatan natrium alginat ... 35

3.8 Pemeriksaan Karakteristik Natrium Alginat ... 35


(12)

3.8.2 Penetapan susut pengeringan ... 36

3.8.3 Penetapan kadar abu total ... 36

3.8.4 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam ... 36

3.8.4 Penetapan pH ... 36

3.8.5 Penetapan viskositas ... 37

3.8.6 Karakteristik natrium alginat secara spektrofotometri inframerah ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 38

4.2 Hasil Karakteristik Tumbuhan Segar dan Simplisia ... 38

4.2 Hasil Skrining Fitokimia ... 40

4.3 Hasil Isolasi Natrium Alginat ... 42

4.4 Hasil Karakteristik Natrium Alginat ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1 Kesimpulan ... 50

5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Turbinaria decurens ... 39 4.1 Skrining Fitokimia Simplisia Rumput Laut

Turbinaria decurens ... 40 4.2 Hasil Rendemen Natrium Alginat dengan Berbagai Konsentrasi

Pemutih ... 43 4.3 Uji Kualitatif Natrium Alginat ... 45 4.4 Spesifikasi Natrium Alginat Hasil Isolasi Dibandingkan dengan

Pustaka (Handbook of Pharmaceutical Excipients) ... 46 4.5 Viskositas, pH dan Warna Natrium Alginat dengan Berbagai

Konsentrasi Pemutih ... 47 4.6 Data Spektrum Inframerah Natrium Alginat Hasil Isolasi dan


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 2.1 Struktur Asam Alginat ... 11


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 55 2. Gambar Makroskopik Tumbuhan Segar dan Simplisia

Turbinaria decurens ... 56

3. Gambar Mikroskopik Serbuk Simplisia Turbinaria decurens ... 58 4. Perhitungan Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Turbinaria decurens ... 59 5. Perhitungan Karakteristik Natrium Alginat

dari Turbinaria decurens ... 65 6. Perhitungan Penetapan Susut Pengeringan ... 66 7. Perhitungan Viskositas Natrium Alginat ... 67 8. Gambar Spektrum Inframerah Sampel Natrium Alginat dan

Pembanding Natrium Alginat ... 68 9. Gambar alat spektrofotometer FTIR ... 69


(16)

KARAKTERISASI DAN SKRINING FITOKIMIA SERTA ISOLASI ALGINAT DARI TALUS Turbinaria decurrens Bory

ABSTRAK

Alga coklat merupakan sumber produksi alginat yang cukup potensial, salah satu jenisnya adalah Turbinaria decurrens Bory yang belum banyak dimanfaatkan dan terdapat diperairan pantai Indonesia, khususnya di Aceh.

Tujuan penelitian ini untuk melakukan karakterisasi simplisia Turbinaria decurrens Bory, isolasi natrium alginat dan karakterisasi hasil isolasi. Identifikasi natrium alginat hasil isolasi secara kualitatif, penetapan rendemen, penetapan susut pengeringan, penetapan kadar abu total, skrining fitokimia, penetapan pH, penetapan viskositas dan analisis gugus fungsi secara spektrofotometri inframerah.

Alginat diisolasi dengan merendam simplisia dalam larutan asam klorida 5% selama 2 jam, kemudian diekstraksi dengan natrium bikarbonat 5%. Filtrat ditambahkan kalsium klorida 1%, kemudian ditambahkan asam klorida 5% untuk memperoleh asam alginate. Selanjutnya diputihkan dengan larutan hidrogen peroksida selama 6 jam, selanjutnya dilarutkan dalam larutan natrium bikarbonat 5%. Endapan natrium alginat kemudian dimurnikan dengan isopropanol 95%, kemudian dikeringkan, diidentifikasi dan dikaraterisasi

Hasil pemeriksaan organoleptis simplisia adalah berwarna coklat kehitaman, tidak berasa dan tidak berbau. Hasil mikroskopik serbuk simplisia terlihat adanya sel-sel parenkim yang berisi pigmen berwarna coklat dan terdapat sel propagule yang memiliki dua sel. Simplisia mengandung kadar air 9,986%, kadar sari larut air 12,91%, kadar sari larut etanol 2,09%, kadar abu total 14,96%, kadar abu tidak larut asam 0,74%. Hasil skrining fitokimia simplisia mengandung senyawa golongan glikosida, saponin, tanin dan triterpenoid/ steroid. Identifikasi natrium alginat secara kualitatif memberikan hasil yang positif, rendemen natrium alginat tertingi adalah 34,94% tanpa pemutih dan rendemen natrium alginat terendah adalah 6,20% dengan konsentrasi pemutih 5,0%. Penetapan susut pengeringan natrium alginat 6,45%, kadar abu total 14,96%, kadar abu tidak larut asam 0,74%. Penetapan viskositas adalah 29,16 cps yang diperoleh tanpa pemutih dan warna serbuk coklat kehitaman, sedangkan natrium alginat yang menggunakan konsentrasi pemutih 5,0% diperoleh viskositas 15,33 cps dan serbuknya berwarna putih kekuningan. Hasil spektrofotometri inframerah menunjukkan adanya gugus O-H (3425 cm-1), gugus C-H alifatik (2924 cm-1) gugus C=O (1604 cm-1), ikatan C-O-H (1411 cm-1) dan ikatan C-O-C (1033 cm-1), spektrum natrium alginat hasil isolasi sesuai dengan spektrum natrium alginat pembanding.


(17)

CHARACTERIZATION SCREENING OF PHYTOCHEMICAL AND ISOLATION OF ALGINATE FROM Turbinaria decurensBory

THALLUS

ABSTRACT

Brown alga is one of alginate source which is quite potential, one of the species is Turbinaria decurrens Bory which had not been used widely and avaible in the coastal region of Indonesia, especially in Aceh.

The purpose of this study was to determinate the simplex characterization of Turbinaria decurrens Bory, isolation of sodium alginate and characterization of the isolate. The identification of sodium alginate from isolate qualitatively, yield determination, phytochemical screening, ph determination, viscocity and fuctional group analysisis by infra red spectrophotometer.

The alginate was isolated by soaked simplex in 5% chloride acid solution for 2 hours and then extracted with 5% sodium bicarbonat solution. The filtrate was added 1% calcium chloride solution, and then was added with 5% chloride acid solution to form alginic acid. Then was bleached with hydrogen perokside for 6 hours, redissolved in 5% sodium bicarbonat solution. The precipitate was cleaned by 95% isopropanol, was dried, identification and isolation.

The result of simplex organoleptic identification is brownish black, tasteless and odourless. The microscopic result of simplex powder is seen by presence of parenchymal cells which contain brown pigmen and propagule cells which have two cells. The simplex contain the water content 9.986 %, water soluble exctract content 12.91 %, ethanol solubleextract content 2.09 %, total ash content 14.96 %, acid insoluble extract content 0.74 %. The result of phytochemical screening of simplex contain glycoside, saponin, tannin and triterpenoid/steroid. the identification of sodium alginate qualitatively give positive result, the highest yield of sodium alginate is 34,94 % without bleach and the lowest yield of sodium alginate is 6.20 % with bleach consentration 5.0%. The drying shrinkage value of sodium alginate is 6.45 %. The viscocity is 29.16 cps which is obtained without bleach and brownish black powder, white sodium alginate with bleach consentration 5.0 % is 15.33 cps and yellowish white powder. The result of infra red spectrophotometry indicate the presence of O-H group (3425 cm-1), aliphatic C-H (2924 cm-1) group C=O (1604 cm-1), C-O-H bond (1411 cm1) and C-O-C bond (1033 cm-1), the spectrum of isolate is suitable with the spectrum of marker sodium alginate. Keywords: Turbinaria decurensBory, sodium alginate isolation, identification.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Alga atau rumput laut yang juga dikenal dengan seaweed merupakan bagian terbesar dari tanaman laut. Perairan Indonesia yang merupakan 70 % dari wilayah Nusantara, mempunyai potensi rumput laut yang cukup besar (Winarno, 1990). Alga yang hidup di perairan Indonesia sangat beragam sekitar 782 jenis, 134 diantaranya merupakan jenis alga coklat. Di Indonesia jenis alga diatas bernilai ekonomis dan telah diperdagangkan sejak dahulu, yaitu dari golongan alga coklat yaitu Hormophysa sp., Padina sp., Sargassum sp. dan Turbinaria sp. (Anggadiredja, dkk., 2011).

Alga tumbuh dan tersebar hampir diseluruh perairan Indonesia, dan daerah yang mempunyai potensi sebagai penghasil alga cukup luas antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku (Aslan, 1998). Adapun rumput laut sebagai penghasil alginat yang ada di Indonsia berasal dari genus. Sargassum dan

Turbinaria (Lobban dan Wynne, 1981).

Alga coklat merupakan sumber penghasil alginat yaitu suatu jenis polisakarida yang terdiri dari asam manuronat dan asam guluronat, juga mengandung pigmen klorofil a dan c, β karoten, violasantin dan fukosantin di samping itu juga mengandung vitamin (C, B12, niasin dan tokoferol). Selain itu, alga coklat juga merupakan sumber penghasil iodium. Jenis-jenis bernilai


(19)

ekonomis penting dari alga coklat yang tumbuh di perairan Indonesia yaitu

Sargassum dan Turbinaria (Lobban dan Wayne, 1981; Marpaung, 2005).

Turbinaria decurrens adalah salah satu jenis alga coklat yang

merupakan sumber alginat yang belum banyak dimanfaatkan dan terdapat di perairan Indonesia, khususnya Propinsi Aceh yaitu di daerah pantai Lampu`uk, Kecamatan Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar, yang oleh orang Aceh setempat dikenal dengan nama Jamrud. Di daerah ini, talus Turbinaria decurrens Bory belum ada pemanfaatan secara optimal, sehingga banyak yang mati dan terbuang sia-sia.

Peneliti terdahulu telah melakukan penelitian terhadap delapan spesies alga coklat sebagai penghasil alginat yaitu Sargassum crassifolium J.G. Agardh dan Turbinaria conoides J.G. Agardh (Supomo, 2002), Hormophysa triquetra

(L) J. Agardh (Susanti, 2003), Sargassum ilicifolium (Turner) C. Agardh (Aris, dkk., 2012) dan Sargassum polycystum C. Agardh (Aryani, 2004), Sargassum plagyophyllum (Martens) J.G. Agardh (Rimelda, 2013), Sargassum ilicifolium gracilaria gigas Harvey (Harahap, 2013).

Alginat dalam pemanfaatannya berupa natrium alginat yaitu suatu garam alginat yang larut dalam air. Natrium alginat banyak digunakan untuk kebutuhan industri misalnya industri farmasi, makanan, tekstil, cat dan beberapa industri lainnya (Rasyid, 2005). Diperdagangan warna dan viskositas natrium alginat merupakan persyaratan kualitas yang telah ditetapkan, yaitu persyaratan warna serbuk natrium alginat adalah berwarna putih kekuningan


(20)

sampai putih, sedangkan viskositas natrium alginat adalah 20-400 cps (Anggadiredja, dkk., 2011; Rowe, dkk., 2009).

Alginat menempati urutan teratas untuk industri polisakarida alga di dunia saat ini.Untuk memproduksi 30.000 ton rata-rata alginat setiap tahunnya dibutuhkan 125.500 ton rumput laut kering. Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor rumput laut dengan jumlah mencapai 50.118 ton dengan nilai US$ 24.322.445 dan terus meningkat tiap tahunnya. Tidak berkembangnya industri alginat dalam negeri mengakibatkan Indonesia harus mengimpor alginat dalam jumlah yang cukup besar yang mencapai sekitar 1.100 ton setiap tahunnya dengan nilai US$ 420.000. Industri alginat yang dimiliki Indonesia hanya ada dua, yaitu di Bandung dan Surabaya, itu pun tanpa adanya jaminan pasokan bahan baku yang kontinu (Anggadiredja, dkk., 2011).

Berdasarkan uraian di atas bahwa bahan baku natrium alginat banyak dibutuhkan, maka peneliti melakukan penelitian terhadap alga coklat jenis

Turbinaria decurrens yang meliputi skrining fitokimia, karakterisasi simplisia, isolasi natrium alginat menggunakan pemutih hidrogen peroksida dengan perbandingan berbagai konsentrasi. Identifikasi natrium alginat secara kualitatif, penetapan rendemen, karakterisasi natrium alginat yang meliputi penetapan susut pengeringan, penetapan viskositas, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut asam, skrining fitokimia serta identifikasi gugus fungsi dengan cara spektrofotometri inframerah.


(21)

1.2Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. Apakah karakteristik dari simplisia talus Turbinaria decurrens Bory memenuhi persyaratan yang ditetapkan?

b. Apakah golongan metabolit sekunder yang terkandung di dalam simplisia talus Turbinaria decurrens Bory?

c. Apakah konsentrasi pemutih mempengaruhi karakteristik natrium alginat?

d. Apakah karakteristik natrium alginat hasil isolasi dari simplisia talus

Turbinaria decurrens Borymemenuhi persyaratan?

1.3Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

a. Karakteristik dari simplisia rumput laut Turbinaria decurrens Bory memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

b. Golongan metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia talus

Turbinaria decurrens Bory glikosida, saponin, tanin, triterpenoid/ steroid

c. Konsentrasi pemutih mempengaruhi karakteristik natrium alginat.

d. Karakteristik alginat darihasil isolasi dari talus Turbinaria ducerrens


(22)

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan pada penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui karakterisasi simplisia talus Turbinaria decurrens

Bory.

b. Untuk mengidentifikasi golongan metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia talus Turbinaria decurrens Bory.

c. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi pemutih terhadap karakteristik natrium alginat.

d. Untuk mengkarakterisasi alginat yang diisolasi dari simplisia talus

Turbinaria decurrens Bory.

1.5 Manfaat Penelitian

Memberikan informasi tambahan terhadap kemajuan penelitian alginat di Indonesia dan meningkatkan nilai tambah alga coklat Indonesia, khususnya jenis Turbinaria decurrens Bory untuk menjadi salah satu bahan baku alginat di masa yang akan datang.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Rumput laut tergolong tumbuhan berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang, maupun daun sejati. Tetapi hanya menyerupai batang yang disebut talus. Rumput laut tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya. Selain benda mati, rumput laut pun dapat melekat pada tumbuhan lain secara epifitik (Anggadiredja, dkk., 2010).

2.1.1 Habitat dan sebaran rumput laut

Alga hijau dan alga hijau biru banyak yang hidup dan berkembang di air tawar. Sedangkan alga coklat (kelp/rockweed) dan alga merah hampir secara eksklusif sebagai habitat laut dan kelompok ini yang lebih banyak dikenal sebagai rumput laut atau seaweed (Winarno, 1990). Turbinaria sp. tersebar luas di Indonesia, tumbuh di perairan yang terlindung maupun yang berombak besar pada habitat batu (Aslan, 1998). Rumput laut jenis ini mampu tumbuh pada substrat batu karang di daerah berombak. Indikator jenis untuk jenis ini antara lain Turbinaria sp., Gelidium sp., Caulerpa sp., dan Padina sp.

(Anggadiredja, dkk., 2010) 2.1.2 Morfologi tumbuhan

Ciri-ciri jenis ini yaitu “batang” silindris, kasar, terdapat bekas-bekas percabangan. Holdfast berbentuk cakram kecil dengan terdapat perakaran yang


(24)

berekspansi radial. Percabangan berputar sekeliling batang utama. Bentuk “daun” menyerupai kerucut segitiga, pinggirnya bergerigi (Atmadja, 1996) 2.1.3 Sistematika tumbuhan

Taksonomi rumput laut Turbinaria decurrens Bory diklasifikasikan sebagai berikut: (LIPI, 2013).

Divisi : Phaeophyta Kelas : Phaeophyceae Bangsa : Fucales Suku : Sargassaceae Marga :Turbinaria

Jenis :Turbinaria decurrens Bory 2.1.4 Nama daerah

Nama daerah dari Turbinaria decurrens Bory adalah Jamrud (Aceh). 2.1.5 Kandungan kimia Turbinaria decurrens Bory

Turbinaria decurrens Bory merupakan rumput laut penghasil alginat. Alginat merupakan fitokoloid atau hidrokoloid yang diekstraksi dari

Phaeophyceae (alga coklat). Senyawa tersebut merupakan suatu polimer linier yang tersusun oleh dua unit monomerik, yaitu β-D-mannuronic acid dan α -L-guluronic acid (Anggadiredja, dkk., 2010). Pigmen santotif yang memberikan warna coklat, sargatriol yang merupakan senyawa diterpen (Ragan, 1981). 2.1.6 Budidaya rumput laut

Secara umum, budidaya rumput laut di perairan pantai (laut) amat cocok diterapkan pada daerah yang memiliki lahan tanah sedikit (sempit) serta


(25)

berpenduduk padat, sehingga diharapkan pembukaan lahan budidaya rumput laut di perairan tersebut bisa menjadi salah satu alternatif terbaik untuk membantu mengatasi lapangan kerja yang semakin kecil, khususnya di Pulau Jawa (Aslan, 1998).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membudidayakan rumput laut di perairan pantai (laut) adalah pemilihan lokasi, melakukan uji penanaman, menyiapkan areal budidaya, memilih metode budidaya yang akan digunakan, penyediaan bibit, penanaman bibit, perawatan selama pemeliharaan, pemanenan, pengeringan hasil panen (Aslan, 1998).

2.1.7 Manfaat Turrbinaria decurrens Bory

Di Indonesia, pemanfaatan rumput laut jenis Turbinaria belum banyak. Kandungan kimia yang dimanfaatkan berupa alginat dan iodine (Atmadja, 1996).

Turbinaria telah digunakan sebagai pupuk di Cina, dan di Jepang, Sri Lanka, dan India spesies yang dianggap tidak cocok untuk konsumsi manusia juga telah digunakan (Waaland, 1981).

Sebagai pupuk, rumput laut memiliki banyak kandungan nitrogen dan kalium tetapi rendah fosfat dan harus dilengkapi dengan fosfat untuk digunakan pada sebagian besar tanaman. Komposisi spesies yang digunakan sebagai pupuk bervariasi tergantung pada kondisi musiman dan letak geografis. Dibandingkan dengan pupuk kotoran, rumput laut memiliki nilai nitrogen yang sama, kandungan fosfat sekitar sepertiga, dan kandungan kalium sekitar tiga kali lebih banyak. Besarnya kadar senyawa organik sama dan bermanfaat


(26)

dalam meningkatkan retensi air dan sifat mekanik tanah. Keuntungan rumput laut sebagai pupuk adalah bebas dari biji gulma dan spora jamur yang dapat merugikan tanaman. Selain kadar pupuk, rumput laut dan ekstrak rumput laut mengatur pertumbuhan dan pematangan tanaman karena berkaitan erat dengan auksin, sitokinin, dan giberelin dan dapat menghambat patogen tertentu, termasuk virus pembawa kutu daun dan beberapa jamur (Waaland, 1981).

2.2 Alginat

Alginat adalah salah satu kelompok polisakarida yang terbentuk dalam dinding sel rumput laut coklat dengan kadar mencapai 40% dari total berat kering dan memegang peranan penting dalam mempertahankan struktur jaringan alga (Rasyid, 2003). Alginat dalam rumput laut coklat umumnya bersenyawa dengan garam natrium, kalium, kalsium, dan magnesium (Yulianto, 2007).

Alginat merupakan fitokoloid atau hidrokoloid yang diekstraksi dari

Phaeophyceae (alga coklat). Senyawa tersebut merupakan suatu polimer linier yang tersusun oleh dua unit monomerik, yaitu β-D-mannuronic acid dan α -L-guluronic acid. Alginat disintesa pertama kali oleh Stanford pada tahun 1880 (Chapman dan Chapman, 1980). Rumput laut komersil sebagai penghasil alginat berasal dari genus-genus Laminaria, Lessonia, Ascophyllum,

Sargassum, dan Turbinaria (Anggadiredja, dkk., 2010).

Alginat adalah sejenis bahan yang dikandung oleh Phaeophyceae


(27)

Asam alginik adalah suatu getah selaput (membrane mucilage), sedangkan alginat dalam bentuk garam dari asam alginik. Garam alginat ada yang larut dalam air yaitu natrium alginat, kalium alginat dan ammonium alginat, sedangkan yang tidak larut dalam air adalah kalsium alginat (Aslan, 1998). 2.2.1 Struktur alginat

Alginat merupakan komponen utama dari getah ganggang coklat (Phaeophyceae), dan merupakan senyawa penting dalam dinding sel spesies ganggang yang tergolong dalam kelas Phaeophyceae. Secara kimia, alginat merupakan polimer murni dari asam uronat yang tersusun dalam bentuk rantai linier yang panjang (Winarno, 1990).

Stanford adalah orang pertama yang berhasil mengisolasi alginat berpendapat alginat merupakan suatu molekul yang mengandung unsur nitrogen dengan rumus molekul C76H76O22(NH2)2. Tetapi dari metode isolasi yang telah dikembangkan menunjukkan tidak ditemukan adanya nitrogen dalam struktur molekul alginat. Namun demikian saat ini alginat dianggap sebagai poliuronida yang terdiri dari asam D-mannuronat dan L-guluronat dan adanya kemungkinan ikatan lain di dalamnya (Furia, 1972).

Terdapat dua jenis monomer penyusun algin, yaitu β-D-mannopiranosil

uronat (M) dan α-L-asam gulopiranosil uronat (G). Dari kedua jenis monomer tersebut, alginat dapat berupa homopolimer yang terdiri dari monomer sejenis,

yaitu β-D-asam-mannopiranosil uronat saja (c) atau α-L-asam gulopiranosil uronat saja (a); atau alginat dapat juga berupa senyawa heteropolimer jika


(28)

monomer penyusunannya adalah gabungan kedua jenis monomer tersebut (b) (An Ullman’s, 1998), seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1. Struktur alginat

Menurut Marsh et al., Lunde et al., Hirst dan Spekman, rumus molekul alginat adalah (C6H8O6)n. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Dillon menyatakan bahwa rumus alginat adalah (C6H10O7)n dimana n adalah bilangan yang berkisar antara 80-83 (Chapman dan Chapman, 1980).

Bobot molekul alginat bervariasi, tergantung pada jenis alginat, sumber bahan baku yang digunakan, dan cara penyiapan bahan baku. Menurut Cooket al. dan Smidsrod et al., bobot molekul alginat berkisar antara 350.000-1.500.000 (Chapman dan Chapman, 1980). Sedangkan menurut Furia (1972), alginat yang diperdagangkan mempunyai berat ekivalen antara 194-215. Alginat yang diperdagangkan mempunyai bobot molekul antara 22.000-200.000 dengan tingkat polimerisasi antara 180-930.


(29)

2.2.2 Sifat fisikokimia alginat

Sifat-sifat alginat sebagian besar tergantung pada tingkat polimerisasi dan perbandingan komposisi guluronan dan mannuronan dalam molekul. Asam alginat tidak larut dalam air dan mengendap pada pH <3,5. Alginat tidak dapat larut dalam pelarut organik tetapi dapat mengendap dengan alkohol. Alginat paling stabil pada pH antara 4-10, tetapi pada pH yang lebih tinggi viskositasnya sangat kecil akibat adanya degradasi β-eliminatif (Rasyid, 2003). Tetapi pada pH di bawah 4,5 dan di atas 11 viskositasnya akan mudah terdegradasi atau labil (Yulianto, 2007).

Kelarutan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat jika jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pada pH di bawah 3 terjadi pengendapan. Alginat memiliki sifat-sifat utama :

1. Kemampuan untuk larut dalam air serta meningkatkan viskositas larutan.

2. Kemampuan untuk membentuk gel.

3. Kemampuan membentuk film (natrium atau kalsium alginat) dan serat (kalsium alginat) (Abadi, 2010).

2.2.3 Pembentukan gel alginat

Salah satu sifat terpenting dalam pemanfaatan natrium alginat, kalium alginat, maupun magnesium alginat adalah kemampuannya untuk membentuk gel yang bereaksi dengan ion-ion kalsium. Sumber-sumber kalsium biasanya


(30)

berupa kalsium karbonat, kalsium sulfat, kalsium klorida, kalsium fosfat, dan kalsium tartrat. Selain memiliki kemampuan membentuk gel, alginat juga digunakan sebagai pengental (pengikat air), pengemulsi, penstabil, dan bahan pembentuk filmstrip (Kirk dan Othmer, 1994).

Sifat spesifik di atas ditentukan oleh prosentase dari setiap unit-unit monomer penyusunnya. Misalnya, alginat dengan prosentase poli (asam guluronat) lebih tinggi akan membentuk gel yang kaku dan lebih rapuh. Alginat dengan prosentase poli (asam mannuronat) lebih tinggi akan membentuk gel yang elastis. Bentuk gel alginat yang berbeda-beda tersebut dibuat dari bahan baku yang berbeda pula (Hui, 1992).

Alginat yang biasa digunakan untuk kebutuhan industri (misalnya industri makanan, farmasi, kosmetik, tekstil, cat, dan beberapa industri lainnya) meliputi natrium alginat, kalium alginat, ammonium alginat, campuran kalsium-amonium alginat, campuran kalsium-natrium alginat yang merupakan garam-garam dari asam alginat dan propilen glikol alginat. Alginat yang larut dalam air diproduksi dalam berbagai bentuk partikel (butiran atau serabut), bobot molekul, kadar kalsium, ukuran partikel, dan rasio asam mannuronat terhadap asam guluronat (Kirk dan Othmer, 1994).

2.3 Rumput Laut Penghasil Alginat

Algin dapat diekstrak dari Alginophyt, yaitu kelompok dari

Phaeophyceae yang menghasilkan algin, antara lain dari Macrocystis,


(31)

Pada dasarnya, semua jenis alga coklat mengandung alginat, namun demikian kebanyakan alginat yang diproduksi secara komersial, diekstraksi hanya dari sejumlah kecil spesies. Misalnya di Amerika, alginat diekstraksi hanya dari Macrocystis pyrifera yang tumbuh di sepanjang pantai Barat kepulauan Amerika Utara yaitu dari Meksiko sampai California. Sedangkan di Kanada, alginat diekstraksi dari Ascophyllum nodosum yang tumbuh sepanjang pantai bagian Selatan Nova Scotia. Sementara itu industri-industri alginat di Eropa terutama di Inggris, Norwegia, dan Perancis melakukan ekstraksi alginat dari Ascophyllum nodosum, Laminaria hyperborea, dan Laminaria digitata. Alga coklat penting lainnya yang digunakan untuk ekstraksi alginat adalah

Ecklonia maxima dan Lessonia nigrescans (Kirk dan Othmer, 1994).

Adapun spesies alga coklat asal perairan pantai Indonesia yang memiliki potensi untuk diolah menjadi alginat adalah Sargassum sp.,

Turbinaria sp., Hormophysa sp., dan Padina sp. Keempat spesies alginofit (alga penghasil alginat) tersebut masih diperoleh dari sediaan alami. Negara yang memiliki industri alginat cukup besar adalah Jepang dan Korea (Rasyid, 2003).

2.4 Penggunaan Alginat

Alginat banyak digunakan pada industri kosmetik untuk membuat sabun, krim, lotion, sampo dan pencelup rambut. Industri farmasi memerlukannya untuk pembuatan suspensi, emulsifier, stabilizer, tablet, salep, kapsul, plester dan filter. Dalam industri bahan makanan algin banyak dijadikan sayur, saus, dan mentega. Dalam beberapa proses industri algin juga


(32)

diperlukan sebagai bahan additive antara lain pada industri tekstil, kertas, keramik, fotografi, insektisida, pestisida, pelindung kayu dan pencegah api (Aslan, 1998).

Penggunaan alginat dalam berbagai industri adalah sebagai berikut: a. Industri makanan:

Alginat dapat digunakan sebagai stabilisator pada produk coklat susu, serta produk susu lainnya, seperti yoghurt, susu asam, dan lain sebagainya untuk membantu menstabilkan keutuhan/bentuk (body) dari produk tersebut (Winarno, 1990).

Alginat banyak digunakan pada produk roti-kue karena sifatnya yang bagus dalam mencengkeram air (water holding capacity) sehingga produk tersebut tidak cepat kering di udara dengan kelembaban rendah. Di samping itu, dengan penambahan alginat tekstur yang halus dapat dipertahankan. Dosis yang digunakan sekitar 0,1-0,5 persen. Alginat tersebut dapat digunakan dalam berbagai produk kue dan roti seperti cake filling dan toppings, bakery jellies, meringues, glazes, pie filling, dan lain sebagainya (Winarno, 1990).

Sifat unik yang dimiliki propilen glikol alginat yaitu sebagai emulsifier

dan bahan pengental yang sangat tepat diterapkan pada produk french dressing

(bumbu salad). Dressing dengan algin dapat tahan lama dan tidak pecah bila disimpan pada suhu tinggi maupun suhu rendah. Propilen glikol alginat cepat larut dalam air tanpa pemanasan dan sangat mudah bercampur dengan larutan asam. Dosis yang digunakan kira-kira 0,5 persen atau lebih rendah (Winarno, 1990).


(33)

Kombinasi alginat dengan garam kalsium atau asam digunakan untuk membuat candy gels (permen agar-agar) sehingga dapat dicapai tekstur empuk sampai pada pengunyahannya (chewing body gels). Candy (permen) tersebut bersifat bening dan tahan lama.Dengan algin permen memiliki retention

(penyimpanan) air yang bagus. Dosis yang digunakan sekitar 0,1-0,7 persen (Winarno, 1990).

Alginat banyak digunakan untuk proses stabilisasi buih bir. Dalam produksi bir, bila ditambahkan propilen glikol alginat 40 sampai 80 ppm (1 mg/liter), akan menghasilkan buih yang stabil, tahan lama, dan lebih creamer

(Winarno, 1990).

Pengalengan pangan yang mengandung cairan atau gravying, waktu pemrosesan (pemanasan) dikurangi dengan mengganti sebagian besar pati dengan 0,3-0,8 persen alginat. Pelepasan kalsium dihambat sehingga memiliki viskositas cukup rendah untuk membiarkan proses berlangsung secara pemanasan konveksi. Ketika suhu diturunkan setelah proses sterilisasi, ion kalsium bereaksi dengan algin sehingga menyebabkan viskositas meningkat untuk mencapai nilai akhir (Winarno, 1990).

b. Industri farmasi

Dalam pembuatan pasta, salep, atau obat kurap (ointment) juga digunakan alginat untuk memantapkan body (bentuk) dan stabilitas emulsi dari ointment tersebut. Salep yang mengandung algin mudah dioleskan dan konsentrasi yang diperlukan adalah 0,5-3,5 persen (Winarno, 1990).


(34)

c. Industri kertas dan tekstil

Di bidang industri alginat digunakan dalam berbagai bidang, diantaranya sebagai berikut:

1. Pembuatan kertas digunakan sebagai surface sizing (2.500m2 per kg),

Crafting 0,5 persen, bahan perekat (adhesive) 0,1-0,2% (Winarno, 1990). 2. Pembuatan tekstil digunakan untuk printing silk atau silk serve printing

sehingga dapat memperbaiki warna yang timbul (1,5-3%), Finishing, dan bahan perekat (adhesive) (Winarno, 1990).

3. Pada ketel uap, alginat digunakan sebagai boiler feed water compounds atau pelindung koloid. Hal ini disebabkan karena alginat dapat membuat endapan air bersifat lunak dan tidak menjadi kerak pada dinding dalam ketel uap (boiler). Sehingga endapan ini lebih mudah disingkirkan keluar tanpa banyak kesulitan. Natrium alginat dan ammonium alginat sering digunakan untuk keperluan ini (Winarno, 1990).

2.5 Viskositas

Viskositas dapat dianggap sebagai suatu sifat yang relatif dengan air sebagai bahan rujukan dan semua viskositas dinyatakan dalam istilah-istilah viskositas air murni pada suhu 20oC. Viskositas air yaitu 1,0050 centipoise disingkat dengan cps. Makin kental suatu cairan, makin besar kekuatan yang diperlukan agar cairan tersebut mengalir dengan laju tertentu (Lachman, dkk., 1989; Yulianto, 2007). Sedangkan pengertian viskositas, dapat didefinisikan


(35)

sebagai suatu sifat dari cairan yang lebih bertahan untuk mengalir (Martin, dkk., 1993).

Menurut Rasyid (2003), ada empat faktor utama yang mempengaruhi viskositas larutan adalah yaitu:

1. Tingkat polimerisasi, bertambahnya tingkat polimerisasi akan meningkatkan viskositas.

2. Konsentrasi larutan, bertambahnya konsentrasi larutan akan meningkatkan viskositas.

3. Temperatur, viskositas akan turun dengan naiknya suhu. 4. Penambahan elektrolit.

2.5.1 Metode pengukuran viskositas dengan viskometer Brookfield

Penetapan viskositas dilakukan dengan cara mengalikan skala yang telah konstan pada viskometer dengan faktor koreksi.

Cairan yang akan diukur dimasukan dalam beaker glass diletakkan dibawah spindel, lalu spindel diturunkan hingga permukaan cairan mencapai batas spindel. Tentukan kecepatan, kemudian hidupkan viskometernya. Lihat dengan teliti jarum yang bergerak pada skala hingga jarum stabil pada skala tertentu. Kemudian viskositas ditentukan dengan:

Viskositas = faktor koreksi x skala yang terbaca.

2.6 Spektrofotometri Infra Merah

Spektrofotometri Infra Merah merupakan suatu metode untuk mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada


(36)

daerah panjang gelombang 0,75-1.000 µm atau pada bilangan gelombang 13.000-10 cm-1. Radiasi elektromagnetik dikemukakan pertama kali oleh James Clark Maxwell, yang menyatakan bahwa cahaya secara fisis merupakan gelombang elektromagnetik, artinya mempunyai vektor listrik dan vektor magnetik yang keduanya saling tegak lurus dengan arah rambatan (Haska, 2012).

Setiap senyawa pada keadaan tertentu mempunyai tiga macam gerak, yaitu gerak translasi (perpindahan dari satu titik ke titik lain), gerak rotasi (berputar pada porosnya), dan gerak vibrasi (bergetar pada tempatnya). Setiap molekul memiliki harga energi tertentu. Bila suatu senyawa menyerap energi dari sinar infra merah, maka tingkatan energi di dalam molekul itu akan tereksitasi ke tingkatan energi yang lebih tinggi. Sesuai dengan tingkatan energi yang diserap, maka yang akan terjadi pada molekul itu adalah perubahan energi vibrasi yang diikuti dengan perubahan energi rotasi (Haska, 2012).

Atom-atom di dalam molekul tidak dalam keadaan diam, tetapi biasanya terjadi peristiwa vibrasi. Hal ini bergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya.Vibrasi molekul sangat khas untuk suatu molekul tertentu dan biasanya disebut vibrasi finger print. Vibrasi molekul dapat digolongkan atas dua golongan besar, yaitu vibrasi regangan (Streching) dan vibrasi bengkokan (Bending) (Sastrohamidjojo, 1992).

Vibrasi regangan (Streching) atom bergerak terus sepanjang ikatan yang menghubungkannya sehingga akan terjadi perubahan jarak antara


(37)

keduanya, walaupun sudut ikatan tidak berubah. Vibrasi regangan ada dua macam, yaitu regangan simetri (unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam satu bidang datar) dan regangan asimetri (unit struktur bergerak bersamaan dan tidak searah tetapi masih dalam satu bidang datar) (Haska, 2012).

Sistem tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang lebih besar, maka dapat menimbulkan vibrasi bengkokan atau vibrasi deformasi yang mempengaruhi osilasi atom atau molekul secara keseluruhan. Vibrasi bengkokan ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu vibrasi goyangan (Rocking): unit struktur bergerak mengayun asimetri tetapi masih dalam bidang datar, vibrasi guntingan (Scissoring): unit struktur bergerak mengayun simetri dan masih dalam bidang datar, vibrasi kibasan (Wagging): unit struktur bergerak mengibas keluar dari bidang datar, dan vibrasi pelintiran (Twisting): unit struktur berputar mengelilingi ikatan yang menghubungkan molekul induk dan berada di dalam bidang datar (Sastrohamidjojo, 1992).

Vibrasi yang digunakan untuk identifikasi adalah vibrasi bengkokan, khususnya goyangan (rocking), yaitu yang berada pada bilangan gelombang 2000-400 cm-1. Sedangkan pada bilangan gelombang 4000-2000 cm-1 merupakan daerah khusus yang berguna untuk identifikasi gugus fungsional. Daerah ini menunjukkan absorbansi yang disebabkan oleh vibrasi regangan. Untuk daerah 2000-400 cm-1 seringkali sangat rumit, karena vibrasi regangan maupun bengkokan mengakibatkan absorpsi pada daerah tersebut. Pada bilangan gelombang 2000-400 cm-1 tiap senyawa organik mempunyai absorpsi


(38)

yang unik, sehingga juga disebut sebagai daerah sidik jari (fingerprint region). Oleh karena itu, dua senyawa dikatakan sama apabila pada daerah 4000-2000 cm-1 dan 2000-400 cm-1 menunjukkan pola yang sama (Haska, 2012).

2.6.1 Spektrofotometer infra merah transformasi fourier – FTIR

Pada dasarnya spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infra Red) sama dengan spektrofotometer IR dispersi. Perbedaaannya adalah pengembangan pada sistem optiknya sebelum berkas sinar infra merah melewati sampel. Dasar pemikiran spektrofotometer FTIR adalah dari persamaan gelombang yang dirumuskan oleh Jean Baptiste Joseph Fourier (1768-1830), seorang ahli matematika dari Perancis. Dari deret Fourier tersebut intensitas gelombang dapat digambarkan sebagai daerah waktu atau daerah frekuensi. Perubahan gambaran intensitas gelombang radiasi elektromagnetik dari daerah waktu ke daerah frekuensi atau sebaliknya disebut Transformasi Fourier (Fourier Transform) (Haska, 2012).

Pada sistem optik peralatan instrumen FTIR dipakai dasar daerah waktu yang non dispersif. Sistem optik spektrofotometer FTIR dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan demikian radiasi infra merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak dan jarak cermin yang diam. Perbedaan jarak tempuh radiasi disebut retardasi. Hubungan antara intensitas radiasi IR yang diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram.Sedangkan sistem optik dari spektrofotometer IR yang didasarkan atas bekerjanya interferometer


(39)

disebut sebagai sistem optik Fourier Transform Infra Red (Sastrohamidjojo, 1992).

Pada sistem optik FTIR digunakan radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detektor utuh dan lebih baik.Detektor yang digunakan dalam spektrofotometer FTIR adalah TGS (Tetra Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekuensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, dan sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah (Haska, 2012).


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan secara deskriptif yang meliputi pengumpulan dan pengolahan bahan tumbuhan, pemeriksaan karakteristik simplisia, isolasi natrium alginat menggunakan pemutih hidrogen peroksida dengan berbagai konsentrasi yaitu 1%; 2%; 3%; 4% dan 5%. Identifikasi natrium alginat dilakukan secara kualitatif, penetapan rendemen, karakterisasi natrium alginat meliputi penetapan susut pengeringan, penetapan viskositas, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut asam, skrining fitokimia dan identifikasi gugus fungsi dengan cara spektrofotometri inframerah.

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, alumunium foil, blender (National), cawan porselin berdasar rata, krus porselin bertutup, desikator, tanur (Nabertherm), lemari pengering, oven (Memmert), hot plate (Fissons), mikroskop (Olympus), termometer, penangas air (Yenaco), indikator universal, spatula, botol timbang, neraca kasar

(Home Line), neraca analitis (Vibra AJ), seperangkat alat penetapan kadar air, spektrofotometri FTIR (Shimadzu), pH-meter, viskometer Brookfield

(Brookfield Engineering Laboratories), kaca objek, kaca penutup, krus porsolen, kain flanel, mortir dan stamfer.


(41)

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah alga coklat Turbinaria

decurrens Bory, sedangkan bahan kimia yang digunakan berkualitas pro

analisis (E. Merck) yaitu toluen, asam klorida, etanol 96%, asam sulfat, natrium hidroksida, kloralhidrat, kalsium klorida, kloroform, natrium karbonat, isopropanol, kecuali hidrogen peroksida dan air suling.

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Tumbuhan 3.3.1 Pengumpulan bahan tumbuhan

Pengumpulan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan dari daerah lain. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah thalus jenis Turbinaria decurens Bory, yang diperoleh dari Pantai Lampu’uk, Kecamatan Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Aceh, pada bulan Juli 2013.

3.3.2 Identifikasi bahan tumbuhan

Identifikasi bahan tumbuhan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian Oseanografi, Jakarta. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 55.

3.3.3 Pemeriksaan makroskopik tumbuhan segar

Pemeriksaan makroskopik tumbuhan segar dilakukan terhadap bentuk batang, bentuk daun, warna, bau, rasa dan bentuk percabangan.


(42)

Bahan tumbuhan yang telah dikumpulkan, direndam dalam air leding kemudian dibersihkan dari kotoran-kotoran dan sisa karang yang melekat. Dicuci berkali-kali dengan air mengalir sampai bersih, ditiriskan dan ditimbang beratnya. Berat bahan basah adalah 23,50 kg, bahan tumbuhan disebarkan diatas kertas lalu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan dimasukkan ke dalam lemari pengering hingga kering sampai simplisia tersebut bisa dipatahkan. Berat bahan kering adalah 1,83 kg. Selanjutnya simplisia diblender sampai menjadi serbuk, kemudian serbuk simplisia disimpan dalam kantung plastik.

3.4 Pembuatan Larutan Pereaksi 3.4.1 Pereaksi asam klorida 5%

Sebanyak 135 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga 1 liter (Ditjen POM, 1979).

3.4.2 Pereaksi Bouchardat

Empat gram kalium iodida dilarutkan dalam air suling secukupnya, ditambahkan 2 g iodium, dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1989).

3.4.3 Pereaksi Dragendorff

Delapan gram bismuth (III) nitrat dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat. Pada wadah lain ditimbang 27,2 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 50 ml air suling. Campurkan kedua larutan dan diamkan sampai memisah


(43)

sempurna. Ambil larutan jernih dan encerkan dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1989).

3.4.4 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml. pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 10 ml air suling. Keduanya dicampur dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1989).

3.4.5 Pereaksi Molish

Tiga gram alfa naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga 100 ml (Ditjen POM, 1989).

3.4.6 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling bebas karbondioksida hingga 100 ml (Ditjen POM, 1989).

3.4.7 Pereaksi asam sulfat 2 N

Sebanyak 18 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1989).

3.4.8 Pereaksi asam nitrat 0,5 N

Sebanyak 44,7 ml asam nitrat pekat diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1989).

3.4.9 Pereaksi kloralhidrat

Sebanyak 50 g kloralhidrat dilarutkan dalam 20 ml air suling (Ditjen POM, 1989).


(44)

3.4.10 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.11 Pereaksi besi (III) klorida 1%

Satu gram besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.12 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrat dicampur dengan satu bagian asam sulfat pekat (Ditjen POM, 1979).

3.4.13 Pereaksiasam klorida 5,0% (v/v)

Asam klorida pekat sebanyak 13,51 ml diencerkan dengan air suling hingga volumenya 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.14 Pereaksi kalsium klorida 1,0% (b/v)

Kalsium klorida sebanyak 1 g dilarutkan dalam air suling hingga volumenya 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.15 Pereaksi natrium karbonat 5,0% (b/v)

Natrium karbonat sebanyak 5 g dilarutkan dalam air suling hingga volumenya 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.16 Pereaksi hidrogen peroksida 1% (v/v)

Hidrogen peroksida 30% sebanyak 3.33 ml diencerkandengan air suling hingga volumenya 100 ml (Ditjen POM, 1995).


(45)

3.4.17 Pereaksi hidrogen peroksida 2% (v/v)

Hidrogen peroksida 30% sebanyak 6,67 ml diencerkankan dengan air suling hinggavolumenya 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.18 Pereaksi hidrogen peroksida 3% (v/v)

Hidrogen peroksida 30% sebanyak 10 ml diencerkan dengan air suling hingga volumenya 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.19 Pereaksi hidrogen peroksida 4% (v/v)

Hidrogen peroksida 30% sebanyak 13,33 ml diencerkan dengan air suling hingga volumenya 100 m (Ditjen POM, 1995)l.

3.4.20 Pereaksi hidrogen peroksida 5% (v/v)

Hidrogen peroksida 30% sebanyak 16,67 ml diencerkan dengan air suling hingga volumenya 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.21 Air kloroform

Kloroform sebanyak 2,50 ml dicampurkan dalam air suling hingga volumenya 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.6 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia 3.6.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik simplisia dilakukan terhadap bentuk “batang” dan “daun”, rasa, bau dan warna simplisia. Gambar makroskopik simplisia dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 57.


(46)

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia alga coklat yang dikeringkan. Serbuk simplisia ditaburkan di atas kaca objek yang telah ditetesi larutan kloralhidrat, kemudian ditutup dengan kaca penutup lalu diamati di bawah mikroskop. Gambar mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 59.

3.6.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen) (WHO, 1998).

Cara kerja:

Ke dalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluen dan 2 ml air, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan toluen didinginkan selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml.Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik.Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen yang telah dijenuhkan. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua


(47)

volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen.

3.6.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,50 ml kloroform dalam air suling sampai satu liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1980).

3.6.5 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1980).

3.6.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian


(48)

diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600oC selama 6 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampel sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1980).

3.6.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1980).

Hasil pemeriksaan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 4.2, halaman 39 dan hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 61 - 62.

3.5 Skrining Fitokimia 3.5.1 Alkaloid

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditambah 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama dua menit, didinginkan, dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

(i) Sebanyak 3 tetes filtrat ditambahkan dua tetes larutan pereaksi Mayer, maka akan terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau putih kekuningan. (ii) Sebanyak 3 tetes filtrat ditambahkan dua tetes larutan pereaksi Bouchardat, maka akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam.


(49)

(iii) Sebanyak 3 tetes filtrat ditambahkan dua tetes larutan pereaksi Dragendorff, maka akan terbentuk endapan merah atau jingga.

Percobaan dilanjutkan dengan mengocok sisa filtrat dengan 3 ml ammonia pekat dan 10 ml campuran eter-kloroform (3:1), diambil lapisan kloroform, lalu diuapkan diatas penangas air. Sisanya dilarutkan dalam 1 ml asam klorida 2 N, dibagi tiga, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, dan ditambahkan dua tetes larutan pereaksi Mayer, Bouchardat dan Dragendorff pada masing-masing tabung reaksi. Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari tiga percobaan diatas (Ditjen POM, 1995). 3.5.2 Flavonoid

Dibuat larutan percobaan dengan cara 0,5 g serbuk simplisia ditambah 10 ml metanol, direfluks dengan menggunakan pendingin balik selama 10 menit, lalu disaring panas melalui kertas saring berlipat. Diencerkan filtrat dengan 10 ml air suling, ditambah 5 ml eter minyak tanah setelah dingin, dikocok hati-hati, kemudian didiamkan. Larutan metanol diambil, diuapkan, lalu sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat.

(i) Diambil 1 ml larutan percobaan dan diuapkan hingga kering. Sisa dilarutkan dalam 2 ml etanol 95%, ditambah 0,5 g serbuk Zn dan 2 ml asam klorida 2 N, didiamkan selama 1 menit, lalu ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat. Hasil positif jika dalam waktu 2 sampai 5 menit terjadi warna merah intensif (glikosida-3-flavonol).

(ii) Diambil 1 ml larutan percobaan dan diuapkan hingga kering. Sisa dilarutkan dalam 1 ml etanol 95%, ditambah 0,1 g serbuk Mg dan 10 tetes


(50)

asam klorida pekat. Hasil positif flavonoid jika terjadi warna merah jingga sampai merah ungu. Sedangkan warna kuning jingga menunjukkan adanya flavon dan kalkon (Ditjen POM, 1995).

3.5.3 Glikosida

Tiga gram serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran etanol 95%-air suling (7:3) dan 10 ml asam sulfat 2 N, direfluks selama

sepuluh menit, didinginkan, dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M; dikocok, didiamkan selama lima menit, dan disaring. Filtrat dipartisi dengan 20 ml campuran kloroform-isopropanol (3:2), dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali (triplo). Lapisan air dikumpulkan, diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 500C. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol, dimasukkan kedalam tabung reaksi, selanjutnya diuapkan diatas penangas air. Pada sisanya ditambahkan 2 ml air suling dan lima tetes pereaksi Molish, lalu ditambahkan secara hati-hati 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Apabila terbentuk cincin ungu pada batas kedua cairan, menunjukkan adanya glikosida (Ditjen POM, 1989).

3.5.4 Glikosida Sianogenik

Sepuluh gram serbuk simplisia dihaluskan dalam lumpang, dilembabkan dengan sedikit air (jangan berlebihan), dimasukkan ke dalam erlenmeyer, diselipkan kertas saring yang telah dibasahi natrium pikrat, ditutup erlenmeyer dengan karet dan plastik, dan dibiarkan terkena sinar matahari. Adanya glikosida sianogenik jika timbulnya warna merah pada kertas saring (Ditjen POM, 1989).


(51)

3.5.5 Glikosida Antrakinon

Sebanyak 0,2 g serbuk simplisia ditambah 2 ml larutan FeCl3, 8 ml air, dan 5 ml asam klorida pekat, dipanaskan selama 5 menit, didinginkan, ditambahkan 5 ml benzen, dikocok, dan didiamkan. Lapisan benzen dipisahkan dan dicuci dua kali dengan masing-masing 2 ml air sampai lapisan benzen berwarna kuning. Dikocok lapisan benzen ini dengan 2 ml NaOH 2 N lalu didiamkan. Lapisan air berwarna merah dan lapisan benzen tidak berwarna menunjukkan adanya antrakinon (Ditjen POM, 1989).

3.5.6 Saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama sepuluh detik. Jika terbentuk busa yang stabil setinggi 1-10 cm selama tidak kurang dari sepuluh menit dan tidak hilang dengan penambahan asam klorida 2 N maka menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM, 1989).

3.5.7 Tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling, lalu disaring. Filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan satu hingga dua tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Apabila terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman, menunjukkan adanya tanin (Ditjen POM, 1989).

3.5.8 Triterpenoid/Steroid

Satu gram serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama dua jam. Kemudian maserat yang diperoleh disaring, filtrat diuapkan dalam


(52)

cawan penguap, dan pada sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard. Apabila terbentuk warna biru kehijauan atau merah ungu menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne, 1987).

3.7 Isolasi Natrium Alginat

Proses isolasi alginat dibagi dalam empat tahap, yaitu tahap praekstraksi, pemutihan, isolasi dan pemurnian, serta pembuatan natrium alginat.

3.7.1 Tahap praekstraksi

Sebanyak 50 g serbuk kering simplisia direndam dengan larutan asam klorida 5% selama 2 jam, disaring dan residu dicuci dengan air suling sampai netral yaitu pH 7 (Rasyid, 2003).

3.7.3 Tahap ekstraksi

Residu yang telah direndam selanjutnya diekstraksi menggunakan larutan natrium karbonat 5% dengan pemanasan 50oC – 60oC selama 2 jam, selanjutnya disaring.Larutan natrium alginat yang diperoleh diendapkan dengan larutan kalsium klorida 1%. Endapan kalsium alginat yang terbentuk ditambahkan dengan larutan asam klorida 5% sedikit demi sedikit. Asam alginat yang terbentuk gel (floating) selanjutnya diputihkan dengan larutan hidrogen peroksida masing-masing dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4% dan 5% selama 6 jam, kemudian disaring dan residu dicuci dengan air suling sampai netral yaitu pH 7 (Rasyid, 2003).


(53)

3.7.4 Tahap pembuatan natrium alginat

Asam alginat yang berbentuk gel dilarutkan dalam larutan natrium karbonat 5% dan diendapkan dengan larutan isopropanol 95%. Natrium alginat yang diperoleh dikeringkan, kemudian dihaluskan. Bagan isolasi dan karakterisasi natrium alginat dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 66.

3.8 Pemeriksaan Karakteristik Natrium Alginat

3.8.1 Identifikasi natrium alginat secara kualitatif (Ditjen POM, 1995) a. Pada 5 ml larutan dalam natrium hidroksida 0,1 N ditambahkan 1 ml

kalsium klorida, terbentuk endapan ruah menyerupai jeli.

b. Pada 5 ml larutan dalam natrium hidtroksida 0,1 N, ditambahkan 1 ml asam sulfat 4 N, terbentuk endapan berat menyerupai jeli.

3.8.2 Penetapan susut pengeringan

Susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap dari suatu zat. Sebanyak 1 g serbuk kering ditimbang seksama dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama 30 menit dan telah ditara. Zat diratakan dalam botol timbang hingga merupakan lapisan setebal 5–10 mm, dimasukkan kedalam lemari pengering, tutupnya dibuka lalu dikeringkan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam deksikator hingga suhu kamar. Susut pengeringan dihitung tehadap bahan awal (Depkes, 1980).


(54)

3.8.3 Penetapan kadar abu total

Penetapan kadar abu dilakukan sama seperti penetapan kadar abu total terhadap simplisia (Depkes, 1980).

3.8.4 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam.

Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam dilakukan sama seperti penetapan kadar abu tidak larut dalam asam terhadap simplisia (Depkes, 1980). 3.8.5 Penetapan pH

Sebanyak 3 g natrium alginat dilarutkan dalam air suling kemudian dicukupkan hingga 200 ml. Larutan tersebut diukur pH-nya menggunakan pH Meter (Apriyantono, dkk., 1989). Perlakuan diulang 3 kali (triplo).

3.8.6 Penetapan viskositas

Viskositas natrium alginat diukur dengan menggunakan viskosimeter

Brookfield (Brookfield Engineering Laboratories), yaitu dengan cara: beaker glass berisi sampel diletakkan dibawah tempat spindel, dipasang spindel sesuai nomor, lalu spindel diturunkan hingga permukaan cairan mencapai batas spindel. Diatur kecepatan, kemudian tekan tombol ON untuk menghidupkan. Lihat dengan teliti jarum yang bergerak pada skala hingga jarum stabil pada skala tertentu, viskositas ditentukan dengan: viskositas = faktor koreksi x skala terbaca. Pengukuran viskositas dilakukan pada konsentrasi natrium alginat 1% (b/v) dalam air suling dan dinyatakan dalam sentipois (cps) (Cottrell dan Kovacs, 1980). Perlakuan diulang 3 kali (triplo). Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 51.


(55)

3.7.7 Karakteristik natrium alginat secara spektrofotometri inframerah FTIR

Identifikasi isolat secara spektrofotometri FTIR dilakukan dengan cara serbuk natrium alginat dicampur dengan KBr kemudian ditekan hingga diperoleh pelet, kemudian dimasukkan ke dalam alat spektrofotometri FTIR, diukur serapannya pada frekuensi 4000-400 cm-1. Data spektrum inframerah natrium alginat hasil isolasi dan natrium alginat pembanding dapat dilihat pada Tabel 48, halaman 31 dan hasil spektrum inframerah natrium alginat hasil isolasi dan natrium alginat pembanding dapat dilihat pada Lampiran 14, halaman 67.


(56)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Bahan Tumbuhan

Identifikasi bahan tumbuhan yang telah dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Indonesia menunjukkan rumput laut yang digunakan adalah Turbinaria decurrens, divisi Phaeophyta, kelas Phaeophyceae, bangsa Fucales, suku Sargassaceae, marga Turbinaria.

4.2 Hasil Karakteristik Tumbuhan Segar dan Simplisia

Hasil pemeriksaaan makroskopik tumbuhan segar yang diperoleh dari

Turbinaria decurrens Bory adalah memiliki bau yang khas, warna coklat tua, keras dan kasar, “batang” silindris, tegak, terdapat bekas percabangan, panjang sekitar 7 cm, lebar 2 cm, memiliki holdfast bercabang. Bentuk “daun” kerucut segitiga, panjang 11-17 mm dan pinggir “daun” bergerigi tajam.

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia diperoleh berupa “batang” dan “daun” yang menciut, berwarna coklat kehitaman, tidak berbau dan tidak berasa, sedangkan hasil mikroskopik serbuk simplisia Turbinaria decurrens

Bory terlihat adanya sel parenkim yang berisi pigmen berwarna coklat keemasan dan terdapat sel-sel propagule yang mempunyai dua sel yang berfungsi untuk menghasilkan cabang pada talus rumput laut (Dawes, 1981; Sari, 2005).


(57)

Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia Turbinaria decurrens Bory No. Parameter Hasil % Persyaratan Menurut

Atmadja 1. Penetapan kadar air 9,986 <12,37 2. Penetapan kadar sari yang larut

dalam air

12,91 Tidak tercantum 3. Penetapan kadar sari yang larut

dalam etanol

2,09 Tidak tercantum 4. Penetapan kadar abu total 14,96 <46,19 5. Penetapan kadar abu tidak larut

dalam asam

0,74 Tidak tercantum

Hasil penetapan kadar air yang diperoleh lebih kecil dari 9.986%, hasil ini memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Kadar air dalam simplisia menunjukkan jumlah air yang terkandung dalam simplisia tersebut, kadar air dalam simplisia berhubungan dengan proses pengeringan simplisia. Pengeringan merupakan usaha untuk menurunkan kadar air simplisia sampai tingkat yang diinginkan. Penetapan kadar air dilakukan untuk memberikan batasan kandungan air yang memenuhi persyaratan, karena kandungan air dalam simplisia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim dan aktivitas mikroba (Badan POM RI, 2005).

Penetapan kadar sari larut dalam air dan etanol dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa kimia yang larut dalam air maupun etanol dari suatu simplisia. Kadar sari yang larut dalam air adalah senyawa yang bersifat polar akan tersari oleh air diantaranya senyawa metabolit primer misalnya karbohidrat, protein. Sedangkan kadar sari yang larut dalam etanol adalah


(58)

senyawa yang bersifat polar dan non polar diantaranya senyawa metabolit sekunder yaitu flavonoid, steroid triterpenoid, glikosida. Hasil pemeriksaan kadar sari yang larut dalam air lebih tinggi daripada kadar sari yang larut dalam etanol, hal ini disebabkan alga coklat mengandung karbohidrat yang cukup tinggi (Atmadja, dkk., 1996).

Penetapan kadar abu total dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa anorganik dan kandungan mineral dalam simplisiayang biasanya terdiri dari natrium, kalsium, fosfor, magnesium. Kadar abu yang terkandung dalam suatu produk menunjukkan tingkat kemurnian produk tersebut. Tingkat kemurnian ini sangat dipengaruhi oleh komposisi dan kandungan mineral. Hasil pemeriksaan kadar abu total yang diperoleh cukup tinggi, karena umumnya alga coklat mengandung mineral yang tinggi (Sulistijo dan Rachmaniar, 1996).

4.2 Hasil Skrining Fitokimia

Hasil skrining fitokimia simplisia rumput laut Turbinaria decurrens

Bory, dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Skrining Fitokimia Simplisia talus Turbinaria decurrens Bory.

No. Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan

1. Alkaloid -

2. Flavonoid -

3. Glikosida +

4. Glikosida sianogenik -

5. Glikosida antrakinon -

6. Saponin +

7. Tanin +


(59)

Keterangan: + = mengandung senyawa golongan. - = tidak mengandung senyawa golongan.

Senyawa golongan alkaloid tidak terdapat di dalam simplisia talus

Turbinaria decurrens Bory. Hal ini dilihat dengan tidak terbentuknya endapan berwarna putih/putih kekuningan, coklat/hitam, dan merah/jingga dengan penambahan masing-masing larutan pereaksi Mayer, Bouchardat, dan Dragendorff pada simplisia tersebut.

Simplisia rumput laut juga mengandung senyawa golongan glikosida. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya cincin ungu pada batas kedua cairan (air dan asam sulfat pekat).

Senyawa golongan glikosida sianogenik tidak terdapat di dalam simplisia talus Turbinaria decurrens Bory. Hal ini dapat dilihat dengan tidak timbulnya warna merah pada kertas saring. Hasil skrining fitokimia juga memperlihatkan simplisia rumput laut tidak mengandung senyawa golongan glikosida antrakinon. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya warna merah pada lapisan air.

Simplisia talus Turbinaria decurrens Bory mengandung senyawa golongan saponin. Hal ini ditunjukkan dengan timbulnya busa yang stabil setinggi 2 cm selama sepuluh menit dan tidak hilang dengan penambahan asam klorida 2 N. Selain itu, terdapat senyawa golongan tanin di dalam simplisia rumput laut. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau melalui penambahan pereaksi besi (III) klorida 1%.


(60)

Simplisia talus Turbinaria decurrens Bory juga mengandung senyawa golongan triterpenoid/steroid. Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya warna biru kehijauan melalui penambahan pereaksi Liebermann-Burchard.

4.3 Hasil Isolasi Natrium Alginat

Metoda ekstraksi yang digunakan adalah maserasi pada suhu diatas suhu kamar bertujuan untuk meningkatkan kelarutan senyawa yang akan diekstraksi dalam waktu relatif singkat (Supomo, 2002).

Pada tahap praekstraksi dilakukan perendaman dengan larutan asam klorida 5% bertujuan untuk melarutkan garam-garam mineral, karbohidrat dan protein. Hasil ekstraksi dengan penambahan larutan natrium karbonat yang pertama berkonsistensi kental karena terbentuknya garam natrium alginat yang larut, ekstraksi menggunakan natrium karbonat mampu untuk memisahkan selulosa dan alginat yang terdapat pada sel alga coklat. Penggunaan basa ini, dapat mengakibatkan sel alga menjadi menggelembung kemudian pecah dan rusak sehingga alginat dapat keluar dari sel. Sedangkan penambahan dengan larutan kalsium klorida bertujuan untuk memisahkan alginat dengan polimer asidik lain seperti laminaran sehingga diperoleh endapan kalsium alginat. Penambahan asam klorida bertujuan untuk mengubah kalsium alginat menjadi asam alginat yang mengapung di permukaan larutan dan perendaman dengan larutan hidrogen peroksida ke dalam asam alginat ini bertujuan untuk menghasilkan serbuk natrium alginat yang lebih putih. Pada penambahan larutan natrium karbonat, asam alginat tersebut diubah kembali menjadi


(61)

natrium alginat (pH 9). Menurut Rowe, dkk., (2009) garam alginat paling stabil pada pH antara 4-10. Larutan natrium alginat diendapkan dengan larutan isopropanol 95% yang bertujuan untuk memurnikan natrium alginat, karena isopropanol mempunyai kemampuan dalam mengikat air dari larutan natrium alginat sehingga natrium alginat dapat tertinggal dan mengendap (Mushollaeni, 2011). Pengeringan dilakukan pada suhu 50oC selama 15 jam, kemudian digerus hingga didapatkan serbuk natrium alginat (Rasyid, 2003).

Penggunaan larutan pemutih yaitu hidrogen peroksida dalam isolasi natrium alginat ini bertujuan untuk menghasilkan serbuk natrium alginat yang lebih cerah. Perendaman pemutih hidrogen peroksida menghasilkan warna yang lebih cerah, karena hidrogen peroksida termasuk zat oksidator kuat yang dapat digunakan sebagai pemutih. Penggunaan pemutih hidrogen peroksida dilakukan pada tahap akhir, yaitu setelah pembentukan asam alginat (floating), karena hidrogen peroksida sangat stabil pada kondisi asam dan hidrogen peroksida sering digunakan pada tahap akhir rangkaian proses pemutihan dan menghasilkan peningkatan derajat putih.

Identifikasi natrium alginat yang dilakukan secara kualitatif dengan penambahan natrium hidroksida 0,1N dan kalsium klorida memberikan hasil yang positif yaitu terbentuk endapan putih seperti jeli sedangkan penambahan asam sulfat 4N dan kalsium klorida memberikan hasil yang positif yaitu terbentuk endapan berat seperti jeli. Identifikasi natrium alginat secara kualitatif dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Farmakope Indonesia (1995).


(62)

Rendemen dari natrium alginat dengan berbagai konsentrasi pemutih dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3 Hasil rendemen natrium alginat dengan berbagai konsentrasi pemutih

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa rendemen natrium alginat yang diperoleh darihasil isolasi 50 g simplisia Turbinaria decurrens dengan konsentrasi pemutih 5% paling kecil yaitu 6,20%, sedangkan rendemen natrium alginat tanpa pemutih paling besar yaitu 34,94%, tetapi warna serbuk coklat kehitaman, sehingga serbuk tidak memenuhi persyaratan warna yang ditetapkan yaitu putih atau krem. Menurut Ekstra Farmakope Indonesia (1974), syarat rendemen natrium alginat adalah >18%. Nilai rendemen yang diperoleh dari penelitian ini yangsebagian memenuhi persyaratan, yaitu rendemen natrium alginat tanpa pemutih diperoleh sebesar 34,94%, natrium alginat konsentrasi pemutih 1% dengan perolehan rendemen 22,10% dan konsentrasi pemutih 2% menghasilkan rendemen sebesar 19,80%, sedangkan natrium alginat konsentrasi pemutih 3%, 4%, 5% tidak memenuhi persyaratan. Hal ini diduga karena pada saat pencucian asam alginat banyak yang terbuang dan tentunya berpengaruh pada bobot hasil akhir ekstraksi, sehingga pada saat dihitung nilai rendemennya menjadi rendah. Hal lain juga disebabkan

No. Konsentrasi Pemutih H2O2 (%)

Rendemen (%)

1. Tanpa Pemutih 34,94

2. 1,0 22,10

3. 2,0 19,80

4. 3,0 12,78

4. 4,0 11,60


(63)

karenarendemen natrium alginat sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain jenis alga coklat, metode isolasi yang digunakan dan jumlah daun juga menentukan kadar natrium alginat yang ada, karena di dalam daun terdapat alginat yang lebih banyak daripada batang dan akar (Taylor, 1979). Nilai rendemen dihitung berdasarkan perbandingan berat isolasi yang dihasilkan terhadap berat kering simplisia.

4.4 Hasil Karakteristik Natrium Alginat

Hasil uji kualitatif natrium alginat dengan dan tanpa pemutih H2O2 ditunjukkan pada Tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4. Uji Kualitatif Natrium Alginat

No. Sampel dengan Kons. Pemutih H2O2 (%)

Hasil Penelitian

(i) (ii)

1. Tanpa H2O2 + +

2. 1,0 + +

3. 2,0 + +

4. 3,0 + +

5. 4,0 + +

6. 5,0 + +

Keterangan: (i) = uji identifikasi dengan penambahan larutan kalsium klorida.

(ii) = uji identifikasi dengan penambahan larutan asam sulfat 4N

+ = terbentuk endapan gel. - = tidak terbentuk endapan gel.

Identifikasi natrium alginat yang dilakukan secara kualitatif dengan penambahan natrium hidroksida 0,1N dan kalsium klorida memberikan hasil yang positif yaitu terbentuk endapan keruh seperti jeli sedangkan penambahan asam sulfat 4N dan kalsium klorida memberikan hasil yang positif yaitu


(64)

terbentuk endapan berat seperti jeli. Identifikasi natrium alginat secara kualitatif dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Farmakope Indonesia (1995).

Karakteristik natrium alginat juga meliputi penentuan susut pengeringan, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut asam, penetapan viskositas dan warna dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Tabel 4.5 berikut:

Tabel 4.5 Spesifikasi natrium alginat aasil isolasi dibandingkan dengan pustaka (Handbook of Pharmaceutical Excipient).

No. Parameter Hasil Isolasi Pustaka 1. Susut Pengeringan 6,45% ≤ 20,0% b/b 2. Kadar abu total 9,40 % ≤ 10,0 % b/b 3. Kadar abu tidak larut asam 0,53% -

4.

Viskositas: Tanpa pemutih Konsentrasi pemutih

29,16 cps 14,16 cps

20-400 cps

5. pH 10 5-10

Hasil pemeriksaan susut pengeringan dilakukan untuk mengetahui kadar bagian zat yang menguap. Susut pengeringan natrium alginat hasil isolasi telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pustaka yaitu 6,45%. Kadar abu yang ada dalam natrium alginat hasil isolasi, menunjukkan adanya


(65)

garam mineral dan telah memenuhi syarat. Kadar abu ini merupakan garam-garam anorganik yang tidak larut dalam air namun, jenis dan habitat juga berpengaruh terhadap kandungan mineral, tetapi penggunaan larutan asam klorida 5% dapat mengurangi jumlah garam-garam mineral yang menempel pada talus. Menurut Mushollaeni (2011), pada permukaan talus banyak terdapat garam kalsium yang dapat meningkatkan jumlah mineral dan kadar abu alginat.

Natrium alginat sangat stabil pada pH berkisar antara 5-10, tetapi pada pH yang lebih tinggi viskositas sangat kecil akibat adanya degradasi beta-eliminatif (Rasyid, 2003). Hal ini berarti natrium alginat isolasi memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan tambahan dalam sediaan farmasi.

Tabel 4.6 Viskositas, pH dan warna natrium alginat dengan berbagai konsentrasi pemutih

No. Kons. Pemutih H2O2 (%)

Viskositas(cps )

pH Warna

1. Tanpa H2O2 29,16 10,0 Coklat kehitaman

2. 1,0 21,16 10,0 Coklat tua

3. 2,0 19,83 10,0 Coklat muda

4. 3,0 18,33 10,0 Kuning kecoklatan

5. 4,0 15,33 10,0 Kuning


(1)

Dicuci dengan air suling sampai netral (pH 7)

Disaring

Direndam dengan Na2CO3 5% pada suhu 50o-60o C, 2 jam Dicuci dengan air suling sampai netral (pH 7)

Ditambahkan CaCl2 1%

Asam alginat (floating)

Ditambahkan dengan Na2CO3 5% Larutan NatriumAlginat

Dikeringkan (suhu 50o C) dan dihaluskan Filtrat Residu Filtrat Resid Filtrat Residu

Dicuci dengan air suling sampai netral (pH 7)

Diputihkan dengan H2O2 (1,0%, 2,0%, 3,0%, 4,0% dan 5 0%) 6 jam disaring

Dicuci dengan air suling sampai netral (pH 7)

Dikarakterisasi Endapan kalsium alginat

Ditambahkan HCl 5% sedikit demi sedikit

Diendapkan dengan isopropanol 95%

Serbuk Natrium Alginat


(2)

Lampiran 6. Perhitungan karakteristik natrium alginat yang diperoleh dari

Turbinaria decurrens Bory

1. Perhitungan rendemen natrium alginat

Rendemen dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

% Rendemen Natrium alginat = 100%

Contoh perhitungan :

% Rendemen natrium alginat = x 100%

= 16,63%

2. Perhitungan penetapan susut pengeringan

% Susut pengeringan = 100 %

a = berat bahan awal

b = berat bahan setelah pengeringan

No. Berat sampel (g) Berat sampel setelah pengeringan (g)

1. 2. 1,0060 1,0030 0,9390 0,9410

1. % Susut pengeringan =

x

100% = 6,70%

2. % Susut pengeringan =

x

100% = 6,20%

Susut pengeringan Spektrofotometri inframerah Viskositas Kadar abu tidak larut asam Kadar abu

total Rendemen


(3)

% Rata-rata susut pengeringan =

x

100% = 6,45%

Lampiran 6. (lanjutan)

3. Perhitungan viskositas natrium alginat

Contoh perhitungan viskositas

Angka hasil pengukuran : 1

Faktor konversi : 2

Viskositas (cps) = 1 x 2 = 2 cps


(4)

Lampiran 13. Gambar spektrum inframerah sampel natrium alginat dan pembanding natrium alginat


(5)

Bilangan gelombang (cm-1) Spektrum inframerah sampel natrium alginat

Bilangan gelombang (cm-1) Spektrum inframerah pembanding natrium alginat


(6)

Dokumen yang terkait

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Ekstrak N-Heksan Rumput Laut Turbinaria Ornata (Turner) J. Agardh

11 91 78

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Antibakteri Ekstrak Etanol Rumput laut Turbinaria decurrens Bory terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

0 6 69

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Antibakteri Ekstrak Etanol Rumput laut Turbinaria decurrens Bory terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

0 0 13

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Antibakteri Ekstrak Etanol Rumput laut Turbinaria decurrens Bory terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

0 0 2

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Antibakteri Ekstrak Etanol Rumput laut Turbinaria decurrens Bory terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

0 0 3

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Antibakteri Ekstrak Etanol Rumput laut Turbinaria decurrens Bory terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

0 0 9

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Antibakteri Ekstrak Etanol Rumput laut Turbinaria decurrens Bory terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

0 3 3

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Antibakteri Ekstrak Etanol Rumput laut Turbinaria decurrens Bory terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

0 0 19

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Ekstrak N-Heksan Rumput Laut Turbinaria Ornata (Turner) J. Agardh

0 1 22

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Ekstrak N-Heksan Rumput Laut Turbinaria Ornata (Turner) J. Agardh

1 1 14