membantu petani meningkatkan produktivitas usaha taninya telah diadakan misalnya, dalam hal kelembagaan, penyuluhan, kredit, pemasaran dan koperasi.
Berbagai program tersebut selain didukung dengan alokasi dana yang besar didukung pula dengan kepemimpinan dan koordinasi yang harmonis dari tingkat
nasional, provinsi, kabupaten bahkan sampai tingkat desa dengan pendekatan Top Down yang sangat kuat, Indonesia dapat mewujudkan swasembada beras pada
Tahun 1984.
2.1. 3. Kritik terhadap Revolusi Hijau
Keberhasilan revolusi hijau dalam menghasilkan pangan bagi dunia ternyata disisi lain menghasilkan akibat samping yang besar dan kompleks.
Revolusi hijau membawa dampak lingkungan dan sosial secara luas. Kritik terhadap revolusi hijau adalah terlalu tergantung pada input tinggi, khususnya
pupuk kimia dan insektisida kimia. Inovasi bibit unggul banyak menghilangkan plasma nuftah lokal. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa di Indonesia pada
mulanya terdapat 8000 jenis bibit lokal yang kemudian beralih ke korporasi bibit transnasional dan semua sudah diboyong ke Philipina. Saat sekarang tinggal
kurang lebih 25 jenis yang masih ditanam penduduk di pedalaman. Baiquni, M dan Susilawardani, 2002. Menurut Shiva dalam Notohadiprawiro, T, 1995,
revolusi hijau tidak didasarkan atas kemandirian tetapi ketergantungan, tidak berdasarkan keanekaragaman tetapi keseragaman. Kehilangan plasma nuftah yang
sedemikian besarnya merupakan suatu kerugian yang tidak ternilai harganya. Revolusi hijau padi, misalnya, terutama ditumpu oleh varietas berdaya hasil
tinggi, air irigasi, pupuk kimia, pengendalian hama dan penyakit secara kimia. Lingkungan beririgasi bergandengan dengan pemupukan nitrogen berat dan
penanaman secara monokultur sinambung varietas padi yang sama atau yang secara genetik sekeluarga telah menimbulkan epidemic hama dan penyakit. Irigasi
intensif mengubah sifat-sifat tanah yang menurunkan produktivitasnya. Pemupukan yang lebih mementingkan N untuk cepat memacu produksi daripada
unsur lain atau pupuk organik menimbulkan ketimpangan dalam neraca hara tanah. Penggunaan pupuk, khususnya N menjadi tidak efisien. Penggunaan pupuk kimia
semakin mengeraskan tanah dan membunuh bahan organis tanah. Von Uexkull dalam dalam Notohadiprawiro, T, 1995 mengakui bahwa penggunaan pupuk
secara keliru dapat merusak lingkungan. Penggunaan nitrogen secara berlebihan dapat ikut mencemarkan air tanah. Penggunaan nitrogen yang timpang
mempercepat pengurasan unsur hara lain dalam tanah dan menyebabkan pemasaman tanah. Penggunaan nitrogen berlebihan dan penggunaan fosfat secara
keliru dapat menimbulkan eutrofikasi badan-badan air. Pestisida kimia banyak membunuh predator alami dan bahkan manusia
sendiri. WHO World Health Organization melaporkan bahwa setiap tahun sekitar 3 juta orang teracuni pestisida. Kira-kira 200 ribu orang kemudian meninggal
dunia. Bahan kimia sintetis tersebut juga diyakini menjadi faktor utama yang mengakibatkan berkembangnya penyakit-penyakit yang mengganggu metabolisme
seperti ginjal, lever, paru-paru dan sebagainya. Saragih, 2003. Kondisi tersebut diperparah oleh penggunaan pestisida secara kurang hati-hati. Dalam penerapan di
bidang pertanian, ternyata tidak semua pestisida mengenai sasaran. Kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai sasaran sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke
tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut mengakibatkan pencemaran lahan pertanian. Apabila masuk ke dalam rantai makanan, sifat beracun bahan pestisida
dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS Chemically Acquired Deficiency Syndrom dan sebagainya Sa’id,1994,
dalam Sofia, 2001. Penelitian Sutarni, dkk, 1996, menemukan ada korelasi positif yang
bermakna antara lamanya kontak dengan pestisida dan beratnya polineuropati pada petugas pemberantas hama. Polineuropati adalah suatu penyakit yang
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dan struktur saraf tepi. Penelitian Mariyono, 2006, mendapatkan hasil bahwa peningkatan produksi padi selama
periode 1970 – 1989 tidak disebabkan oleh peningkatan penggunaan pestisida kimia, tetapi disebabkan oleh perluasan lahan, peningkatan penggunaan pupuk
nitrogen dan kemajuan teknologi. Perusahaan-perusahaan pembuat pestisida sering kali berbicara tentang “Penggunaan Pestisida yang Aman” atau mengiklankan
“Pestisida Ramah Lingkungan” Kedua pernyataan ini sama-sama salah. Pestisida
adalah racun yang tidak akan pernah dapat digunakan dengan aman Pestisida membunuh makhluk hidup dan tetap mencemari tanah dan air, pestisida tidak akan
pernah bisa ramah pada lingkungan. Sering kali orang tidak menyadari bahwa mereka keracunan pestisida karena gejala-gejalanya mirip dengan masalah
kesehatan lainnya misalnya pusing dan kudis. Juga, karena kebanyakan gejala- gejala ini tidak muncul dengan cepat, seperti gangguan sistem syaraf atau kanker,
orang tidak menyadari bahwa penyakit mereka mungkin disebabkan oleh pestisida. Yayasan Duta Awam, 1999
Ternak dan kompos organis mulai ditinggalkan petani. Lebih mengerikan lagi, liberalisasi inovasi bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida kimia, dan
peralatan pertanian telah direbut perusahaan trans – nasional TNCs dari pemerintah. Ketika TNCs melakukannya, maka ideologi yang dipakai adalah
akumulasi laba semaksimal mungkin tanpa mempedulikan etika moral, kaidah lingkungan, dan tatanan sosial ekonomi komunitas. Hal ini mengakibatkan petani
mengalami ketergantungan hebat terhadap produk TNCs. Petani diperas secara ekonomi untuk menjalankan usaha pertaniannya.
Kehadiran perusahaan multinasional Monsanto di Indonesia dengan penyebaran benih hasil rekayasa genetika terutama ditunjang oleh cara berpikir dan
pola pendekatan ekonomi. Argumen yang sering dikemukakan adalah bahwa benih hasil rekayasa genetika meningkatkan produktivitas dan penghasilan petani
berkali-kali lipat. Dipihak lain dampak lingkungan dan kesehatan yang dihasilkan oleh benih tersebut diabaikan. Kenyataan yang ada petani menjadi lebih tergantung
pada perusahaan multinasional tersebut yang pada akhirnya hanya menguntungkan perusahaan multinasional Keraf, 2002. Selanjutnya secara lebih khusus, Oetomo
dalam Winangun, 2005 mengibaratkan lingkungan sebagai pohon induk atau inangnya, sedangkan sistem ekonomi kapitalis adalah parasit ganas. Termasuk
parasit ganas adalah budidaya pertanian yang tidak bertanggung jawab, seperti revolusi hijau yang sarat agrokimia . Akhirnya, terciptalah usaha tani masukan
tinggi sekaligus energi tinggi. Cemaran akan makin meresap ke dalam tanah, ke dalam tanaman dan ke dalam hasil bumi yang akan kita makan. Revolusi hijau
dengan padi ajaibnya menghasilkan yang lebih ajaib lagi yaitu yaitu hilangnya padi
asli lokal kaum tani. Bumi dan kaum tani sendiri dibunuhnya, sehingga tidak ada lagi kaum muda desa yang mau menjadi petani.
Dari uraian dan beberapa hasil penelitian di atas, penggunaan bibit unggul, pupuk dan obat kimia, sebagai unsur utama dari revolusi hijau ternyata tidak
hanya menimbulkan dampak negative terhadap lingkungan tetapi juga menimbulkan dampak negative pada kesehatan para pelaku dan konsumen produk
pertanian. Selain dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan, revolusi hijau juga semakin meminggirkan para petani. Menurut Prince, 2004, selama
bertahun-tahun, secara perlahan-lahan, kearifan berbudidaya telah direbut dari tangan petani. Secara sistemik, proyek kolonialisasi besar-besaran, yakni Revolusi
Hijau, program intensifikasi dan modernisasi dalam corak produksi pertanian, memusnahkan kemandirian petani Indonesia. Atas nama pertumbuhan produksi,
ketahanan pangan dan swasembada beras, petani dipaksakan untuk memakai benih hibrida, dan pupuk kimia, pestisida dan herbisida buatan pabrik. Pengetahuan lokal
atas cara-cara memproduksi pupuk sendiri dari bahan asli setempatnya; mengendalikan hama secara alami, yakni dengan memelihara keseimbangan antara
musuh dan hama; bahkan memuliakan benih sendiri, tersingkirkan. Secara sengaja, kearifan ini dihancurkan oleh teknologi revolusi hijau. Sudah lama petani hanya
menjadi ‘tukang tani’ di lahannya sendiri. Revolusi hijau menurut Saragih, 2003, mengakibatkan rusaknya
kebudayaan manusia yang mengagungkan nilai-nilai kehidupan yang harmoni. Hubungan manusia dengan alam maupun dengan sesama manusia lebih
berkembang ke arah eksploitatif yang kemudian keguncangan-keguncangan yang mengancam keberlanjutan kehidupan itu sendiri. Menurut Keraf, 2002, hal ini
terjadi, karena dalam berhubungan dengan alam selalu mengedepankan agenda ekonomi, dengan tidak memperhatikan mempedulikan dampak terhadap
lingkungan hidup dan masyarakat miskin. Dampak negatif revolusi hijau secara tegas diungkapkan dalam Penjelasan
atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty On Plant Genetic Resources For Food And
Agriculture Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan
dan Pertanian. Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 menyebutkan demikian ” Intensifikasi pertanian dengan
pengembangan irigasi dan penggunaan sarana dan prasarana produksi pertanian serta ekstensifikasi lahan pertanian secara besar-besaran yang dikenal dengan
Revolusi Hijau telah mampu meningkatkan produktivitas secara nyata, namun demikian, kecerobohan di tingkat operasional Revolusi Hijau ini menimbulkan
berbagai dampak negatif, baik pacta lingkungan, keanekaragaman hayati pertanian maupun sosial ekonomi masyarakat.”
Seiring dengan semakin tumbuhnya kesadaran akan kelestarian lingkungan dan memperoleh produk pangan yang sehat serta semakin gencarnya berbagai
upaya penyadaran akan hak-hak petani, revolusi hijau yang dinilai sudah banyak berjasa menyediakan pangan khususnya untuk negara-negara berkembang di
pandang sebagai sistem pertanian yang tidak berkelanjutan. Selanjutnya pertanian organik atau pertanian lestari dinilai lebih berwawasan lingkungan , menghasilkan
produk pangan yang sehat dan memandirikan para petani
2.2. Pertanian Organik 2.2.1. Pengertian Pertanian Organik