Revolusi Hijau 1. Sejarah Revolusi Hijau 2. Revolusi Hijau di Indonesia

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Revolusi Hijau 2.1.1. Sejarah Revolusi Hijau Gagasan revolusi hijau menurut Adnyana, M.O, 2005, dimulai oleh Norman Borlaug, peneliti dari Amerika Serikat yang bekerja di Meksiko. Pada Tahun 1960-an, Borlaug merakit jenis gandum yang responsif terhadap pupuk namun hasilnya belum memuaskan. Kemudian Borlaug menyilangkan varietas gandum lokal Meksiko dengan varietas asal Jepang yang pendek dwarf untuk menghasilkan tanaman yang dapat memanfaatkan pupuk lebih efisien. Varietas gandum temuan Borlaug kala itu mampu mengatasi kelaparan di negara-negara sedang berkembang pada tahun 1960an. Varietas gandum ajaib tersebut dikembangkan secara luas oleh patani Meksiko, India dan Pakistan. Pada Tahun 1970, Borlaug menerima hadiah Nobel di bidang pangan. Keberhasilan Borlaug dalam merakit varietas gandum menarik perhatian para pemulia di International Rice Research Institute IRRI untuk menciptakan padi ajaib. Dr. Te-Tzu Chang dkk, di IRRI, menyilangkan varietas pada Taiwan dan Indonesia yang menghasilkan varietas unggul IR– 8. Kinley, dalam dalam Notohadiprawiro, T, 1995. Penemuan varietas unggul gandum dan padi inilah menjadi tonggak sejarah revolusi hijau. Revolusi Hijau mengemban misi untuk meningkatkan produksi pangan untuk menjawab kekhawatiran terjadinya kelangkaan pangan yang besar. Revolusi hijau dijalankan dengan prinsip intensifikasi dan ekstensifikasi. Dalam pelaksanaannya, revolusi hijau mengandalkan varietas unggul yang berdaya tanggap besar terhadap masukan berupa pupuk kimia, hama dan penyakit utama dikendalikan secara kimiawi atau dengan ketahanan varietas, ditanam secara monokultur, ada insentif menarik berupa subsidi dan didukung dengan sistem irigasi yang baik. Ekstensifikasi dilakukan dengan membuka banyak lahan baru untuk persawahan.

2.1. 2. Revolusi Hijau di Indonesia

Sebagian besar penduduk Indonesia bermatapencaharian sebagai petani dan dengan demikian Indonesia di kenal sebagai negara agraris. Indonesia saat ini memiliki 90 juta petani atau sekitar 45 penduduk “memberi makan” seluruh penduduk sekitar 230 juta orang. Tetapi fakta-fakta dari Nusa Tenggara Barat yang kerap dikenal sebagai daerah lumbung padi serta daerah semi arid seperti Nusa Tenggara Timur di semester pertama tahun 2005, justru menghadapi ketahanan pangan yang rapuh, terbukti dengan tingginya tingkat kekurangan pangan dan gizi buruk. Lassa , 2005. Ketahanan pangan tidak semata-mata ditentukan oleh produksi dan ketersediaan pangan yang cukup. Dalam banyak kasus bencana kelaparan disebabkan karena tiada akses atas pangan tersebut bahkan ketika panen raya sedang terjadi. Hal ini dapat diibaratkan sebagai ”tikus mati di lumbung padi” . Banyaknya kasus busung lapar dan gizi buruk sedikit banyak membuktikan hal tersebut. Usaha untuk mencapai swasembada pangan menjadi sulit tercapai meskipun usaha-usaha untuk meningkatkan hasil produksi dari sektor pertanian khususnya tanaman pangan terus diusahakan melalui berbagai cara. Hal ini berkait erat dengan pola konsumsi masyarakat yang menjadikan beras sebagai pilihan utama. Dominasi beras atas sumber daya pangan lainnya di Indonesia dapat ditemukan dalam istilah-istilah lokal seperti “palawija” Sansekerta, phaladwija yang harfiahnya berarti sesuatu yang bukan beras sekunder atau pangan kelas dua, sesuatu yang terkonstruksikan secara budaya culturally constructed. Lassa , 2005. Usaha peningkatan produksi tanaman pangan khususnya beras menurut Fahriyani, E dkk , 2005 telah dilakukan sejak zaman Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870 dengan menyalurkan hasil percobaan bidang pertanian kepada masyarakat tani. Pada tahun 1905 didirikan Departement Van Landbouw Departemen Pertanian dan diikuti dengan pendirian Landbouw Vorlichtings Dients LVD : Jawatan Pertanian Rakyat pada tahun 1910 yang melahirkan dinas- dinas pertanian Provinsi pada tahun 1921. Peningkatkan produksi pertanian pada masa kemerdekaan dilakukan dengan penggabungan Kasimo Plant dengan Rencana Wicaksono yang berupa Rencana Kesejahteraan Istimewa RKI. Ketahanan pangan merupakan pilar utama dalam pembangunan nasional dan identik dengan ketahanan nasional. Bung Karno pada peletakan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor tanggal 27 April 1952 sebagaimana dikutip oleh Nainggolan, 2007, menyatakan : …, apa yang hendak saya katakan itu, adalah amat penting bagi kita, amat penting, bahkan mengenai soal mati-hidupnya bangsa kita dikemudian hari …, Oleh karena, soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat : Cukupkah persediaan makan rakyat dikemudian hari ? Jika tidak, bagaimana cara menambah persediaan makan rakyat kita ? . Menurut Rahardjo, dalam Baiquni, M dan Susilawardani, 2002, pada Tahun 1968, Indonesia mengikuti jejak negara-negara di Asia untuk melakukan modernisasi pertanian melalui Revolusi Hijau. Program ini dilakukan seiring dengan tekad Orde Baru melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun Repelita yang meletakkan pembangunan pertanian sebagai skala prioritas pada awal periode pembanguan Orde Baru. Tujuan modernisasi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyat Indonesia dan keinginan untuk mencapai swasembada beras pada Tahun 1974. Usaha untuk mewujudkan swasembada beras menurut Adnyana, M.O, 2005, tidak dapat dipisahkan dari pengembangan ilmu pemuliaan tanaman dalam menghasilkan varietas padi unggul. Dr. Zainuddin Harahap, pemulia andal Badan Litbang Pertanian, telah menghasilkan berbagai varietas unggul padi, seperti Ciliwung, Cisadane, Memberamo dan Maros yang sampai sekarang masih banyak ditanam oleh petani. Dengan segala daya upaya, Pemerintah berusaha untuk mensukseskan program ini dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mewujudkan swasembada pangan khususnya beras. Pemerintah dalam rangka mensukseskan revolusi hijau mencanangkan berbagai program misalnya Bimbingan Massal Bimas, Intensifikasi Massal Inmas kemudian dikembangkan kegiatan melalui kelompok tani seperti Intensifikasi Khusus Insus dan juga berbagai perangkat untuk membantu petani meningkatkan produktivitas usaha taninya telah diadakan misalnya, dalam hal kelembagaan, penyuluhan, kredit, pemasaran dan koperasi. Berbagai program tersebut selain didukung dengan alokasi dana yang besar didukung pula dengan kepemimpinan dan koordinasi yang harmonis dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten bahkan sampai tingkat desa dengan pendekatan Top Down yang sangat kuat, Indonesia dapat mewujudkan swasembada beras pada Tahun 1984.

2.1. 3. Kritik terhadap Revolusi Hijau