Bencana alam dalam pandangan Bhikku ahama Buddha(studi kasus di Vihara Dhammacakka Jaya Jakarta)

(1)

(Studi Kasus di Vihara Dhammacakka Jaya Jakarta)

Disusun Oleh: Kiki Agustini NIM : 105032101042

PROGRAM STUDI JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010 M


(2)

karunia-Nya.Sehingga penulis sapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai tugas penulis yang terakhir.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha untuk menempatkan skripsi ini sebagai sebuah karya tulis yang bermutu sebagaimana yang diharapkan bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, oleh sebab itu maka penulis dengan segala kerendahan hatimengajukan karya tulis ini unutuk ditelaah sebagaimana mestinya.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materil dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada :

1. My mother and My Father, juga seluruh keluargaku atas segala kasih sayang, dukungan moral dan juga bantuan material yang telah diberikan selama ini.

2. Bapak Drs. Roswen Ja’far selaku dosen pembimbingyang penulis hormati yang telah memberikan koreksi dan masukan yang positif bagi penulis. 3. Bapak Dr. H. M Amin Nurdin, M.A. Dekan Fakultas Ushuluddin. Ibu Dra.

Ida Rosyidah M.A, Ketua jurusan Perbandingan Agama, dan Bapak Maulana M.A, Sekertaris Jurusan, yang telah memberikan bantuan berupa nasihat dan motivasi kepada penulis, juga kepada seluruh dosen yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama masa kuliah.


(3)

5. Kepada Bante Adhirattano, Bante Sudarsano selaku bhikku Vihara Dhammacakka Jaya, yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan pengarahan dan nasehat kepada penukis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-temanku Imas, Iis, Lian, Titis, Guntur, Fikri, Samsul, Wahyu, Ulum, Deliat, Lukman, Wasil, Radir atas hari-hari yang telah dilalui bersama selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa persahabatan serta solidaritas.

7. Terimakasih untuk orang-orang yang pernah mengisi hatiku

8. Terimakasih untuk temanku yang baik hati ”Endy Smile” yang bayak membantu dalam penulisan skripsi ini.

Atas bantuan mereka semua, penulis mengucapkan terimakasih, semoga Alllah SWT membalas semua kebaikan-kebaikan yang sudah diberikan kepada penulis khusnya dan umumnya bagi masyarakat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 1 Mei 2010 Penulis

Kiki Agustini


(4)

Daftar Isi ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Batasan Dan Rumusan Masalah ...6

C. Tujuan Penelitian ...7

D. Metode Penelitian ...8

E. Sistematika Penulisan ...9

BAB II ALAM MENURUT KONSEP AGAMA BUDHA A. Pengertian Alam Kehidupan ...11

B. Alam Kehidupan Indrawi (kamaloka) ...14

C. 16 Alam Bentuk (rupaloka) ...23

D. Alam Tanpa Bentuk (arupaloka) ...26

BAB III GAMBARAN UMUM VIHARA DHAMMACAKKA JAYA A. Pengertian Vihara ...27

B. Latar Belakang Vihara Dhammacakka Jaya ...28

C. Etika Masuk Vihara ...32

D. Peran Dan Fungsi Vihara ...34


(5)

iv

A. Aneka Ragam Bencana Alam ...38

B. Faktor-Faktor Timbulnya Bencana Alam ...42

C. Pencegahan Bencana Alam ...56

D. Solusi Untuk Mengatasi Bencana Alam ...58

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...62

B. Saran-Saran ...64

DAFTAR PUSTAKA ...65


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Beberapa tahun terakhir ini, banyak terjadi bencana-bencana yang menimpa negeri ini. Termasuk bencana alam, banjir, tanah longsor serta bencana-bencana lainnya yang banyak menimbulkan korban nyawa maupun harta benda. Maka dari itu perlu diketahui apa faktor-faktor penyebab terjadinya bencana alam yang sering terjadi. Ada yang berpendapat bahwa terjadinya bencana alam itu karena faktor manusia yang tidak bisa menjaga serta melestarikan alam tersebut, ada pula yang berpendapat bahwa terjadinya bencana alam itu karena memang faktor alam itu sendiri.

Zaman kekacauan terutama timbul karena krisis moral. Zaman itu mungkin pula berhubungan dengan bencana alam, seperti banjir, kebakaran hutan, meletusnya gunung merapi, gagalnya panen, kelaparan dan wabah penyakit1

Jika seseorang itu jahat dan keji, hidup dengan menentang hukum alam semesta, tindakan, kata-kata dan pemikirannya akan mengotori atmosfer. Pelecehan terhadap alam tidak akan memberikan orang tersebut apa yang dibutuhkannya, sebaliknya perpecahan, pertengkaran, konflik, epidemi dan kemalangan akan menimpanya.2

Memang ada hukum alam yang dipandang secara umum seperti hujan turun karena proses air laut atau air sungai yang menguap karena panas matahari

1

Krishnanda Wijaya-Mukti, Wacana Buddha-Dharma (Jakarta: Yayasan Buddha Dharma: 2003), cet ke-1, h. 278-279.

2


(7)

lalu menggumpal menjadi gumpalan awan dan akibatnya turun hujan. Juga dengan gempa bumi dan tsunami menurut proses ilmu meteorology dan geofisika ialah terjadinya pergeseran lempengan tanah di dasar lautan fasifik, juga dengan BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) ketika menyatakan bahwa gunung berapi sudah aman dan begitu statusnya diturunkan menjadi siaga tiba tiba paginya gunung merapi itu mengeluarkan semburan debu panas sampai 200 derajat Celsius, yang akhirnya menelan korban, ha ini membuktikan bahwa keahlian apapun yang dimiliki manusia belum 100% menjamin.3

Hidup di tempat yang sesuai alam dan lingkungannya dapat mendatangkan kebaikan bahkan jauh dari bencana serta bahaya. Maka dari itu berada di lingkungan apapun itu dapat mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Apabila kita berada dilingkungan baik, kita terhindar dari bahaya dan bencana sebaliknya pula jika kita berada di tempat atau dilingkungan buruk akan mudah terkena bencana ataupun bahaya.

Tempat yang sesuai yang dimaksudkan adalah daerah dimana orang dapat hidup dengan aman dan tentram, tempat tinggal yang menyenangkan, konstruksi perumahan yang baik dan tidak mudah ambruk, kelihatan teratur, bersih dan terawat dengan baik. Memiliki tetangga yang baik dan didaerah itu banyak orang yang suka berbuat kebajikan yang dipuji orang bijaksana.

Sebaliknya, berdiam di daerah yang penduduknya suka bertengkar dan berbuat kerusuhan, pemerintah yang sewenang-wenang dan korupi daerah yang sering dilanda banjir, kelaparan, gempa, dan wabah penyakit:daerah dimana suasananya

3

Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://mail-archive.com/...com/msg05607.html3sudhammacaro.blogspot.com/.../tuhan-allah-yang- mengatur-gempa-bumi.html


(8)

penuh dengan kebencian-kebencian dan saling mencurugai;tidak dapat kebebasan berfikir dan berkarya ditekan. Ringkasnya mencakup daerah yang memiliki banyak unsur-unsur dan kondisi-kondisi yang merintangi pelaksanaan Dharma, moral dan spiritualdan tidak konduksif untuk kesejahteraan social, adalah tempat tinggal yang tidak sesuai.4

Perlu diketahui pula bahwa bumi ini tidak hanya sekedar tempat untuk berpijak makhluk-makhluk Tuhan saja, namun di samping itu bumi ini memiliki tahap periode mulai dari periode destruksi hingga periode statis.

Dalam suatu siklus tiap masa dunia ditandai oleh empat periode evolusi, yaitu : (1) periode destruksi/ penghancuran (sanvatta-kappa), (2) periode pemadaman/ kegelapan (sanvattatthayi-kappa), (3) periode pembentukan ( vivatta-kappa), (4) periode statis (vivattatthayi-kappa).5 Maka di sinilah tergambar bahwasanya bumi ini tidak bersifat kekal, di samping itu banyak sekali contoh lain yang menandakan bahwa bumi itu tidak kekal. Misalnya saja seperti yang saat ini sedang melanda di Negara kita yaitu gempa bumi, tanah longsor, banjir hingga banyak memakan korban nyawa serta harta benda. Itulah sifat bumi ini.

Manusia penganut agama memegang doktrin dan prinsip kepercayaan bahwa (Tuhan)/Allah menciptakan dan mengatur manusia dan hewan serta seisi dunia dan alam semesta ini. Hidup dan matinya manusia juga ada di tangan Tuhan/Allah, tak ada seorang manusia pun yang berhak mengambil nyawa orang lain, kecuali (Tuhan)/Allah. Kalau begitu, logikanya gempa bumi, bencana alam

4

Pandita Dhammavisarada, Drs. Teja S.M.Rashid, Sila Dan Vinaya (Jakarta: Buddhis BODHI: 1997), H. 69-70.

5

Jayasuriya.W.F. The Psychology anad Philosophy of budhism (Kuala Lumpur: Buddhist Missionary Society,1976) h. 29.


(9)

dan musibah serta perang pembantaian manusia sudah diatur oleh Allah/Tuhan? Doktrin atau prinsip agama ini tidak boleh dirubah dan tak ada yang berani melanggar atau mengkritik, jika ada yang berani mengkritik atau merubah doktrin atau prinsip agama itu, maka risikonya ialah pasti hidupnya terancam.6

Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa terjadinya bencana itu karena faktor manusia ciptaan-Nya yang tidak menjaga dan memelihara alam ini dengan baik, dan di sisi lain ada yang berpendapat bahwa terjadinya bencana alam itu, memang keadaan alam yang menyeabkan bencana itu terjadi.

Alam ini perlu dijaga serta di pelihara agar dapat terhindar dari bencana ataupun bahaya yang nantinya akan melanda manusia serta makhluk hidup lainnya. Dan jangan pernah beranggapan bahwa alam itu tidak memiliki hukum, sehingga manusia dapat semena-mena melakukan hal apapun tanpa memikirkan bahaya serta bencananya.

Menurut ajaran Buddha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap, dan berubah. Sinonim dari dengan sanghata adalah sankhara yaitu saling bergantungan, sesuatu yang timbul dari sebab yang mendahuluinya.7

Hukum alam yang berarti alam sudah tidak mau lagi menghargai manusia lagi yang sudah terlalu kotor dengan perbuatan jahatnya. Meskipun alam tidak punya jaksa, pengacara dan hakim namun nyatanya alam masih mampu

6

Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 dari Sudhammacaro.blogspot.com/.../tuhan-allah-yang-mengatur-gempa-bumi.html

7

H.A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988), H.121.


(10)

menghukum manusia yang jahat, karena biasanya kejahatan manusia kadang masih bisa lolos dari kejaran polisi, lolos dari hokum pengadilan. Maka selain hokum manusia, alam akan tetap menunggu waktunya. Jika sudah sampai waktunya alam akan bekerja menghukum manusia dengan gempa bumi, tsunami, badai, topan, tanah longsor,banjir, kebakaran.8 Dan bencana yang terjadi bukan hanya saat ini saja, akan tetapi masa lalu pun pernah terjadi bencana di mana-mana. Maka dari itu di samping sebagai makhluk ciptaan Tuhan bukan saja hanya diciptakan di bumi ini, akan tetapi mempunyai tugas untuk menjaga, memelihara alam ini.

Menghadapi bencana alam yang terjadi di negara kita secara berturut turut selama beberapa tahun terakhir ini , sebagian kalangan mulai mempertanyakannya apakah terjadinya gempa (bencana) yang mengakibatkannya banyak korban tewas, berarti bahwa “memang mereka (para korban bencana tersebut) memiliki karma.9

Jika manusia sudah tidak lagi dapat menjaga serta memeliharaalam kehidupan, maka bencana akan terjadi dimana-mana. Alam kehidupan adalah tempat berdiamnya makhluk-makhluk.10

Itulah gambaran bahwasanya bencana dapat terjadi di mana-mana. Dan terjadinya bencana itu dapat disebabkan karena manusia yang tidak dapat memelihara dan menjaga alam ini, sehingga karma buruk pun melanda manusia

8

Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://mail-archive.com/...com/msg05607.html 9

Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://www.beliefnet.com/sdtory/158/story-15871-1.html).

10


(11)

yang melanggar hukum alam. Penulis ingin mengetahui mengenai bencana alam menurut Budhisme yang tersebut dalam sebuah skripsi penelitian yang berjudul ”Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha (Studi kasus Di Vihara Dhammacakka Jakarta).

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Bencana alam Menurut ajaran Buddha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap, dan berubah. Sinonim dari dengan sanghata adalah sankhara yaitu saling bergantungan, sesuatu yang timbul dari sebab yang mendahuluinya.11

Hukum alam yang berarti alam menghukum manusia, karena alam sudah tidak mau lagi menghargai manusia lagi yang sudah terlalu kotor dengan perbuatan jahatnya. Meskipun alam tidak punya jaksa, pengacara dan hakim namun nyatanya alam masih mampu menghukum manusia yang jahat, karena biasanya kejahatan manusia kadang masih bisa lolos dari kejaran polisi, lolos dari hokum pengadilan. Maka selain hokum manusia, alam akan tetap menunggu waktunya. Jika sudah sampai waktunya alam akan bekerja menghukum manusia dengan gempa bumi, tsunami, badai, topan, tanah longsor,banjir, kebakaran.12 Dan bencana yang terjadi bukan hanya saat ini saja, akan tetapi masa lalu pun pernah terjadi bencana dimana-mana. Maka dari itu disamping sebagai makhluk

11

H.A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988), H.121.

12


(12)

ciptaan Tuhan bukan saja hanya diciptakan di bumi ini, akan tetapi mempunyai tugas untuk menjaga, memelihara alam ini.

Dengan melihat latar belakang di atas, maka penulis dalam skripsi ini membahas bencana alam dalam keyakinan agama Buddha dengan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Bencana Alam bisa terjadi pada manusia ?

2. Bagaimanakah cara menjaga bumi ini agar terjaga dari bencana alam? 3. Bagaimana Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha

(studi kasus Di Vihara Dhammacakka Jakarta)”.

C. Tujuan Penelitian

Dengan mengangkat topik Bencana Alam Dalam Keyakinan Agama Buddha di Vihara Dhamaccaka Jakarta, diharapkan sikap individu atau sesorang dapat mengetahui hakekat bencana yang terjadi di sekitar kita hingga setiap orang tak perlu lagi berburuk sangka dan berduka lara terhadap bencana yang terjadi. di samping tujuan umum dalam penulisan dalam skripsi ini diantaranya :

1. Agar penulis dapat menerapkan ilmu yang didapat dan mempraktekkan pada permasalahan yang ada.

2. Untuk mengungkap hakekat bencana alam yang terjadi disekitar kita.

3. Sebagai sumbangan pemikiran tentang bencana alam dalam keyakinan agamaBuddha.

4. Sebagai pengkaji agama-agama, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian secara lebih jauh atau spesifik, dan untuik


(13)

dijadikan perbandingan manakala meneliti agama Buddha yang memiliki ajaran yang berbeda-beda dengan ajaran agama lain.

5. Secara formal akademik, penelitian ini bertujuan untuk menjadi laporan ilmiah, yang merupakan salah satu syarat untuk melengkapi gelar sarjana pada program Strata Satu (S1).

D. Metode Penelitian

Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif analisis, deskriptif adalah pemaparan suatu (seperti istilah) dengan kata-kata secara jelas dan terperinci.13 Sedangkan analisis adalah penyelidikan terhadapat suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab atau duduk perkaranya).14 Pengertian analisis juga berarti memecahkan atau menguraikan suatu keadaan ataui masalah keadaan beberapa bagian atau dibandingkan dengan yang lain.15 Jadi deskriptif analisis adalah pemaparan yang jelas dari fakta yang ada. Dari definisi di atas, metode deskriptif analisis berarti sebuah cara atau teknik penelitian dengan menggambarkan suatu pengetahuan dengan tulisan atau pun ucapan dan kemudian membaginya ke dalam beberapa bagian untuk lebih lanjutnya diadakan penyelidikan kritis dan pengujian untuk mendapatkan hasil yang benar.

Di dalam pengumpulan data skripsi ini, penulis menggunakan dua metode yaitu :

13

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2006),h.288.

14

Ananda Santoso, dan A.R. Al-Hanif, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Surabaya : Alumni,t.t),h.22.

15

Artikel diakses pada tanggal 25 Februari 2010


(14)

1. Penelitian Kepustakaan (library Research)

Dengan metode ini penulis menghimpun, membaca, meneliti dan mengkaji beberapa literaturyang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas, seperti buku-buku, majalah-majalah, internet dan tulisan-tulisan lain yang ada hubungan dengan skripsi ini.

2. Penelitian Lapangan

Dengan metode ini penulis lakukan untuk memperkuat data-data yang telah didapat. Penulis menggunakan teknik interview atau wawancara langsung dengan bikkhu Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya (VJDJ), yaitu dengan cara mengadakan tanya jawab mengenai masalah penelitian. Teknik lainnya adalah pengamatan langsung (observasi) terhadap obyek penelitian khusus, dengan demikian penulis mendapatkan informasi secara langsung, akurat dan benar.

Dalam tata cara penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada ketentuan-ketentuandan petunjuk yang ditetapkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu : Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan, maka penulisa membagi skripsi ini menjadi lima bab dan setiap babnya dibagi lagi atas sub bab. Adapun sistemtika penulisan ini diuraikan sebagai berikut :


(15)

BAB I Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian.

BAB II Menjelaskan tentang alam dalam konsep agama Buddha, yang dirumuskan ke dalam tiga puluh satu alam kehidupan dan dibagi ke dalam tiga bagian yaitu : Kamaloka, Rupaloka, Arupaloka

BAB III Menjelaskan pengertian Vihara, latar belakang dari Vihara Dhammacakka, etika masuk Vihara, serta peran dan fungsi Vihara. BAB IV Merupakan inti dari skripsi ini tentang keyainan agama Buddha

terhadap bencana alam dalam perspektif bhikku di Vihara Dhammacakka, aneka ragam bencana alam, factor-faktor timbulnya bencana alam, pencegahan bencana alam menurut keyakinan agama Buddha, serta solusi untuk mengatasi bencana alam

BAB V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dalam pokok pembahasan dalam skripsi ini dan saran-saran.


(16)

BAB II

ALAM MENURUT KONSEP AJARAN BUDDHA

A. Pengertian Alam Kehidupan

Dalam bahasa Pali, alam semesta disebut loka. Loka bukanlah perkataan yang sudah tertentu pemakaiaannya, tetapi meliputi materiel (rupa) dan imateriel

(arupa), dan pengertiaannya sangat tergantung pada pemakaiannya. Namun pengertian yang pokok tidak terlepas dari ajaran Buddha, yaitu sesuatu yang terbentuk dari sebab yang mendahuluinya dan tidak kekal. Menurut ajaran Buddha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu ia disebut sankhata dharma

yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Sinonim dengan sankhata adalah sankhara yaitu saling bergantung, sesuatu yang timbul dari sebab yang mendahuluinya.

Menurut pandangan Agama Buddha, bumi kita ini merupakan salah satu titik kecil saja di alam semesta, dan bumi bukan merupakan satu satunya tempat kehidupan makhluk. Juga bukan hanya manusia dan binatang yang merupakan makhluk yang hidup di bumi ini. Jumlah bumi di alam semesta ini banyak sekali, di setiap bumi ada manusia dan makhluk-makhluk lain yang hidup di situ.1 Menurut pandanga Buddhisme bahwa bumi ini merupakan satu titik yang kecil, meskipun di dalamnya terdapat manusia, binatang dan makhluk-makhluk lainnya.

1


(17)

Gambaran alam semesta seperti yang diungkapkan oleh pengetahuan modern sekarang ini sudah dikemukakan oleh Buddha, tanpa bantuan teleskop. Dalam Abhibhu-sutta, Buddha menjelaskan, sejauh bulan dan matahari bergerak dalam garis edarnya dan sejauh pancaran sinarnyamencapai segala arah, sejauh itulah luas system seribu tata surya alam semesta. Di dalamnya terdapat seribu bulan, seribu matahari, seribu poros Sineru – gunung dari segala gunung, seribu bumi Jambudipa, seribu Aparagoyana di Barat, seribu Uttara-kuru di utara, seribu

Pubbavideha di timur, empat ribu samedera raya, empat ribu Maharaja, seribu surga Catummaharajika, seribu seribu surga Tavatimsa, seribu surga Yama, seribu surga Tusita, seribu surga Nimmanarati, seribu surga Paranimmita-vasavatti, dan seribu alam Brahma. Ananda, inilah, yang dinamakan system dari seribu tata surya alam semesta kecil. Sebuah system kelipatan seribu dari ukuran tersebut dinamakan sejuta tata surya alam semesta madya. Sebuah system kelipatan seribu ukuran ini dinamakan semilyar tata surya alam semesta raya” (A. I, 226)2

Hidup ini penuh dengan tantangan yang datang dari luar maupun dari dalam. Namun bagaimanapun yang paling penting dalam menghadapi tantangan ini adalah pengertian Budhisme tentang apa yang kita hadapi. Kita sendiri yang harus menentukan sikap dan tindakan kitalah yang akan menentuka akhir dari persoalan itu. Hidup ini bagi orang yang optimis, bagaikan dipenuhi oleh kesenangan dan keindahan keindahan yang menakjubkan, sedangkan orang yang pesimis hidup ini diliputi kesedihan dan kemurungan yang tiada hentinya. Tetapi

2

Krishnanda Wijaya-Mukti, Wacana Buddha-Dharma (Jakarta: Yayasan Buddha Dharma: 2003), cet ke-1, h. 264


(18)

bagi seorang realis, hidup ini diliputi kesenangan, dan kesedihan yang muncul silih berganti.3 Bagi orang selalu dalam hidupnya memiliki pandangan yang baik dan optimis, maka hidupnya jarang bertemu dengan hal-hal yang menimbulkan suatu yang negative, maka dari itu dalam menghadapi hidup ini bersikaplah yang optimis serta manjauhkan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Dengan seperti itu biasa saja satu solusi terhindarnya dari bencana, karena selalu melakukan hal yang baik-baik yang mendatangkan manfaat.

Pada setiap system cakrawala terdapat tiga puluh satu jenis alam kehidupan yang membentuk tiga kelompok alam, namanya Triloka. Kelompok pertama dinamakan kama-loka atau alam kehidupan indrawi, terdiri dari sebelas jenis alam, yaitu empat alam yang menyedihkan (apaya atau duggati) dan tujuh alam yang menyenagkan (sugati). Kelompok kedua, rupa-loka atau alam kehidupan dari Rupa-Brahma, terdiri dari enam belas jenis alam dengan kebahagiaan rupa-jhana, tanpa nafsu keinginan indra. Kelompok ketiga, arupa-loka atau alam kehidupan dari Arupa-Brahma, terdiri dari empat jenis alam sesuai dengan arupa-jhana.

Di alam-alam itu, para makhluk mengembara, mengalami siklus lahir dan mati berulang-ulang sebelum berhasil mencapai nirwana.

“Ada tiga jenis penjelmaan, yaitu: penjelmaan di alam yang penuh nafsu ( kamma-bhava), penjelmaan di alam Rupa-Brahma (rupa-bhava) dan penjelmaan di alam Arupa-Brahma (arupa-bhava)” (M.I, 50).

3

Carnelis Wowor MA, Pandangan Sosial Agama Buddha (CV. NITRA KENCANA BUANA), H. 114-115.


(19)

Kelahiran dapat terjadi di alam yang lain. Ada 31 alam kehidupan yang dapat menjadi tempat kelahiran (kembali) makhluk berdasarkan pada karma baik atau buruk dari makhluk yang bersangkutan.

(31) Tiga puluh satu alam kehidupan itu adalah sebagai berikut: Kelompok pertama terdiri dari sebelas jenis alam, yaitu empat alam yang menyedihkan (apaya atau duggati) dan tujuh alam yang menyenagkan (sugati). Kelompok kedua, rupa-loka atau alam kehidupan dari Rupa-Brahma, terdiri dari enam belas jenis alam dengan kebahagiaan rupa-jhana, tanpa nafsu keinginan indra. Kelompok ketiga, arupa-loka atau alam kehidupan dari Arupa-Brahma, terdiri dari empat jenis alam sesuai dengan arupa-jhana.

B. Alam kehidupan indrawi (Kama-loka)

Kama-loka atau kama-bhumi terdiri dari 11 alam kehidupan yang masih senang dengan napsu birahi dan terikat dengan panca indra.4 Yang terbagi menjadi dua bagian yaitu, 4 alam tak menyenagkan, dan tujuh alam yang menyenangkan.

a. Empat alam tak menyenangkan (Duggati) yaitu: 1. Niraya

Niraya (ni+aya : tanpa kebahagiaan) alam menyedihkan, tempat makhluk-makhluk menerima dan mengalami hasil dari perbuatan karma buruk. Niraya

terkenal juga sebagai neraka, tetapi bukan merupakan alam yang kekal bagi makhluk. Setelah kekuatan karma buruknya melemah maka makhluk itu

4


(20)

dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan sebagai akibat dari karma baik mereka yang lampau.5

Nirayabhumi terbagi dalam tiga macam golongan kelompok alam, diantaranya yang disebut dengan : 1. Maha Naraka (Neraka Utama), 2. Neraka kecil (Ussadaniraya), 3. Lokantarika (neraka terpencil).

Maha naraka terbagi menjadi dua diantaranya : Asta Usana-Naraka (8 neraka panas atau 8 neraka besar) dan Asta Sitanaraka (8 neraka dingin).

Yang termasuk Asta Usana-Naraka diantaranya yaitu : Sajiva-Naraka, Kallasuta-Naraka, Sanghata-Naraka, Roruva-naraka, Maharoruva-naraka, Tapana-naraka, Mahatapana-naraka, Avici-naraka (Devadatta diam di alam

Avici-Naraka ini).6

Kemudian yang termasuk neraka dingin (Asta Sitanaraka) yaitu :

a. Aruba : karena dinginnya kulit tubuh sampai timbul gelembung-gelembung

b. Nirarbuda : karena semakin dingin, gelembung-gelembung pada kulit tubuh pecah-pecah.

c. Atata : karena terlalu dinginnya, hanya suara atata yang dapat dikeluarkan dari mulut yang bibirnya sudah membeku

d. Havava (apapa) : karena sangat dingin, hanya suara Havava atau Apapa yang dapat dikeluarkan dari mulutnya

e. Huhuva (hahadhara) : karena dinginnya bukan main, hanya suara Huvuvu yang dapat dikeluarkan dari mulutnya.

5

Carnelis Wowor MA., Hukum Kamma Buddhis, H. 91-92. 6


(21)

f. Utpala (nilotpala): karena dingin yang amat sangat, kulit tubuh memeku seperti pucuk-pucuk bunga teratai.

g. Padma : karena dinginnya bukan main, kulit tubuh membeku dan pecah-pecah seperti bunga terataimerah yang mekar-mekar.

h. Mahapadma : karena dinginnya luar biasa, kulit tubuh membeku dan pecah-pecah seperti bunga teratai merah besar yang mekar-mekar.7

Selanjutnya yang termasuk neraka kecil (Ussadaniraya) yang terdiri dari delapan kelompok alam : aogarakasu, loharasa, kukkula, aggisamohaka, lohakhumbi, gutha, simpalivana, vettaraoi. Dan yang terakhir Lokantarika (neraka terpencil), neraka-neraka ini berada di gunung-gunung, hutan, di angkasa, atau di atas bumi dan sebagainya, karena perbuatan masing-masingyang mengakibatkannya demikian. Neraka-neraka ini tidak seperti 8 neraka panas dan 8 neraka dingin yang mempunyai tempat tertentu.8

2. Tiracchana-Bhumi

Yang disebut Tiracchana-Bhumi (alam binatang), karena makhluk-makhluk yang berdiam di alam ini tidak mempunyai tempat yang khusus. Makhluk binatang ini terbagi dua kelompok, yaitu :

1. kelompok binatang yang dapat dilihat dengan mata biasa. 2. kelompok binatang yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa makhluk binatang yang berkaki terbagi 4 kelompok, yaitu :

7

Drs. Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Majlis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995-2538 B.E, h. 646.

8


(22)

1. Apadatiracchana : kelompok makhluk binatang yang tidak mempunyai kaki, seperti ular, ikan, cacing, dan lain-lain

2. Dvipadatiracchana : kelompok makhluk binatang yang mempunyai dua kaki, seperti ayam, bebek, burung, dan lain-lain

3. Catupadatiracchana: kelompok makhluk binatang yang mempunyai empat kaki, seperti kerbau, sapi, dan lain-lain.

4. Bahuppadatiracchana: kelompok makhluk binatang yang mempunyai banyak kaki, seperti ulat bulu, lipan dan lain-lain.9

3. Peta-Bhumi

Peta Bhumi yaitu makhluk yang tak merasakan kesenangan, makhluk di alam peta ini adalah setan atau “hantu”. Peta merupakan makhluk-makhluk yang berbentuk tak sempurna, masingmasing dalam dalam keadaan mereka yang tak sempurna dan berbeda-beda bentuk. Dalam Anguttara Nikaya II. Disebutkan bahwa ada tukang jagal yang terakhir menjadi peta. Uraian rinci tentang kehidupan di alam ini baca Petavathu.10

Dalam Dhamma Vibhaga apa yang disebut sebagai hantu-hantu tidak berbahagia atau kelaparan atau pitti biasanya dimaksudkan untuk menunjukan para pembuat kejahatan yang tidak begitu berat ubtuk menjerumuskan mereka ke dalam alam neraka. Tetapi mereka di anggap amat jelek dan cacat bentuknya dan juga amat lapar serta menyedihkan. Macam makhluk yang tidak terlihat ini kadang-kadang nampaknya juga tergantung pada dunia

9

Pandit Jinaratana Kaharuddin, Rampaian Dhamma (Jakarta : DPP PERVITUBI), H. 76. 10


(23)

manusia. Ini dapat dilihat dalam khotbah yang disebut : Tirokudda-sutta, di mana sanak keluarga raja Bimbisara dahulu, dikatakan sedang menantikan pengorbanan persembahan-persembahan dari dunia iniuntuk menghilangkan rasa lapar dan haus mereka. Dari komentar khotbah ini, nampaknya hantu-hantu kelaparan itu mempunyai alam-alam tertentu bagi mereka sendiri. Adapun macam contoh yang disebutkan dalam khotbah tersebut yakni

Janusasoni merupakan salah satu contoh dari kenyataan ini. Dan juga disana disebutkan macam-macam hantu lain yang amat dekat berhubungan dengan dunia manusia.11

Makhluk setan ini terbagi dari beberapa kelompok, diantaranya terdapat kelompok setan yang disebut PETA-21 (yang tercantum dalam Kitab Suci

Vinaya dan Lakkhasanyutta) yaitu :

1. Atthisankhasika-Peta : setan yang mempunyai tulang bersambung, tetapi tidak mempunyai daging.

2. Mansapesika-Peta : setan yang mempunyai daging terpecah-pecah, tetapi tidak mempunyai tulang.

3. Mansapinada-Peta : setan yang mempunyai daging berkeping-keping. 4. Nicachaviparisa-Peta : setan yang tidak mempunyai kulit.

5. Asiloma-Peta : setan yang berbulu tajam.

6. Sattiloma-Peta : setan yang berbulu seperti tombak.

7. Usuloma-Peta : setan yang berbulu panjang seperti anak panah. 8. Suciloma-Peta : setan yang berbulu seperti jarum.

11


(24)

9. Dutiyasuciloma-Peta : setan yang berbulu seperti jarum jenis yang kedua. 10.Kumabhanda-Peta : setan yang mempunyai buah kemaluan yang sangat

besar.

11.Guthakupanimugga-Peta : setan yang bergelimangan dengan kotoran. 12.Guthakhadaka-Peta : setan yang makan kotoran.

13.Nicachavitaka-Peta : setan perempuan yang tidak mempunyai kulit. 14.Dugagandha-Peta : setan yang berbau sangat busuk.

15.Oligini-Peta : setan yang badannya seperti bara api. 16.Asisa-Peta : setan yang tidak mempunyai kepala. 17.Bikkhu-Peta : setan yang berbadan seperti Bhikkhu. 18.Bikkhuni-Peta : setan yang berbadan seperti bikkhuni.

19.Sikkhaman-Peta : setan yang berbadan seperti pelajar wanita/calon bikkhuni.

20.Samaner-Peta : setan yang berbadan seperti samanera. 21.Samaneri-Peta : setan yang berbadan seperti samaneri.12

Dan disamping itu pula ada peta 4 dan peta 12, Peta 4 diantaranya :

1. Paradattupajivika-Peta : peta yang hidup berdasarkan dana dari orang lain.

2. Khupipasika-Peta : peta yang selalu lapardan haus. 3. Nijjhamatanhika-Peta : peta yang selalu haus. 4. Vantasika-Peta : peta yang hidup dari muntah.13

12

Pandit Jinaratana Kaharuddin, Rampaian Dhamma (Jakarta : DPP PERVITUBI), H.77-78. 13


(25)

Peta 12 diantaranya : vantasa-peta, kunapasa-Peta, guthakhadaka-Peta, agijalamukha-Peta, sucimuja-Peta, tanhatika-Peta, sunijjhamaka-Peta, sutanga-Peta, pabatanga-Peta, ajagaranga-Peta, vemanika-Peta, mahidadhika-Peta.

4. Asurakaya-Bhumi

Asura, alam tempat setan Asura. Asura, secara harfiah, berarti makhluk yang tak bersinar. Asura merupakan makhluk yang tak bahagia seperti peta.14

Asura dapat disebut juga sebagai alam raksasa asura. Karena yang berdiam di alam ini jauh dari kemuliaan, kebebasan, dan kesenangan.

1. Deva-Asura : kelompok dewa yang disebut Asura. 2. Peta-Asura : kelompok setan yang disebut Asura. 3. Niraya-Asura : kelompok makhluk yang disebut Asura. 4. Abhibhu-sutta : alam yang menyedihkan

Abhibhu-sutta tidak menyebutkan nama alam-alam yang rendah tersendiri, lain dengan nama-nama surga. Alam binatang terdapat di bumi yang sama dengan manusia. Begitu pun hantu tidak memiliki tempat kehidupan sendiri, mereka tinggal di hutan-hutan, lingkungan yang kotor, dan lain-lain. Agaknya keempat alam yang rendah ini dipandang tidak hanya sebagai tempat, tetapi juga sebagian keadaan batin.15

b. Ketujuh alam yang menyenangkan adalah:

14

Carnelis Wowor MA., Hukum Kamma Buddhis, H. 93 15

Alm. Ven. Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajaran-nya BAGIAN II, Koord. Visakha Gunadharma. Jakarta: yayasan Dhammadipa Arama, 1992, hlm. 128-129


(26)

1. Alam manusia (manussa), di tandai adanya penderitaan, juga kebahagiaan. Para boddhisattwa lebih memilih alam manusia, karena alam ini paling sesuai untuk mengabdi dan menyempurnakan paramita. Semua Buddha dilahirkan sebagai manusia. Apa yang kita sebut sebagai bumi, adalah

jambudipa. Di jagat raya ini menurut kosmologi Buddhis terdapat banyak sekali bumi yang sejenis. Aparagoyana, uttarakuru, dan pubbavideha

diduga juga merupakan planet yang dihuni oleh makhluk sejenis manusia.16

2. Surga Catummaharajika (alam empat raja dewa), karena di alam tersebut berdiam empat dewa raja yang bernama :

1. Davadhatarattha.

2. Davavirulaka.

3. Davavirupakkha.

4. Davakuvera.

Catummaharajika Bhumi terbagi 3 kelompok, yaitu :

a. Bhumamattha-Devata : para dewa yang berdiam di atas tanah. Seperti berdiam di gunung, sungai, laut, rumah, cetiya, vihara, dal lain-lainnya.

b. Rukakhattha-Devata : para dewa yang berdiam di atas pohon. Dewa ini dibagi atas dua kelompok, yaitu kelompok Dewa yang mempunyai kayangan di atas pohon, dan kelompok dewa yang tidak mempunyai kayangan di atas pohon.

16

W.F. Jayasuriya, The Psychology And Philosophy Of Budhisme, Kuala Lumpur: Buddhist Missionary Socciety, 1976, h. 30.


(27)

c. Akkassattha-Devata : para dewa yang berdiam di angkasa. Seperti berdiam di bulan, bintang, dan planet lainnya.

3. Surga Tavatimsa, (alam dari tiga puluh tiga dewa), karena dahulu kala ada sekelompok pria yang berjumlah 33 orang selalu bekerja sama dalam berbuat kebaikan. Seperti sama membantu fakir miskin, bersama-sama membangu vihara, dan lain-lainnya. Sewaktu mereka meninggal dunia semuanya terlahir dalam satu alam, yang disebut Tavatimsa Bhumi

(alam tiga puluh tiga dewa).

4. Surga Yama, atau Yama-Bhumi (alam dewa Yama), karena para dewa yang berdiam di alam ini tebebas dari kepanasan hati: yang ada hanya kesenangan dan kenikmatan.

5. Surga Tusita (alam kenikmatan), Karena para dewa yang berdiam di alam ini terbebas dari kepanasan hati, yang ada hanya kesenangan..

6. Surga Nimmanarati (alam dewa yang menikmati ciptaannya) karena para dewa yang berdiam di alam ini menikmati kesenangan panca-indriya hasil ciptaannya.

7. Surga Paranimmita-vasavatti (alam dewa yang membantu menyempurnakan ciptan dari dewa-dewa lainnya), karena para dewa yang berdiam di ala mini, di samping menikmati kesenangan panca-indriya dan juga mampu membantu menyempurnakan ciptaan dari dewa-dewa lainnya.17

17

PANDIT JINARATANA KAHARUDDIN, RAMPAIAN DHAMMA (Jakarta : DPP PERVITUBI), H. 79-81


(28)

Alam-alam, yaitu Catummaharajik, Tavatimsa, Yama, Surga Tusita,

Nimmanarati, Paranimmita-vasavatti, merupakan alam surga dari para dewa yang tubuh phisik mereka adalah lebih halus dan lebih bersih daripada tubuh manusia. Tubuh para dewa tak dapat dilihat oleh mata phisik manusia biasa. Makhluk di alam-alam surga ini pada suatau saat akan meninggal ”atau lenyap dari alamnya masing-masing”. Walaupun kehidupan para dewa di alam surga lebih menyenagkan atau melebihi alam kehidupan manusia, namun kesucian dan kebijaksanaan belum tentu melampaui kesucian dan kebijaksaan manusia.18

C. 16 Alam Bentuk(Rupa-loka)

Lebih tinggi dari alam kenikmatan indria ini adalah alam Brahma atau

Rupaloka (alam berbentuk) di mana makhluk-makhluk merasa senang karena kebahagiaan Jhana, yang dicapai dengan melepaskan nafsu keinginan indria.

Rupa-loka terdiri dari 16 alam menurut jhana atau kegembiraan yang luar biasa yang terlatih. Mereka adalah :

(a) Alam Jhana pertama :

1. Brahma Parisajja – alam dari para pengikut Brahma 2. Brahma Purohita – alam dari para mentri Brahma 3. Maha Brahma – alam dari para Brahma Yang Agung.

Yang tertinggi dari tiga pertama ini adalah Maha Brahma. Disebut demikian karena penghuni dalam alam ini melebihi yang lain dalam

18


(29)

kebahagiaan, keindahan, dan batas usia karena kebahagiaan hakiki dari perkembangan batin mereka.

(b) Alam Jhana kedua:

1. parittabhana- alam yang kurang brcahaya

2. appamanabhana – alam yang bercahayanya tak terbatas 3. abhassara – alam para brahma yang bersinar

(c) Alam Jhana ketiga :

1. parittasubha – alam para Brahma dengan sedikit cahaya

2. Appamanasubha – Alam para Brahma dengan cahaya tak terbatas 3. Subhakinha – alam para Brahma dengan cahaya yang tetap (d) Alam Jhana keempat :

1. Vehaphala – alam para Brahma dengan pahala yang besar 2. asannasatta – alam para makhluk tanpa pikiran

3. suddhavasa – tempat kediaman sejati yang lebih lanjut dibagi menjadi lima, yaitu :

a. Aviha – alam yang dapat bertahan lama b. Attapa – alam yang tentram

c. Sudassa – alam yang indah

d. Sudassi – alam dengan penglihatan tajam e. Akanittha – alam yang tertinggi

Hanya meraka yang telah melatih Jhana atau kegembiran yang luar biasa dapat dilahirkan di alam-alam yang lebih tinggi ini. Mereka yang telah


(30)

mengembangkan Jhana pertama dilahirkan di alam pertama, mereka yang yang telah mengembangkan Jhana kedua dan ketiga dilahirkan di alam kedua: kereka yang telah mengembangkan Jhana keempat dan kelima dilahirkan berturut-turut di alam ketiga dan keempat.

Tingkat pertama tiap-tiap alam ditentukan untuk mereka yang telah mengembangkan Jhana pada tingkat biasa, kedua bagi mereka yang telah mengembangkan Jhana sampai suatu tingkat yang lebih tinggi, dan ketiga bagi mereka yang telah mencapai suatu penguasaan yang lengkap terhadap Jhana-Jhana.

Pada alam kesebelas, disebut Asannasatta, makhluk-makhluk dilahirkan tanpa suatu kesadaran. Di sini hanya terjadi suatu perubahan jasmaniyah yang terus menerus. Pikiran untuk sementara waktu dihentikan ketika kekuatan Jhana berlangsung. Biasanya pikiran jasmani tak dapat dipisahkan. Dengan kekuatan meditasi kadang-kadang mungkin memisahkan jasmani dari pikiran seperti dalam masalah khusus ini. Bila seorang Arahat mencapai Nirodha Samapatti untuk sementara waktu, kesadarannya berhenti untuk hidup. Kesadaran demikian hamper tak dapat kita bayangkan. Tetapi mungkin hal-hal yang tak dapat dibayangkan adalah keyataan yang sebenarnya.

Suddhavasa atau tempat tinggal yang sejati adalah alam khusus para Anagami atau Yang Tak Pernah Kembali. Makhluk biasa tidak dilahirkan dalam keadaan ini. Mereka yang mencapai Anagami di alam-alam lain dilahirkan kembali di


(31)

tempat tinggal yang sejati ini. Kemudian mereka mancapai Arahat dan hidup di Alam itu sampai masa hidup mereka berakhir.19

D. Alam Tanpa Bentuk (arupaloka)

Di samping alam bentuk (Rupaloka) ada alam tanpa bentuk (Arupaloka). Alam Arupa adalah alam tanpa jasmani. Dalam arupaloka tidak ada kelamin. Alam ini dicapai setelah seseorang sukses dengan Rupa Jhana. Arupaloka terdiri empat alam, yaitu :

1. Akasanancayatana : alam ruang tanpa batas 2. Vinnanancayatana : alam kesadaran tanpa batas 3. Akincanacayatana : alam kekosongan

4. N’eva Sanna Nasannayatana : alam bukan ide maupun bukan tidak ada ide.

Makhluk-makhluk yang belum melenyapkan semua kekotoran batinnya akan terlahir kembali di salah satu dari 31 alam berrdsarka pada perbuatannya. Bagi para Arahat atau Buddha yang telah melenyapkan semua kekotoran bathin, bila mereka meninggal dunia tidak akan terlahir kembali di salah satu dari 31 alam. Ketika para Arahat dan para Buddha meninggal, mereka parinibbhana atau mencapai nirvana secara total.20

Seperti itulah pembahasan tentang alam menurut pandangan Buddha. Bahwa alam itu terdiri dari beberapa bagian, dan dari bagian-bagian tersebut terbagi lagi hingga beberapa penjelasan. Itulah pengertian alam menurut Buddha.

19

Alm. Ven.Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajaran-nya BAGIAN II, Koord. Visakha Gunadharma. Jakarta: yayasan Dhammadipa Arama, 1992, hlm 132-134.

20


(32)

BAB III

GAMBARAN UMUM VIHARA DHAMMACAKKA JAYA

A. Pengertian Vihara

Vihara adalah tempat ibadah agama Buddha, kata vihara berasal dari bahasa pali (bahasa India Kuno) yang berarri tempat tinggal atau tempat puja bhakti. Vihara dapat juga diartikan sebagai biara Buddha atau tempat para biarawan Budha. Vihara dapat juga di jabarkan sebagai suatu kompleks yang terdiri dari :

1. Dhammasala adalah tempat puja bakti, upacara keagamaan dan pembabaran Dhamma (ajaran Sang Buddha). Di tempat ini umat buddha melakukan puja bakti, upacara keagamaan dan mendengarkan pembabaran Dhamma yang disamapaikan dan dipimpin oleh para bhikku, pandita dan dhammaduta (umat yang menyampaikan dhamma). Tempat ini merupakan tepat viharayang bersifat umum.

2. Uposathagara adalah gedung tempat uposatha (persamuan para Bikkhu) yang berfungsi sebagai tempat pentabisan bikkhu, tempat upacara keagamaan, pembaca patimokkha, yaitu 227 peraturan kebikkhuan yang dilakukan setiap bulan gelap (tidak ada bulan) dan bulan terang (bulan purnama), penyelesaian pelanggaran bikkhu dan penentuan hak dan sebagai tempat meditasi bersama umat Buddha, tempat ini bersifat tidak


(33)

untuk umum hanya untuk para bikkhu, samanera dan pandita saja meskipun tidak ada larangan untuk umat secara langsung.

3. Kuthi adalah tempat tinggal para bikkhu, bhikkuni (bikkhu wanita), samanera (calon bhikku) atau samneri (calon bhikkuni).

4. Bhavana Sabha (gedung meditasi) gedung ini digunakan para samanera dan bikkhu serta umat dalam latihan meditasi (Yayasan Dhammadipa Arama, 1981 : 39-43).

Dalam keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa vihara adalah tempat ibadah agama Buddha yang berupa kompleks, yang terdiri dari : Kuthi, Dhammasala, Uphosathagala, Bhavana, Sabha. Selain sebagai tempat ibadah dan tempat para bikkhu, vihara mempunyai fungsi kegiatan dan sebagai pusat keagamaan.

B. Latar Belakang Vihara Dhammacakka Jaya

Pada saat Raja Bimbisara berniat untuk memberikan tempat penginapan bagi Buddha Gotama dan para siswa-Nya, Buddha Gotama menyarankan agar tempat tersebut tidak terlalu jauh dari rumah/perkampungan penduduk, mudah dikunjungi oleh umat, pada siang hari tidak terlalu berisik dan pada malam hari agak sepi, tanpa keributan yang ditimbulkan oleh orang yang lalu-lalang, sesuai untuk mereka yang menjalankan kehidupan sebagai petapa (samaa), serta sesuai untuk dijadikan tempat tinggal seorang Arahat Sammasambuddha. Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya (VJDJ) didirikan pada saat umat Buddha di Indonesia khususnya di Jakarta sangat memerlukan sebuah tempat representatif yang selain


(34)

dapat memenuhi kebutuhan spiritual umat Buddha, juga sebagai pusat pembinaan dan pendidikan keagamaan bagi pembina umat maupun umat awam.

Pada saat umat Buddha melihat lokasi pembangunan vihar-vihara pada masa-masa awal, banyak di antara mereka yang heran dan terkejut. Memang Buddha Gotama sendiri menganjurkan agar lokasi sebuah vihara sebaiknya di daerah yang tenang dan tidak berisik. Tetapi apakah mungkin daerah yang masih dipenuhi alang-alang setinggi manusia serta rawa-rawa ini akan dikunjungi oleh banyak orang? Adakah umat yang bersedia datang setiap harinya untuk mendanakan makanan kepada para bhikkhu yang tinggal di vihara?

Walaupun beberapa pihak menunjukkan sikap pesimis, tetapi berkat semangat dan usaha keras untuk dapat menciptakan sebuah vihara yang berkualitas, maka jadilah sebuah vihara yang kita lihat sekarang ini. Vihara yang terletak di Jalan Agung Permai XV Blok C-3, Sunter Agung Podomoro, Jakarta Utara ini merupakan vihara pertama yang telah memenuhi persyaratan sebuah vihara. Kehadiran VJDJ di tanah air telah membuat sejarah penting bagi umat Buddha Indonesia yang tidak dapat dilupakan. Tercatat Putra Mahkota Kerajaan Thailand, Prince Vajiralongkorn dan Princess Mahachakri Sirindhorn pernah bernamakara di VJDJ ini. Begitu pula dengan pemimpin rakyat Kamboja, Prince Norodom Sihanouk. Sungguh merupakan kebanggaan bagi kita umat Buddha di Indonesia. Tetapi, mengapa dinamakan ”Jakarta Dhammacakka Jaya?” Jakarta berasal dari kata ”Jaya Ing Karta”, adalah nama Ibukota tercinta, yang berarti kejayaan dalam kemakmuran. Sedangkan Dhammacakka sendiri berarti Perputaran Roda Dhamma.


(35)

Pada saat umat Buddha dari segala penjuru yang berkunjung ke Buddha Metta Arama semakin bertambah, vihara yang sudah dikelilingi oleh berbagai bangunan rumah ini dirasakan tidak mencukupi lagi. Maka timbulah niat untuk membangun vihara yang baru. Pada saat itu di Bangkok, Bhikkhu Sombat Pavitto atau yang akrab disebut Bhante Sombat bersama dengan Drs. Teja Suryaprabhava Mochtar Rashid tanpa sengaja diperkenalkan oleh Phrakru Wimon kepada Laksda Purn. TNI-AL Oyo Prayogo Kusno, seorang bendaharawan di sebuah kelenteng, Bogor. Pada saat membicarakan tentang pembangunan vihara, beliau tertarik untuk ikut membantu dengan menyumbangkan tanahnya di perkebunan teh Pamanukan Tugu, Puncak-Bogor untuk dibangun vihara. Untuk mengelola pembangunan vihara tersebut, maka dibentuk sebuah yayasan bernama Yayasan Paripurno Samiddhi. Laksda Purn. TNI-AL Oyo Prayogo Kusno bersama Khun Pot telah berhasil mengumpulkan dana, demikian pula dengan Bhante Sombat yang telah menyiapkan sketsa vihara serta bekerja membuat pondasi dan tiang. Akan tetapi, ternyata pembangunan tersebut tidak disetujui warga sekitarnya, sehingga Pemerintah daerah meminta agar menunda pembangunan tersebut. Namun demikian semangat mereka tidak berhenti sampai di situ. Pada suatu ketika Bhante Sombat dibantu dengan Kolonel Somchit dan Khun Suthat -atase militer dari Thailand yang juga seorang paranormal, mendapat vision dari Acharn Nirod, ’seorang’ pembimbing spiritual. Dikatakan bahwa di bagian Utara Jakarta, ada sebuah lokasi yang baik untuk dibuat vihara, lokasi tersebut pada zaman kuno pernah menjadi pusat kota. Disebutkan juga bahwa di lokasi tersebut tanahnya agak tinggi, terdapat sebuah pohon besar dengan sebuah kolam berair bening di


(36)

bawahnya. Maka segeralah Bhikkhu Sombat Pavitto bersama Om Liem (Liem Tiang Sing, kemudian menjadi Bhikkhu Piyadhammo, almarhum) berkeliling mencari tempat tersebut, saat itu awal tahun 1981. Om Liem mengendarai mobilnya sendiri mengantar Bhante Sombat mendatangi berbagai lokasi.

Setelah melalui pencarian yang cukup sulit, di daerah sekitar Ancol yang sedang diadakan pembangunan perumahan itulah akhirnya mereka menemukan sebuah tempat dengan ciri-ciri yang sesuai. Setelah mencari informasi, diketahui bahwa tanah tersebut milik PT. Agung Podomoro. Mengingat harga tanah yang cukup tinggi, maka tanah yang akan dibeli hanya seluas 1.000 m2 saja. Setelah mengetahui bahwa tanah tersebut akan dipergunakan untuk membangun vihara, ternyata Anton Haliman atas nama Direksi PT. Agung Podomoro sebaliknya ingin menyumbangkan satu blok tanah seluas satu hektar kepada Sagha, asalkan ijin pembangunannya sudah didapatkan. Pernyataan PT. Agung Podomoro untuk menyumbangkan satu blok tanah seluas satu hektar tersebut dituangkan dalam surat resmi kepada Sagha Theravāda Indonesia dan diserahkan langsung oleh Anton Haliman kepada bikkhu Pannavaro selaku Sekretaris Jenderal Sagha Theravada Indonesia dalam suatu rapat di kantor PT. Agung Podomoro, Sunter. Pada waktu itu Sagha Theravada Indonesia dipimpin oleh Sekretaris Jenderal. Dengan penuh semangat mereka pun segera mengurus ijin pembangunan vihara, dimulai dengan pembuatan gambar. Tetapi terjadi perdebatan mengenai bentuk vihara, ada pihak yang menginginkan bentuk vihara Thailand yang ’glamor’ tetapi di lain pihak menginginkan bentuk vihara yang sederhana tetapi anggun. Akhirnya diputuskan untuk membangun vihara yang seperti vihara sebelumnya yang pernah


(37)

ada di Indonesia. Selanjutnya dibentuklah sebuah yayasan dengan nama Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya, di mana para pendirinya adalah delapan bhikkhu Indonesia selaku Badan Pengawas, Anton Haliman selaku Ketua Kehormatan, Oyo Prayogo Kusno selaku Ketua Umum, dan Drs. Teja Suryaprabhava Mochtar Rashid selaku sekretaris. Akhirnya berkat bantuan dari berbagai pihak, maka ijin tersebut berhasil didapat. Selanjutnya Bhante Sombat mendirikan sebuah gubuk di sana dan mulai mendirikan Uposathagara dan Sima. Arsitek pada waktu itu adalah Ir. Rai Pratadaya dan Ir. Aswin Suganda. Setelah dikurangi untuk sarana jalan dan sebagian diminta oleh Kota Praja untuk pembuatan jalur hijau, akhirnya luas tanah tersebut menjadi 8.640 m2. Dana pembangunan vihara pun mulai mengalir dari berbagai pihak di antaranya dari Presiden ke-2 Republik Indonesia, H.M. Soeharto sebesar Dua Puluh Juta Rupiah, Departemen Agama sebesar Dua Juta Dua Ratus Ribu Rupiah, Pemerintah DKI Jakarta sebesar Enam Juta Rupiah, dan sumbangan umat Buddha Indonesia serta Thailand secara sukarela pada saat itu mencapai kurang lebih Dua Ratus Dua Puluh Lima Juta Rupiah.1

C. Etika Masuk Vihara

Etika masuk vihara adalah tata cara yang harus dilakukan umat Buddha masuk ke vihara. Apabila seorang umat Buddha akan memasuki vihara, maka ada beberapa etika yang harus dijalani diantaranya adalah:

1. Pakaian harus rapai dan sopan santun

1 Artikel ini diakses pada tanggal 25 Februari 2010 www.dhammacakka.org/index.php?option=com...


(38)

2. Memasang dupa/namisa puja jika perlu, yang meliputi : bunga, lilin, dan dupa

3. Sampai di pintu viha namakaragatha yaitu syair penghormatan kepada Buddha Dharma dan Sangha.2

Bunyi syair tersebut sebagai berikut :

Araham sammasambudho bhagava, budhamvantani abhivademi

“Sang Bhagava, yang maha suci, yang telah mencapai penerangan sempurna, Aku bersujud dihadapan Sang Buddha”.

Svakkhato Bahagavata dhammo, dhammani namassami

“Telah sempurna dibabarkan oleh sang Bhagava; Aku bersujud di hadapan Dhamma”.

Supati panno Bhagavatha savaka sangha

“Sangha siswa sang Bhagava telah bertindak sempurna; Aku bersujud di hadapan Sangha”.

Adapun tatacara ibadah sebagai berikut : 1. Anjali adalah merangkapkan kedua tangan

2. Puja Bakhti yaitu penghormatan dan berbakti yang akan di peraktekkan di rumah.

2


(39)

D. Peran dan Fungsi Vihara

Peran vihara adalah meningkatkan kehidupan beragama umat Buddha Indonesia dalam arti seluas-luasnya berdasarkan kitab suci Tipitaka pali yang berkepribadian Indonesia

Adapun fungsi Vihara dapat di uraikan sebagai berikut : 1. Tempat tinggal para Bhikku dan Samanera

2. Tempat pendidikan putra-putri bangsa agar menjadi masyarakat yang berguna

3. Tempat memberi rasa aman bagi semua mahluk 4. Tempat untuk membuat kebaikan dan kebajikan

5. Tempat pendidikan moral, sopan santun dan kebudayaan 6. Tempat menyebarkan Dhamma

7. Tempat yang menunjukan jalan kebebasan

8. Tempat latihan meditasi dan usaha merealisasikan cita-cita kehidupan tempat kegiatan sosial yang bersifat keagamaan.3

Arca-arca yang ada pada vihara Dhammacakka Jaya yaitu :

1. Arca Buddha Sakyamuni yaitu sang Buddha yang telah mendapat pencurahan.

2. Arca Sari Putta yaitu yang ada di sebelah kanan yang mempunyai kelebihan trampil menguraikan Dhamma (ajaran agama)

3. Arca Mogallana yaitu berada di sebelah kiri yang mempunyai kelebihan terampil dalam kekuatan supra natural.4

3


(40)

E. Fasilitas-fasiltas Vihara

Selain peran dan fungsi yang telah di sebut diatas, terdapat fasilitas-fasilitas yang melengkapi Vihara, yaitu :

1. Lapangan Parkir

Lapangan ini berguna pada setiap saat, baik itu harian mingguan, bulanan maupun tahunan baik itu acara rutinitas maupun acara-acara khusus. 2. Balai Pengobatan

Balai pengobatan ini dibuka pada setiap minggu dari jam 08.00 sampai dengan selesai selain itu balai pengobatan ini tidak dipungut biaya.

3. Bursa Buku

Bursa Buku ini menyediakan buku-buku baru berkaitan dengan agama Buddha seperti Hio, lilin, dupa, Buddha rupang Mini, Poster sang Buddha dan lain-lain.

4. Sekertariat

Sekertariat ini difungsikan sebagai pusat informasi baik yang berkenan dengan perayaan-perayaan maupun acara rutinitas vihara.

5. beduk

beduk ini digunakan untuk perayaan-perayaan besar, dipakai untuk memulai dan pada akhir acara.

6. Mading

4


(41)

Berfungsi sebagai papan informasi baik yang berkenaan dengan vihara maupun dengan umat

7. Bendera Buddhis

Bendera Buddhis ini tidak diajarkan Sang Buddha secara langsung, tetapi berdasarakan Konferensi Sangha Internasional. Warna bendera tersebut ada 6 (enam) warna, dimana satu warna merupakan kombinasi dari semua warna. Warna-warna tersebut adalah sebagai berikut :

a) Biru melambangkan rasa bhakti kepada Sangha b) Kuning melambangkan keberanian

c) Merah melambangkan cinta kasih d) Putih melambangkan Kesucian e) Oren melambangkan kebijaksanaan 8. Pohon Budhis

Pohon ini melambangkan pohon suci di mana Sang Buddha mendapatkan penerangan sempurna. Pohon ini adalah cangkokan langsung dari Thailand.

9. Reflika Candi Pawon

Reflika Candi Pawon merupakan tempat penyimpanan abu para Bhikku dan para donatur vihara.

10.Tukang Kembang

Tukang kembang ini sengaja diberi fasilitas oleh pihak vihara karena berguna pada perayaan-perayaan yang memerlukan bunga.


(42)

Gedung serbaguna ini terdiri dari beberapa fasiltas di antarannya suang sekolah minggu, ruang sekertariat, ruang organisasi Buddhis, ruang kursus bahasa Mandarin.5

5


(43)

A. Aneka Ragam Bencana Alam

Mengapa di tanahku terjadi bencana? Barangkali di sana ada jawabnya, mengapa di tanahku terjadi bencana itu lirik lagu berita kepada kawan dari Ebit G AD yang belakangan ini terdengar hampir setiap hari ditelvisi dan radio. Lagu yang populer sekitar 25 tahun lalu itu menjadi lagu tema yang mengiringi penayangan selipan atau filler berisi gambar bencana Aceh yang memilukan.1

Ada makna-makna dalam lirik-lirik lagu itu yang dianggap relevan yang dianggap suasana batin yang sedang melingkupi banyak orang saat ini, yaitu bencana tragedi dan duka cita. Itulah mengapa lagu-lagu dihadirkan sebagai ”ruh” yang diharapkan menghidupkan tayangan visual seputar bencana.2

a. Pengertian Bencana

Ada beberapa pengertian atau definisi tetang bencana, beberapa definisi cenderung merefleksikan karakteristik berikut ini (Carter, 1991)

1. Gangguan atau kekacauan pada pola normal kehidupan. Gangguan atau kekacauan ini biasanya hebat, terjadi tiba-tiba, tidak di sangka dan wilayah cakupan cukup luas.

2. Dampak ke manusia seperti kehilangan jiwa, luka-luka, dan kerigian harta benda.

1

Bencana gempa dan Tsunami (Jakarta : KOMPAS, 2005), h.302 2

Ibid, h.303


(44)

3. Dampak ke pendukung utama struktur sosial ekonomi seperti kerusakan infrastruktur, sistem jalan, sistem air bersih, listrik, komunikasi dan pelayanan utilitas penting lainnya.3

b. Penyebab Bencana

Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua, yaitu : alam dan manusia. Secara alami bencana akan selalu terjadi di muka bumi, misalkan tsunami, gempa bumi, gunung meletus, jatuhnya benda-benda dari langit ke bumi (meteor), tidak ada hujan pada suatu lokasi dalam waktu yang relatif lama sehingga menimbulkan bencana kekeringan, atau sebaliknya curah hujan yang sangat tinggi di suatu lokasi yang akan menibulkan bencana banjir dan longsor.

Bencana oleh aktifitas manusia adalah terutama akibat ekspolitasi

alam yang berlebihan. Ekspolitasi ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang meningkat, kebutuhan infastruktur meningkat, alih tata guna meningkat.4

Nicheren daishonin melukiskan penjelasannya dengan suatu

analogi tentang tubuh dan bayang-bayang. Tubuh bergerak dan mengubah bentuk bayangan karena tubuh tidak akan menjadi tubuh bila tidak menimbulkan bayangan. Dengan kata lain, tubuh diberi kehidupan dan indentitas lingkungannya, dengan sebaliknya. Menurut hemat saya, hanya

3

Robert j. kodoatie & roestam sjarief, penegelola terpadu banjir, longsor, kekeringan dan tsunami (Jakarta: yasrif watamone, 2006), h. 67

4


(45)

dengan mensistensikan dialektika inilah kita dapat sampai pada suatu pemahaman tentang saling keterkaitan antara hidup kita dan lingkungan.5 Agama Buddha memandang ada hubungan antara kemoralan seseorang dengan kelestrarian alam, karena peristiwa yang terjadi di alam ini saling berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap komponen-komponen lainnya (hukum paticcasamuppada). Hal ini berarti bahwa prilaku yang dilakukan oleh manusia sangat berpengaruh terhadap lingkungan hidup, maka lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap manusia. Jika manusia merusak lingkungan, secara cepat dan lambat akan menimbulkan dampak buruk bagi manusia. Berbagai macam bencana, seperti tanah longsor dan banjir tidak dapat dihindari. Dengan demikian, manusia sendiri yang akan mendapatkan kerugian akibat tindakannya terhadap alam.6

Pendapat bhikku (Adhiratano) bencana yang sejauh lebih besar dari pada bencana alam yaitu, rendahnya kemoralan yang dimiliki seseorang. Itulah sesungguhnya bencana yang lebih besar, yang akan mengakibatkan hancurnya kehidupan. Karena begitu pentingnya nilai kemoralan, maka Sang Buddha menekankan kepada umat Buddha untuk menjalankan lima sila yaitu :

1. Tidak Membunuh 2. Tidak Mencuri 3. Tidak Asusila

5

Departemen Komunikasi dan Informatika Badan Informasi Publik Pusat. Penanggulamgam Bencana Alam Dalam Perspektif Aagama Di Indonesia (Jakarta : DEPKOMINFO, 2007), H. 86 6


(46)

4. Tidak berbohong

5. Tidak makan dan minum hal yang melemahkan kesadaran.

Bencana alam hanya menghancurkan manusia pada saat itu saja, tetapi bencana moral akan mengakibatkan hancurnya manusia dalam banyak generasi.7

Bencana alam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bencana yang disebabkan oleh alam (seperti gempa bumi, angin besar, dan banjir). Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang bencana alam yang sering terjadi, khususnya di Indonesia dari sudut pandang agama Buddha. Ajaran Buddha menjelaskan bahwa bencana alam disebabkan oleh hukum fisika (dalam hal ini geologi), dan bisa juga karena kesalahan manusia. Inti ajaran Buddha adalah bahwa semua fenomena yang terjadi adalah saling terkait. Hukum fisika mengatur kerja alam yaitu siklus hujan, namun karena manusia banyak menebang pohon sembarang, membuang sampah sembarang sehingga berakibat banjir. Contoh lainnya adalah musim yang kacau yang disebabkan oleh pemanasan global yang juga diakibatkan oleh manusia. Ciri alam adalah selalu seimbang, sehingga ketika alam tidak seimbang lagi (rusak)—disebabkab manusia, maka terjadilah fenomena alam yang tidak biasa sehingga mungkin menjadi bencana bagi manusia. Lainnya halnya dengan gempa bumi, letusan gunung berapi dan bencana alam geologis lainnya. Hingga saat ini belum terlihat dengan jelas apakah ada kaitan—langsung atau tidak langsung— antara bencana alam geologis dan tindakan manusia. Gempa bumi, letusan gunung berapi, dan bencana alam geologis lainnya lebih banyak disebabkan oleh hukum fisika (geologi). Namun, musim kemarau

7


(47)

berkepanjangan, cuaca yang tidak menentu, banjir, longsor, kebakaran hutan yang terjadi sampai saat ini sebagian besar adalah ulah manusia secara langsung maupun tidak langsung.

Ajaran Buddha mengajarkan kepada manusia terutama untuk berkaca melihat diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Satu tindakan kecil— membuang sampah sembarangan—yang dilakukan oleh seorang individu bisa saja menyebabkan bencana besar bagi manusia lainnya.8

B. Faktor-faktor Timbulnya Bencana Alam

Akhir-akhir ini memang cukup banyak bencana alam yang terjadi secara hamper bersamaan di berbagai tempat di seluruh dunia. Berbagai bencana yang banyak menimbulkan korban harta serta kehidupan manusia ini sebenarnya salah satunya disebabkan oleh kamma kelompok yang matang secara bersamaan.

Seperti yang telah disebutkan dalam hukum kamma bahwa ia yang melakukan suatu perbuatan, ia pula yang akan memetik buah kebaikan ataupun penderitaan. Ketika setiap orang yang mempunyai kamma berbeda ini berkumpul, timbullah kamma kelompok. Ada berbagai jenis kamma kelompok yaitu kamma keluarga, kamma masyarakat, kamma bangsa dan juga kamma dunia.

Dengan demikian, jika setiap orang masing-masing mempunyai usaha untuk

memperbaiki kualitas perilaku, ucapan dan pikirannya, maka tentunya tidak tertutup kemungkinan akan terbentuk kamma kelompok yang baik pula yaitu

8

Artikel diakses pada tanggal 31 Maret 2010 Filsafat.kompasiana.com/…/tanggapan-agama-buddha-terhadap-bencana-alam/-


(48)

kamma keluarga, kamma masyarakat dan bahkan kamma dunia. Seperti telah diketahui bahwa kumpulan dari setiap pribadi akan membentuk keluarga. Kumpulan keluarga akan membentuk masyarakat. Kumpulan masyarakat akan membentuk bangsa dan kumpulan bangsa akan membentuk dunia. Jadi, kembalinya kebahagiaan seluruh umat manusia dimulai dari perbaikan diri setiap orang. Oleh karena itu, marilah semuanya berusaha dan terus berjuang untuk meningkatkan kebajikan melalui ucapan, perbuatan dan juga pikiran agar membantu mengkondisikan timbulnya kebahagiaan kepada dunia ini. Kebahagiaan dunia yang salah satunya berbentuk kebebasan warganya dari segala bencana.9

Mekanisme alam semesta membuat bumi berputar pada porosnya sambil berjalan mengelilingi matahari sebagai pusat orbit. Dengan putaran yang ritmis itulah kehidupan berlangsung dengan baik. Berkat putaran itu pula bumi menjadi hidup dan kita ikut hidup dalam kehidupan itu, dengan sumber energi yang memadai, udara dan atmosfer yang seimbang, suhu dan cuaca yang bisa diadaptasi. Kalau putaran itu dihentikan 1 detik saja, semua benda di permukaan bumi, termasuk kita, akan terlempar berhamburan. Begitulah bumi, yang melesat tak kurang dari 107 ribu km/jam di angkasa raya. Sebuah kecepatan yang tiada bandingannya dengan kendaraan tercepat apapun ciptaan manusia.

Bumi memang harus melesat dengan kecepatan sedahsyat itu untuk menyelesaikan satu putaran mengitari matahari dalam setahun. Pernahkah terbayangkan bahwa kita sedang berdiri, duduk, makan, tidur dan segala aktivitas

9


(49)

lain sehari-hari, di permukaan sebuah benda yang bergerak 107 ribu km/jam? Dan menurut perhitungan para ilmuan, semua ini telah berlangsung selama lebih dari 5 miliar tahun!. Lantas mengapa mekanisme istimewa yang maha dahsyat dan maha terjaga itu masih menyisakan kisah tentang kehancuran-kehancuran alam? Apakah itu semacam reaksi fisika yang memang harus terjadi dalam fenomena ini? atau malah karena ulah manusia, sebagai makhluk paling pandai yang hidup di muka bumi?

Dapatkah manusia memperkira-kan datangnya bencana alam? Jika dapat, mampukah kita mengatasinya? Persoalan apa, kapan dan berapa besarnya suatu bencana alam bakal melanda menjadi teka-teki yang tidak pernah berakhir. Jika diamati memang ada semacam reaksi fisika yang memang harus terjadi. Akan tetapi, itu semua memiliki makna dan tujuan yang telah ditetapkan oleh maha pencipta, terjadinya reaksi fisika tersebut telah didesain oleh maha pencipta sedemikian teraturnya sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi menusia.

Sejak berabad lalu, manusia dan alam bagaikan berpacu, siapa lebih cepat bertindak. Namun, kekalahan sering berpihak pada manusia walaupun sistem informasi yang dirancang semakin maju, gempa bumi, taufan, angin kencang, tornado, kemarau panjang, banjir, gunung berapi meletus, dan tsunami, tetap saja budaya bersifat material yang dimiliki oleh manusia, masih gagal menyelamatkan manusia dari bencana alam.

Contoh kejadian yang sedang dihadapi masyarakat Sidoarjo yang mengalami musibah lumpur PT Lapindo, sampai sekarang berbagai upaya telah dilakukan para ahli, di antaranya melalui budaya material yang dimilikinya.


(50)

Melalui upaya memasukkan untaian bola-bola beton dengan asumsi untaian bola tersebut dapat memberi tekanan terhadap sumber semburan, sehingga diharapkan akan mengurangi semburan.

Namun beberapa tim memberikan pendapat berbeda, ada yang mengatakan pemberian tekanan pada sumber semburan justru memungkinkan semburan mencari celah lain, sehingga semburan tetap tidak dapat dihentikan. Selain itu, ketahanan bola-bola beton itu masih dipertanyakan. Apakah bola-bola itu akan tetap stabil bila dipanaskan pada suhu di atas 110 derajat celsius.

Solusi ini masih diragukan tingkat keberhasilannya. Disini dapat diperhatikan bahwa jika bencana alam terjadi, masing-masing pakar mengeluarkan berbagai teori yang dianggapnya dapat meyelesaikan masalah. Akan tetapi, kenyataannya jauh dari harapan, lumpur tetap saja keluar. Jika sudah terjadi seperti ini siapa yang bertanggung jawab? PT Lapindo atau Pemerintah? Jika diamati dari budaya nonmaterial, pejabat pemerintah terkesan terlampau mudah mengeluarkan izin operasi pengeboran di daerah yang dekat dengan permukiman penduduk. Pemberian izin operasi akan mempermudah untuk produksi dan tujuan akhirnya akan menambah pendapatan negara. Akan tetapi, apa yang terjadi dengan begitu mudahnya memberikan izin dan kurang ketatnya pengawasan, ternyata dapat membawa dampak pada kerusakan lingkungan.

Pada 26 Desember 2004, tsunami melanda Aceh mengorbankan kira-kira 200.000 penduduk. Belum sembuh luka di Banda Aceh, tsunami Laut Selatan melanda Pantai Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sejumlah 92 orang masih belum


(51)

diketemukan setelah tsunami yang menelan korban jiwa 656 orang dan 45.000 penduduk tinggal di tempat pengungsian.

Hawa nafsu timbul karena manusia memiliki kebutuhan. Menurut Malinowski bahwa kebudayaan dan organisasi sosial adalah respons-respons terhadap kebutuhan biologis dan psikologis. kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh beberapa respons kebudayaan yang berbeda-beda.

Seperti diketahui kebutuhan individu yang satu dengan yang lainnya kadang berbeda, begitu juga cara meresponnya. Ada yang ingin serba instan (ingin cepat) akibatnya anomali, tetapi ada juga individu yang konformitas atau mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Individu yang ingin serba instan ini melakukan kerja sama dengan relasi-relasinya guna merespon kebutuhan masing-masing.

Keterkaitan antara manusia yang memiliki kekuasaan atau yang lazim disebut pejabat dengan yang lainnya berada dalam budaya yang saling menguntungkan. Di sisi lain ada sekelompok manusia dengan relasi-relasinya tetap ingin mengikuti aturan guna membangun kesejahteraan rakyat. Kelompok masyarakat ini merupakan lawan dari kelompok masyarakat yang ingin memenuhi kebutuhannya secara instan atau di luar aturan yang telah ditetapkan, kedua kelompok ini berada dalam sistem sosial budaya yang sama. Seperti diketahui unsur-unsur sistem sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat ada sepuluh, yaitu:

1) keyakinan, 2) perasaan,


(52)

4) norma,

5) kedudukan, peranan, 6) tingkatan atau pangkat 7) kekuasaan atau pengaruh 8) sangsi

9) sarana atau fasilitas, 10) tekanan dan ketegangan.

Dalam sistem sosial budaya yang ada terdapat ketidakseimbangan dalam penerapannya. Hal ini dapat dirasakan bila salah satu faktor lebih dominan dibandingkan faktor yang lainnya, faktor teknologi dan ekonomi lebih utama daripada faktor sosial, sehingga terjadi ketidakseimbangan. Keadaan tidak seimbang inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana alam. Fenomena ketidakseimbangan ini dapat ditelusuri dari budaya penguasa yang ingin serba instan atau ingin memperoleh hasil dengan cara di luar aturan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan oleh penguasa guna memenuhi kebutuhan dirinya dan relasi-relasinya.

Jika dilihat dari kenyataan sehari-hari di lapangan, banyak ditemukan penguasa yang memberikan izin kepada relasinya di luar peraturan yang ada. Contohnya, banyak penguasa yang memberikan izin penebangan hutan yang tidak diikuti dengan penanaman kembali pohon dan kontrol yang ketat (misalnya, mana yang boleh ditebang dan mana yang tidak boleh, serta batas wilayah yang diizinkan).


(53)

Dapat diperkirakan akibat tindakan penguasa tersebut menyebabkan terjadinya banjir, tanah longsor, atau berkurangnya populasi binatang yang dilindungi. Kejadian ini terjadi padabeberapa daerah dan banyak menelan korban jiwa, rumah dan peralatan hancur, serta banyak tanaman dan hewan yang mati.

Di sisi lain masyarakat yang cinta terhadap lingkungan dan disiplin terhadap peraturan, tidak dapat memberikan banyak kontribusi, agar masalah tersebut tidak terjadi. Hal ini dapat dimengerti karena masyarakat tersebut tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh yang kuat. Ada ketidakseimbangan antara apa yang dilakukan penguasa terhadap alam, dengan yang dilakukan masyarakat yang cinta terhadap peraturan. Dampak dari ketidakseimbangan inilah, yang menyebabkan timbulnya bencana alam.

Hal ini disebabkan kurangnya proses edukasi pada masyarakat. Memberdayakan masyarakat dengan memberikan pemahaman yang jelas, dan mudah tentang pentingnya kelestarian alam bagi keberlangsungan hidup bersama jauh lebih berguna daripada melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja dalam proses penghijauan hutan kembali, atau

memperbanyak undang-undang yang ternyata tidak banyak berfungsi.

Pendidikan nilai bisa diwujudkan dengan memberdayakan kembali kearifan lokal yang ada. Kini banyak tradisi dan adat istiadat lokal yang sebenarnya kaya nilai-nilai tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam tidak lagi populer. Padahal, bencana alam bisa dicegah dan kerusakan alam bisa dihindari apabila manusia hidup berdampingan secara baik dengan alam. Belum terlupakan kepedihan akibat peristiwa banjir di berbagai daerah. Kota Jakarta


(54)

adalah daerah yang paling parah dilanda banjir pada awal tahun ini. Hampir 80 persen Ibukota negara ini terendam air sejak hujan deras menimpa Jakarta, 2 Februari 2007 lalu. Beberapa wilayah seperti Kelapa Gading, Tanjung Priok, Grogol, beberapa perumahan di Ciledug, tergenang air.

Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, banjir pada tahun 2007 ini merupakan banjir yang paling parah dalam sejarah Jakarta. Banjir tersebut mengakibatkan kerugian material yang sangat besar akibat lumpuhnya kegiatan ekonomi, kegiatan belajar mengajar pun terganggu. Banjir 2007 ini telah menelan korban lebih dari 31 orang. Ratusan ribu orang mengalami stres karena tidak mampu menerima kerugian yang mereka derita.

Banjir telah mampu meng-hilangkan sekat-sekat sosial, yakni sekat antara orang kaya dan miskin, antara penguasa dengan rakyatnya. Banjir itu tidak hanya melanda masyarakat kelas menengah ke bawah, khususnya mereka yang tinggal di bantaran kali, melainkan juga orang-orang yang tinggal di perumahan-perumahan elite seperti Kelapa Gading, Pulo Mas, Green Ville, dan tempat-tempat lainnya.

Tidak ada yang mau dipersalah-kan pada peristiwa banjir di Jakarta itu. Penguasa mengatakan peristiwa ini adalah fenomena alam, di lain pihak masyarakat mengatakan penguasa yang kurang peka terhadap bencana alam.

Jika kita lihat, ada masyarakat yang memiliki budaya ’tempat sampah adalah seluas Pulau Jawa dan sepanjang sungai’. Untuk mengubah budaya tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah, baik pada stratifikasi sosial kelas atas, menengah, dan bawah. Masalah sampah memang sudah menjadi masalah nasional, tetapi jika tidak diatasi secara cepat akan menyebabkan sungai menjadi


(55)

dangkal dan selokan menjadi mampet, yang akhirnya akan menimbulkan banjir. Untuk mengatasi masalah ini, pihak pemerintah dapat melakukan dua pendekatan terhadap masyarakat, pertama secara persuasif dengan cara memberikan penjelasan agar kognitif dan afektifnya dapat berubah. Akan tetapi, pemerintah sudah sering melakukan pendekatan tersebut, terutama pada masyarakat yang tinggal di pinggir sungai agar tidak membuang sampah, karena menyebabkan pendangkalan dan pada akhirnya menyebabkan banjir.

Pendekatan secara persuasif ini tidak berhasil, terbukti sampah masih berserakan, dan penduduk masih banyak yang tinggal di pinggiran sungai. Kegagalan pendekatan ini sebenarnya karena tidak tepatnya strategi komunikasi yang digunakan. Hal ini tampak dari cara pendekatan petugas dalam memberikan penyuluhan pada masyarakat. Oleh karena rasa tanggung jawab masyarakat masih dirasa rendah, pemerintah tampaknya tidak sepenuh hati dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, karena ketidakseriusan pemerintah menangani masalah ini, banyak masyarakat yang mengabaikan anjuran untuk tidak tinggal di pinggir sungai. Karena pendekatan pertama tidak berhasil, akhirnya pemerintah melakukan pendekatan kedua yaitu secara otoriter. Namun, pendekatan ini sering tidak etis dan terkesan arogan, tidak jarang petugas di lapangan mengalami konflik dengan masyarakat.

Melalui kedua pendekatan ini pihak pemerintah ternyata gagal pula melakukan perubahan terhadap perilaku masyarakat. Hal ini terjadi karena aktivitasnya tidak terprogram, dan tidak ditegakkannya hukum, sehingga masyarakat merasa tidak ada masalah terhadap perilakunya.


(56)

Koordinasi antarinstansi kurang berjalan dengan baik, sedangkan iklim berganti terus, akan menjadi masalah saat musim penghujan tiba. Hal ini pernah terjadi, pada salah satu intansi pemerintah yang memberikan saran teknis kepada salah satu departemen agar menembak awan secara parsial, agar jatuhnya hujan tidak sekaligus, sehingga tidak menimbulkan banjir. Akan tetapi, hal ini ditolak oleh departemen tersebut, mungkin karena anggaran yang terbatas atau masalah teknis yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya saran tersebut. Akibatnya dapat dirasakan oleh sebagian penduduk Jakarta, yaitu banjir.

Dalam menghadapi berbagai macam bencana alam tampaknya pihak pemerintah merasa bingung, dan tidak tahu akan berbuat apa. Kesan yang dapat ditangkap, pemerintah tidak memiliki program kerja yang terencana dengan baik, sehingga terlihat seperti frustasi dalam menghadapi berbagai bencana alam tersebut.

Apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi? Apakah kurangnya pengetahuan untuk mengatasi bencana alam? Apakah kurang pengalaman dalam mengantisipasi terhadap datangnya bencana alam? Apakah disebabkan pejabat pemerintah dengan relasinya lebih mengutamakan budaya material, dibandingkan budaya nonmaterial? Jika hal ini terbukti, maka terjadilah ketidakseimbangan yang akan berdampak kepada kehidupan masyarakat.

Salah satu upaya mengatasi hal itu, sebaiknya pihak pemerintah, dalam hal ini penguasa, lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi per-masalahan yang terjadi sekarang ini, dan siap menerima kritik serta saran dari berbagai lapisan masyarakat. Dengan keterbukaan pihak pemerintah terhadap kritikan dan saran


(57)

masyarakat, diharapkan akan terwujud kerja sama yang harmonis, melalui gotong-royong dalam menghadapi berbagai masalah, seperti apa yang dikatakan Fathoni (2005) Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya.

Di dalam sistem makrosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang mahabesar ini. Dengan demikian, dalam segala aspek kehidupannya, manusia pada hakikatnya bergantung pada sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa. Oleh karena itu, ia harus berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa. Dalam pandangan hidup seperti itu, manusia akan memiliki arti penting terhadap kehadiran manusia lainnya. Gotong-royong antara penguasa dengan masyarakat akan menghasilkan suatu kinerja yang baik dalam mengatasi bencana alam. Tidak mungkin pemerintah dapat menyelesai-kan semua permasalahan tanpa didukung oleh masyarakat, begitu juga sebaliknya.

Pada akhirnya, penulis masih menyimpan pertanyaan yang kemungkinan sulit untuk dijawab, yaitu apakah masih ada budaya gotong-royong di kalangan masyarakat kita? Apakah kita mampu untuk melaksanakan gotong-royong dengan sesungguhnya? Apakah dengan budaya gotong-royong masyarakat dapat terhindar dari bencana alam?10

Bencana alam dan problem lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari religiusitas masyarakat, karena lingkungan pada hakikatnya adalah tata ruang dari

10

Artikel ini diakses pada tanggal 31 Maret 2010 www.fsrd.itb.ac.id/wp-content/uploads/2007/11/4%20Chairil.pdf


(58)

kehidupan manusia. Agama memiliki peran sebagai ikatan (chain) dan bentuk kesadaran bersama (collective memory) yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam beradaptasi dan menjaga lingkunganny. Ketergantungan manusia terhadap alam mengakinatkan manusia tidak dapat melepaskan dirinya sebagai dari ekosistem, dan secara sengaja maupun tidak aktivitas manusia biasa mengubah lingkungan alam.

Aktivitas manusia dalam mengubah lingkungan itu sendiri terkait dengan usaha-usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat survive.

Studi-studi geografis dan ekologi telah menunjukan secara detil bagaimana mekanisme dari proses pengubahan lingkungan itu secara langsung maupun tidak diakibatkan oleh pengaruh dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya.11

Banjir, kekeringan, luapan sungai, tanah longsor, hujan di luar musim, lumpur panas, angin puting beliung, gunung meletus badai, gempa bumi dan sunami adalah sederetan panjang bencan alam yang secara berturut-turut menimpa. Bencan demi bencana nyaris tak henti-hentinya. Belum tuntas penderitaan yang saru, datang peristiwa tragis lainnya. Belum kering air mata penderitaan rakyat di daerah tertentu meyusul isak tangis berkepanjangan dari daerah lain.

Namun benarkah semua bencana itu merupakan hukuman dari Tuhan Khalik Semesta Alam? Benarkah penyebabnya hanya faktor alam semata? Kita semua tidak bisa menjawabnya secara pasti. Sampai hari ini perkembangan ilmu

11


(59)

pengetahuan dan tekhnologi mamang belum mampu secara tepat memperkirakan kapan akan terjadi gempa bumi atau sunami; namun kalau kita mau jujur dan tulus menilik ke dalam diri, bencana-bencana alam lainnya seperti Banjir, kekeringan, luapan sungai, tanah longsor, hujan di luar musim, lumpur panas, angin puting beliung, gunung meletus badai, gempa bumi dan sunami, langsung atau tidak langsung merupakan akibat dari prilaku manusia yang ceroboh, serakah, tidak bertanggungjawab dan hanya berfikir jangka pendek belaka. Alam yang begitu banyak menopang kehidupan manusia, telah dieksplitasi habis-habisan seakan tidak akan disisakan sdikkitpun untuk esok hari. 12

Alam membutuhkan keseimbangan dalam proses perkembangannya. Dengan bertambahnya pengetahuan manusia dapat mencegah atau mengurangi bencana yang disebabkan oleh faktor alam, misalkan untuk mencegah gunung berapi meletus orang dapat melakukan proses ”penyuntikan”, untuk mencegah longsor orang melakukan reboisasi, dan sebagai berikutnya.13

Ajaran Buddha berakar pada hukum kausalitas (sebab akibat yang saling bergantungan) yang ditemukan oleh Sang Budha. Budhisme percaya bahwa proses-proses alam secara langsung dipengaruhi oleh kausalitas moral manusia, budhisme memandang manusia hanya merupakan bagian dari alam bukan merupakan central dari alam (antropocentric) sehingga untuh terciptanga keharmonisan, manusia tidak boleh memandang bahwa alam dan seisinya ada hanya demi untuk kepentingan manusia.

12

PENAGGULANGAN BENCANA ALAM Dalam Perspektif Agama Di Indonesia, hal. 13-15 13


(1)

B. Saran-saran

Dari pembahasan dan penjelasan diatas, maka penulis ingin memberikan beberapa saran sebagai alternatif pemikiran yang dapat dijadikan masukan yang nantinya akan sangat berguna, dengan harapan agar lebih dapat meningkatkan kualitas dari kinerja instansi yang terkait secara optimal dalam hal menjaga alam semesta dari bencana alam dalam pandangan Bhikku agama Buddha.

Adapun saran penulis yang sekiranya dapat berguna terutama bagi instansi yang terkait maupun pengguna aplikasi tersebut yaitu sebagai berikut :

1. Interaksi Bhikku dengan jemaah harus berinterkasi sosial di sertai dengan sifat komunal agar tercipta keharmonisan di dalam vihara

2. Bagi pihak vihara ada baiknya jika ada perwakilan diserahkan pada samaneraatau para Bhikku yang baru tinggal di vihara Dhammacakka Jakarta, sehingga mereka dapat mengenal tempat tinggal mereka serta masyarakat sekitar meraka juga dapat mengenal mereka.

3. Bagi para Bhikku dan jamaah di lingkungan vihara Dhammacakka Jakarta agar selalu menjaga kebersihan lingkungan vihara, sehingga dapat mejadikan contoh bagi masyarakat sekitar agar terhindar dari bencana banjir.

Demikianlah saran-saran yang penulis berikan, semoga dengan memperhatikan saran-saran tersebut, maka skripsi yang disusun ini akan menjadi lebih sempurna dan mampu menyelesaikan permasalahan sesuai dengan yang di harapkan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. Mukti., Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta: Iain Sunan Kalijaga Press, 1988.

Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, Jakarta: Yayasan Dhammapida Arama, 1994.

Kaharuddin, Pandit Jinaratana, Rampaian Dhamma, Jakarta : DPP Pervitubi, tt. W.F. Jayasuriya, the psychology and philosophy of budhisme, Kuala Lumpur:

Buddhist Missionary Socciety, tt.

Suwarto, Drs. T, Buddha Dharma Mahayana, tt: Majlis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995.

Wowor, Carnelis MA, Pandanga Sosial Agama Buddha, tt: CV. NITRA KENCANA BUANA, tt.

Kaharuddin, Pandit J, Hidup dan kehidupan, Jakarta: Graha Metta Sejahtera, 2002.

Mukti, Krishnanda Wijaya, Wacana Buddha-Dharma, Jakarta: Yayasan Buddha Dharma, 2003.

Vajirananavarorasa, Prince., Dhama Vibhaga, Jakarta: Aryasuryacandra, 1993. YAYASAN RADHA SOAMI SATSANG BEAS INDONESIA, Ceramah Rohani,

cet-1. tt.

Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://mail- archive.com/...com/msg05607.html3sudhammacaro.blogspot.com/.../tuhan-allah-yang- mengatur-gempa-bumi.html

Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://mail-archive.com/...com/msg05607.html

Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://www.beliefnet.com/sdtory/158/story-15871-1.html).

Artikel diakses pada tanggal 25 Februari 2010 http://indonesia.com/definisionline/?tag=pengertia-analisis


(3)

Jayasuriya., W.F., The Psychology and Philosophy of budhism, Kuala Lumpur: Buddhist Missionary Society, 1976.

Sudassano, Bhikku Dhammacakka Jaya, Wawancara Pribadi, 1 Mei 2010.

Departemen Komunikasi dan Informatika Badan Informasi Publik Pusat. Informasi Kesejahteraan Rakyat., Penanggulangan Bencana Alam Dalam Perspektif Agama Di Indonesia Jakarta; Depkominfo, 2007.

Adhiratano, Bhikku Dhammacakka Jaya, Wawancara Pribadi, 10 Desember 2010. Kodoatie, J Robert, Pengelola Bencana Terpadu Banjir, Longsor, Kekeringan

Dan Tsunami, Jakarta: yasrif watamone, 2006 Bencana gempa dan tsunami, Jakarta: kompas, 2005.

www.dhammacakka.org/index?.php?option=com_conten..id Suramin, Pegawai Vihara, wawancara pribadi, 1 Mei 2010.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet Ke-3, 1988.


(4)

Lampiran

Wawancara (interview) di Vihara Dhammacakka

T : Apa tatacara memasuki Vihara ?

J : Etika masuk vihara adalah 1) pakaian harus rapih dan sopan santun, 2) memasang dupa, 3) sampai di pintu vihara penghormatan kepada Buddha dharma dan Sangha.

T : Fasilitas apa saja yang terdapat di Vihara Dhammacakka ?

J : Lapangan parkir, balai pengobatan, bursa buku, sekretariat, beduk, mading, bendera budhis, pohon budhis, reflika candi rawon, ruang serbaguna.

T : Apa pendapat Banthe dalam mengatasi pencegahan bencana alam ?

J : Ada dua macam bencana, diantaranya bencana yang dapat dicegah dan bencana yang tidak dapat dicegah. Tsunami, gunung merapi merupakan bencana yang tidak dapat dicegah karena proses alam yang selalu berjalan.

Karena alam memiliki aturan sendiri. Manusia tidak dapat mencegahnya, pada bencana yang terjadi tidak ada kaitannya dengan manusia dalam pencegahan bencana yang terjadi diawali dengan pembenahan diri manusia yang kurang baik.

T : Apa solusi untuk mengatasi bencana alam menurut banthe ?

J : dalam mengatasi bencana alam yang terjadi manusia haruslah membaenahi sifat kebencian, keserakahan, harus mengikuti atuaran-aturan bagaimana menjaga lingkungan, harus belajar menganl tentang alam.


(5)

Selama ini banyak terjadi bencana alam, khususnya di Indoanesia. Bencana banjir, tanah longsor, tsunami, kekeringan, gempa bumi, gunung merapi, dan angin topan.

T : Menurut Banthe adakah bencana-bencana lain, selain bencana yang disebutkan diatas ?

J : Ada bencana yang jauh lebih besar daripada bencana alam. Yaitu rendahnya kemoralan yang dimiliki seseorang itula sesungguhnya. Bencana yang lebih besar yang akan mengakibatkan hancurnya kehidupan. Karena begitu pentingnya nilai kemoralan, maka sang Buddha menekankan kepada umat budha untuk menjalankan lima sila: yaitu tidak membunuh, tidak mencuri, tidak asusila, tidak berbohong dan tidak makan serta minum hal yang melemahkan kesadaran.

T : Apa pendapat Banthe terhadap faktor terjadinya bencana alam ?

J : Ajaran pada hukum kausalitas (sebab-akibat yang saling bergantungan) yang ditemukan oleh sang Buddha. Buddhisme percaya bahwa proses-proses alam secara langsung dipengaruhi oleh kualitas moral manusia, budhisme memandang manusia hanya merupakan bagian dari alam bukan merupakan sentral dari alam sehingga untuk terciptanya keharmonisan manusia tidak boleh memandang bahwa alam dan seisinya ada hanya demi untuk kepentingan manusia.

Budhisme percaya penggunaan sumberdaya alam secara membabi buta tidak bijaksana dan hanya demi keuntungan jangk apendek merupakan salah satu faktor yang dominan yang menyebabkan terjadinya bencana alam dewasa ini.


(6)

Karna didorong keserakahan (loba) manusia berlomba untuk memenuhi setiap keinginan, budaya ”instans” dipandang sebagai suatu kewajaran sehingga tidak peduli lagi dengan nilai-nilai luhur moral (sila) dalam proses pencapaian keinginan, karna orientasi bagian besar manusia saat ini adalah hasil akhir. Sudah banyak contoh yang dapat kita saksikan bagaimana akibat dari keserakahan manusia yang justru menghancurkan manusia itu sendiri, dengan dalil ”ekonomi” hutan, tanah dengan sumber daya lainnya di eksploitasi berlebihan.

Budhisme berpandangan bahwa bencana alam bukankah peringatan atau hukuman ynag diberikan mahluk adikuasa, tetapi bencana alam merupakan bukti bahwa alam membutuhkan keseimbangan agar tercipta keharmonisan. Hukum kausalitas selalu berlaku dala setiap bencana yang timbul.


Dokumen yang terkait

Pandangan Masyarakat Dalam Pernikahan Usia Dini Studi Kasus Di Desa Cikurutug Kecamatan Cikreunghas Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat

1 12 70

Kesadaran hukum dan persepsi masyarakat terhadap perceraian (studi kasus perceraian di desa serdang jaya kecamatan betara kabupaten Tanjab Barat Jambi)

1 14 182

Harapan pemustaka terhadap perpustakaan panti sosial karya wanita (PSKW) mulya jaya Jakarta dalam memenuhi kebutuhan informasi

0 3 133

Upacara kathina dalam agama budha : studi kasus pada vihara budha metta rama Menteng Jakarta

3 97 92

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN PADA SAAT BENCANA ALAM (Studi kasus pada Daerah Bencana Alam Meletusnya Gunung Merapi di Kabupaten Sleman)

0 3 113

Konstruksi berita bencana alam dalam newsticker (Studi Analisis Wacana Kritis Berita Bencana Merapi Yogyakarta di tvOne) azhmy

1 6 231

ALAM SEMESTA DALAM PANDANGAN ISLAM

0 0 12

KAPASITAS TNI AD DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM STUDI KASUS: KAPASITAS KODIM 0505JAKARTA TIMUR DALAM PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR

0 0 26

BAB II AJARAN AGAMA BUDDHA TENTANG SELIBAT A. Ajaran Agama Buddha 1. Sejarah Agama Buddha - MAKNA SELIBAT DALAM AGAMA BUDDHA (Studi Selibat Para Bikkhu atau Bikkhuni Di Vihara Virya Paramitha dan Implikasinya dalam Kehidupan Keagamaan) - Raden Intan Repos

0 0 37

BAB III GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN A. Sejarah Berdirinya Agama Buddha di Bandar Lampung - MAKNA SELIBAT DALAM AGAMA BUDDHA (Studi Selibat Para Bikkhu atau Bikkhuni Di Vihara Virya Paramitha dan Implikasinya dalam Kehidupan Keagamaan) - Raden Intan Re

0 0 23